Hasil survei merek Internet SWA-MarkPlus&Co menempatkan Yahoo! sebagai nomor satu. Meski didominasi merek situs asing, ada situs lokal masuk dalam jajaran merek Internet terpopuler di 5 kota besar di Indonesia. Kenapa responden memilihnya?
Al Ries, pakar pemasaran dari Atlanta, punya mainan baru. Setelah berpuluh tahun menggeluti dunia pemasaran dan pengembangan merek, kini ia mendapatkan medium baru yang disebutnya sangat ajaib: Internet. Dalam teleconference akhir Mei lalu yang diselenggarakan SWA-MarkPlus&Co di Hotel Shangri-la, Al Ries dengan sangat atraktif memperlihatkan daya tarik Internet dan fenomena-fenomenanya yang tak terbantahkan itu. Internet, menurutnya, telah mengubah segalanya, mulai dari kehidupan pribadi seseorang, lingkungan sosial, hingga pekerjaan. "Kendati Anda tidak memiliki situs web, tidak punya bisnis di Internet, ataupun produk dan layanan Anda tidak dijual dan diiklankan di Internet, yakinlah Internet tetap bakal mengubah bisnis Anda," katanya lantang.
Al Ries mengaku termasuk orang yang tersedot magnitude Internet itu. Kalau dulu ia cukup puas bergerak dengan aktivitas konvensional, sekarang sebagian besar kegiatannya justru berhubungan dengan Internet. Setidaknya, beberapa usaha baru yang dijalankan, kegiatan belanja, atau pesan tiket pesawat sekalipun, semua bersinggungan dan memanfaatkan Internet.
Sesungguhnya, bukan hanya Al Ries yang merasakan demikian. Ada ratusan juta orang yang kini hidup di dua dunia: maya dan nyata. Hebatnya, baik dunia maya maupun dunia nyata, keduanya menuntut produk, kualitas kerja dan hasil kerja yang sama bobotnya. Yang membedakan, barangkali, bentuk fisik dan hukum yang mendasari perilaku serta tabiat bisnis masing-masing.
Bagi produsen yang menitipkan sebagian besar hidupnya lewat merek dan penguasaan pasar, harus diakui, Internet bisa mengacaukan keyakinannya. Selama ini mereka tahu persis, untuk membangun merek yang kuat harus bersedia kerja keras dan rajin mengomunikasikan diri lewat promosi dan iklan. Itu dari realitas yang sesungguhnya.
Samakah di dunia maya? Belum tentu. Merek bisa jadi kehilangan arti sama sekali, karena mudahnya pengguna Internet berpindah alamat -- toh tinggal klik saja. Malah, Rhenald Kasali, pengamat pemasaran dan dosen UI, menggambarkan dunia Internet adalah dunia yang sangat kejam. Selain pengguna Internet adalah orang yang paling tidak loyal, juga sulit menaruh kepercayaan pada mereka. Sekali pengguna Internet mengalami kesulitan atau kelambatan dalam mengakses, umpamanya, maka akan sulit mengajak mereka kembali mencoba.
Survei Internet Branding 2000 yang diselenggarakan SWA-MarkPlus&Co, antara lain ingin mendapatkan jawaban atas situasi di simpang jalan ini. Terutama, benarkah loyalitas pengguna Internet terhadap merek- merek tipis? Tepatnya, survei akan mencari tahu merek-merek apa saja yang melekat di benak pengguna Internet Indonesia. Dari hasil sigi diharapkan akan diketahui pangsa pikiran (mind share) pengguna Internet. Ini bisa dilacak lewat pemahaman terhadap merek dan asosiasi yang ditimbulkannya. Pangsa pikiran ini sekaligus merupakan pintu masuk menuju ke hati konsumen (heart share). Dan semua itu akan lebih mudah tergambar, jika diketahui kebiasaan responden ketika mengakses Internet dan memanfaatkan produk-produknya.
Sigi dilakukan Maret-April lalu terhadap 1.100 responden yang tersebar di Jabotabek (450), Bandung (200), Yogyakarta (150), Surabaya (200) dan Medan (100). Mereka dipilih dari latar belakang pekerjaan dan kelas sosial ekonomi yang sangat beragam (lihat Tabel 1). Namun, satu hal sama: responden setidaknya menggakses Internet dua jam atau lebih setiap minggu.
Jadi, ada tiga kelompok responden. Yang pertama, light user, pengguna Internet kurang dari 10 jam/minggu (25%); medium user, pengakses Internet selama 10-40 jam/minggu (50%); dan heavy user, pengguna Internet lebih dari 40 jam/minggu (25%).
Berdasarkan temuan dari semua kelompok responden, ternyata megaportal Yahoo! terpilih sebagai situs paling ngetop dan menancap di benak mereka (39,5%), jauh di atas Hotmail.com yang menduduki peringkat kedua (8,2%), Kompas.com (4,5%), Detikcom (3,6%), Mailcity.com (3,0%), Altavista.com (1,8%), MTVasia.com (1,7%), dan seterusnya (lihat Tabel).
Pun dalam hal awareness, hasilnya tidak jauh berbeda. Yahoo! tetap teratas dengan total awareness sebesar 72,1; diikuti Hotmail.com (28,3), Kompas.com (21,5), Detikcom (18,4), Altavista.com (17,3), Mailcity.com (15,0), dst. (lihat Tabel).
Banyak yang tidak heran dengan temuan itu. Di mata Zuraida Boerhanoeddin, GM Bisnis Internet Indosat, sudah sewajarnya Yahoo! dan Hotmail menonjol di kalangan pengguna Internet di Indonesia, sebab mereka memang pionir di bidang masing-masing: Yahoo! sebagai search engine (mesin pencari) dan Hotmail sebagai webmail gratis. "First market movers inilah yang menurut saya mempengaruhi top of mind dan awareness pengguna," papar Zuraida. Rhenald menambahkan, hampir semua orang yang pernah mengakses Internet pasti pernah mengakses Yahoo! dan Hotmail. Selain situs Yahoo! Memang terlengkap -- ada sekitar 575 mitra kerja yang siap mengisi album megaportal ini -- juga kemudahan mendapatkan alamat e-mail gratis. "Mau cari apa saja, juga ada di sana," ujar Rhenald kepada SWA.
Reputasi Yahoo! memang mengilap. Lihat saja data-data berikut. Sekarang Yahoo! rata-rata dijenguk 145 juta orang lebih/hari. Dari jumlah itu, 125 juta orang di antaranya, menyerahkan data personalnya untuk kepentingan alamat e-mail gratis ataupun titip pesan. Lalu, dari segi pendapatan iklan, juga bisa membuat mata berbinar. Ada sekitar 3.565 pengiklan siap antre mengisi halaman Yahoo!. Juga, lebih dari 10 ribu macam barang dagangan yang ditawarkan melalui Yahoo! dengan harga khusus. Tim Koogle, CEO Yahoo! mengatakan, berkat debut sepanjang tahun, keuntungan Yahoo! dari 1998 ke 1999 meningkat 853%, yakni US$ 15 juta atau sekitar Rp 150 miliar (jika US$ 1 = Rp 10.000) menjadi US$ 143 juta atau Rp 1,07 triliun ( US$ 1 dihitung Rp 7.500). Tahun 2000, diperkirakan seorang analis, Yahoo! masih akan menuai untung dari penjualan iklan dan perdagangan (e-commerce) sebesar US$ 284,5 juta atau sekitar Rp 2,13 triliun.
Popularitas Yahoo! dan Hotmail, diikuti oleh merek situs lokal: Kompas.com dan Detikcom. Keduanya memiliki riwayat kelahiran berbeda, meskipun sama-sama memulai sebagai situs berita. Kompas.com -- disebut Kompas Cyber Media -- lahir dari ibu kandung (harian) Kompas yang sudah dikenal luas oleh masyarakat Indonesia, sedangkan Detikcom lebih merupakan perpanjangan situasi konduksif yang terjadi pada waktu kelahirannya, 9 Juli 1998. Saat itu, masyarakat tengah haus berita politik. Sementara pers cetak masih takut-takut, informasi lewat Internet dianggap lebih asyik. Serta merta Detikcom banyak dicari karena ciri khasnya: memberikan berita-berita terbaru (breaking news).
Rhenald agak heran dengan perimbangan Detikcom dan Kompas.com. Menurutnya, jika yang disurvei adalah orang yang sering menggunakan Internet, mestinya Detikcom lebih baik ketimbang Kompas.com. Apalagi masyarakat Internet, menurutnya, lebih menyukai berita singkat ketimbang ulasan panjang lebar. "Dengan asumsi itu, saya kira Detikcom lebih baik posisinya," ujarnya.
Boleh jadi pendapat Rhenald benar. Seperti terungkap dari temuan, top of mind (TOM) dan awareness Detikcom memang paling kuat di kelompok heavy user. Ada 5,5% heavy user menyebut Detikcom pertama kali, sedangkan di kelompok light user cuma 1,2%. Berbeda dari Yahoo! Di kelompok light user, justru kuat (40,9%), sementara di kelompok heavy user hanya 30,4%. Begitu pula dalam awareness, Detikcom populer di kalangan heavy user (23,7%), berbeda jauh dari kelompok light user (hanya 11,3%).
Namun, kalau dibandingkan dengan Kompas.com, Rhenald lupa dengan kekuatan yang dimilikinya. Pertama, Kompas.com hadir lebih awal sehingga lebih dulu diterima di benak pengguna Internet. Kedua, Kompas.com menyajikan berita lebih beragam ketimbang Detikcom. Setidaknya, pengguna Internet berpersepsi, Detikcom identik dengan berita-berita politik saja, sedangkan Kompas.com menyajikan informasi yang bersifat umum dan menyeluruh.
Memang, karakter produk/merek sangat mempengaruhi penilaian responden. Hal itu bisa terlihat dari total awareness Detikcom di 5 tempat survei. Hanya di Yogyakarta, awareness Detikcom sangat tinggi, mencapai 28,8%, sementara di kota-kota lain, rata-rata hanya 18,4%. Adapun awareness Kompas.com rata-rata hampir sama di 5 kota, yakni sebesar 21,5%. Kenapa? Responden dari Yogyakarta yang terbesar adalah siswa/mahasiswa (36,9%), sementara pegawai swasta cuma 20,6%, wirausahawan 15,6%, pegawai negeri 3,6% serta dosen/pengajar 7,5% (lihat Tabel). Dengan konfigurasi responden seperti itu, tidak mengherankan jika Detikcom yang identik dengan informasi berita politik sangat kuat awareness-nya di Yogyakarta.
Berbeda dari Kompas.com. Awareness-nya rata-rata cukup kuat di setiap wilayah survei. Di Medan 38,0%, Jabotabek 25,9%, Yogyakarta 23,8%, Bandung 12,7% dan Surabaya 11,2%. Ini menandakan, tidak ada dominasi kuat atas karakterisasi Kompas.com di semua wilayah di Indonesia.
Dalam membangun awareness dan TOM merek situs web, diakui Budiono Darsono, Direktur Detikcom, banyak aspek yang harus diperhatikan. Pertama, karakter. Betapapun, merek Internet seperti halnya produk lain di dunia nyata, harus memiliki karakter yang membedakannya dari yang lain. Misalnya, karakter Detikcom pada sisi breaking news, itu merupakan kekuatan untuk menjadi daya jualnya.
Walaupun belakangan Detikcom mengubah dirinya menjadi portal, menurut Budiono, daya jual sebagai breaking news tetap dipertahankan. "Meskipun sebagian kalangan menganggap Detikcom bisa gagal dalam mengubah posisinya dari breaking news ke portal, tapi kami yakin lewat portal justru akan bisa memberikan layanan lebih banyak ke pengakses Detikcom," paparnya sambil menunjukkan fasilitas Detikcom: searching, chatting, e-mail, informasi kurs, konsultasi kesehatan, dsb.
Aspek lain, sosialisasi. Ini juga pekerjaan cukup berat bagi Detikcom. Pasalnya, Detikcom lahir bersamaan dengan membanjirnya gosip di seputar pemerintahan. Detikcom khawatir dianggap sebagai bagian dari penyebar gosip. Karena itu, menurut Budiono, ia berupaya meyakinkan orang agar percaya terhadap berita yang disajikan Detik.com. Caranya? Menulis berita dengan menerapkan konsep 5W dan 1 H (what, where, why, who, when dan how) yang bisa dicek kebenarannya. Dari pengalaman Budiono, ternyata hal itu lambat laun bisa mempengaruhi persepsi masyarakat, dan nama Detikcom menguat.
Iklan harus diakui termasuk bagian dari sosialisasi awareness dan TOM merek. Seperti dalam kehidupan dunia nyata, promosi dan iklan merupakan bagian penting dari kekuatan produk. Siapa yang tidak bisa mempertahankan promosi dan program periklanannya, jangan heran kalau produknya akan lebih mudah dicampakkan dari benak konsumen. Lihat saja, hasil survei TOM merek yang dilakukan SWA setiap tahun. Hampir dipastikan, merek-merek ngetop itu paling konsisten berkomunikasi dengan pasar. Seperti Sunsilk dan Clear yang TOM-nya tertinggi (peringkat 1 dan 2) pada 1999. Ternyata, menurut AC Nielsen, masing-masing menghabiskan anggaran iklan 1999 sebesar Rp 75 miliar dan Rp 84,2 miliar. Angka fantastis ini menunjukkan betapa mahalnya membangun merek, dan betapa produsen berlomba-lomba meraihnya.
Di dunia maya, persoalannya tidak jauh berbeda. Pelajaran berharga baru saja diperoleh dari Astaga!com, Satunet.com, maupun Catcha.com. Beberapa bulan lalu, ketiganya jorjoran mengguyur tubuhnya dengan iklan. Puluhan miliar dana iklan amblas dalam sekejap. Sebagai gambaran, Astaga!com menghabiskan anggaran US$ 7,5 juta untuk kampanye komunikasi yang digarap oleh PerwanalD`Arcy hanya dalam waktu tak kurang dari 6 bulan. Begitu pula Catcha.com menghabiskan anggaran US 1 juta untuk kegiatan komunikasi periklanan melalui biro iklan Publicis-Inovasi.
Hasilnya? Jonatan Morris, CEO Astaga!com, mengatakan cukup puas dengan hasil yang diperolehnya. "Kami beruntung mendapatkan lebih dari apa yang kami keluarkan," katanya. Menurut Morris, iklan dan banner adalah cara yang sangat efektif membangun awareness. Semakin sering melihat iklan, orang akan semakin ingin mengetahui merek tersebut.
Namun jika menyimak hasil survei, upaya keras Astaga!com, Catcha.com, maupun Satunet.com sepertinya tidak tergambar. Astaga!com hanya menduduki peringkat ke-7, Satunet.com ke-18, bahkan Catcha.com tidak terdeteksi peringkatnya sama sekali. Ketiga merek situs web ini kalah populer dari Kompas.com, Detikcom dan Republika.com yang praktis lebih low profile dalam beriklan.
Morris menyadari, tidak mudah memopulerkan situs web di Indonesia. Pertama, pengguna Internet masih sangat sedikit, sekitar 1% dari populasi penduduk atau sekitar 1,5 juta orang. Bahkan, catatan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia menunjukkan, pelanggan Internet di Indonesia hanya 300-an ribu. Diproyeksikan hingga akhir 2003 bakal bertambah menjadi 3 juta pelanggan, dengan pasar potensial tak kurang dari 10 juta orang.
Kedua, berdasarkan survei internal, konsumen Astaga!com kebanyakan adalah pengguna Internet berusia 18-36 tahun. "Jadi, berbeda dari survei SWA, 60% pengakses Astaga adalah dari kantor yang terbiasa menggunakan Internet," kata Morris. Artinya, konsumen Astaga!com berasal dari golongan sosial ekonomi A dan B yang memiliki cukup uang untuk berinteraksi dengan Internet. "Dan itu kecil jumlahnya," Morris berkilah. Rupanya, cara mengakses Internet dan pintu masuk yang digunakan untuk itu penting diperhatikan. Berdasarkan sigi SWA-MarkPlus&Co, tempat yang paling sering digunakan untuk mengakses Internet adalah warung Internet (41,1%), lalu kantor (31%), rumah (20,7%) dan kampus/sekolah (7,2%). Berarti, kebanyakan pengguna Internet belum memiliki Internet sendiri, khususnya responden di Yogyakarta (50,6%) dan Medan (74%). Sementara yang menggunakan Internet di kantor, terbanyak dilakukan responden Jabotabek, sebesar (38,3%), menyusul responden Surabaya (32,2%) dan Yogyakarta (30,6%). Kajian terhadap attitude mengakses Internet bisa terungkap dari survei. Yang terutama, pengakses Internet kebanyakan memanfaatkan fasilitas surat-menyurat (e-mail), bobot jumlahnya 5,5. Lalu, mencari hal-hal yang biasa sulit dicari (5,3) dan melakukan riset (4,9), sama bobotnya dengan tujuan melihat situs yang menarik.
Ada kesan, orang tertarik mengakses Internet karena ingin melihat hal-hal yang porno, seperti gambar-gambar "indah" atau mencari orang untuk berhubungan romantis. Ternyata, itu tidak terbukti. Dari survei, hanya diketemukan dalam bobot 2,1 kelompok orang yang sengaja mengakses Internet untuk mengajak berhubungan seks. Bobot lebih besar lagi, 3,1, terdapat pada mereka yang mengakses Internet karena ingin melihat gambar porno, dan kelompok yang mengakses Internet untuk tujuan ingin berhubungan romantis sebesar 3,2.
Bagi Vidi Nur Ma`rufin, Manajer Customized Service Research AC Nielsen, data tersebut berbicara banyak. Yang pasti, ada kelompok pengakses Internet yang mengaku memang tertarik melihat gambar porno. "Pasti, mereka tidak bohong dan data itu akurat," tandasnya. Vidi yakin, ada pengakses yang malu-malu menyatakan terus terang sikap mereka. Orang Timur cenderung menutupi diri tentang hal itu, apalagi melalui survei terbuka. Bahkan asumsinya, semua pengakses Internet pasti pernah membuka situs-situs "wah" yang menarik perhatian. "Saya yakin betul hal itu."
Nurbertus M. Wirawan dari Matahari Putera Prima yang mengembangkan kemeja Stanley Adams menambahkan, kendati cuma kurang dari 30% responden yang mengaku mengakses gambar-gambar porno, tetap merupakan data menarik sebagai target pasar. Sebab, asumsi Nurbertus, mereka yang berterus terang itu akan rela membelanjakan uangnya demi mendapatkan kepuasan yang diharapkan. "Jadi, buat para pemasar, mereka adalah sasaran empuk yang bisa digarap," katanya di sela-sela workshop MarkPlus&Co akhir Mei lalu.
Agaknya memang dibutuhkan survei yang lebih intens menyangkut hal ini. Temuan MarkPlus&Co masih terasa samar-samar, karena tidak diketemukan data lanjutan, seperti dari kalangan mana, apa pekerjaan dan di mana tempat tinggal responden. Sebab, setiap pengakses Internet pasti memiliki kecenderungan-kecenderungan sesuai dengan latar belakang demografis dan psikografisnya.
Yang justru terlihat jelas adalah pilihan situs web yang dikunjungi serta motivasinya. Yang paling sering mereka kunjungi, situs hiburan (bobot 119,1). Lalu, situs berita dan media (112,9), situs komputer dan Internet (110,25) dan situs bisnis dan ekonomi (109,62).
Dalam penjelasan situs hiburan, yang paling dicari adalah gosip artis dan hiburan (65,3%), mendengarkan musik dan lagu (19,6%), mengetahui informasi film (5,8%), surat-menyurat (4,5%) dan informasi cepat dan aktual (3,4%). Sementara untuk situs berita dan media, dasar pilihan responden: mendapatkan informasi dalam dan luar negeri (61,9%), informasi cepat dan aktual (25,3%), menambah wawasan (6,4%), untuk bahan pekerjaan (3,6%) serta untuk pendidikan, pengetahuan dan teknologi (3,6%).
Pilihan-pilihan motivasi di atas terkait sekali dengan pilihan situs web yang dikunjungi. Umpamanya, di situs berita dan media, pilihan jatuh pada Kompas.com (21,28%), Detikcom (20,93%), Yahoo!com (13,67%), Republika (4,84%) dan CNN.com (3,98%). Adapun di situs hiburan, yang terbanyak dikunjungi Yahoo!com (28,11%), MTVasia.com (10,19%), MTV.com (4,53%), MP3.com (3.40%) dan Hotmail.com (3,21%). Untuk situs bisnis dan ekonomi, Yahoo!com (21,94%), Kompas.com (5,10%), Bloomberg.com (3,57%), Astaga!com (2,25%) dan Hotmail.com (2,55%).
Dalam hal ini memang tidak bisa dimungkiri, pentingnya karakter dan asosiasi terkait dengan nama merek yang disandang. Bisa terlihat dari data-data di atas, responden tidak terbaca seperti asumsi semula yang suka dan begitu mudah berpindah alamat, walaupun tinggal klik saja. Itu bisa diketahui dari konsistensi mereka memilih situs sesuai dengan kebutuhan. Walaupun Internet menyediakan fasilitas seperti bookmark atau Favourites dalam Internet Explorer, ternyata hal itu tidak banyak dimanfaatkan. Kebanyakan pengguna Internet hanya mengunjungi situs-situs yang biasa dikunjunginya. Karena itu, tak heran, apabila hasil survei TOM maupun awareness merek Internet terlihat konsisten. Apapun variabel yang digunakan -- materi yang disukai, situs yang sering dikunjungi, maupun informasi yang didapatkan -- semuanya memberi arahan jelas, menunjuk kepada situs yang dikenal. Faktor iklan akhirnya tidak terlalu berpengaruh pada hasil survei, karena, kembali, tidak berkorelasi langsung dengan tujuan dan motivasi pengakses Internet. Apalagi, diketemukan dari responden, mengakses Internet masih merupakan kebutuhan mahal. Mereka harus membayarnya lewat warung Internet.
Salah satu bukti bahwa mind share pengakses Internet sudah terkooptasi dengan motivasi menggunakan Internet, dapat dilihat dari asosiasi merek yang mereka terima. Seperti terlihat tadi, Detikcom menonjol sebagai situs berita yang dicari pengakses Internet. Ternyata betul, asosiasi pengakses Internet terhadap Detikcom menarik disimak. Responden langsung mengasosiasikan sebagai berita aktual/menarik (47,3%), asosiasi sebagai media online (22,4%). Bandingkan dengan Astaga!com. Responden justru paling banyak mengasosiasikan dengan sesuatu yang mengejutkan (30,7%), kemudian berita aktual (21,2%) dan hiburan yang lucu (5,5%).
Jadi, benar seperti kata Al Ries dalam bukunya, The 11 Immutable Laws of Internet Branding: Penggunaan nama harus jernih, fokus dan sederhana. Yang terpenting, jangan sampai terkorelasi dengan hal-hal atau faktor di luar online, sebab akan membuat pengguna Internet kabur. Pilihan itu memang tidak mudah, mengingat kebiasaan-kebiasaan cara berpikir dengan menggunakan medium konvensional. Dalam Internet, kecepatan, kemudahan dan kepercayaan merupakan faktor yang dibutuhkan untuk kegiatan usaha sekaligus membangun merek Internet yang kuat.
Untuk dua hal pertama, kecepatan dan kemudahan, mulai dirasakan pengguna Internet di Indonesia. Namun, untuk faktor terakhir, kepercayaan, membutuhkan waktu lebih lama lagi. Seperti terlihat dari survei, masih sangat sedikit pengguna Internet Indonesia yang memanfaatkan transaksi online, cuma 9,9%. Sisanya, 90,1%, belum pernah memanfaatkan perdagangan elektronik yang konon merupakan muara dari segala aktivitas ber-Internet. Ketika ditanya kenapa mereka enggan melakukan transaksi, jawabnya: tidak punya kartu kredit (19,2%), tidak percaya/khawatir (15,1%), tidak aman (13,6%) dan belum merasa perlu sebanyak (13,1%).
Hasil survei SWA-MarkPlus&Co ini memang tidak mungkin bisa menjawab banyak hal tentang bagaimana membangun merek dan mengelola kinerja merek Internet. Masih amat dini memberikan kesimpulan dalam proses ber-Internet yang tengah berjalan. Namun setidaknya, ada satu hal menarik, ia memberikan gambaran awal tentang pangsa pasar Internet di Indonesia. Mereka -- tunas-tunas yang sedang bertumbuh ini -- memiliki karakter khas yang harus dibaca dengan cerdas oleh para pemasar Indonesia.
Reportase: Taufik Hidayat, Dedi Humaedi dan Eva Martha Rahayu.
Al Ries, pakar pemasaran dari Atlanta, punya mainan baru. Setelah berpuluh tahun menggeluti dunia pemasaran dan pengembangan merek, kini ia mendapatkan medium baru yang disebutnya sangat ajaib: Internet. Dalam teleconference akhir Mei lalu yang diselenggarakan SWA-MarkPlus&Co di Hotel Shangri-la, Al Ries dengan sangat atraktif memperlihatkan daya tarik Internet dan fenomena-fenomenanya yang tak terbantahkan itu. Internet, menurutnya, telah mengubah segalanya, mulai dari kehidupan pribadi seseorang, lingkungan sosial, hingga pekerjaan. "Kendati Anda tidak memiliki situs web, tidak punya bisnis di Internet, ataupun produk dan layanan Anda tidak dijual dan diiklankan di Internet, yakinlah Internet tetap bakal mengubah bisnis Anda," katanya lantang.
Al Ries mengaku termasuk orang yang tersedot magnitude Internet itu. Kalau dulu ia cukup puas bergerak dengan aktivitas konvensional, sekarang sebagian besar kegiatannya justru berhubungan dengan Internet. Setidaknya, beberapa usaha baru yang dijalankan, kegiatan belanja, atau pesan tiket pesawat sekalipun, semua bersinggungan dan memanfaatkan Internet.
Sesungguhnya, bukan hanya Al Ries yang merasakan demikian. Ada ratusan juta orang yang kini hidup di dua dunia: maya dan nyata. Hebatnya, baik dunia maya maupun dunia nyata, keduanya menuntut produk, kualitas kerja dan hasil kerja yang sama bobotnya. Yang membedakan, barangkali, bentuk fisik dan hukum yang mendasari perilaku serta tabiat bisnis masing-masing.
Bagi produsen yang menitipkan sebagian besar hidupnya lewat merek dan penguasaan pasar, harus diakui, Internet bisa mengacaukan keyakinannya. Selama ini mereka tahu persis, untuk membangun merek yang kuat harus bersedia kerja keras dan rajin mengomunikasikan diri lewat promosi dan iklan. Itu dari realitas yang sesungguhnya.
Samakah di dunia maya? Belum tentu. Merek bisa jadi kehilangan arti sama sekali, karena mudahnya pengguna Internet berpindah alamat -- toh tinggal klik saja. Malah, Rhenald Kasali, pengamat pemasaran dan dosen UI, menggambarkan dunia Internet adalah dunia yang sangat kejam. Selain pengguna Internet adalah orang yang paling tidak loyal, juga sulit menaruh kepercayaan pada mereka. Sekali pengguna Internet mengalami kesulitan atau kelambatan dalam mengakses, umpamanya, maka akan sulit mengajak mereka kembali mencoba.
Survei Internet Branding 2000 yang diselenggarakan SWA-MarkPlus&Co, antara lain ingin mendapatkan jawaban atas situasi di simpang jalan ini. Terutama, benarkah loyalitas pengguna Internet terhadap merek- merek tipis? Tepatnya, survei akan mencari tahu merek-merek apa saja yang melekat di benak pengguna Internet Indonesia. Dari hasil sigi diharapkan akan diketahui pangsa pikiran (mind share) pengguna Internet. Ini bisa dilacak lewat pemahaman terhadap merek dan asosiasi yang ditimbulkannya. Pangsa pikiran ini sekaligus merupakan pintu masuk menuju ke hati konsumen (heart share). Dan semua itu akan lebih mudah tergambar, jika diketahui kebiasaan responden ketika mengakses Internet dan memanfaatkan produk-produknya.
Sigi dilakukan Maret-April lalu terhadap 1.100 responden yang tersebar di Jabotabek (450), Bandung (200), Yogyakarta (150), Surabaya (200) dan Medan (100). Mereka dipilih dari latar belakang pekerjaan dan kelas sosial ekonomi yang sangat beragam (lihat Tabel 1). Namun, satu hal sama: responden setidaknya menggakses Internet dua jam atau lebih setiap minggu.
Jadi, ada tiga kelompok responden. Yang pertama, light user, pengguna Internet kurang dari 10 jam/minggu (25%); medium user, pengakses Internet selama 10-40 jam/minggu (50%); dan heavy user, pengguna Internet lebih dari 40 jam/minggu (25%).
Berdasarkan temuan dari semua kelompok responden, ternyata megaportal Yahoo! terpilih sebagai situs paling ngetop dan menancap di benak mereka (39,5%), jauh di atas Hotmail.com yang menduduki peringkat kedua (8,2%), Kompas.com (4,5%), Detikcom (3,6%), Mailcity.com (3,0%), Altavista.com (1,8%), MTVasia.com (1,7%), dan seterusnya (lihat Tabel).
Pun dalam hal awareness, hasilnya tidak jauh berbeda. Yahoo! tetap teratas dengan total awareness sebesar 72,1; diikuti Hotmail.com (28,3), Kompas.com (21,5), Detikcom (18,4), Altavista.com (17,3), Mailcity.com (15,0), dst. (lihat Tabel).
Banyak yang tidak heran dengan temuan itu. Di mata Zuraida Boerhanoeddin, GM Bisnis Internet Indosat, sudah sewajarnya Yahoo! dan Hotmail menonjol di kalangan pengguna Internet di Indonesia, sebab mereka memang pionir di bidang masing-masing: Yahoo! sebagai search engine (mesin pencari) dan Hotmail sebagai webmail gratis. "First market movers inilah yang menurut saya mempengaruhi top of mind dan awareness pengguna," papar Zuraida. Rhenald menambahkan, hampir semua orang yang pernah mengakses Internet pasti pernah mengakses Yahoo! dan Hotmail. Selain situs Yahoo! Memang terlengkap -- ada sekitar 575 mitra kerja yang siap mengisi album megaportal ini -- juga kemudahan mendapatkan alamat e-mail gratis. "Mau cari apa saja, juga ada di sana," ujar Rhenald kepada SWA.
Reputasi Yahoo! memang mengilap. Lihat saja data-data berikut. Sekarang Yahoo! rata-rata dijenguk 145 juta orang lebih/hari. Dari jumlah itu, 125 juta orang di antaranya, menyerahkan data personalnya untuk kepentingan alamat e-mail gratis ataupun titip pesan. Lalu, dari segi pendapatan iklan, juga bisa membuat mata berbinar. Ada sekitar 3.565 pengiklan siap antre mengisi halaman Yahoo!. Juga, lebih dari 10 ribu macam barang dagangan yang ditawarkan melalui Yahoo! dengan harga khusus. Tim Koogle, CEO Yahoo! mengatakan, berkat debut sepanjang tahun, keuntungan Yahoo! dari 1998 ke 1999 meningkat 853%, yakni US$ 15 juta atau sekitar Rp 150 miliar (jika US$ 1 = Rp 10.000) menjadi US$ 143 juta atau Rp 1,07 triliun ( US$ 1 dihitung Rp 7.500). Tahun 2000, diperkirakan seorang analis, Yahoo! masih akan menuai untung dari penjualan iklan dan perdagangan (e-commerce) sebesar US$ 284,5 juta atau sekitar Rp 2,13 triliun.
Popularitas Yahoo! dan Hotmail, diikuti oleh merek situs lokal: Kompas.com dan Detikcom. Keduanya memiliki riwayat kelahiran berbeda, meskipun sama-sama memulai sebagai situs berita. Kompas.com -- disebut Kompas Cyber Media -- lahir dari ibu kandung (harian) Kompas yang sudah dikenal luas oleh masyarakat Indonesia, sedangkan Detikcom lebih merupakan perpanjangan situasi konduksif yang terjadi pada waktu kelahirannya, 9 Juli 1998. Saat itu, masyarakat tengah haus berita politik. Sementara pers cetak masih takut-takut, informasi lewat Internet dianggap lebih asyik. Serta merta Detikcom banyak dicari karena ciri khasnya: memberikan berita-berita terbaru (breaking news).
Rhenald agak heran dengan perimbangan Detikcom dan Kompas.com. Menurutnya, jika yang disurvei adalah orang yang sering menggunakan Internet, mestinya Detikcom lebih baik ketimbang Kompas.com. Apalagi masyarakat Internet, menurutnya, lebih menyukai berita singkat ketimbang ulasan panjang lebar. "Dengan asumsi itu, saya kira Detikcom lebih baik posisinya," ujarnya.
Boleh jadi pendapat Rhenald benar. Seperti terungkap dari temuan, top of mind (TOM) dan awareness Detikcom memang paling kuat di kelompok heavy user. Ada 5,5% heavy user menyebut Detikcom pertama kali, sedangkan di kelompok light user cuma 1,2%. Berbeda dari Yahoo! Di kelompok light user, justru kuat (40,9%), sementara di kelompok heavy user hanya 30,4%. Begitu pula dalam awareness, Detikcom populer di kalangan heavy user (23,7%), berbeda jauh dari kelompok light user (hanya 11,3%).
Namun, kalau dibandingkan dengan Kompas.com, Rhenald lupa dengan kekuatan yang dimilikinya. Pertama, Kompas.com hadir lebih awal sehingga lebih dulu diterima di benak pengguna Internet. Kedua, Kompas.com menyajikan berita lebih beragam ketimbang Detikcom. Setidaknya, pengguna Internet berpersepsi, Detikcom identik dengan berita-berita politik saja, sedangkan Kompas.com menyajikan informasi yang bersifat umum dan menyeluruh.
Memang, karakter produk/merek sangat mempengaruhi penilaian responden. Hal itu bisa terlihat dari total awareness Detikcom di 5 tempat survei. Hanya di Yogyakarta, awareness Detikcom sangat tinggi, mencapai 28,8%, sementara di kota-kota lain, rata-rata hanya 18,4%. Adapun awareness Kompas.com rata-rata hampir sama di 5 kota, yakni sebesar 21,5%. Kenapa? Responden dari Yogyakarta yang terbesar adalah siswa/mahasiswa (36,9%), sementara pegawai swasta cuma 20,6%, wirausahawan 15,6%, pegawai negeri 3,6% serta dosen/pengajar 7,5% (lihat Tabel). Dengan konfigurasi responden seperti itu, tidak mengherankan jika Detikcom yang identik dengan informasi berita politik sangat kuat awareness-nya di Yogyakarta.
Berbeda dari Kompas.com. Awareness-nya rata-rata cukup kuat di setiap wilayah survei. Di Medan 38,0%, Jabotabek 25,9%, Yogyakarta 23,8%, Bandung 12,7% dan Surabaya 11,2%. Ini menandakan, tidak ada dominasi kuat atas karakterisasi Kompas.com di semua wilayah di Indonesia.
Dalam membangun awareness dan TOM merek situs web, diakui Budiono Darsono, Direktur Detikcom, banyak aspek yang harus diperhatikan. Pertama, karakter. Betapapun, merek Internet seperti halnya produk lain di dunia nyata, harus memiliki karakter yang membedakannya dari yang lain. Misalnya, karakter Detikcom pada sisi breaking news, itu merupakan kekuatan untuk menjadi daya jualnya.
Walaupun belakangan Detikcom mengubah dirinya menjadi portal, menurut Budiono, daya jual sebagai breaking news tetap dipertahankan. "Meskipun sebagian kalangan menganggap Detikcom bisa gagal dalam mengubah posisinya dari breaking news ke portal, tapi kami yakin lewat portal justru akan bisa memberikan layanan lebih banyak ke pengakses Detikcom," paparnya sambil menunjukkan fasilitas Detikcom: searching, chatting, e-mail, informasi kurs, konsultasi kesehatan, dsb.
Aspek lain, sosialisasi. Ini juga pekerjaan cukup berat bagi Detikcom. Pasalnya, Detikcom lahir bersamaan dengan membanjirnya gosip di seputar pemerintahan. Detikcom khawatir dianggap sebagai bagian dari penyebar gosip. Karena itu, menurut Budiono, ia berupaya meyakinkan orang agar percaya terhadap berita yang disajikan Detik.com. Caranya? Menulis berita dengan menerapkan konsep 5W dan 1 H (what, where, why, who, when dan how) yang bisa dicek kebenarannya. Dari pengalaman Budiono, ternyata hal itu lambat laun bisa mempengaruhi persepsi masyarakat, dan nama Detikcom menguat.
Iklan harus diakui termasuk bagian dari sosialisasi awareness dan TOM merek. Seperti dalam kehidupan dunia nyata, promosi dan iklan merupakan bagian penting dari kekuatan produk. Siapa yang tidak bisa mempertahankan promosi dan program periklanannya, jangan heran kalau produknya akan lebih mudah dicampakkan dari benak konsumen. Lihat saja, hasil survei TOM merek yang dilakukan SWA setiap tahun. Hampir dipastikan, merek-merek ngetop itu paling konsisten berkomunikasi dengan pasar. Seperti Sunsilk dan Clear yang TOM-nya tertinggi (peringkat 1 dan 2) pada 1999. Ternyata, menurut AC Nielsen, masing-masing menghabiskan anggaran iklan 1999 sebesar Rp 75 miliar dan Rp 84,2 miliar. Angka fantastis ini menunjukkan betapa mahalnya membangun merek, dan betapa produsen berlomba-lomba meraihnya.
Di dunia maya, persoalannya tidak jauh berbeda. Pelajaran berharga baru saja diperoleh dari Astaga!com, Satunet.com, maupun Catcha.com. Beberapa bulan lalu, ketiganya jorjoran mengguyur tubuhnya dengan iklan. Puluhan miliar dana iklan amblas dalam sekejap. Sebagai gambaran, Astaga!com menghabiskan anggaran US$ 7,5 juta untuk kampanye komunikasi yang digarap oleh PerwanalD`Arcy hanya dalam waktu tak kurang dari 6 bulan. Begitu pula Catcha.com menghabiskan anggaran US 1 juta untuk kegiatan komunikasi periklanan melalui biro iklan Publicis-Inovasi.
Hasilnya? Jonatan Morris, CEO Astaga!com, mengatakan cukup puas dengan hasil yang diperolehnya. "Kami beruntung mendapatkan lebih dari apa yang kami keluarkan," katanya. Menurut Morris, iklan dan banner adalah cara yang sangat efektif membangun awareness. Semakin sering melihat iklan, orang akan semakin ingin mengetahui merek tersebut.
Namun jika menyimak hasil survei, upaya keras Astaga!com, Catcha.com, maupun Satunet.com sepertinya tidak tergambar. Astaga!com hanya menduduki peringkat ke-7, Satunet.com ke-18, bahkan Catcha.com tidak terdeteksi peringkatnya sama sekali. Ketiga merek situs web ini kalah populer dari Kompas.com, Detikcom dan Republika.com yang praktis lebih low profile dalam beriklan.
Morris menyadari, tidak mudah memopulerkan situs web di Indonesia. Pertama, pengguna Internet masih sangat sedikit, sekitar 1% dari populasi penduduk atau sekitar 1,5 juta orang. Bahkan, catatan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia menunjukkan, pelanggan Internet di Indonesia hanya 300-an ribu. Diproyeksikan hingga akhir 2003 bakal bertambah menjadi 3 juta pelanggan, dengan pasar potensial tak kurang dari 10 juta orang.
Kedua, berdasarkan survei internal, konsumen Astaga!com kebanyakan adalah pengguna Internet berusia 18-36 tahun. "Jadi, berbeda dari survei SWA, 60% pengakses Astaga adalah dari kantor yang terbiasa menggunakan Internet," kata Morris. Artinya, konsumen Astaga!com berasal dari golongan sosial ekonomi A dan B yang memiliki cukup uang untuk berinteraksi dengan Internet. "Dan itu kecil jumlahnya," Morris berkilah. Rupanya, cara mengakses Internet dan pintu masuk yang digunakan untuk itu penting diperhatikan. Berdasarkan sigi SWA-MarkPlus&Co, tempat yang paling sering digunakan untuk mengakses Internet adalah warung Internet (41,1%), lalu kantor (31%), rumah (20,7%) dan kampus/sekolah (7,2%). Berarti, kebanyakan pengguna Internet belum memiliki Internet sendiri, khususnya responden di Yogyakarta (50,6%) dan Medan (74%). Sementara yang menggunakan Internet di kantor, terbanyak dilakukan responden Jabotabek, sebesar (38,3%), menyusul responden Surabaya (32,2%) dan Yogyakarta (30,6%). Kajian terhadap attitude mengakses Internet bisa terungkap dari survei. Yang terutama, pengakses Internet kebanyakan memanfaatkan fasilitas surat-menyurat (e-mail), bobot jumlahnya 5,5. Lalu, mencari hal-hal yang biasa sulit dicari (5,3) dan melakukan riset (4,9), sama bobotnya dengan tujuan melihat situs yang menarik.
Ada kesan, orang tertarik mengakses Internet karena ingin melihat hal-hal yang porno, seperti gambar-gambar "indah" atau mencari orang untuk berhubungan romantis. Ternyata, itu tidak terbukti. Dari survei, hanya diketemukan dalam bobot 2,1 kelompok orang yang sengaja mengakses Internet untuk mengajak berhubungan seks. Bobot lebih besar lagi, 3,1, terdapat pada mereka yang mengakses Internet karena ingin melihat gambar porno, dan kelompok yang mengakses Internet untuk tujuan ingin berhubungan romantis sebesar 3,2.
Bagi Vidi Nur Ma`rufin, Manajer Customized Service Research AC Nielsen, data tersebut berbicara banyak. Yang pasti, ada kelompok pengakses Internet yang mengaku memang tertarik melihat gambar porno. "Pasti, mereka tidak bohong dan data itu akurat," tandasnya. Vidi yakin, ada pengakses yang malu-malu menyatakan terus terang sikap mereka. Orang Timur cenderung menutupi diri tentang hal itu, apalagi melalui survei terbuka. Bahkan asumsinya, semua pengakses Internet pasti pernah membuka situs-situs "wah" yang menarik perhatian. "Saya yakin betul hal itu."
Nurbertus M. Wirawan dari Matahari Putera Prima yang mengembangkan kemeja Stanley Adams menambahkan, kendati cuma kurang dari 30% responden yang mengaku mengakses gambar-gambar porno, tetap merupakan data menarik sebagai target pasar. Sebab, asumsi Nurbertus, mereka yang berterus terang itu akan rela membelanjakan uangnya demi mendapatkan kepuasan yang diharapkan. "Jadi, buat para pemasar, mereka adalah sasaran empuk yang bisa digarap," katanya di sela-sela workshop MarkPlus&Co akhir Mei lalu.
Agaknya memang dibutuhkan survei yang lebih intens menyangkut hal ini. Temuan MarkPlus&Co masih terasa samar-samar, karena tidak diketemukan data lanjutan, seperti dari kalangan mana, apa pekerjaan dan di mana tempat tinggal responden. Sebab, setiap pengakses Internet pasti memiliki kecenderungan-kecenderungan sesuai dengan latar belakang demografis dan psikografisnya.
Yang justru terlihat jelas adalah pilihan situs web yang dikunjungi serta motivasinya. Yang paling sering mereka kunjungi, situs hiburan (bobot 119,1). Lalu, situs berita dan media (112,9), situs komputer dan Internet (110,25) dan situs bisnis dan ekonomi (109,62).
Dalam penjelasan situs hiburan, yang paling dicari adalah gosip artis dan hiburan (65,3%), mendengarkan musik dan lagu (19,6%), mengetahui informasi film (5,8%), surat-menyurat (4,5%) dan informasi cepat dan aktual (3,4%). Sementara untuk situs berita dan media, dasar pilihan responden: mendapatkan informasi dalam dan luar negeri (61,9%), informasi cepat dan aktual (25,3%), menambah wawasan (6,4%), untuk bahan pekerjaan (3,6%) serta untuk pendidikan, pengetahuan dan teknologi (3,6%).
Pilihan-pilihan motivasi di atas terkait sekali dengan pilihan situs web yang dikunjungi. Umpamanya, di situs berita dan media, pilihan jatuh pada Kompas.com (21,28%), Detikcom (20,93%), Yahoo!com (13,67%), Republika (4,84%) dan CNN.com (3,98%). Adapun di situs hiburan, yang terbanyak dikunjungi Yahoo!com (28,11%), MTVasia.com (10,19%), MTV.com (4,53%), MP3.com (3.40%) dan Hotmail.com (3,21%). Untuk situs bisnis dan ekonomi, Yahoo!com (21,94%), Kompas.com (5,10%), Bloomberg.com (3,57%), Astaga!com (2,25%) dan Hotmail.com (2,55%).
Dalam hal ini memang tidak bisa dimungkiri, pentingnya karakter dan asosiasi terkait dengan nama merek yang disandang. Bisa terlihat dari data-data di atas, responden tidak terbaca seperti asumsi semula yang suka dan begitu mudah berpindah alamat, walaupun tinggal klik saja. Itu bisa diketahui dari konsistensi mereka memilih situs sesuai dengan kebutuhan. Walaupun Internet menyediakan fasilitas seperti bookmark atau Favourites dalam Internet Explorer, ternyata hal itu tidak banyak dimanfaatkan. Kebanyakan pengguna Internet hanya mengunjungi situs-situs yang biasa dikunjunginya. Karena itu, tak heran, apabila hasil survei TOM maupun awareness merek Internet terlihat konsisten. Apapun variabel yang digunakan -- materi yang disukai, situs yang sering dikunjungi, maupun informasi yang didapatkan -- semuanya memberi arahan jelas, menunjuk kepada situs yang dikenal. Faktor iklan akhirnya tidak terlalu berpengaruh pada hasil survei, karena, kembali, tidak berkorelasi langsung dengan tujuan dan motivasi pengakses Internet. Apalagi, diketemukan dari responden, mengakses Internet masih merupakan kebutuhan mahal. Mereka harus membayarnya lewat warung Internet.
Salah satu bukti bahwa mind share pengakses Internet sudah terkooptasi dengan motivasi menggunakan Internet, dapat dilihat dari asosiasi merek yang mereka terima. Seperti terlihat tadi, Detikcom menonjol sebagai situs berita yang dicari pengakses Internet. Ternyata betul, asosiasi pengakses Internet terhadap Detikcom menarik disimak. Responden langsung mengasosiasikan sebagai berita aktual/menarik (47,3%), asosiasi sebagai media online (22,4%). Bandingkan dengan Astaga!com. Responden justru paling banyak mengasosiasikan dengan sesuatu yang mengejutkan (30,7%), kemudian berita aktual (21,2%) dan hiburan yang lucu (5,5%).
Jadi, benar seperti kata Al Ries dalam bukunya, The 11 Immutable Laws of Internet Branding: Penggunaan nama harus jernih, fokus dan sederhana. Yang terpenting, jangan sampai terkorelasi dengan hal-hal atau faktor di luar online, sebab akan membuat pengguna Internet kabur. Pilihan itu memang tidak mudah, mengingat kebiasaan-kebiasaan cara berpikir dengan menggunakan medium konvensional. Dalam Internet, kecepatan, kemudahan dan kepercayaan merupakan faktor yang dibutuhkan untuk kegiatan usaha sekaligus membangun merek Internet yang kuat.
Untuk dua hal pertama, kecepatan dan kemudahan, mulai dirasakan pengguna Internet di Indonesia. Namun, untuk faktor terakhir, kepercayaan, membutuhkan waktu lebih lama lagi. Seperti terlihat dari survei, masih sangat sedikit pengguna Internet Indonesia yang memanfaatkan transaksi online, cuma 9,9%. Sisanya, 90,1%, belum pernah memanfaatkan perdagangan elektronik yang konon merupakan muara dari segala aktivitas ber-Internet. Ketika ditanya kenapa mereka enggan melakukan transaksi, jawabnya: tidak punya kartu kredit (19,2%), tidak percaya/khawatir (15,1%), tidak aman (13,6%) dan belum merasa perlu sebanyak (13,1%).
Hasil survei SWA-MarkPlus&Co ini memang tidak mungkin bisa menjawab banyak hal tentang bagaimana membangun merek dan mengelola kinerja merek Internet. Masih amat dini memberikan kesimpulan dalam proses ber-Internet yang tengah berjalan. Namun setidaknya, ada satu hal menarik, ia memberikan gambaran awal tentang pangsa pasar Internet di Indonesia. Mereka -- tunas-tunas yang sedang bertumbuh ini -- memiliki karakter khas yang harus dibaca dengan cerdas oleh para pemasar Indonesia.
Reportase: Taufik Hidayat, Dedi Humaedi dan Eva Martha Rahayu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar