Bisnis Media: Menuju Konvergensi dan Go International
Kamis, 13 September 2007
Oleh : Eva Martha Rahayu
Kiprah keluarga Sariaatmadja di bisnis media kian ekspansif. Sejumlah terobosan dilancarkan, seperti mengakuisisi O Channel, memindahkan operasinya ke kantor yang lebih modern dan hi-tech, memelopori layanan mobile TV, dan siap-siap mengglobalkan program news channel-nya. Prospeknya?
“Selama dua bulan terakhir, SCTV berada di posisi satu,” begitu pengakuan Alex Kumara, Presdir ANTV yang pernah menjabat Dirut SCTV. Eksekutif kawakan di bisnis pertelevisian ini juga menyebut dalam tiga tahun terakhir baru tiga stasiun TV yang sudah mampu mencatat keuntungan, dengan salah satunya adalah SCTV (dua lainnya adalah RCTI dan TransTV). “Sebagai dirut, sangat besar andil Fofo Sariaatmadja. Ia owner yang merangkap profesional. Fofo sudah tepat mengelola SCTV,” mantan pentolan di RCTI ini menilai. Alex juga menyebut keberhasilan SCTV berkat tayangan sinetron remajanya.
Itu penilaian seorang praktisi senior. Ternyata, data lembaga riset independen pun memperlihatkan kinerja kinclong SCTV. Berdasarkan data Nielsen Media Research, dalam lima tahun terakhir SCTV selalu masuk tiga besar peraup belanja iklan nasional. Lihatlah, pada 2002 SCTV di posisi ketiga dengan meraup iklan Rp 1,71 triliun (20,40%). Bahkan, di tahun 2003 duduk di urutan pertama dengan mengantongi iklan Rp 2,07 triliun (17,80%). Lalu, pada 2004 di posisi ketiga dengan menggaet iklan Rp 1,92 triliun (12,40%). Selanjutnya, pada 2005 di peringkat kedua dengan nilai iklan Rp 2,20 triliun (12,40%), dan 2006 nangkring di nomor dua dengan perolehan iklan Rp 2,63 triliun (12,80%).
Bukan hanya pencapaian nilai belanja iklan, dari sisi potensi jumlah penonton, rating SCTV pun berada di urutan teratas. Menurut survei Media Scene 2006-2007 mengenai rating beberapa stasiun TV terhadap potensi penonton TV nasional, SCTV meraih angka 53% untuk potensi penonton dibandingkan dengan total populasi. Menyusul di belakangnya: RCTI, Indosiar, TransTV, dan MetroTV.
Bagi keluarga Sariaatmadja, SCTV bukan hanya perusahaan media kesayangan, tapi juga yang pertama dimilikinya. Keluarga ini masuk ke SCTV sejak 2001 melalui PT Abhimata Mediatama dengan menguasai 49,62% saham PT Surya Citra Media Tbk. (SCM). Di tahun 2002 Abhimata meningkatkan kepemilikan sahamnya menjadi 50%. Pada 2005 giliran PT Ciptabumi Sacna (milik Henry Pribadi) memasrahkan 473 juta saham SCM miliknya ke Abhimata. Selanjutnya, kepemilikan saham keluarga Sariaatmadja di SCM menjadi lengkap 100% setelah membeli sisa saham PT Indika Multimedia (milik Agus Lasmono).
Toh, tak puas hanya dengan SCTV, pada Agustus 2004 keluarga Sariaatmadja menggandeng PT Mugi Rekso Abadi (MRA) mengibarkan bendera PT Omni Intivisual – yang mengudarakan O Channel – dengan kepemilikan saham 50:50. Awal 2007, MRA merelakan seluruh saham miliknya kepada keluarga Sariaatmadja, sehingga stasiun yang satu ini pun 100% dipegang Sariaatmadja.
Agresivitas keluarga Sariaatmadja di bisnis media, tak berhenti sampai di situ. Keluarga ini juga disebut-sebut akan mengakuisisi Indosiar. Kabar yang beredar, akan terjadi transaksi tukar guling antara lahan sawit Lonsum milik keluarga Sariaatmadja dengan Indosiar milik Anthony Salim.
Jika benar Indosiar bakal melengkapi SCTV dan O Channel, lantas bagaimana keluarga Sariaatmadja mengelola ketiga stasiun TV ini agar tidak tumpang-tindih? Menurut Fofo Sariaatmadja, Presdir SCTV sekaligus Wapreskom SCM, SCTV akan dibawa go international. Pihaknya sudah melakukan trial 24 jam news channel. Adapun O Channel akan diposisikan sebagai broadcaster komersial, bukan broadcaster gaya hidup. Menurutnya, meski O Channel termasuk televisi lokal semacam Jak TV, program tayangannya unik dan eksklusif. Misalnya, tayangan rekomendasi resto di Jakarta atau home shopping di Korea. Indosiar bagaimana? Fofo tak mau bicara panjang-lebar, dengan alasan transaksi tukar guling itu belum resmi berlangsung.
Ekspansi keluarga Sariaatmadja di bisnis media khususnya pertelevisian ini tentu bukan tanpa alasan. “Visi kami simpel saja, (membangun) media bersinergi,” tandas Fofo. Menurutnya, sinergi bisa dari berbagai sisi antara media satu dengan yang lain. Misalnya, kini mereka sudah punya media online, yakni Liputan 6 Dotcom, yang akan dikembangkan sebagai media berbasis teknologi dengan jangkauan ke masyarakat yang lebih luas.
Liputan 6 Dotcom sudah menyediakan fasilitas video-on-demand. Kini juga sudah dikembangkan fitur full page screen on laptop. Dukungannya bukan dari unit bisnis yang mengelola bisnis teknologi informasi (TI) keluarga ini, melainkan tim baru yang dibentuk SCTV sendiri. Emtek memberikan dukungan dalam hal penyediaan backbone TI, sebab infrastruktur TI dalam grup bisnis ini nantinya memang hendak disatukan.
Pendeknya, dengan penguasaan di bidang teknologi, keluarga Sariaatmadja akan terus membenahi fasilitas operasional unit-unit bisnisnya, termasuk di bisnis media. Di antaranya bakal diterapkan sistem baru yang paperless saat awak SCTV sudah berkantor di Senayan City (setelah pindah dari kantor di Jl. Gatot Subroto). Di kantor baru yang dilengkapi teknologi mutakhir itu tersedia studio dengan teknologi wireless. “Kami juga ingin semua data bisa online dan dapat langsung diakses,” ujar Fofo. Menurutnya, SCTV boleh dianggap sebagai pilot project, hingga berikutnya juga akan diterapkan ke O Channel dan unit bisnis lainnya.
Visi besar keluarga Sariaatmadja sendiri di dunia bisnis adalah fokus di bidang teknologi, media dan telekomunikasi (TMT). Media hanyalah salah satu unsur, karena ketiga bidang itu sudah konvergen. Alhasil, produk yang dihasilkan juga produk-produk konvergensi. Contohnya, dengan berkembangnya new media, maka orang nonton TV bisa lewat mobile phone.
Satu hal lainnya yang dipastikan Fofo, yakni keluarga Sariaatmadja tidak akan pernah melakukan intervensi dalam masalah pemberitaan SCTV. Hal ini dibenarkan oleh Rosiana Silalahi. “Dalam sejarah Liputan 6 dari dulu hingga sekarang, pemegang saham dan manajemen tidak pernah ikut campur,” Pemimpin Redaksi Liputan 6 SCTV itu menegaskan.
Bagaimana dalam hal manajemen dan kepemimpinan? “Perubahan mendasar kepemimpinan keluarga Sariaatmadja belum terasa, kecuali mereka lebih ketat dalam keuangan. Mungkin karena mereka banyak investasi di peralatan baru dan teknologi. Sebenarnya pemilik yang sekarang cukup bagus, karena tidak bergaya mentang-mentang bos. Mereka bergaul dengan karyawan, akrab dan mau menegur,” tutur seorang karyawan yang minta dirahasiakan identitasnya. Di luar urusan bisnisnya, SCTV sudah punya program sosial (CSR) yang cukup dikenal khalayak, yakni Pundi Amal SCTV.
Alex Kumara melihat investasi pemilik baru SCTV di bidang teknologi karena melihat era pertelevisian di Indonesia pun akan mengarah ke digitalisasi. “Sah-sah saja kalau SCTV mau duluan,” katanya. Soal peluangnya ke depan, ia memprediksi nanti hanya ada tiga pemilik stasiun TV yang juga profesional yang punya peluang bertahan, yakni: Harry Tanoesoedibyo, keluarga Sariaatmadja dan Anindya Bakrie. Toh, menurutnya, mereka belum tentu jadi raja media baru. Mengapa? “Kalau mereka mengembangkan medianya dengan canggih, tapi masyarakat tidak mampu, siapa yang mau pakai? Bisnis harus dipikirkan dari dua arah. Kalau penerimanya tidak ada, bagaimana?” katanya. Situasi persaingan yang ketat juga diingatkan Karni Ilyas. “Persaingannya sangat ketat dalam hal memperebutkan kue iklan, sehingga mayoritas TV berdarah-darah,” ujar Ketua Asosiasi Pengusaha Televisi Swasta Indonesia itu. Apalagi, lanjutnya, biaya produksi program juga melonjak, rata-rata berkisar Rp 300-350 juta/program, sehingga membuat para pemainnya kesulitan mencetak untung.
Toh, Ade Salustra Widjaja tetap optimistis dengan masa depan SCTV. Ia berharap brand SCTV makin kuat ke depan. Untuk target keuangan, ia mengaku tidak ambisius, terutama untuk beberapa tahun pertama. Sebab, pihaknya lebih banyak berinvestasi dalam pengembangan SDM dan peralatan baru. “Mungkin setelah tahun ketiga atau keempat barulah kami berorientasi profit,” kata Direktur Keuangan/Komersial SCTV itu.
BOKS:
Fofo Sariaatmadja:
Tujuan Kami Bukan (Menjadi)The King of Media
Keluarga Anda tidak punya latar belakang bisnis media, mengapa tertarik?
Kami memang tidak punya background di bisnis media. Tapi, sudah jauh hari kami melihat adanya konvergensi bisnis media. Ke depan, bisnis media pasti akan tergantung pada teknologi, berubah dari analog ke digital.
Mengapa pilihannya SCTV?
Kesempatannya ada, memang SCTV yang available. Panjang ceritanya.
Bagaimana dengan Indosiar?
Mancing? Tunggu waktunya deh. Ambil TV yang sudah ada saja, karena bikin yang baru itu capek.
Positioning-nya bagaimana ketiga TV itu?
Segmentasi pasar tidak boleh tumpang-tindih. Jangan jadi kanibal. Kami harus jaga ribuan mulut lho. Sebab, pegawai kami 1.200-an orang, kalau dirata-rata satu keluarga ada empat orang anggota, ya sekitar 5.000 mulut.
Bagaimana agar SCTV dan Indosiar tidak tumpang-tindih?
Memang tidak bisa dihindari akan ada tumpang-tindih, tapi harus diminimalisasi. Ada lah caranya supaya tidak begitu.
Ke depan SCTV akan dibawa ke mana?
Untuk SCTV kami akan bawa go international. Kami sudah trial 24 jam news channel. Kami ingin buat news channel seperti CNN, Fox News, Aljazeera, atau CNBC. Kalau mereka bisa, mengapa SCTV tidak? Payungnya memang di bawah SCTV, tapi news channel ini seolah-olah terpisah. Holding tetap di Emtek yang juga membawahkan SCM.
Bagaimana arah pemberitaan SCTV?
Sekarang gaya pemberitaan SCTV sedikit banyak berubah, mengikuti perjalanan umur pertelevisian. Masyarakat sudah paham dengan demokrasi, politik, dan pendidikan sosial juga meningkat. Tentunya, ekspektasi berita yang keras-keras sudah agak luntur. Yang disukai tergantung pada konteks generasinya. Kami selalu memikirkan bagaimana pengembangan news. Di usianya yang ke-11, visi Liputan 6 SCTV yang memiliki awak redaksi 250 orang itu, ke depan adalah mendunia. Sudah tidak bisa lagi kayak katak dalam tempurung. Tapi, tetap sesuai dengan pakem: aktual, tajam, dan terpercaya.
Ada rencana masuk media cetak?
Kami tidak akan masuk ke media cetak, karena akan bersaing dengan teman-teman sendiri.
Media lain?
Untuk radio, sedang kami pikir-pikir, belum tentu terjun ke sana. Kami konsentrasi ke new media saja. Lebih baik bekerja sama dengan banyak radio, ketimbang menguasai radio. Tujuan kami bukan menjadi the king of media. Kami tidak muluk-muluk dulu dalam pengembangan bisnis multimedia ini. Semuanya harus jadi satu. Kami konsentrasikan dan kembangkan yang ada sekarang.
Holding, bisnisnya apa? Mana yang jadi cash cow?
Superholding di Emtek, SCM di bawahnya. Kontribusi pendapatan SCTV ke holding 50%, sisanya disumbang dari grup teknologi dan komunikasi, distribusi, bisnis satelit, dan nonmedia. Jadi cash cow kami berimbang.
Reportase: Herning Banirestu, Eddy Dwinanto Iskandar, Afiff Maulana Dewanda. Riset: Asep Rohimat.
URL : http://www.swa.co.id/swamajalah/sajian/details.php?cid=1&id=6529
Tidak ada komentar:
Posting Komentar