Minggu, 08 Februari 2009

Raja-Raja TV: Raja TV ... Raja Akuisisi

Selasa, 19 Desember 2006 10:35 WIB - wartaekonomi.com

Bisnis TV milik Hary Tanoe, Chairul Tanjung, dan Anindya Bakrie besar berkat akuisisi. Mereka menguasai Rp10,5 triliun belanja iklan dan memikat 70,3% pemirsa TV. Bisnis ini tak sekadar menjanjikan keuntungan ekonomi, tetapi juga pengaruh politik.

Chairul Tanjung bukan ahli nujum. Namun, ia berani meramalkan, “Hanya ada tiga orang yang akan menjadi penguasa industri TV nasional.” Kini, ramalan pemilik Trans TV itu mulai mendekati kenyataan. Memang saat ini masih ada 10 stasiun TV swasta. Namun, para penguasa bisnis media TV tak lebih dari tiga pemain.

Bergabungnya TV7 dan Trans TV, ANTV dan Lativi, menyusul RCTI, TPI, dan Global, mengakibatkan peta industri TV berubah total. Simak catatan AGB Nielsen Media Research, lembaga pemeringkat acara TV. Hingga kuartal ke-3 tahun 2006, pendapatan iklan hanya dikuasai oleh Hary Tanoesoedibjo, Chairul Tanjung, dan Anindya N. Bakrie. Ketiganya menguasai Rp10,5 triliun belanja iklan, atau 71,8% dari total yang Rp14,7 triliun.

Porsi terbesar diraup Grup Media Nusantara Citra (MNC). Perusahaan milik Hary Tanoe ini, melalui tiga stasiun TV-nya (RCTI, TPI, dan Global), sukses meraup Rp4,8 triliun atau 32,9% dari total belanja iklan TV. Urutan ke-2 diduduki stasiun TV milik Chairul Tanjung, Trans TV dan TV7, dengan Rp3,4 triliun (23,2%). Anindya N. Bakrie, melalui ANTV dan Lativi, berhasil memperoleh pendapatan Rp2,3 triliun (15,7%), berada pada peringkat ke-3.

Sementara itu, dari penguasaan pasar (audience share) ketiganya sukses menjaring 70,3% pemirsa. Rinciannya, Hary Tanoe di posisi pertama dengan audience share 35,7%. Berikutnya, Chairul Tanjung dan Anindya Bakrie dengan masing-masing 21,1% dan 13,5%.

Akuisisi

Saat ini ada tiga stasiun TV yang belum diakuisisi, yaitu SCTV, Indosiar, dan Metro TV. Akankah mereka hanya tinggal menunggu waktu untuk diakuisisi? “Sebab, kalau hanya mengandalkan modal kuat, tetapi terus merugi, tak akan mampu bertahan di industri ini,” kata pengamat media Arswendo Atmowiloto.

Itulah yang dialami TV7. Dana US$20 juta (sekitar Rp200 miliar) yang digelontorkan Kelompok Kompas Gramedia sebagai modal awal hanya mampu menopang selama lima tahun. Demikian juga Lativi milik bos Pasaraya, Abdul Latief, kini tergerus rugi dan di ambang kebangkrutan. Sejak tahun 2003 Latief tak lagi mampu membayar utang ke Bank Mandiri yang besarnya Rp450 miliar, sebelum Capital Managers Asia (CMA), perusahaan investasi milik Grup Bakrie yang juga pemenang 80% saham ANTV, menalangi utang tersebut. CMA menyetor lebih dari Rp200 miliar kepada Bank Mandiri.

Sebenarnya, ANTV juga sempat mengalami masalah serupa. Tahun 2002 perusahaan ini hampir bangkrut. Hanya, ANTV berhasil merestrukturisasi 80% utangnya menjadi penyertaan modal. “Kini, utang kami nol,” kata Anindya. Namun, yang membuat ANTV “kuat” adalah masuknya Star TV Hong Kong milik taipan media Rupert Murdoch, yang membeli 20% saham ANTV, sebagai investor. Sekadar informasi, News Corp., perusahaan milik Murdoch, tahun lalu total pendapatannya mencapai US$24 miliar.

Merger dan akuisisi tampaknya menjadi jawaban yang pas bagi stasiun TV yang terus merugi. “Sekarang semuanya harus efisien. Biaya produksi dan membangun infrastruktur makin mahal. Merger jadi jalan paling aman bagi media yang terus rugi,” analisis Amelia Hezkasari Day, pengamat media dari Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Intinya, jika biaya dapat dihemat, pendapatan akan meningkat.

Selain itu, merger juga membuat pangsa pasar stasiun TV kian luas. Menurut David Fernando Audy, head of investor relations MNC, kini pengiklan makin selektif. Dalam memasang iklan, selain rating, mereka juga melihat segmentasi stasiun TV yang bersangkutan. “Kalau hanya punya satu, kami tak akan mampu memenuhi semua selera konsumen,” tutur David, yang menganggap merger adalah cara paling masuk akal untuk menjangkau semua pengiklan.

Tak Sekadar Bisnis

Bisnis TV memang menggiurkan. Belanja iklan, seperti kata Ignatius Haryanto, pendiri dan wakil direktur Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP), memang sangat menjanjikan, mencapai Rp17 triliun dan tumbuh 30% per tahun. Dari jumlah tersebut, industri pertelevisian meraup hampir 70%-nya. Sisanya yang 30% dibagi ke media lain.

Selain motif ekonomi, bisnis TV juga memberikan keuntungan politis. “Mereka butuh televisi untuk mengontrol pemberitaan,” tegas Haryanto. Soal ini, Ishadi S.K., presdir Trans TV, tak membantah. “Tak ada bisnis lain yang memiliki kekuatan seperti media TV, yang mempunyai pengaruh ekonomi sekaligus politik,” kata mantan dirut TVRI itu.

Diakui atau tidak, media TV ibarat pisau bermata ganda. Ia bisa dimanfaatkan untuk memberikan informasi yang dibutuhkan masyarakat, tetapi juga bisa digunakan untuk memoles atau merusak citra seseorang. Media TV sangat efektif untuk mempengaruhi opini masyarakat. Tak heran, Arswendo berani bertamsil, “Siapa yang menguasai industri televisi, ia akan menguasai negeri ini.”

Ini Dia para Raja TV!

Anindya N. Bakrie
Anindya adalah anak sulung Aburizal Bakrie, Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat. Tahun 2002, dalam usia 27 tahun, Anin ditunjuk menjadi presdir ANTV, yang saat itu tengah dililit kredit macet. Lulusan MBA dari Stanford Graduate School of Business, AS, ini membuktikan kepiawaiannya ketika berhasil merestrukturisasi 80% utang ANTV menjadi penyertaan saham. Tahun 2005 Anin melakukan gebrakan dengan menggandeng Star TV Hong Kong, milik Rupert Murdoch. Selain di ANTV, Anin juga menjadi CEO di Capital Managers Asia (Singapura) dan Bakrie Telecom.

Chairul Tanjung
Riza Primadi, eksekutif Astro TV, menyebut Chairul Tanjung sebagai pebisnis sejati. Pria kelahiran Jakarta, 18 Juni 1962 ini telah terjun ke bisnis sejak masih kuliah di Fakultas Kedokteran Gigi, Universitas Indonesia. Gemerlap bisnisnya mulai terlihat setelah mengambil alih Bank Mega pada 1996. Chairul terjun ke bisnis TV pada 2001. Bersama Ishadi S.K., Alex Kumara, dan Riza Primadi, Chairul mendirikan Trans TV. Hanya dalam tempo setahun, menurut survei Nielsen Media Research, Trans TV telah menempati peringkat ke-5 peraih iklan terbanyak dari 10 stasiun TV yang ada. Setelah berhasil mengambil TV7, santer diberitakan Chairul sedang mengincar Indosiar.

Hary Tanoesoedibjo
Hary Iswanto Tanoesoedibjo, akrab dipanggil Hary Tanoe, awalnya seorang fund manager. Pria asal Surabaya ini masuk ke industri TV setelah membeli saham Bimantara, perusahaan induk RCTI, pada 2002. Menurut Temi Efendi, wakil dirut PT Infokom Elektrindo, salah satu anak perusahaan Bimantara, visi bosnya adalah menjadi perusahaan media terintegrasi. Tak heran jika di tangan pria 41 tahun ini Bimantara makin mengarah ke bisnis media. Selain mengakuisisi TPI dan Global TV, Hary juga merambah radio dan media cetak.

Di Balik Kunjungan Om Liem
Trans TV dikabarkan akan membeli Indosiar. Siapa berminat dengan SCTV dan Metro?
Suatu hari di bulan Agustus 2006, stasiun TV Indosiar yang berlokasi di Jl. Daan Mogot, Jakarta Barat, kedatangan tamu istimewa: Liem Sioe Liong. Angin apa yang mengantarkan Om Liem ke sana? Kasak-kusuk yang beredar, ini terkait dengan rencana penjualan Indosiar ke Trans TV.

Benarkah? “Itu tak benar,” bantah Andreas Ambesa, corporate secretary PT Indosiar Karya Medika, induk perusahaan Indosiar. Meski demikian, Andreas membenarkan jika Om Liem memang datang ke Indosiar tiga bulan yang lalu. “Tapi, itu hanya kunjungan biasa,” kata Andreas.

Om Liem menguasai 28% saham Indosiar. Tahun lalu, stasiun TV swasta ini merugi Rp183 miliar. Anindya Bakrie menyebut kondisi Indosiar saat ini tak berbeda dengan ANTV ketika hampir bangkrut akibat dililit kredit macet.

Andreas sendiri tak mengelak jika ada investor yang mau masuk. “Jika Trans TV mau, kami welcome saja,” katanya seraya melanjutkan, “sekarang kan musimnya gabung.” Amelia Hezkasari Day dari Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) ikut menguatkan Andreas. Menurut Amelia, kepada KPI manajemen Indosiar mengatakan akan melakukan kerja sama produksi. “Dengan siapa, mereka tak mau bilang,” kata Amelia.

Kalau semua mata tertuju kepada Chairul Tanjung, bukan sesuatu yang mengejutkan. Chairul memang dekat dengan keluarga Salim. “Hubungan saya dengan Anthony Salim sangat baik,” ungkap Chairul. Paparnya, pertemanannya dengan keluarga Om Liem dimulai ketika ia menalangi BCA saat mengalami rush pada 1998. Setelah itu, merebak kabar keluarga Salim ikut memiliki saham di Grup Para, induk Trans TV. Dirut Trans TV, Ishadi S.K., membantah kabar itu. Namun, ketika isu pembelian TV7 meruyak, baik Chairul maupun Ishadi juga berkali-kali membantah.

Jika benar Indosiar jadi dibeli Trans TV, bagaimana dengan SCTV dan Metro TV? Wakil direktur Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP), Ignatius Haryanto, menilai SCTV dan Metro TV masih akan berdiri sendiri. “Meski Metro berdarah-darah, ego Surya Paloh masih dominan,” kata Haryanto. Sementara itu, kondisi keuangan dan infrastruktur SCTV masih tergolong baik. Meski begitu, ramal Haryanto, ke depan, industri TV hanya akan dikuasai tiga orang saja: Hary Tanoe, Chairul Tanjung, dan Anindya Bakrie. Nah, “Raja” mana yang akan mengambil Indosiar, SCTV, atau Metro TV? Kita tunggu.

PRAYOGO P. HARTO, EVI RATNASARI, HOUTMAND P. SARAGIH, DAN MUDJIONO

http://www.wartaekonomi.com/search_detail.asp?aid=8181&cid=24&x=televisi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar