Jum'at, 19 Januari 2007 13:36 WIB - wartaekonomi.com
Kembali bangkitnya Grup Bakrie sekarang ini masih tak lepas dari kelihaian mereka memanfaatkan utang untuk berekspansi, terutama dengan menjaminkan saham.
Kembali bangkitnya Grup Bakrie sekarang ini masih tak lepas dari kelihaian mereka memanfaatkan utang untuk berekspansi, terutama dengan menjaminkan saham.
Bukan Bakrie namanya jika tak pandai bersiasat. Demikian penilaian umum pelaku dunia usaha, khususnya pelaku pasar modal di Tanah Air, terhadap Grup Bakrie. Dan, itu memang terbukti.
Akibat krisis moneter 1997, kelompok usaha yang dirintis Achmad Bakrie sejak 1945 ini harus rela kehilangan banyak aset berharganya, termasuk kepemilikan saham di PT Bakrie & Brothers Tbk. Di maskot Grup Bakrie itu, saham keluarga Bakrie tinggal 2,5% setelah restrukturisasi pada 2001.
Namun, sejak itulah Grup Bakrie, yang sekarang dikendalikan anak dan cucu Achmad Bakrie, mulai bangkit kembali. Bahkan, keluarga Bakrie telah mampu membeli kembali saham di PT Bakrie & Brothers Tbk. dan jumlahnya sudah di atas 30%. Selain perusahaan itu, sekarang makin berkibar pula perusahaan-perusahaan milik Grup Bakrie lainnya, seperti PT Bumi Resources Tbk., PT Energi Mega Persada Tbk., PT Bakrie Telecom Tbk., dan PT Cakrawala Andalas Televisi (ANTV).
Thomas Wibisono, direktur Pusat Data Bisnis Indonesia (PDBI), menilai kunci sukses Grup Bakrie dalam mempertahankan eksistensinya adalah mereka rela kehilangan kepemilikan mayoritas di perusahaannya pada saat dilakukan restrukturisasi. Sebab, pada akhirnya mereka akan bisa membeli kembali saham perusahaan itu. Apalagi perusahaan mereka telah menjadi perusahaan terbuka. “Jadi, tidak tertutup kemungkinan mereka bisa membeli lagi di bursa ketika harga rendah,” jelas Thomas.
Sementara itu, Dandossi Matram, pengamat pasar modal, lebih melihat kebangkitan Grup Bakrie mulai terlihat nyata ketika PT Bumi Modern Tbk. (yang kemudian bernama PT Bumi Resources Tbk.) melakukan rights issue (pelepasan saham baru untuk menambah modal perusahaan) pada 2000 dengan nilai fantastis Rp9,3 triliun. Ketika itu, langkah Bakrie ini banyak membuat masyarakat pasar modal di Tanah Air tercengang-cengang. Pasalnya, nilai rights issue itu jauh lebih besar dibanding aset yang dimiliki perusahaan. PT Bumi Modern Tbk. (BM) saat itu hanya memiliki aset berupa sebuah hotel yang berlokasi di negara Uzbekistan.
Selain itu, “rayuan” rights issue kepada 47,98% pemegang saham independen BM makin kontroversial karena 99,36% dana hasil rights issue direncanakan bakal digunakan untuk mengakuisisi 97,5% saham Gallo Oil Ltd., sebuah perusahaan minyak yang beroperasi di negara Yaman. Rencana itu diibaratkan katak hendak mencaplok lembu. Maka, banyak pelaku pasar modal ketika itu curiga aksi rights issue tersebut tak lebih merupakan langkah akuisisi internal Grup Bakrie dan mark-up nilai aset Gallo Oil Ltd. guna membayar utang Grup Bakrie ke Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang per 31 Desember 1999 tercatat masih sebesar Rp4,3 triliun. Tentu saja Grup Bakrie membantah semua dugaan itu.
Masih Menggunakan Pola Klasik
Bercermin dari kasus rights issue BM itulah kemudian Dandossi menilai Grup Bakrie sebenarnya memainkan jurus yang sama dalam membesarkan kembali kejayaan bisnisnya seperti sebelum krisis 1997, yaitu dengan berutang. Bagaimana detailnya? Dandossi menjelaskan saham-saham di perusahaan-perusahaan publik milik Grup Bakrie itulah yang kemudian menjadi jaminan utang mereka kepada kreditur.
Jadi, perusahaan-perusahaan publik itu melakukan emisi saham guna mendapatkan aset (yang sebetulnya juga diperoleh dari utang). Aset riil itu menghasilkan dana segar atau prospek. Berbasiskan aset dasar (underlying asset) tersebut, saham perusahaan publik itu lantas dijaminkan ke kreditur guna memperoleh dana ekspansi lebih jauh lagi dan penyelesaian utang-utang mereka. Skema semacam ini terus digulirkan sehingga nilai perusahaan-perusahaan publik itu terus meningkat dan bisnis Grup Bakrie pun makin ekspansif. Apalagi indeks harga saham sekarang sedang tinggi-tingginya sehingga Grup Bakrie pun bisa memperoleh pinjaman yang lebih besar lagi.
Mengapa kreditur bersedia meminjamkan dana kepada perusahaan publik milik Grup Bakrie itu? “Tentu saja karena aset dasarnya bernilai tinggi, seperti PT Kaltim Prima Coal dan PT Arutmin Indonesia, mereka pun bersedia,” ujar Dandossi. Dan, Grup Bakrie lebih banyak membidik kreditur asing karena bunganya lebih rendah dan dalam mata uang asing.
Penilaian yang sama juga datang dari Thomas Wibisono. “Mereka masih menggunakan pola-pola klasik dengan mencari pinjaman,” ungkap Thomas. Bedanya, jika sebelum krisis utang itu sebagian besar didapat langsung dari kreditur, maka setelah krisis utang itu sebagian besar didapat melalui rights issue. “Rights issue adalah sumber pendanaan terbesar mereka sekarang,” ujarnya.
Thomas mencontohkan PT Bakrie & Brothers Tbk. yang melalui rights issue pada tahun 2005 berhasil mengumpulkan dana Rp1,9 triliun. Sementara pinjamannya cuma sekitar Rp1,07 triliun, baik lewat bank maupun lewat lembaga keuangan lainnya. Thomas melihat semua anak perusahaan Grup Bakrie memang didorong mencari pendanaan melalui rights issue. Misalnya, PT Bakrie Telecom Tbk. yang baru saja melakukan penawaran perdana kepemilikan saham kepada publik.
Sumber Warta Ekonomi mengungkapkan, selain utang, kemampuan Grup Bakrie membangun berbagai proyek sebetulnya dibiayai juga oleh para pemasok dan kontraktornya. “Ini kredit juga sebenarnya, dan, hebatnya, merupakan dana segar yang tidak memakai bunga,” katanya. Ia mengkhawatirkan, jika Grup Bakrie terlalu agresif berutang, seperti terlihat di pasar utang sekarang, dan tak pandai-pandai menghitung kapasitas, apalagi ada kasus Lapindo, itu bisa membahayakan Grup Bakrie karena membuat mereka berpotensi kolaps lagi pada satu saat.
Menanggapi hal itu, Dandossi mengungkapkan sejak dulu Grup Bakrie sudah terkenal sebagai kelompok usaha yang sangat berani untuk urusan risiko. “Mereka memang high risk taker,” ujarnya. Yah, begitulah Bakrie.
FADJAR ADRIANTO DAN EVI RATNASARI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar