Rabu, 14 April 2010

Televisi Batavia

SURATKABAR dan televisi di Indonesia punya sejarah kepemilikan berbeda. Harian macam Kompas, Suara Merdeka (Semarang), Waspada (Medan) atau Pedoman Rakyat (Makassar), sekadar menyebut contoh, dibangun oleh barisan wartawan dengan modal ala kadarnya. Televisi lain. Media ini kebanyakan dibangun oleh pengusaha bermodal besar, yang kebanyakan memiliki cakar bisnis di banyak sektor.

Kita bisa memulainya dari Trans TV, salah satu stasiun televisi termuda. Resmi mengudara pada 15 Desember 2001, Trans TV mengiringi pasang naik pertumbuhan media sesudah kekuasaan Presiden Soeharto berakhir. Seluruh saham Trans TV dikuasai Chairul Tanjung lewat kepemilikan 99,99 persen PT Para Inti Investindo, dan sisanya PT Para Investindo. Keduanya dari kelompok bisnis Grup Para milik Tanjung.

Siapakah Chairul Tanjung? ”Dia seorang pebisnis sejati. Produk utamanya bisnis,” kata Riza Primadi. Riza bekas wartawan BBC London, kini masuk Astro Nusantara, perusahaan penyedia layanan televisi berlangganan. Riza ikut mengembangkan stasiun televisi SCTV dan terakhir Trans TV. Saat membidani Trans TV, Riza berkongsi bersama Alex Kumara, mantan direktur operasional RCTI, dan Ishadi SK, mantan direktur TVRI.

Riza merasa oke saja bekerja untuk Tanjung ketika ikut mendirikan Trans TV. ”Perusahaannya tidak ada yang masuk BPPN, tidak pernah kena kasus kriminal, tidak kayak sebagian besar konglomerat kita. Buat saya itu sebuah hal yang membanggakan. Buat saya sama sekali tidak ada masalah.” BPPN adalah akronim dari Badan Penyehatan Perbankan Nasional.

Tanjung kelahiran Jakarta 1962. Sejak kuliah Tanjung sudah berbisnis. Sepuluh tahun kemudian dia punya kelompok usaha bernama Para Group. Awalnya, kelompok ini mendirikan usaha ekspor sepatu anak-anak. Modal sebesar Rp 150 juta berasal dari Bank Exim.

Tanjung mengembangkan cakar bisnisnya lewat Bandung Supermall. Dia juga menguasai Bank Mega yang dibeli pada 1996 dari kelompok Bapindo. Bank Mega waktu itu dalam keadaan sakit-sakitan. Setelah diambil Tanjung, Bank Mega pelan-pelan mengalami perbaikan. Pada 28 Maret 2001, bank ini berhasil mencatatkan saham perdana di Bursa Efek Jakarta seharga Rp 1.125 per lembar.

Dua tahun kemudian, dalam sebuah wawancara dengan Warta Ekonomi, Chairul Tanjung mengatakan bahwa Bank Mega menjadi sumber dana (cash cow) terbesar bagi Grup Para. “Kontribusinya sekitar 40 persen.”

Kontribusi Trans TV juga tidak kecil. Sekurang-kurangnya Trans TV sudah mengalami break event point by operation pada tahun kedua. Artinya, sudah tak perlu kucuran dana lagi dari pemilik. “Kalau tidak salah sekitar bulan Mei 2003,” ujar Riza Primadi.

Titik balik keberhasilan Trans TV berlangsung sejak kuartal satu 2002. Menurut survei Nielsen Media Research, saat itu Trans TV berada di peringkat kelima sebagai peraih iklan terbanyak dari 10 stasiun televisi. Nominalnya sebesar Rp 149,2 milyar.

STASIUN SCTV juga sepenuhnya didirikan, dikuasai, dan dikelola pengusaha besar. Orang-orang ”Cendana” –pengusaha yang dekat dengan keluarga Soeharto– macam Sudwikatmono, Peter Gontha, Henry Pribadi, Halimah Bambang Triatmodjo, dan Azis Mochtar pernah menguasainya. Kini SCTV dikuasai pengusaha besar lain: keluarga Sariaatmadja.



Bisnis keluarga ini teknologi informasi. Mulanya, mereka masuk SCTV melalui PT Abhimata Mediatama pada 2002. Belakangan mereka tampil sebagai pemilik mayoritas PT Surya Citra Media Tbk, induk perusahaan SCTV, setelah membeli sisa saham PT Citrabumi Sacna milik Henry Pribadi dan PT Indika Multimedia kepunyaan Agus Lasmono, anak Sudwikatmono.

Dalam struktur komisaris SCTV keluaran 2003, keluarga Sariaatmadja diwakili oleh Eddy Kusnadi Sariaatmadja dan adiknya, Fofo Sariaatmadja. Eddy berusia 52 tahun, sedang Fofo 42 tahun. Keduanya meraih master of engineering science dari Universitas New South Wales, Australia. Filosofi hidup Fofo adalah kebersamaan. Idolanya, Bill Gates.

Di samping menguasai PT Abhimata Mediatama, kelompok bisnis Sariaatmadja juga punya beberapa perusahaan yang masih berafiliasi dengan grup ini antara lain PT Abhimata Citra Abadi, PT Abhimata Persada, PT Bitnet Komunikasindo, dan PT Elang Mahkota Teknologi.

Semua dikonsolidasikan dalam Grup Elang Mahkota Teknologi –disingkat Emtek. Pada 1980-an, Emtek adalah pemegang lisensi tunggal komputer merek Compaq di Indonesia. Grup ini juga disinyalir jadi pemasok kebutuhan komputer dan teknologi informasi di sejumlah departemen pada masa pemerintahan Soeharto.

Pesatnya pertumbuhan televisi lokal sejak Soeharto mundur, mendorong keluarga ini menggandeng kelompok penerbitan Mugi Rekso Abadi (MRA). Mereka mendirikan O Channel, televisi lokal Jakarta, dengan banyak acara kehidupan metropolitan: makanan, pesta, pakaian, dan gaya hidup.

Amelia Hezkasary Day dari Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) mengatakan bahwa kiprah Sariaatmadja tidak lepas dari dukungan modal Singleton Group dari Australia. Perusahaan yang dimaksud oleh Miladay –panggilan akrab Amelia Hezkasary Day– tak lain sebuah konglomerat bisnis layanan komunikasi dari Australia, mulai jaringan radio, televisi, kehumasan, sampai periklanan. Mereka juga bergerak dalam bantuan operasi bisnis dan manajemen keuangan media.

Singleton Group Limited adalah hasil metamorfosis dari John Singleton Advertising Limited (JSA) pada 1996. Singleton Group sendiri sejak 2002 sebenarnya sudah melebur ke dalam payung konglomerasi STW Communications Group Limited, biasa disingkat SGN. Dalam profil perusahaan ini terdapat nama John Singleton, pendiri-cum-pemegang saham terbesar. John Singleton, menurut Miladay, teman kuliah Sariatmadja di Australia.


JUMAT, 30 September lalu, ANTV bikin geger jagat televisi Batavia: di Executive Club Hotel Hilton Jakarta, direktur utama PT Cakrawala Andalas Televisi, perusahaan ANTV, Anindya Novyan Bakrie mengumumkan pembelian secara langsung 20 persen saham ANTV oleh Star TV milik baron media global Rupert Murdoch.

Anin adalah anak tertua Aburizal Bakrie, kini Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat, dari kelompok bisnis keluarga Bakrie. Ini salah satu keluarga besar juga di Batavia. Kelompok ini punya usaha sektor properti antara lain lewat Bakrieland, jasa keuangan lewat Bakrie Investindo dan Bakrie Internasional Finance, serta di sektor telekomunikasi ada PT Bakrie Telecom, produsen Esia, penyedia layanan telepon seluler CDMA (Code Division Multiple Access).

Anin mengatakan bahwa saham yang dibeli Murdoch ini adalah saham baru. Komposisi pemilik saham lama tak berubah. Siapa pemilik sisanya?

Menurut Perubahan Akta Perubahan Anggaran Dasar PT Cakrawala Andalas Televisi, yang dikeluarkan pada 2004, ANTV dimiliki PT Bakrie Investindo dengan 191.443 saham, PT CMA Indonesia 60.000 saham, PT Bune Era Mandiri 53.880, PT Satria Cita Perkasa 457.378, dan PT Kencana Cita Kusuma 72.222. Sedang Nirwan Dermawan Bakrie, paman Anin, sebagai pemilik perorangan dengan 87.108 saham.

PT CMA Indonesia pernah jadi pemegang saham mayoritas ketika ANTV tersuruk dalam utang Rp 1,2 trilyun pada 2002. Perusahaan fund management ini adalah perusahaan bentukan para pemilik piutang yang menyetujui konversi utangnya dalam saham kepemilikan. Di sini, Anin duduk sebagai direktur utamanya.

Masuknya Murdoch ke ANTV menambah fragmentasi bisnis pertelevisian. Menurut film dokumenter Outfoxed: Rupert Murdoch’s War on Journalism, besutan sutradara Robert Greenwald, Murdoch sedikitnya menguasai 300 saluran televisi, puluhan perusahaan film, dan jaringan bioskop. Murdoch memegang News Corporation dan Fox News, dua konglomerasi media besar dunia. Dia menguasai tiga penerbit buku: HarperCollins, ReagenBooks, dan Zondervan Christian Publisher.

Jika ditotal, seluruh perusahaan Murdoch melayani tiga per empat penduduk bumi. Murdoch punya kuku di ratusan suratkabar di Australia, Fiji, Papua New Guinea, Inggris, maupun Amerika Serikat. Di televisi, Murdoch menguasai jaringan Fox Station Group, BSkyB di Inggris, Sky Italia, Sky Amerika Latin, Foxtel Australia, DirectTV Group Amerika Utara dan Latin, serta Star TV untuk wilayah Asia.

Secara modal, investasi Murdoch di ANTV tentu tak seberapa. Majalah Newsweek menilai harga saham ANTV yang dibeli Murdoch kurang dari US$20 juta. Tapi kehadiran Murdoch di Jakarta menandai makin terbukanya pasar televisi di Indonesia. Integrasi dengan pasar global makin dekat. Kehadiran Murdoch mengubah peta kepemilikan televisi secara cepat. Ada kecenderungan perusahaan internasional lain, termasuk Astro TV dari Malaysia, akan merambah Indonesia.

Investor-investor ini datang, baik Murdoch maupun Bakrie, bukan karena mereka mau melayani publik, macam suratkabar awal, tapi karena bisnis televisi mendatangkan banyak uang. Bayangkan, ada pasar konsumen sebesar 220 juta orang? Diatur secara terpusat dengan aturan hukum lemah? Birokrasi mudah disuap dan publik yang tidak kritis terhadap media? Data Nielsen Media Research 2005, menunjukkan angka 82 persen untuk konsumsi televisi dari total konsumsi media selama 2004.

Masih menurut Nielsen Media Research, televisi mengeruk sekitar Rp 16 trilyun, atau sekitar 70 persen dari total belanja iklan yang mencapai Rp 23 trilyun pada 2005. Disusul suratkabar dan majalah, masing-masing dengan 26 persen dan 5 persen.


SIAPA pemilik Lativi? Saluran televisi ini didirikan dan dikuasai oleh Alatief Corporation milik Abdul Latief, seorang pengusaha dan playboy yang pernah diangkat Soeharto jadi Menteri Tenaga Kerja. Mulai siaran Agustus 2001, awalnya stasiun televisi ini bernama Pasaraya Mediakarya untuk keperluan lini bisnis Latief lainnya, ritel pakaian Pasaraya. Baru setelah hendak mengudara, perusahaan ini berganti nama menjadi PT Lativi Mediakarya.

Perubahan itu tercatat dalam Perubahan Anggaran Dasar PT Pasaraya Mediakarya yang ditandatangani di hadapan notaris Vita Buena pada 7 Agustus 2000, dan disahkan dalam Tambahan Berita Negara nomor 24/1837 tahun 2001.

Saya tak menemukan nama Abdul Latief dalam dokumen itu. Namun, saya menemukan nama Usman Ja’far duduk sebagai direktur utama. Usman Ja’far, orang Melayu, tangan kanan Latief dan pernah menjabat komisaris Pasaraya. Sekarang, Ja’far jadi gubernur Kalimantan Barat.

Mencuatnya kredit macet Bank Mandiri senilai Rp 1,5 trilyun pada Mei 2005 menjadi babak kelam televisi ini. Televisi ini mendapat kredit Rp 328,52 milyar. Direktur Lativi Hasim Sumiana, pengganti Usman Ja’far, sempat ditetapkan tersangka. Nama Abdul Latief dan Usman sendiri diseret-seret sebagai saksi.

Soal iklan, menurut Gunawan Alif dari majalah periklanan Cakram, Lativi menempati peringkat kedelapan. Tak berbeda jauh dari ANTV maupun TV7 yang menempati posisi keenam dan ketujuh. ”Mereka bertahan karena program Spongebob dan tayangan yang esek-esek,” kata Alif kepada saya. Spongebob adalah film kartun anak-anak yang bercerita soal kehidupan binatang bawah laut.

”Kalau mereka tak berhasil menaikkan rating, itu akan sulit,” tambah Alif. ”Karena lima besar kan kebanyakan televisi lama yang sudah terbentuk.”

Di tengah kondisi timpang ini, kabar masuknya dana swasta internasional –seperti halnya Murdoch di ANTV– menyeruap di Lativi. Kali ini yang datang adalah TV3, yang dimiliki oleh Media Prima Berhad-MPB dari Malaysia. Media Prima diketahui juga pemilik 43 persen saham harian New Straits Times.

Miladay dari KPI mengatakan bahwa bentuk hubungan Lativi dan TV3 ini kayak penanaman modal asing. TV3 akan menyuntikkan dana dan Lativi akan melakukan restrukturisasi utangnya. Struktur kepemilikannya akan berubah. Tapi ini tidak untuk sekarang.

Di luar Lativi dan ANTV, stasiun televisi TV7 juga sempat dikabarkan hendak dimasuki modal internasional. TV7 berbeda kepemilikannya dengan stasiun-stasiun lainnya. TV7 berdiri di lingkungan Kelompok Kompas Gramedia, suatu kelompok bisnis yang dikenal sebagai pemain kuat di sektor media. Tapi benarkah kelompok ini melulu mengurusi media? Tidak juga. Dalam kelompok tersebut ada juga bisnis perhotelan, perdagangan, dan jaringan toko buku Gramedia.

Lebih dari itu, TV7 ternyata tak secara eksplisit menyebut Kelompok Kompas Gramedia selaku pemiliknya. Dalam kopian anggaran dasar televisi ini, saya mencatat ada enam pihak pemiliknya. Tiga perorangan, tiga perusahaan.

Tiga pemegang saham perorangannya adalah Sukoyo (3.000 saham atau 1%), Yongky Sutanto (10.500 saham atau 3,5%), dan Lanny Irawati Lesmana (5,5%). Tiga nama perusahaan pemilik TV7 adalah PT Teletransmedia (48%), PT Transito Tatamedia (38,7%), dan PT Duta Panca Pesona (3,3%).

Dari penelusuran saya, Lanny Irawati Lesmana punya hubungan darah dengan Karna Brata Lesmana, presiden direktur PT Inter Delta Tbk, distributor peralatan fotografi produksi Canon dan Kodak Imaging Group. Di TV7, dia juga punya ketersinggungan dengan PT Duta Panca Pesona. Sementara Sukoyo seorang pengusaha tambak udang asal Jawa Timur. Awalnya, dialah pemegang izin siaran PT Duta Visual Nusantara, perusahaan TV7. Kelompok Kompas Gramedia lantas membelinya dan mengubah namanya jadi PT Duta Visual Nusantara Tivi Tujuh. “Sukoyo sendiri dapat banyak duit dari hasil penjualan ini,” kata Miladay. Dia lantas bikin stasiun televisi lokal Jakarta bernama Space Toon.

Saat Murdoch hendak deal dengan ANTV, stasiun TV7 santer disebut akan dibeli oleh Murdoch. Namun hal ini dibantah pihak TV7. ”Sampai sekarang belum ada kabar dari atasan, Mas,” kata Moko Pamungkas, jurubicara humas TV7, kepada saya.

Uni Lubis, wakil pemimpin redaksi TV7, mengatakan hal yang sama. ”Kita selalu ada rapat tiap Kamis di Palmerah (kantor pusat kelompok Kompas), tapi soal itu tak penah disinggung pimpinan,” kata Uni. Struktur kepemilikannya masih seperti semula.


DEMI mengamankan kepentingan Cendana, dulu lima stasiun televisi pertama yang muncul di zaman Soeharto, pemiliknya bisa dipastikan adalah orang-orang di lingkungan Cendana. Mulai dari Bambang Triatmodjo, Siti Hardijanti Rukmana, Sudwikatmono, Sudono Salim, sampai Peter Gontha.

Sekarang trennya berubah ke arah liberalisme ekonomi. Pemain luar negeri dapat berkecimpung langsung sebagai pemilik. Dasar aturannya Pasal 17 Undang-Undang Penyiaran tahun 2002.

Aturan itu membolehkan investor mancanegara memiliki langsung maksimal 20 persen dari seluruh modal sebuah televisi. Namun, warga negara luar Indonesia hanya boleh menempati dua posisi perusahaan: bagian teknik dan bagian keuangan.

Tapi, realitas menunjukkan, stasiun-stasiun televisi besar di Indonesia, taruhlah Indosiar dan RCTI, belum lagi lepas dari jejaring Cendana itu.

Indosiar, misalnya, tak bisa dilepaskan dari gurat bisnis Sudono Salim, taipan terbesar di zaman Soeharto. Generasi kedua keluarga Salim, Andree Halim dan Anthony Salim, pada 1999 tercatat menjadi pemiliknya. Proporsi kepemilikannya sama. Masing-masing 50 persen.

Ketika krisis ekonomi, Grup Salim memang sempat terhuyung-huyung oleh utang. Asetnya macam BCA ditarik oleh BPPN. Indosiar termasuk juga. Biar lebih mudah dalam mengelolanya, oleh BPPN, dibikinlah holding company baru khusus untuk menampung perusahaan-perusahaan Salim. Namanya PT Holdiko Perkasa.

Pada tahun yang sama, 1999, terjadi perubahan struktur kepemilikan. Holdiko masuk dan langsung memegang separuh saham Indosiar. Kepemilikan Salim muda dikonversi ke saham sisanya. Kali ini mereka tak muncul secara perorangan, tapi masuk lewat jalur perusahaan lain bernama PT Prima Visualindo. Kakak-beradik, Andree dan Anthony, punya masing-masing 33,3 persen di perusahaan ini. Waktu itu Indosiar belum tercatat di bursa. Masih perusahaan tertutup.

Tahun berikutnya, 2001, perbandingan saham Holdiko dengan PT Prima Visualindo mengalami perubahan. Berat sebelah. Holdiko menguasai 67, 37 persen, sedang PT Prima Visualindo 32, 67 persen.

Seperti balon udara, saham Holdiko di Indosiar, kian hari kian menipis. Saya kutip dari Proposal Penyediaan Jasa di BPPN yang dikeluarkan PT Trimegah Securities, Tbk, pada akhir tahun 2001 itu, saham Holdiko menyusut hingga tinggal 8,26 persen. Majalah Trust menduga Salim ada di balik kasus penyusutan ini.

Buktinya, Salim juga menguasai PT Prima Visualindo, pemilik 27,74 persen saham Indosiar. Di dokumen pendirian perusahaan ini, nama Salim memang tak disebut. Yang tercatat adalah Widodo Purnomosidi sebagai direktur utama saat PT Prima Visualindo didirikan tahun 1990.

Purnomosidi juga ikut mendirikan Indosiar bersama Karel Budiman. Dalam arsip milis apakabar, saya menemukan nama duo Salim, Purnomosidi dan Karel Budiman, tergabung dalam PT Pertiwi Asri, perusahaan pengembang yang pernah bermasalah dengan Departemen Kehutanan.

Sedang lewat PT TDM Asset Management, Salim punya 29,02 persen saham Indosiar, dan di PT Prima Visualindo punya 27,74 persen. Salim berhasil tampil sebagai pemilik mayoritas Indosiar kembali. Kendali Indosiar pun kembali ke tangan keluarga Salim. Saat itu Indosiar sudah listing di bursa efek dengan holding PT Indosiar Visual Mandiri Tbk. Nama emitennya IDSR. Publik menguasai 43,24 persen saham.

Sudah jadi pemegang mayoritas, tak membuat langkah Salim di Indosiar mentok. Strategi menguasai kembali lewat dua kaki ini terbukti berhasil di perusahaan induk televisi berpusat di Cengkareng ini. Taktik Salim berikutnya adalah mengurangi kepemilikan publik sekaligus menambah porsi kepemilikannya. Salim lantas bikin holding company baru, menggantikan IDSR di bursa. Senin, 4 Oktober 2004. Namanya PT Indosiar Karya Media Tbk. Emitennya tercatat IDKM. PT Indosiar Visual Mandiri delisting.

Angky Handoko, direktur utama Indosiar mengatakan, ”Pergantian holding ini diharapkan akan memudahkan perusahaan melakukan ekspansi usaha ke sektor multimedia lainnya.”

Tapi analis menduga ini hanya akal-akalan untuk menutupi usaha ekspansi Salim. Faktanya, di holding baru, kepemilikan sahamnya melonjak tajam, mencapai 95,24 persen melalui PT Prima Visualindo. Maka, episode kepemilikan Indosiar adalah episode bisnis Salim.


BAGAIMANA dengan RCTI? Lingkaran keluarga Cendana terasa kental di sana. Lebih-lebih setelah RCTI, TPI, dan Global TV bersinergi di bawah satu payung raksasa perusahaan media: Media Nusantara Citra dari Bimantara Citra Tbk.

Bimantara sendiri adalah perusahaan yang didirikan di Jakarta pada 1981 dengan motor trio Bambang Triatmodjo, anak ketiga Soeharto, beserta dua rekan sekolahnya, Rosano Barack dan M. Tachril Sapi’ie.

Lengsernya Soeharto bikin bisnis anak-anaknya pontang-panting. Anak dan kroni Soeharto berdatangan ke pengadilan. Buat para investor, berbisnis dengan mereka serasa haram. Apalagi meliriknya. Itu pernah dialami Bimantara Citra. Tudingan perusahaan yang identik dengan Cendana –lewat Bambang Triatmodjo– belum bisa lekang. Harga sahamnya stagnan. Investor masih was-was dengan cap rezim Soeharto yang antidemokrasi, korup, dan terlibat pembunuhan jutaan orang.

Sampai 2001, Bambang Tri masih jadi mayoritas dengan 31,49 persen. Dia masuk lewat PT Asriland.

Kondisi demikian sepertinya tak berlaku buat Bambang Hary Iswanto Tanoesoedibjo –yang akrab dipanggil Hary Tanoe, pialang muda Tionghoa asal Surabaya. Hary Tanoe justru datang dan masuk seperti pahlawan penyelamat. ”Hary Tanoe bukan orang media, dia fund manager yang tahu gimana uang beredar,” komentar Miladay dari KPI.

Pada 2002, Hary Tanoe masuk dan langsung menggerus saham milik Bambang Tri. Hary Tanoe langsung kuasai 24,94 persen lewat Bhakti Investama. Saham Asriland susut tinggal 12,37 persen. Jadi mayoritas. Saham Bimantara di lantai bursa pun terus bergairah merangkak naik.

Tahun-tahun berikutnya ditandai pasang-surut. Asriland sempat menambah pundi sahamnya jadi 14,20 persen, dan Bhakti Investama bertambah jadi 37,33 persen. Pada 2004, Bhakti Investama jadi 39,60 persen, dan Asriland mengalami antiklimaks. Turun jadi 11,39 persen. Sisanya dimiliki oleh Almington Asset Limited, Astroria Development Limited, PT Sinarmas Sekuritas, PT Rizki Bukit Abadi, dan PT Matra Teguh Abadi masing-masing dengan 10,89 persen; 5,59; 5,41; 4,15; dan 0,78. Selebihnya dimiliki masyarakat dan koperasi sebesar 22,19 persen.

Bimantara adalah sub-holding Bhakti Investama di bidang media dan penyiaran. Khusus untuk mengonsolidasikan usaha bidang penyiaran, dibikinlah PT Media Nusantara Citra yang 99,99 persen sahamnya dikuasai Bimantara Citra. Sisanya, 0,01 persen dimiliki PT Infokom Elektrindo, masih anak perusahaan Bimantara Citra. Sekarang sub dari sub-holding Bhakti Investama ini menguasai 100 persen saham di RCTI dan Global TV.

Bagaimana jejak Bimantara di TPI? Di stasiun televisi swasta tertua ketiga Indonesia, Bimantara menyisakan 25 persen saham buat Siti Hardijanti Rukmana –alias Tutut, anak tertua Soeharto yang juga pemilik lama.

Artine Utomo, chief executive operation TPI, mengatakan kepada saya bahwa Bimantara diminta masuk TPI atas permintaan Tutut dua setengah tahun lalu. Tutut langsung yang meminta ke Bambang Tri. ”Perusahaan ini hampir dipailitkan karena utang. Terus Bimantara masuk. Jadi ini rescue operation, meski banyak orang yang mengira kita ambil alih,” kata Artine.

”Jadi bukan Bimantara yang mengambil alih?” tanya saya.

”Itu cerita asalnya. Kita tidak tahu setelah kita masuk, sekarang menjadi seperti ini.”

Bimantara juga membidik pasar media cetak dengan membikin majalah Trust, dan sempat menempatkan Artine sebagai direktur di sini. Di samping itu, Bimantara juga membuat tabloid Genie, dan menerbitkan koran Seputar Indonesia.

Ekspansi media kelompok Bimantara tak berhenti di sini. Di ranah radio, konglomerasi ini memiliki Radio Trijaya Network yang membawahkan sejumlah radio di Indonesia macam Radio Dangdut 97.1 FM, Women Radio 94.3 FM, dan Radio Arif Rahman Hakim (ARH) 88.4 FM.

Sari Widuri, penyiar Women Radio, punya analisis tersendiri dengan kepemilikan macam ini. ”MNC itu ibarat giant yang ingin menguasai media. Radio dan televisi sepertinya dikonsolidasikan. RCTI diklopkan dengan segmen Trijaya dan Women Radio. TPI dengan Radio Dangdut, dan Global TV dengan ARH FM,” kata Sari.

Keempatnya diwadahi dalam MNC Radio Network yang 95 persen sahamnya dikuasai Media Nusantara Citra. Ketika peluncuran jaringan ini, pada 7 September silam, baik RCTI, Global TV, maupun TPI menayangkan secara langsung selama 90 menit. Demikian juga jaringan radionya, macam Women Radio, ikut serta menyiarkan. Serempak.

Ekor dari tayangan itu membuat Komisi Penyiaran Indonesia dibanjiri keluhan. Mulai telepon sampai pesan singkat. ”Inbox handphone saya sampai penuh menerima pengaduan,” kata Miladay. Komisi ini menilai telah terjadi monopoli siaran. Sinansari ecip, wakil ketua komisi itu, berkirim surat meminta klarifikasi ke RCTI.

Pada minggu berikutnya, surat balasan datang dari Gilang Iskandar, deputy corporate secretary RCTI. Ada dua sanggahan yang diberikan Iskandar. Pertama, acara tersebut bersifat satu kali tayang atau one time off. Bukan acara tetap. Kedua, dengan klaim mengutip survei ACNielsen, audience share pada siaran tersebut cuma 20 persen. Rinciannya Global TV 1 persen, RCTI 12 persen, dan TPI 7 persen.

Artine Utomo dari TPI mengatakan hal senada ketika saya wawancarai. Dia menolak jika dituding memonopoli. ”TPI sudah dua setengah tahun lebih di bawah MNC. Selama itu baru tiga atau empat kali siaran bareng. Pertanyaanmu itu kuatir bakal ada siaran seragam pada televisi-televisi? TPI kan punya program sendiri, punya segmen sendiri-sendiri. RCTI juga. Global juga demikian. News-nya bisa Anda monitoring,” kata Artine dengan nada meninggi.

”Jadi kekuatiranmu relevan kalau itu ditayangin setiap minggu.”

Miladay menolak argumen Iskandar maupun Artine Utomo. Menurutnya apa yang sudah dilakukan MNC sudah mengarah ke monopoli. ”Kalau di Jerman, 20 persen itu sudah monopoli, meski itu one time off. Publik, misalnya, karena ada siaran bersama, akhirnya tidak bisa menonton acara yang biasa ditontonnya. Tergeser karena siaran bersama. Jadi tidak terakomodir,” katanya.

”Di Indonesia memang belum ketemu modelnya. Ini kan kita sedang mencari data dulu. Di mana sih konsentrasi dia. Oke, kalau dibilang audience share-nya 20 persen. Bagaimana dengan Radio Trijaya Network? Itu kan lebih dari 20 persen,” Miladay retoris.


TAK ada yang salah seorang pengusaha mendirikan stasiun televisi. Masalah baru muncul ketika televisi menjadi bagian dari strategi keuangan para pengusaha, yakni bagaimana mendapatkan keuntungan dari pohon bisnis yang ditanamnya. Ke mana uang mengalir, ke situlah televisi bergerak.

Beda industri televisi dari suratkabar lama adalah esensi dari perusahaan mereka. Idealnya, sebuah perusahaan media adalah sebuah institusi publik. Ia bukan lembaga sosial, yang bekerja memberi amal. Ia harus mencari keuntungan, namun ia tetap melayani kepentingan publik untuk –meminjam istilah pemikir jurnalisme Bill Kovach– ”bisa memerintah dirinya sendiri.”

Industri televisi di Jakarta ini cenderung menjadi lembaga bisnis belaka. Saat tayangan kriminal naik daun, hampir semua televisi berlomba ”berdarah-darah.” Dan ketika tayangan bernuansa seksualitas mendapat peringkat (rating) bagus, seluruh televisi ramai-ramai menayangkan talkshow dan sinetron komedi (tak lucu) soal seks. Kini, tren bergeser ke tayangan mistis mulai reality show dunia gaib sampai sinetron siksa kubur, dan hampir semua televisi jualan ”siksa kubur.”

Saya mencatat tayangan sinetron bertemakan ”siksa kubur” ini yang belakangan mendominasi tayangan media televisi kita pada jam prime-time, pukul 19.00 sampai 21.00. Tak kurang dari 20 program sinetron jenis ini tayang saban minggunya.

RCTI menampilkan ”Pintu Hidayah” dan ”Habibi dan Habibah”. Di TPI, ada ”Rahasia Ilahi” dan ”Takdir Ilahi”, di Trans TV ada ”Taubat”, ”Hidayah” dan ”Insyaf”. SCTV tak ketinggalan dengan menayangkan ”Astaghfirullah”, ”Kuasa Ilahi”, ”Suratan Takdir”, dan ”Kiamat Sudah Dekat”. ANTV sendiri menggeber ”Jalan ke Surga” dan “Nauzubillah Minzalik” dua kali sepekan. Sementara Indosiar mengerek ”Titipan Ilahi”.

Rating sinetron jenis ini sangat tinggi. ”Rahasia Ilahi”, misalnya, pernah mencapai 14,2 dan mampu meraih audiens share hingga 40 persen. Sementara ”Takdir Ilahi” yang muncul berikutnya mampu menembus rating 12 dalam waktu belum sampai tayang sepuluh episode. Sementara ”Taubat”, dalam kurun waktu kurang dari dua bulan, mampu merengkuh rating 6,4.

Harianto dari Hubungan Masyarakat SCTV mengatakan kepada saya bahwa ada empat pertimbangan suatu program akan ditayangkan di SCTV, yakni audience share, variasi program, soal bisnis, dan kebutuhan. ”Keempatnya saling terkait,” katanya. ”Bisa saja sebuah program bagus, tapi publik mengatakan lain, sehingga ini jadi pertimbangan bagian programming.”

”Yang menjadi pertimbangan sebelum menayangkan program ialah seberapa besar kemungkinan program tersebut akan disukai pasar,” kata Eko Suprianto, manajer Local Acquisition Programme Lativi, sebagaimana dikutip Media Indonesia.

Kondisi demikian amat memprihatinkan. Publik tak punya kesempatan menikmati keberagaman isi siaran. Sineas Arswendo Atmowiloto mengatakan, ”Yang bego di sini sebenarnya adalah pengelola televisi siarnya. Ogah memberikan alternatif tontonan pada pemirsanya. Pengelola televisi tidak mampu melihat keberagaman tontonan, termasuk menayangkan tayangan yang sehat, bermanfaat, serta mendidik.”

Arswendo intinya menuding para pemilik televisi ini bego. Televisi sering jadi kepanjangan tangan pengusaha-pemiliknya dalam mempromosikan produk-produk yang kebetulan berada dalam genggamannya.

Di Trans TV misalkan, kita bisa saksikan iklan Bank Mega muncul secara rutin. Iklan Esia kerap hadir di ANTV. RCTI-TPI-Global TV intens menayangkan iklan Radio Trijaya Network, majalah Trust, tabloid Genie, dan koran Seputar Indonesia. Indosiar punya program rutin malam mingguan ”Gebyar BCA” merujuk pada bank milik Salim.

Lativi juga melakukan hal yang sama. Saya pernah memperhatikan program ”TopNews” pada Rabu tengah malam, 27 September 2005. Saat itu ada liputan paket promosi yang dikemas mirip berita tentang Pasaraya Grande di kawasan Blok M. Ada gambar desain ritel. Food court. Area bermain anak. Liputan juga dilengkapi dengan komentar dua orang pengunjung dan ditutup wawancara dengan Amelia Handayani, direktur bisnis Pasaraya.

Pemirsa seolah-olah disuguhi berita tempat belanja yang serba menggiurkan. Lativi menggiring opini pemirsa pada sebuah pusat perbelanjaan nyaman bernama Pasaraya Grande. Publik tidak pernah diberitahu bahwa ritel pakaian itu adalah satu grup dengan Lativi.

Jadi corong promosi pemiliknya atau melulu sebagai alat pengeruk untung, jelas tidak fair. Betapapun televisi punya kapasitas audiens yang tak bisa ditandingi media mana pun, lebih-lebih suratkabar. Televisi diakses sebagian besar publik Indonesia.

Survei International Foundation for Election System (IFES) mengungkapkan, 85 persen masyarakat Indonesia memperoleh informasi dari televisi. Sedangkan menurut Media Index Wave 2005, televisi dikonsumsi 92 persen masyarakat Indonesia, mengalahkan suratkabar yang cuma 28 persen dan majalah dengan 19 persen.

Dari mana kekuatan itu datang? Sumbernya jelas-jelas dari frekuensi publik yang dieksploitasi demi kepentingan politik maupun ekonomi segelintir pemilik. Lantas, apa yang kini didapatkan publik? ”Jika televisi ada di tangan pebisnis, yang ada hanyalah duit,” komentar Miladay. ■

Jakarta ©2005 - 2006

Oleh Widiyanto
Sindikasi Pantau

Widiyanto bekerja sebagai editor Jurnal Hukum Jentera terbitan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia. http://andreasharsono.blogspot.com/2006/02/televisi-batavia.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar