Beberapa
waktu yang lalu saya bekerja dengan sebuah perusahaan dimana ada seorang “high
flying” eksekutif yang masih di bawah usia 30 tahun. Orangnya sangat
cerdas dan bekerja dengan cepat, namun banyak rekan kerjanya yang risih
terhadapnya.
Sebenarnya
ada pengakuan diantara koleganya yang sudah sesama berada satu level dibawah
Direksi bahwa anak muda ini memang sangat pandai dan professional. Namun ada
juga kesan bahwa mereka sangat iri kepadanya dengan dalih "aah, dia kan
sebenarnya cuma bermodalkan bahasa inggris dan kemampuan mendekati boss
saja!".
Bukti yang
diajukan bahwa pasti ada favoritisme adalah fakta bahwa kalau anak muda ini
masuk ke ruang Presiden Direktur organisasi ini maka dia akan mendapat waktu
jauh lebih lama dari eksekutif yang lainnya. Dan dia pun lebih sering diberi
waktu untuk ketemu secara langsung dengan sang Presiden Direktur.
Suatu hari
saya sedang berbincang dengan sang Presiden Direktur mengenai perusahaannya dan
dalam kesempatan tersebut saya bertanya langsung kepadanya "Bapak tahu ada
rumor dan kesan bahwa Kita menganak emas kan si Ali (bukan nama sebenarnya)
?", jawaban dia sangat jujur dan sederhana: "Iya, saya sudah mendengar
rumor tersebut dan barangkali kenyataannya memang benar.
Saya senang
berdiskusi sama si Ali karena kalau dia minta waktu ketemu saya sudah pasti
akan ada dua hal yang terjadi.Pertama, topik yang ingin dibicarakan pasti
penting dan perlu dibicarakan saat itu. Kedua, dan ini yang sungguh saya
hargai, waktu kita berbicara dia tidak hanya membawa masalah, tetapi dia akan
menuturkan persoalannya beserta atternatif yang dia sudah pikirkan. Dia
kemudian akan menceritakan plus minus setiap alternatif dan mengapa dia perlu pertimbangan
saya"."
Kalau yang
lain mempunyai kecenderungan untuk datang dengan masalah dan meminta saya untuk
mengatasinya. Saya jadi merasa selalu dibebani masalah yang lama-kelamaan
menjadi menumpuk di saya. Kalau dengan si Ali, saya akan membantu dengan
keputusan yang diperlukan tetapi pekerjaannya tidak pernah pindah ke
saya." tutur sang Presiden Direktur.
Ketika
mendengar penjelasan ini saya teringat kepada suatu waktu dipermulaan zaman
Orde Baru dimana almarhum bapak saya bercerita mengenai hubungan
"spesial" yang sedang berkembang antara Pak Harto dan Profesor
Widjojo Nitisastro. Waktu itu banyak masalah ekonomi yang harus dipecahkan dan
Pak Harto sangat senang bertemu dengan Profesor Widjojo karena disetiap
pertemuan mereka Pak Widjojo akan selalu menuturkan masalah ekonomi yang
dihadapi, alternatif yang ada, beserta konsekuensi dari setiap alternatif.
Biasanya
sebelum mengambil keputusan Pak Harto akan bertanya pendapat Profesor Widjojo
pilihan beliau yang mana. Profesor Widjojopun kemudian akan mengemukakan
pendapatnya. Yang menarik dari interaksi ini adalah, konon, Pak Harto banyak
belajar mengenai ekonomi tanpa merasa digurui dan dapat secara cepat mengambil
keputusan yang terbaik karena ada masukan yang lengkap.
Dua cerita
ini menggambarkan betapa pentingnya yang namanya “Completed Staff Work”,
sayangnya kita juga sering mendengar cerita mengenai Incomplete Staff Work.
Seorang expat yang dikirim ke Indonesia untuk menjadi Presiden Direktur
perusahaannya disini mengatakan separuh bercanda dan separuh mengeluh:
Seharusnya peran saya adalah sebagai seorang general manager nyatanya saya
lebih sering sebagai general helper. setiap hari saya selalu mengerjakan
pekerjaan yang seharusnya selesai sebelum datang ke saya".
Atau keluhan
bekas kolega saya di sebuah bank asing "saya sekarang di Indonesia
mengerjakan pekerjaan Yang saya lakukan 15 tahun yang lalu sebagai seorang
junior supervisor". Saya penasaran dan bertanya kenapa mereka membiarkan
itu terjadi dan dua-duanya mempunyai alasan yang mirip "the work has to get done
now. I don't have the luxury to train them yet but I do not want to see
mistakes. So, I have to do it".
Padahal
mereka sadar sepenuhnya ini akan menambah beban mereka. OK, mereka expat dan
mereka relatif tidak akan lama di Indonesia. Bagaimana dengan kita sendiri?
Seorang CEO Indonesia Yang memimpin perusahaan asing agak santai pasrah
menjawabnya "Saya biarin saja dikerjakan apa adanya dulu. Kalau tidak saya
jadi pusing tidak kepalang."
Semua ini
adalah cerita klasik mengenai kebutuhan jangka pendek yang mendesak dan
pemberdayaan jangka menengah yang kita pertu laksanakan. Incomplete Staff Work.
Siapa yang bertanggung jawab? Si anak buah atau si atasan? (atau kalau kita mau
gaya sopan kita salahkan saja keadaan-lebih enak dan aman). Jawabannya:
dua-duanya bertanggung jawab.
Sebagai anak
buah saya harus merasa bahwa pekerjaan saya adalah tanggung jawab saya dan saya
hanya boleh"pass the buck upstairs" katau saya memang sudah
stuck/terjebak atau wewenangnya di atas saya. Yang pasti saya hanya minta
pendapat atau keputusan dan saya akan meneruskan pekerjaannya sampai tuntas.
Sebagai atasan seninya adalah kita untuk sementara boleh jadi pembantu tetapi
jangan jadi "keranjang sampah".
Kata
kuncinya adalah sementara. Jika kita sedang "membantu", cepat ajarkan
prinsip dan cara kita menyelesaikan pekerjaan tersebut kepada anak buah kita.
Luangkan waktu untuk knowledge sharing. Jika tidak maka harga yang kita bayar
jadi lebih mahal.
Kalau kita
sudah mengerjakan ini lain kali jangan mau terima masalah yang sama dari orang
yang sama. Kalau itu berulang kali maka barangkali sudah saatnya kita
mempertimbangkan mencari the Right person untuk pekerjaan tersebut. Itu loh,
anak buah yang membuat risih rekan sekerja karena dia membawa completed staff
work
Mungkin bagi
sebagian teman-teman istilah CSW masih agak awam, oleh karena itu, saya akan memberitahukan apa
yang dimaksud dengan CSW terlebih dahulu. CSW merupakan penyampaian staf kepada
atasan atau pihak yang dilayani mengenai permasalahan dan rekomendasi solusi
terlepas dari penerima menerima atau menolak rekomendasi solusi yang diajukan.
Jadi CSW adalah penyampaian alternatif tetapi belum berupa tindakan karena anak
buah tidak berkewenangan memutuskan.
Adapun
tahapan dalam CSW adalah sebagai berikut :
a.
Identifikasi Masalah
Langkah yang paling baik adalah
memahami atasan dari sisi tanggung jawab, tekanan pekerjaan, apa yang disukai
dan tidak disukai serta gaya bekerja. Apakah atasan lebih menyukai detil atau
hanya pokok-pokok kesimpulan. Identifikasi masalah berawal dari analisis
derajat kepentingan dan situasi mendesak.
Implementasi CSW akan lebih berstruktur
bilamana kita mengingat prinsip 5 W+H. What - Apa masalah , Who – Siapa yang
terlibat dan berapa banyak, Where – Dimana permasalahan, When - Kapan danHow -
Bagaimana. Pemahaman proses bisnis, dan pengetahuan dari hasil belajar secara
mandiri akan sangat membantu melaksanakan CSW. Anak buah diharapkan berlatih
menggali masalah, mempelajari proses bisnis, lingkup pekerjaan dirinya dan
orang lain.
b.
Identifikasi dan evaluasi solusi yang memungkinkan
Sejauh mana atasan
mengimplementasikan CSW tergantung dari situasi. Terdapat kemungkinan, atasan
hanya menerapkan sampai dengan tahap kedua yakni identifikasi dan evaluasi
solusi yang memungkinkan. Kecakapan anak buah dan sejauh mana mampu menghimpun
informasi akan dapat dinilai oleh atasan. Evaluasi solusi yang memungkinkan
berarti penyajian sejumlah alternatif disertai (lebih baik) konsekuensinya.
c.
Merekomendasi satu solusi yang terbaik
Atasan yang mengenal anak buahnya
dengan baik, barangkali menginginkan lebih dengan meminta untuk menyajikan satu
solusi terbaik sehingga ia hanya tinggal menyetujui atau menolak atau beralih
ke solusi lain diluar yang diajukan. Dalam hal ini tidak perlu kecewa, karena
domain CSW terletak pada atasan sebagai pengambil keputusan.
Tanggung jawab anak buah memang
sebatas mengalirkan informasi. Tetapi, ketika atasan dan anak buah sudah saling
memahami tekanan pekerjaan masing-masing, maka pilihan anak buah juga menjadi
pilihan atasan.
Anak buah hanya merekomendasikan
solusi, ia tidak mempunyai hak untuk mengimplementasikan solusi sampai
atasannya menetapkan pilihan solusi.
Anak buah yang berpikiran maju
mungkin beranggapan akan lebih baik bilamana ia mempersiapkan dahulu. Namun,
boleh jadi apa yang dilakukan akan sia-sia, kecuali kalau sudah relatif
mengetahui apa yang dikehendaki atasan.
d.
Menyiapkan material/bahan untuk implementasi rekomendasi (setelah
disetujui)
Contoh situasi : Ati menghabiskan
1.5 jam menyiapkan hingga tahap tiga, dan sekitar 4 jam untuk sampai pada tahap
4 yang berakhir pada penolakan alternatif atau tindakan yang dilakukan. Ati
sudah mengerahkan tenaga, pikiran dan waktu yang berujung pada kekecewaan.
Mengapa hal ini terjadi ? Terdapat kesalahan di kedua belah pihak yakni atasan tidak
menginformasikan secara jelas sampai pada tahap mana CSW diselesaikan dan
kriteria pendekatannya. Sebaliknya anak buah tidak terlalu mengenal atasan dan
masalah sehingga menyajikan solusi yang tidak dikehendaki atasan.
Mungkin
contoh sederhananya saja dalam pembuatan memo. Seorang pegawai/pekerja yang
sudah mengaplikasikan CSW didalam pola kerjanya akan lebih hati-hati dan detail
terhadap bentuk penulisan, pemakaian tanda baca, nama, jabatan, bahasa ambigu
dll.
Memang
mengkoreksi memo yang dibuat akan jauh lebih lama daripada membuat memo itu
sendiri. Namun ini tidak masalah karena memang sudah selayaknya seperti itu.
Alangkah lebih baik bila memo yang kita buat dikembalikan dengan kesalahan
minor dibandingkan kesalahan fatal sampai-sampai atasan perlu turun tangan
untuk memperbaiki “baca:mengganti” memo kita tersebut.
Beritahukan
kepada atasan Anda untuk memberi waktu self-review sebelum akhirnya dikirimkan
ke atasan Anda tersebut. Even atasan yang serba-cepatpun pasti akan memaklumi
alasan yang satu ini dalam pekerjaan.
Contoh lain
adalah EO Meeting. Pekerja baru pada umumnya kerap mengambil peran ini dalam
perusahaan. EO yang mengaplikasikan CSW dalam polanya bekerjanya biasanya sudah
menyusun list kebutuhan sejak awal mencakup sarana prasarana meeting (lokasi,
infokus, komputer, snack, lunch, jumlah kursi, bentuk meja, pointer, absensi),
bahan yang akan dipresentasikan sampai konfirmasi peserta yang akan hadir
(konfirmasi h-7, h-1 dan saat acara).
Memang
dengan seperti ini ada tipikal-tipikal pekerja yang kesulitan multitasking akan
menghadapi beban yang sangat berat diawalnya. Untuk tipikal yang seperti ini
usahakan meminta guidance yang lebih intensif dari atasan dan jangan lupa
selalu membawa agenda kemanapun.
Yah, mungkin
cukup sekian pemaparan terkait completed staff work (CSW). Kita semua tentunya
berharap semuanya dapat mengaplikasikan CSW dalam pekerjaan. Semoga dapat
segera terwujud. Amin..
Dan hal yang
terpenting dari tujuan tersebut adalah, kita sebagai bawahan harus bisa menjadi
pemberi solusi didalam pemecahan jalan keluar tanpa terlihat seperti menasehati
atasan atau bahkan menggurui atasan kita. Mengambil satu langkah sikap dari
"Completed Staff Work" bisa membantu untuk memastikan bahwa kita
tidak akan mengambil ide-ide yang bersifat setengah matang untuk atasan kita
didalam dia meninjau ulang.
Selamat CSW......
Tidak ada komentar:
Posting Komentar