Rabu, 12 Juli 2006 11:48 WIB - wartaekonomi.com
Dibangun dengan modal Rp150 juta, kini Grup Para tumbuh jadi konglomerasi beraset lebih dari Rp30 triliun. Ke depan, bisnis energi menjadi target ekspansinya.
Jarum jam sudah menunjukkan pukul 24.00, tetapi Chairul Tanjung baru akan beranjak dari meja kerjanya yang tampak bersih dari tumpukan kertas. Bekerja selama 14 jam sehari, pemilik Grup Para ini selalu meninggalkan ruang kerjanya dalam keadaan bersih. Begitulah kebiasaan pria 44 tahun ini. Bagi dia, tingginya produktivitas hanya bisa diraih dari kantor yang selalu rapi dan teratur. Dan, dengan cara itulah ia mengelola dan mengembangkan bisnisnya selama hampir 20 tahun terakhir. Di tangannya, bisnis yang bermula dari sebuah pabrik sepatu pada 1987 ini tumbuh menjadi konglomerasi beraset lebih dari Rp30 triliun dengan empat bidang usaha: jasa keuangan, properti, media, dan energi.
Semua itu langsung menempatkan pria bertinggi 180 cm ini sebagai bintang baru di kalangan pebisnis papan atas di Tanah Air. Sebagai seorang bintang, pria berbintang Gemini ini pun tak luput menjadi objek “rumor”. Salah satunya seputar rencana pengambilalihan 40% saham Bank Mega oleh Anthony Salim. Jika kabar itu benar, Chairul tak cuma harus rela berbagi kepemilikan dengan Anthony, tetapi juga membuka pintu lebar-lebar bagi kembalinya konglomerasi Salim dalam bisnis perbankan. Sebab, sebelumnya, Salim adalah pemilik mayoritas dari PT Bank BCA Tbk., yang kini kepemilikannya menyusut hingga tinggal 1,77%. Namun, kabar terse¬but dibantah oleh Chairul Tanjung. “Jangankan 1%, satu lembar pun tidak ada,” cetusnya.
Bukan di perbankan, kongsi Anthony-Chairul rupanya terjadi di bisnis properti. Keduanya beraliansi membeli sebuah perusahaan medis di Singapura dan mengembangkan proyek properti di Batam seluas 300 hektar dengan kepemilikan 50%:50%. Di luar urusan dengan Grup Salim, Chairul kembali disorot saat Grup Para mengumumkan niatnya untuk memasuki bisnis energi—sebuah bidang usaha yang sama sekali baru. Menurut Chairul, dia memasuki bisnis tersebut karena masa depannya sangat cerah dan kebutuhan konsumen akan energi kian meningkat.
Dari Sepatu ke Energi
Energi adalah ladang baru bagi kelompok usaha yang memulai bisnisnya dari industri sepatu ini, setelah selama ini menekuni bisnis jasa keuangan, media, dan properti. Lewat payung besar PT Para Global Investindo, Chairul membesarkan bisnis jasa keuangannya. Ia menjadi pemilik saham mayoritas di empat perusahaan, yaitu PT Mega Capital Indonesia, PT Bank Mega Tbk., PT Bank Tugu (dikonversi menjadi bank syariah), dan Para Multifinance.
Bank Mega belakangan mencatat kinerja yang memuaskan. Lihat saja kinerjanya per 31 Maret 2005. Nilai total aktivanya meningkat 50%, dari Rp13 triliun menjadi Rp19,5 triliun. Di sisi lain, nonperforming loan-nya (NPL) hanya 1,98% (gross), atau 1,42% (net). Ini jauh di bawah ketentuan maksimal NPL dari Bank Indonesia (BI) yang 5%. Dengan reputasi demikian, jelas bank yang saat diambil alih Grup Para pada 1996 cuma bernilai Rp120 miliar itu menjadi terlihat sangat cemerlang. Apalagi aset Bank Mega, menurut Chairul, telah mencapai Rp21 triliun dan bakal membengkak menjadi Rp50 triliun pada 2008. Voila, siapa tak mau “gadis” semolek ini?
Selain bisnis keuangan, lewat PT Para Inti Investindo, kelompok usaha ini mengembangkan bisnis pertelevisian. PT Televisi Transformasi Indonesia (Trans TV), yang mengantongi izin siaran nasional pada 15 Desember 2001, kini mampu menyodok pendahulunya dalam hal perolehan jumlah penonton maupun pengiklan. Menurut data ACNielsen, tayangan reality show semacam Dunia Lain milik Trans TV sanggup meraih rating 7,6 pada Juni-Juli 2004.
Sementara itu, bisnis propertinya pun tak kalah menggeliat. Saat ini, di bawah payung besar PT Para Inti Propertindo, kelompok usaha ini memiliki beberapa proyek properti, seperti Bandung Supermal dan proyek di Batam. Bahkan, Batam agaknya akan menjadi fokus utama pengembangan bisnis properti Grup Para ke depan. Menurut pengamat properti Panangian Simanungkalit, peran mitra kongsinya, Grup Salim, menjadi bagian penting dalam kerja sama pengembangan kota mandiri di Batam seluas 300 hektar itu. “Dalam lima tahun ke depan, prospeknya akan sangat bagus,” katanya. Hanya, Panangian mengingatkan pentingnya regulasi yang mengatur kepemilikan asing terhadap properti di Indonesia.
Berbagi dengan para Profesional
Pertumbuhan bisnis Grup Para tak lepas dari kejelian Chairul dalam memilih para profesionalnya. Memang, saat memulai usaha, ayah dua anak berumur 10 dan 3,5 tahun ini lebih banyak berjuang seorang diri. Itu sekitar 25 tahun lalu, saat ia masih kuliah dan menjadi “pebisnis” dengan berjualan buku kuliah stensilan hingga kaus. Bisnis Chairul lalu meningkat dengan membuka toko peralatan kedokteran dan laboratorium di kawasan Senen Raya, Jakarta Pusat, pada 1983—1985, meski akhirnya bangkrut.
Chairul kemudian membuka berbagai usaha, seperti kontraktor, baja, hingga rotan. Bisnis pemegang gelar MBA dari IPPM ini memasuki babak baru ketika ia membangun PT Pariarti Sinduthama pada 1987 dengan modal Rp150 juta, bersama tiga orang rekannya. Inilah cikal bakal bisnis Grup Para. Sejak itu pula Chairul mulai berbagi kepercayaan dengan para profesional yang andal dalam membesarkan usahanya.
Sebut, misalnya, di Trans TV. Ia menggaet tiga profesional sekaligus, yakni Ishadi S.K., Alex Kumara, dan Riza Primadi, untuk ikut membidani dan mengembangkan bisnis televisinya. Ishadi dikenal piawai menggarap tayangan TV untuk jenis hiburan bagi kelas menengah-atas dan ahli menempatkan program bagus. Sementara Alex Kumara sangat jempolan dalam hal teknik penyiaran. Adapun Riza Primadi, yang ikut membidani kelahiran Liputan 6 SCTV, dianggap jagoan dalam membuat tayangan berita yang bersifat investigatif dan eksklusif.
Hasilnya? Jelas kinerja positif buat stasiun TV yang kemunculannya hanya dipandang sebelah mata ini. Tayangan hiburannya, seperti Extravaganza, sanggup menyita perhatian pemirsa lewat tokoh Aming-nya. Lantas, tayangan komedi situasi, seperti Bajaj Bajuri, menjadi tayangan komedi favorit bagi semua kalangan pemirsa TV dari berbagai segmen dan usia. Lalu, tayangan Dunia Lain-nya diganjar penghargaan Asian Television Award untuk kategori Best Reality Programme.
Sementara itu, di bisnis jasa keuangan, Chairul—yang pernah menggadaikan mobilnya untuk membayar gaji pegawainya—berbagi kepercayaan dengan kolega lamanya, seperti Yungky Setiawan. Ambisinya untuk membangun kelompok usaha pengelola jasa keuangan yang lengkap mendorongnya merekrut profesional andal di bidangnya. Salah satunya adalah Yungky Setiawan, yang kini menjabat dirut PT Bank Mega Tbk. Kemudian Chairul juga merekrut Kostaman Thayib, kini direktur, untuk mengembangkan Bank Mega sebagai retail banking.
Yungky bukanlah orang baru dalam bisnis perbankan. Sebelum bergabung dengan Bank Mega pada awal 1998, pria kelahiran Jakarta 43 tahun lalu ini pernah menjadi bankir di Bank Danamon. Bahkan, ia termasuk orang yang membidani kelahiran produk tabungan Primadana dan Prima Dollar. Bagi Yungky, kesediaannya bergabung dengan Bank Mega adalah buah pertemanannya dengan Chairul yang terjalin sejak 1980-an.
Kini, berkat kerja keras Yungky—yang menjadi dirut sejak Februari 2004—dan koleganya, kinerja bank ini terus meningkat. Aset bank yang tadinya cuma Rp400 miliar, pada 2005 sudah Rp25,109 triliun. “Saya diserahi tanggung jawab memimpin perusa¬haan yang mulai berkembang,” kata Yungky. Pria berbintang Capricornus ini mematok target peningkatan aset Rp10 triliun per tahun. Jadi, kloplah. Chairul, sang pemilik, menemukan profesional yang sejalan dengan cita-citanya menjadikan Bank Mega sebagai bank terlengkap di Indonesia. Para profesional, bagi Chairul, adalah bagian dari kunci suksesnya.
GENUK CHRISTIASTUTI
http://www.wartaekonomi.com/search_detail.asp?aid=7410&cid=24&x=televisi
Dibangun dengan modal Rp150 juta, kini Grup Para tumbuh jadi konglomerasi beraset lebih dari Rp30 triliun. Ke depan, bisnis energi menjadi target ekspansinya.
Jarum jam sudah menunjukkan pukul 24.00, tetapi Chairul Tanjung baru akan beranjak dari meja kerjanya yang tampak bersih dari tumpukan kertas. Bekerja selama 14 jam sehari, pemilik Grup Para ini selalu meninggalkan ruang kerjanya dalam keadaan bersih. Begitulah kebiasaan pria 44 tahun ini. Bagi dia, tingginya produktivitas hanya bisa diraih dari kantor yang selalu rapi dan teratur. Dan, dengan cara itulah ia mengelola dan mengembangkan bisnisnya selama hampir 20 tahun terakhir. Di tangannya, bisnis yang bermula dari sebuah pabrik sepatu pada 1987 ini tumbuh menjadi konglomerasi beraset lebih dari Rp30 triliun dengan empat bidang usaha: jasa keuangan, properti, media, dan energi.
Semua itu langsung menempatkan pria bertinggi 180 cm ini sebagai bintang baru di kalangan pebisnis papan atas di Tanah Air. Sebagai seorang bintang, pria berbintang Gemini ini pun tak luput menjadi objek “rumor”. Salah satunya seputar rencana pengambilalihan 40% saham Bank Mega oleh Anthony Salim. Jika kabar itu benar, Chairul tak cuma harus rela berbagi kepemilikan dengan Anthony, tetapi juga membuka pintu lebar-lebar bagi kembalinya konglomerasi Salim dalam bisnis perbankan. Sebab, sebelumnya, Salim adalah pemilik mayoritas dari PT Bank BCA Tbk., yang kini kepemilikannya menyusut hingga tinggal 1,77%. Namun, kabar terse¬but dibantah oleh Chairul Tanjung. “Jangankan 1%, satu lembar pun tidak ada,” cetusnya.
Bukan di perbankan, kongsi Anthony-Chairul rupanya terjadi di bisnis properti. Keduanya beraliansi membeli sebuah perusahaan medis di Singapura dan mengembangkan proyek properti di Batam seluas 300 hektar dengan kepemilikan 50%:50%. Di luar urusan dengan Grup Salim, Chairul kembali disorot saat Grup Para mengumumkan niatnya untuk memasuki bisnis energi—sebuah bidang usaha yang sama sekali baru. Menurut Chairul, dia memasuki bisnis tersebut karena masa depannya sangat cerah dan kebutuhan konsumen akan energi kian meningkat.
Dari Sepatu ke Energi
Energi adalah ladang baru bagi kelompok usaha yang memulai bisnisnya dari industri sepatu ini, setelah selama ini menekuni bisnis jasa keuangan, media, dan properti. Lewat payung besar PT Para Global Investindo, Chairul membesarkan bisnis jasa keuangannya. Ia menjadi pemilik saham mayoritas di empat perusahaan, yaitu PT Mega Capital Indonesia, PT Bank Mega Tbk., PT Bank Tugu (dikonversi menjadi bank syariah), dan Para Multifinance.
Bank Mega belakangan mencatat kinerja yang memuaskan. Lihat saja kinerjanya per 31 Maret 2005. Nilai total aktivanya meningkat 50%, dari Rp13 triliun menjadi Rp19,5 triliun. Di sisi lain, nonperforming loan-nya (NPL) hanya 1,98% (gross), atau 1,42% (net). Ini jauh di bawah ketentuan maksimal NPL dari Bank Indonesia (BI) yang 5%. Dengan reputasi demikian, jelas bank yang saat diambil alih Grup Para pada 1996 cuma bernilai Rp120 miliar itu menjadi terlihat sangat cemerlang. Apalagi aset Bank Mega, menurut Chairul, telah mencapai Rp21 triliun dan bakal membengkak menjadi Rp50 triliun pada 2008. Voila, siapa tak mau “gadis” semolek ini?
Selain bisnis keuangan, lewat PT Para Inti Investindo, kelompok usaha ini mengembangkan bisnis pertelevisian. PT Televisi Transformasi Indonesia (Trans TV), yang mengantongi izin siaran nasional pada 15 Desember 2001, kini mampu menyodok pendahulunya dalam hal perolehan jumlah penonton maupun pengiklan. Menurut data ACNielsen, tayangan reality show semacam Dunia Lain milik Trans TV sanggup meraih rating 7,6 pada Juni-Juli 2004.
Sementara itu, bisnis propertinya pun tak kalah menggeliat. Saat ini, di bawah payung besar PT Para Inti Propertindo, kelompok usaha ini memiliki beberapa proyek properti, seperti Bandung Supermal dan proyek di Batam. Bahkan, Batam agaknya akan menjadi fokus utama pengembangan bisnis properti Grup Para ke depan. Menurut pengamat properti Panangian Simanungkalit, peran mitra kongsinya, Grup Salim, menjadi bagian penting dalam kerja sama pengembangan kota mandiri di Batam seluas 300 hektar itu. “Dalam lima tahun ke depan, prospeknya akan sangat bagus,” katanya. Hanya, Panangian mengingatkan pentingnya regulasi yang mengatur kepemilikan asing terhadap properti di Indonesia.
Berbagi dengan para Profesional
Pertumbuhan bisnis Grup Para tak lepas dari kejelian Chairul dalam memilih para profesionalnya. Memang, saat memulai usaha, ayah dua anak berumur 10 dan 3,5 tahun ini lebih banyak berjuang seorang diri. Itu sekitar 25 tahun lalu, saat ia masih kuliah dan menjadi “pebisnis” dengan berjualan buku kuliah stensilan hingga kaus. Bisnis Chairul lalu meningkat dengan membuka toko peralatan kedokteran dan laboratorium di kawasan Senen Raya, Jakarta Pusat, pada 1983—1985, meski akhirnya bangkrut.
Chairul kemudian membuka berbagai usaha, seperti kontraktor, baja, hingga rotan. Bisnis pemegang gelar MBA dari IPPM ini memasuki babak baru ketika ia membangun PT Pariarti Sinduthama pada 1987 dengan modal Rp150 juta, bersama tiga orang rekannya. Inilah cikal bakal bisnis Grup Para. Sejak itu pula Chairul mulai berbagi kepercayaan dengan para profesional yang andal dalam membesarkan usahanya.
Sebut, misalnya, di Trans TV. Ia menggaet tiga profesional sekaligus, yakni Ishadi S.K., Alex Kumara, dan Riza Primadi, untuk ikut membidani dan mengembangkan bisnis televisinya. Ishadi dikenal piawai menggarap tayangan TV untuk jenis hiburan bagi kelas menengah-atas dan ahli menempatkan program bagus. Sementara Alex Kumara sangat jempolan dalam hal teknik penyiaran. Adapun Riza Primadi, yang ikut membidani kelahiran Liputan 6 SCTV, dianggap jagoan dalam membuat tayangan berita yang bersifat investigatif dan eksklusif.
Hasilnya? Jelas kinerja positif buat stasiun TV yang kemunculannya hanya dipandang sebelah mata ini. Tayangan hiburannya, seperti Extravaganza, sanggup menyita perhatian pemirsa lewat tokoh Aming-nya. Lantas, tayangan komedi situasi, seperti Bajaj Bajuri, menjadi tayangan komedi favorit bagi semua kalangan pemirsa TV dari berbagai segmen dan usia. Lalu, tayangan Dunia Lain-nya diganjar penghargaan Asian Television Award untuk kategori Best Reality Programme.
Sementara itu, di bisnis jasa keuangan, Chairul—yang pernah menggadaikan mobilnya untuk membayar gaji pegawainya—berbagi kepercayaan dengan kolega lamanya, seperti Yungky Setiawan. Ambisinya untuk membangun kelompok usaha pengelola jasa keuangan yang lengkap mendorongnya merekrut profesional andal di bidangnya. Salah satunya adalah Yungky Setiawan, yang kini menjabat dirut PT Bank Mega Tbk. Kemudian Chairul juga merekrut Kostaman Thayib, kini direktur, untuk mengembangkan Bank Mega sebagai retail banking.
Yungky bukanlah orang baru dalam bisnis perbankan. Sebelum bergabung dengan Bank Mega pada awal 1998, pria kelahiran Jakarta 43 tahun lalu ini pernah menjadi bankir di Bank Danamon. Bahkan, ia termasuk orang yang membidani kelahiran produk tabungan Primadana dan Prima Dollar. Bagi Yungky, kesediaannya bergabung dengan Bank Mega adalah buah pertemanannya dengan Chairul yang terjalin sejak 1980-an.
Kini, berkat kerja keras Yungky—yang menjadi dirut sejak Februari 2004—dan koleganya, kinerja bank ini terus meningkat. Aset bank yang tadinya cuma Rp400 miliar, pada 2005 sudah Rp25,109 triliun. “Saya diserahi tanggung jawab memimpin perusa¬haan yang mulai berkembang,” kata Yungky. Pria berbintang Capricornus ini mematok target peningkatan aset Rp10 triliun per tahun. Jadi, kloplah. Chairul, sang pemilik, menemukan profesional yang sejalan dengan cita-citanya menjadikan Bank Mega sebagai bank terlengkap di Indonesia. Para profesional, bagi Chairul, adalah bagian dari kunci suksesnya.
GENUK CHRISTIASTUTI
http://www.wartaekonomi.com/search_detail.asp?aid=7410&cid=24&x=televisi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar