Minggu, 08 Februari 2009

Hari Ini Harinya Hary Tanoe

Rabu, 23 Mei 2007 10:12 WIB - wartaekonomi.com


Bisnis Hary Tanoesoedibjo

Memasuki 2007, Hary kian agresif. Ia membeli AdamAir, meningkatkan sahamnya di CMNP, serta memangkas anak-anak usaha Bimantara dan mengganti namanya menjadi Global Mediacom. Lewat rights issue Bhakti Investama, Hary bakal memperoleh dana segar US$340 juta untuk ekspansi usaha. Hari-hari belakangan memang menjadi harinya Hary Tanoesoedibjo.

Lampu ruangan di lantai 28 Gedung Bimantara, Jl. Kebon Sirih, Jakarta, tak pernah padam sebelum tengah malam. Di lantai itulah taipan multimedia Hary Tanoesoedibjo berkantor. Ia memang sering bekerja hingga larut malam. Meski demikian, esok paginya, sekitar pukul 07.00, pria kelahiran 26 September 1965 itu sudah kembali masuk kantor. Ritme kerja semacam itu dijalani Hary sejak ia berusia 24 tahun. “Pak Hary memang pekerja keras dan disiplin. Ia selalu berada di kantor dari pukul 07.00 sampai 24.00. Hari libur pun kadang Pak Hary datang ke kantor,” ujar David Fernando Audy, head of investor relations PT Media Nusantara Citra (MNC), yang juga personal assistant Hary Tanoe.

Kerja keras pria bernama lengkap Bambang Hary Iswanto Tanoesoedibjo itu memang berbuah manis. Kini, ada sekitar 24 perusahaan di bawah kendalinya dengan 7.000-an karyawan mengais rezeki di sana. Bukan hanya itu. Tahun lalu kinerja perusahaan yang dipimpinnya melonjak tajam. PT Bhakti Investama Tbk., perusahaan investasi yang didirikan 18 tahun lalu dengan modal Rp200 juta, berhasil mengantongi laba bersih konsolidasi tahun 2006 sebesar Rp229,4 miliar, atau melonjak hampir 350% dibanding 2005. Sementara itu, laba bersih PT Bimantara Citra Tbk., yang kini berganti nama menjadi PT Global Mediacom Tbk., pada 2006 juga naik lebih dari tiga kali lipat menjadi Rp446 miliar. “Semua bisnis yang dirancang pada 2006 memberikan hasil baik,” ujar Hary, seusai RUPS Luar Biasa di Menara Kebon Sirih, Selasa (27/3) lalu Lonjakan keuntungan Grup Bhakti tak lepas dari pilihan usaha yang dirambah Hary. Biasanya, Hary memang memilih bidang-bidang usaha yang tengah melejit, memiliki pertumbuhan tinggi, dan memberikan capital gain yang tinggi pula. Grup ini memiliki empat sektor usaha, yakni jasa keuangan, multimedia dan penyiaran, telekomunikasi dan teknologi informasi (TI), serta investasi. Di sektor jasa keuangan, Bhakti memiliki PT Bhakti Capital Indonesia Tbk. yang membawahkan beberapa anak usaha, yaitu PT Bhakti Securities, PT Bhakti Asset Management, dan PT Bhakti Finance. Adapun multimedia, penyiaran, telekomunikasi, dan lainnya berada di bawah Global Mediacom.

Memperlebar Sayap Bisnis

Meski sebagian besar bisnisnya sudah eksis, Hary tak pernah berhenti mengais peluang. Grup Bhakti masih menyimpan rencana besar. Tahun ini, pria asal Surabaya itu berencana memperlebar sayap bisnisnya. Ini tercermin dari rencana Bhakti Investama memperkuat struktur keuangan dan modal dengan melakukan rights issue lewat penerbitan obligasi konversi (convertible bond, CB) dan saham senilai US$340 juta (CB US$170 juta, saham US$170 juta).

Sebelum rights issue, Bhakti Investama akan menerima fasilitas bridge loan (dana talangan) US$100 juta dari Lehman Brothers, yang perjanjiannya diteken 5 April 2007 lalu, dan US$100 juta dari dua investor lainnya. Melalui rights issue, dana dari Lehman Brothers kelak dikonversi menjadi CB senilai US$100 juta, dan yang dari dua investor menjadi saham baru juga senilai US$100 juta.

Menurut Hary Djaja, dirut Bhakti Investama, dana hasil rights issue akan digunakan untuk meningkatkan investasi perusahaan. Di antaranya, meningkatkan kepemilikan di PT Citra Marga Nusaphala Persada Tbk. (CMNP) dan Global Mediacom. “CMNP dan Global Mediacom merupakan salah satu investasi strategis Bhakti. Maka, kami berkomitmen untuk terus meningkatkan kepemilikan di dua perusahaan tersebut,” ungkapnya

Kini, porsi saham Bhakti Investama di CMNP naik dari 9,01% menjadi 10,76%. Pada 2006, CMNP membukukan pendapatan Rp475 miliar atau naik 9% dibandingkan 2005. Sementara itu, laba bersih CMNP naik 50% menjadi Rp122 miliar. “Kami akan menambah saham di CMNP sampai lebih dari 24,%,” cetus Hary Djaja. Sedangkan di Global Mediacom, Bhakti Investama meningkatkan kepemilikannya dari 49,01% menjadi 52,85%.

Ganjar Sidik, managing director PT Data Consult, sebuah perusahaan riset bisnis, menilai penambahan saham ini menunjukkan keseriusan Hary Tanoe dalam bisnis multimedia. Global Mediacom memang akan fokus dan menjadi holding company dari usaha multimedia dan telekomunikasi. “Sejak Hary Tanoe masuk, ia mempreteli satu per satu bisnis Bimantara,” ujar Ganjar. Faktanya, dari tahun ke tahun, seiring dengan penambahan jumlah saham Bhakti Investama, jumlah anak usaha Bimantara kian menyusut. Hary Tanoe masuk ke Bimantara pada 2002 dengan menguasai 24,94% saham. Kini, jumlah saham Bhakti Investama menjadi 52,85%.

Sebelum 1995, ada lebih dari 100 perusahaan yang bernaung di Grup Bimantara, dengan beragam bidang usaha. Namun, setelah Hary masuk pada 2003, banyak perusahaan yang dilepas. Sampai Januari 2007, Bimantara tinggal memiliki 14 perusahaan.

Dalam RUPS Maret lalu, Hary kian mempertegas keinginannya dengan mengganti nama perusahaan dari PT Bimantara Citra Tbk. menjadi PT Global Mediacom Tbk. “Perseroan dengan resmi menyatakan fokus usahanya beralih ke bisnis media dan telekomunikasi,” tandas Hary. Saat ini Global Mediacom, lewat MNC yang anak usahanya, menaungi sejumlah media cetak maupun elektronik. Di antaranya, RCTI, TPI, Global TV, Harian Seputar Indonesia, Tabloid Genie, Okezone.com, dan Radio Trijaya Network—yang membawahkan sejumlah radio lainnya, seperti Radio Dangdut 97.1 FM, Women Radio 94.3 FM, dan Radio ARH 88.4 FM. Ekspansi MNC tak hanya di dalam negeri, tetapi juga merambah negara-negara tetangga. MNC bekerja sama dengan IPS Inc., Jepang, mengudarakan sebuah channel internasional milik MNC, yakni MNC The Indonesia Channel, yang diluncurkan perdana 15 April 2007 lalu. “Target kami bukan hanya menjadi pemain lokal, tetapi juga regional dan internasional,” ujar Hary.

Dalam bisnis telekomunikasi dan TI, Global Mediacom menaungi dua anak usaha, yakni PT Mobile-8 Tbk. (Fren) dan PT Infokom Elektrindo. Pada 13 Januari 2007, Global Mediacom menandatangani MoU untuk mengambil alih 51% kepemilikan saham PT MNC Skyvision. Kini, perusahaan yang terkenal dengan merek dagang Indovision itu resmi bernaung di bawah Global Mediacom.

Selain bisnis multimedia dan telekomunikasi, Global Mediacom juga memiliki beberapa portofolio investasi lain di jasa penyewaan pesawat terbang (melalui PT Indonesia Air Transport), properti (PT Usaha Gedung Bimantara, PT Plaza Indonesia Realty, dan PT Nusadua Graha International), industri kimia (PT Multi Nitrotama Kimia dan PT Bima Kimia Citra), dan jaringan pipa gas (PT Trans Javagas Pipeline). Bidang-bidang usaha ini bakal dilepas dari Global Mediacom. “Semua bisnis yang tidak terkait dengan media dan telekomunikasi akan kami lepas,” ungkap Hary. Untuk 2007, Hary menargetkan pendapatan Global Mediacom mencapai Rp5 triliun, atau naik sekitar 56% dibandingkan 2006 yang Rp3,2 triliun. Adapun Bhakti Investama, pendapatan dan laba bersihnya ditargetkan tumbuh tiga digit.

Raja Bisnis Penerbangan

Bisnis lain yang dianggap prospektif oleh suami dari Liliana Tanoesoedibjo dan ayah dari tiga anak ini adalah penerbangan. Itu sebabnya, pada 12 April lalu, secara resmi Bhakti Investama, melalui anak usahanya yakni PT Global Transport Services, mengakuisisi 50% saham PT Adam SkyConnection Airlines (AdamAir). “Nilainya tidak bisa disebutkan,” ucap Hary Djaja. Dirut AdamAir, Adam Aditya Suherman, pun bungkam tentang nilai transaksinya. Adam hanya menyebut, “Nilainya sama dengan 60 pesawat baru.”

Ganjar menilai akuisisi Bhakti terhadap AdamAir adalah keputusan yang tepat dan tak lepas dari kelihaian Hary Tanoe dalam melihat peluang. Menurut dia, ada beberapa alasan mengapa Hary memilih AdamAir. Pertama, AdamAir memiliki sistem organisasi dan armada yang cukup besar, tetapi citranya tengah jatuh akibat beberapa kecelakaan pesawat. Jadi, bargaining power AdamAir tengah lemah, sehingga berpeluang dilepas dengan harga murah. Kedua, bisnis penerbangan sedang tumbuh dan pasarnya sudah tercipta. “Ini adalah gaya Hary dalam berbisnis. Ia selalu mengincar perusahaan dengan harga murah, tetapi masih potensial di masa mendatang. Industrinya pun tengah tumbuh tinggi,” ucap Ganjar. Industri penerbangan memang tumbuh cukup signifikan. Jika tahun 2002 jumlah penumpang pesawat tercatat 7,6 juta, pada 2006 melonjak mencapai 34 juta orang.

Dengan bergabungnya Bhakti, AdamAir akan melakukan perubahan segmentasi pasar dari segmen menengah bawah ke menengah. Dari sisi jumlah penumpang, Danke Drajat, direktur komunikasi AdamAir, menargetkan perolehan 20.000 penumpang per hari. Lalu, dalam lima tahun ke depan, mereka berencana memperkuat armada dari 22 menjadi 60 pesawat. Menyangkut aspek keselamatan penerbangan, AdamAir juga akan melakukan konsultasi dengan lembaga audit penerbangan asing asal AS, IOSA. “Melihat potensi bisnis penerbangan dan perbaikan yang akan dilakukan AdamAir, bukan tak mungkin, ke depan, Hary akan menjadi raja di bisnis penerbangan,” tukas Ganjar.

Selain masuk ke industri penerbangan, Ganjar memprediksi Hary bakal mengakuisisi salah satu bank. Hanya, bank yang diincar bukan bank dengan modal di bawah Rp100 miliar, melainkan yang di atas Rp1 triliun. “Ini tinggal tunggu waktu saja,” ujarnya, yakin. Sementara itu, Hary sendiri mengaku pihaknya masih akan terus menjajaki potensi investasi di industri yang prospek pertumbuhannya tinggi. Sayangnya, pria yang mengidolakan Warren Buffett itu belum mau menyebutkan industri mana yang tengah diincarnya.

Kisah Hary dalam Membangun Bisnis

Kala itu Hary Tanoesoedibjo baru berusia 25 tahun. Ia baru saja meraih gelar Master of Business Administration dari Carlton University, Kanada. Pada usia semuda itu, Hary cukup percaya diri untuk membangun bisnis sendiri. Dengan modal Rp200 juta yang sebagian besar ia pinjam dari sang ayah, Hary mendirikan perusahaan sekuritas, PT Bhakti Investama, di Surabaya. Hary pernah bercerita kepada Warta Ekonomi, di awal menjalankan perusahaan, ia hanya ditemani oleh tiga orang staf. Ketika memutuskan untuk hijrah ke Jakarta pada 1990 dan memasukkan Bhakti ke Bursa Efek Jakarta, ia turun sendiri ke lantai perdagangan dan berdesak-desakan untuk menulis di papan transaksi. Bukan hanya itu, ia juga merekrut serta mewawancarai sendiri calon karyawannya.

Sejak kuliah, Hary memang telah jatuh cinta pada pasar modal. Ia yakin pasar modal adalah lahan bisnis yang akan digeluti dan memberikan prospek cerah. Maka, sejak 1987, sambil kuliah, anak bungsu dari enam bersaudara ini akrab bermain saham di bursa Toronto. Kabarnya, dari sinilah awal mula Hary mengenal dan membuka akses ke penyandang dana atau investor-investor kakap dunia.

Hary dan Keluarga Cendana

Sejak Hary Tanoesoedibjo masuk ke Bimantara, dia selalu dikait-kaitkan dengan Keluarga Cendana. Pasalnya, pascakrisis moneter dan lengsernya Soeharto, kondisi bisnis Keluarga Cendana memang pontang-panting terbelit utang, bahkan terancam dipailitkan. Investor alergi untuk melakukan hubungan bisnis dengan perusahaan-perusahaan milik Keluarga Cendana, apalagi untuk menyuntikkan dana. Namun, Hary justru datang dan masuk bak pahlawan penyelamat.

Hary masuk ke Bimantara Citra pada 2002 lewat PT Bhakti Investama Tbk. dengan membeli 24,94% saham. Bimantara adalah perusahaan yang didirikan oleh Bambang Trihatmodjo bersama tiga temannya, Rosano Barack, M. Tachril Sapi'ie, dan Peter Gontha. Pada 2004, Bhakti menambah kepemilikannya menjadi 39%. Sejak itu, Bhakti Investama menjadi pemegang saham mayoritas dan Bimantara menjadi sub-grup dari Bhakti Investama. Kendati Bambang tak lagi menjadi pemegang saham mayoritas di Bimantara, sejak Desember 2004 putra ketiga Soeharto ini kembali menjadi anggota komisaris Bimantara Citra.

Di tahun 2002, Hary juga “menyelamatkan” Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) milik Siti Hardijanti Rukmana atau Mbak Tutut, yang terancam dipailitkan. Mbak Tutut saat itu terbelit utang US$55 juta. Rupanya, putri sulung Soeharto itu tak mampu membayarnya. Hary bersedia mengambil alih utang dan menambah modal agar kinerja TPI membaik. Kompensasinya, Mbak Tutut memberikan 75% saham di TPI kepada PT Berkah Karya Bersama (Berkah), anak usaha PT Media Nusantara Citra (MNC), dan memberikan surat kuasa agar Berkah bisa mengendalikan secara penuh operasional TPI. Pada tahun ini pula Bhakti Investama membeli saham PT Citra Marga Nusaphala Persada (CMNP), yang juga milik Mbak Tutut.

Langkah bisnis Hary membuat sebagian orang beranggapan bahwa ia memiliki hubungan dengan Keluarga Cendana. Apalagi, di tahun yang sama, Hary masuk ke perusahaan-perusahaan yang dikuasai Keluarga Cendana. Spekulasi pun mencuat, termasuk rumor bahwa dana yang digunakan adalah milik Cendana. Hary hanyalah orang yang digunakan untuk menyelamatkan aset Cendana. Hary sendiri tak mau memberikan jawaban mengapa aset-aset yang dibidiknya adalah aset Cendana.

Menurut managing director PT Data Consult, Ganjar Sidik, pada masa sebelum Soeharto lengser, jika ada pengusaha yang ingin mencari investasi dan dana besar, mereka pasti akan mendekati Cendana. Pada 1990, ketika Hary memboyong perusahaannya ke Jakarta, sebagai pemain baru tentu ia harus mendekati semua orang dan membina hubungan baik. Di sini tak tertutup kemungkinan Hary pun membina hubungan dengan Keluarga Cendana. “Saya tidak tahu secara mendalam apakah ada udang di balik batu. Tetapi, saya menilai Hary melihat prospek yang bagus dari beberapa perusahaan yang dibidik,” ujar Ganjar.

Ganjar menilai, Hary adalah sosok yang memiliki kemampuan rekayasa keuangan tinggi, pelobi, dan negosiator andal. Sebagai pelobi yang baik, dia pasti akan membina hubungan dengan semua relasi. Jika aliran dana yang digunakan berasal dari Cendana, Ganjar menganggapnya wajar saja, sebab Bhakti Investama adalah kendaraan yang diciptakan Hary untuk mengumpulkan sumber dana. “Investor dari mana saja bisa masuk,” ucap Ganjar.

EVI RATNASARI DAN ARI WINDYANINGRUM

Tidak ada komentar:

Posting Komentar