Budi Kusumah, Budi Supriyantoro, dan Ahmad Pahingguan
Kematian Unibank, yang dibekukan pada 29 Oktober 2001, ternyata berbuntut panjang. Tapi masalah yang muncul kali ini tidak menyangkut tentang masih banyaknya dana deposan yang belum dibayar, melainkan ihwal 28 lembar NCD alias negotiable certificate deposit senilai US$ 28 juta. Surat berharga ini menjadi masalah lantaran, setelah Unibank ditutup, pemerintah”sebagai penjamin simpanan dana pihak ketiga--tidak mau membayarnya.
Alasannya, selain NCD ini berbentuk dolar (mestinya rupiah), jangka waktunya pun 36 bulan. Padahal, menurut aturan main yang berlaku, usia sertifikat semacam ini harus minimal 30 hari dan maksimal 24 bulan.
Tapi, PT Citra Marga Nusaphala Persada (CMNP), sebagai pemegang NCD yang jatuh tempo pada bulan Mei 2002, tidak mau menyerah begitu saja. Perusahaan jalan tol yang dulunya dimiliki Siti Hardiyanti Rukmana itu pun mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Dan majelis hakim yang diketuai I Putu Widnya mengabulkan gugatan tersebut. Sehingga, BPPN (selaku tergugat II) diwajibkan membayar ganti rugi senilai US$ 28 juta.
Persoalan pun terus bergulir karena BPPN tak mau melaksanakan putusan pengadilan. Anehnya, kendati PN Jakarta Pusat telah menegaskan bahwa NCD yang dipermasalahkan itu merupakan dokumen yang sah, belakangan ini malah muncul isu yang menyebutkan bahwa sertifikat tersebut bodong. Dan entah apa yang memicunya, telunjuk beberapa orang pun mengarah ke Hary Tanoesoedibjo. Bos dari PT Bimantara Citra ini disebut-sebut sebagai biang keladi munculnya NCD bodong yang”kata mereka”merugikan negara sebesar US$ 28 juta.
Ada beberapa argumen yang dipakai untuk menuduh Hary. Salah satunya lantaran PT Bhakti Investama Tbk (broker transaksi NCD tersebut) dan Drosophila Enterprise Pte. Ltd. (pemegang NCD Unibank yang dijual kepada CMNP) sama-sama dimiliki oleh Hary. Di sinilah, konon, terjadinya benturan kepentingan.
Serangan-serangan nan menyudutkan ini, tentu saja, dibantah keras. Menurut Hary, NCD Unibank yang dijualnya ke CMNP tidak bodong alias sah. Buktinya cukup banyak. Pada sebuah surat bertanggal 20 April 2000 yang ditujukan kepada Prasetio, Utomo & Co, pihak Unibank (dalam hal ini diwakili oleh pemimpin cabang Sudirman Jakarta) mengakui bahwa NCD yang berada di tangan CMNP benar-benar dokumen yang sah. Konfirmasi serupa kembali dilakukan setahun kemudian (22/2/2001). Bahkan, keberadaan NCD ini jelas terlihat pada Laporan Posisi Simpanan dan Kewajiban (LPSK) Unibank per 30 Juni 2001. Dalam LPSK tersebut, tampak adanya simpanan berjangka dalam bentuk dolar senilai US$ 55,413 juta. Dan pihak bank telah melaporkannya kepada BPPN.
Itu sebabnya, ketika CMNP meminta verifikasi langsung, pada 25 Oktober 2001, Unibank dengan cepat menandatanganinya. Tak ada penolakan ataupun bantahan dari pihak bank. Makanya tidak mengherankan jika CMNP bukan hanya memenangi gugatan di PN Jakarta Pusat, tapi juga di Pengadilan Tinggi Jakarta. Maklum, selain dalam LPSK, jurnal internal Unibank tanggal 25 dan 26 Mei 1999 (saat penyelesaian transaksi) juga jelas menunjukkan adanya dana yang masuk ke kas bank sebesar US$ 28 juta. Kalau ada dana masuk ke Unibank, berarti NCD itu legal, kata Pradjoto, pengamat perbankan.
Keabsahan sertifikat deposito yang dapat diperdagangkan itu juga diperkuat oleh Letter of Undertaking yang diterbitkan Unibank pada tanggal 21 Mei 1999. Di sana disebutkan adanya kesanggupan bank untuk membayar NCD tersebut di kala sudah jatuh tempo.
BI Harus Bertanggung Jawab
Namun, sayangnya, kendati dinyatakan sah, NCD ini juga memiliki beberapa kelemahan. Di antaranya, seperti disebutkan di atas, sertifikat itu memakai mata uang dolar dan berjangka waktu tiga tahun alias setahun lebih panjang dibanding batas maksimal yang ditentukan oleh Bank Indonesia. Yang lebih mengejutkan, negotiable certificate of deposit ini memberikan bunga 20,75% per tahun. Itu sebuah angka yang sangat-sangat tinggi. Apalagi, ini deposito dalam mata uang dolar, yang selalu diintai oleh ancaman rugi kurs yang disebabkan oleh perubahan nilai tukar.
Tapi, kalau melihat kondisi pada saat NCD ini diterbitkan, bunga setinggi itu sebenarnya bisa dimaklumi. Sebab, waktu itu, perbankan belum pulih dari pukulan krisis ekonomi. Tak banyak masyarakat yang berani menyimpan uangnya di bank kendati diiming-imingi bunga 25%.
Mungkin itulah yang mendorong Unibak untuk menerbitkan sertifikat deposito yang bisa diperdagangkan dengan bunga tinggi. Dalam penerbitannya, manajemen bank pun tidak bertindak sembarangan. Makanya penerbitan NCD yang melanggar aturan yang ditetapkan dalam SK Direksi BI tanggal 27 Oktober 1988 itu langsung dilaporkan kepada Bank Indonesia. Bahkan dalam laporan keuangan akhir tahun 1999, yang diaudit oleh AAJ Associates, jelas-jelas disebutkan keberadaan sertifikat ini dengan nilai equivalent Rp 198,8 miliar (berdasarkan kurs Rp 7.100 per dolar AS)
Sebuah dokumen hasil penyidikan oleh auditor independen--yang memeriksa keuangan PT Bank Unibank Tbk yang telah berstatus BBKU (bank beku kegiatan usaha)--juga menunjukkan bukti bahwa bank ini telah mengabarkan adanya 28 bilyet NCD dolar dengan nilai total US$ 28 juta. Pemberitahuan itu disampaikan pada 31 Maret 2000 atau 19 bulan sebelum terjadi pembekuan usaha.
Tidak hanya itu, pada 10 Oktober, pemberitahuan serupa juga disampaikan kepada Bank Indonesia. Cuma, yang agak mengherankan, otoritas moneter tidak mengeluarkan pendapat apa-apa tentang hal tersebut. Paling tidak, sang auditor tidak menemukan adanya surat dari BI yang melarang atau merestui diterbitkannya NCD tersebut. Sehingga, ia berasumsi, sertifikat ini termasuk penyimpangan yang telah mendapat persetujuan BI.
Begitu pula dalam hal tingkat bunga yang ditetapkan. Kendati bunga yang masuk dalam penjaminan hanya 8%, auditor menganggap pemberian bunga 20,75% merupakan penyimpangan yang juga telah mendapat restu Bank Indonesia.
Pradjoto pun tampaknya sependapat. Kata dia, walaupun diterbitkan dalam mata uang dolar, jika mendapat persetujuan BI maka keberadaan sertifikat itu adalah sah. Apalagi kalau tercatat dalam pembukuan yang setiap minggu dan setiap bulan dilaporkan ke Bank Indonesia. Berarti, NCD itu tidak bodong dan masuk ke dalam program penjaminan pemerintah, katanya.
Nah, karena masuk dalam program penjaminan, maka”tidak seperti yang dituduhkan oleh beberapa kalangan--dalam hal ini negara tidak pernah dirugikan. Iya dong. Seandainya NCD itu telah dilaporkan ke BI tapi tiba-tiba BI mengabaikan, maka bisa disimpulkan bahwa BI mengelak dari tanggung jawab, bukan begitu? tutur Pradjoto.
Dalam hal penjaminan, manajemen Unibank tampaknya cukup berhati-hati. Ketika sudah masuk ke dalam perawatan BPPN, misalnya, bank ini masih membayar premi untuk bulan Januari-Juni 2000 sebesar Rp 2,092 miliar.
Kepentingan Siapa yang Berbenturan?
Nah, kalau sertifikat depositonya sah, lantas bagaimana keberadaan PT Bhakti Investama Tbk sebagai broker dan Drosophila sebagai penjual NCD? Apakah peran dua perusahaan tersebut”yang notabene dimiliki oleh Keluarga Hary Tanoesoedibjo”dalam transaksi ini bisa dibenarkan? Untuk pertanyaan ini, beberapa pakar hukum perbankan yang dihubungi TRUST berpendapat senada. Menurut mereka, tak ada benturan kepentingan dalam transaksi tersebut.
Betul, Drosophila Enterprise Pte. Ltd. memiliki hubungan kepemilikan dengan PT Bhakti Investama Tbk. Namun, dalam transaksi ini, keduanya muncul sebagai satu entitas. Sementara PT CMNP merupakan entitas lain yang bertindak sebagai pembeli NCD. Jelas terlihat bahwa di kala jual-beli berlangsung, pemegang saham CMNP (seperti PT Jasa Marga, Krakatau Steel, Yayasan Purna Bhakti Pertiwi, dan tujuh pihak lainnya) tidak merangkap sebagai pemegang saham Drosophila maupun Bhakti Investama. Begitu pula sebaliknya, pemegang saham dua perusahaan itu tidak memiliki saham CMNP.
Begitu juga dalam hal kepengurusan. Direksi maupun komisaris CMNP tidak ada yang merangkap sebagai pengurus di Drosophila dan Bhakti Investama. Fakta ini dibenarkan oleh Lucas S.H., kuasa hukum CMNP. Kata dia, kecuali hubungan antara penjual-broker-pembeli, antara CMNP-Drosophila-PT Bhakti Investama tak ada hubungan apa-apa, baik dalam kepemilikan maupun kepengurusan. Bahkan, dengan tegas Lucas menyatakan bahwa dengan Unibank pun Bhakti atau Drosophila serta CMNP tidak memiliki keterkaitan apa-apa.
Dari fakta-fakta di atas, jelas sudah, sebenarnya tak ada sesuatu yang negatif dalam transaksi ini. Yang terjadi hanyalah”karena berbagai alasan--penjamin dana pihak ketiga (dulu BPPN) tak mau membayar kewajibannya. Dengan kata lain, ihwal NCD senilai US$ 28 juta ini sekarang sepenuhnya menjadi persoalan antara PT CMNP dan pemerintah.
Kelak, kalau Mahkamah Agung kembali menguatkan keputusan yang sudah diambil oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan Pengadilan Tinggi, maka”suka atau tidak suka”pemerintah harus membayar kewajiban tersebut. Sebaliknya, jika putusan akhir dari MA membatalkan vonis dua pengadilan tersebut, CMNP terpaksa harus gigit jari.
Kematian Unibank, yang dibekukan pada 29 Oktober 2001, ternyata berbuntut panjang. Tapi masalah yang muncul kali ini tidak menyangkut tentang masih banyaknya dana deposan yang belum dibayar, melainkan ihwal 28 lembar NCD alias negotiable certificate deposit senilai US$ 28 juta. Surat berharga ini menjadi masalah lantaran, setelah Unibank ditutup, pemerintah”sebagai penjamin simpanan dana pihak ketiga--tidak mau membayarnya.
Alasannya, selain NCD ini berbentuk dolar (mestinya rupiah), jangka waktunya pun 36 bulan. Padahal, menurut aturan main yang berlaku, usia sertifikat semacam ini harus minimal 30 hari dan maksimal 24 bulan.
Tapi, PT Citra Marga Nusaphala Persada (CMNP), sebagai pemegang NCD yang jatuh tempo pada bulan Mei 2002, tidak mau menyerah begitu saja. Perusahaan jalan tol yang dulunya dimiliki Siti Hardiyanti Rukmana itu pun mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Dan majelis hakim yang diketuai I Putu Widnya mengabulkan gugatan tersebut. Sehingga, BPPN (selaku tergugat II) diwajibkan membayar ganti rugi senilai US$ 28 juta.
Persoalan pun terus bergulir karena BPPN tak mau melaksanakan putusan pengadilan. Anehnya, kendati PN Jakarta Pusat telah menegaskan bahwa NCD yang dipermasalahkan itu merupakan dokumen yang sah, belakangan ini malah muncul isu yang menyebutkan bahwa sertifikat tersebut bodong. Dan entah apa yang memicunya, telunjuk beberapa orang pun mengarah ke Hary Tanoesoedibjo. Bos dari PT Bimantara Citra ini disebut-sebut sebagai biang keladi munculnya NCD bodong yang”kata mereka”merugikan negara sebesar US$ 28 juta.
Ada beberapa argumen yang dipakai untuk menuduh Hary. Salah satunya lantaran PT Bhakti Investama Tbk (broker transaksi NCD tersebut) dan Drosophila Enterprise Pte. Ltd. (pemegang NCD Unibank yang dijual kepada CMNP) sama-sama dimiliki oleh Hary. Di sinilah, konon, terjadinya benturan kepentingan.
Serangan-serangan nan menyudutkan ini, tentu saja, dibantah keras. Menurut Hary, NCD Unibank yang dijualnya ke CMNP tidak bodong alias sah. Buktinya cukup banyak. Pada sebuah surat bertanggal 20 April 2000 yang ditujukan kepada Prasetio, Utomo & Co, pihak Unibank (dalam hal ini diwakili oleh pemimpin cabang Sudirman Jakarta) mengakui bahwa NCD yang berada di tangan CMNP benar-benar dokumen yang sah. Konfirmasi serupa kembali dilakukan setahun kemudian (22/2/2001). Bahkan, keberadaan NCD ini jelas terlihat pada Laporan Posisi Simpanan dan Kewajiban (LPSK) Unibank per 30 Juni 2001. Dalam LPSK tersebut, tampak adanya simpanan berjangka dalam bentuk dolar senilai US$ 55,413 juta. Dan pihak bank telah melaporkannya kepada BPPN.
Itu sebabnya, ketika CMNP meminta verifikasi langsung, pada 25 Oktober 2001, Unibank dengan cepat menandatanganinya. Tak ada penolakan ataupun bantahan dari pihak bank. Makanya tidak mengherankan jika CMNP bukan hanya memenangi gugatan di PN Jakarta Pusat, tapi juga di Pengadilan Tinggi Jakarta. Maklum, selain dalam LPSK, jurnal internal Unibank tanggal 25 dan 26 Mei 1999 (saat penyelesaian transaksi) juga jelas menunjukkan adanya dana yang masuk ke kas bank sebesar US$ 28 juta. Kalau ada dana masuk ke Unibank, berarti NCD itu legal, kata Pradjoto, pengamat perbankan.
Keabsahan sertifikat deposito yang dapat diperdagangkan itu juga diperkuat oleh Letter of Undertaking yang diterbitkan Unibank pada tanggal 21 Mei 1999. Di sana disebutkan adanya kesanggupan bank untuk membayar NCD tersebut di kala sudah jatuh tempo.
BI Harus Bertanggung Jawab
Namun, sayangnya, kendati dinyatakan sah, NCD ini juga memiliki beberapa kelemahan. Di antaranya, seperti disebutkan di atas, sertifikat itu memakai mata uang dolar dan berjangka waktu tiga tahun alias setahun lebih panjang dibanding batas maksimal yang ditentukan oleh Bank Indonesia. Yang lebih mengejutkan, negotiable certificate of deposit ini memberikan bunga 20,75% per tahun. Itu sebuah angka yang sangat-sangat tinggi. Apalagi, ini deposito dalam mata uang dolar, yang selalu diintai oleh ancaman rugi kurs yang disebabkan oleh perubahan nilai tukar.
Tapi, kalau melihat kondisi pada saat NCD ini diterbitkan, bunga setinggi itu sebenarnya bisa dimaklumi. Sebab, waktu itu, perbankan belum pulih dari pukulan krisis ekonomi. Tak banyak masyarakat yang berani menyimpan uangnya di bank kendati diiming-imingi bunga 25%.
Mungkin itulah yang mendorong Unibak untuk menerbitkan sertifikat deposito yang bisa diperdagangkan dengan bunga tinggi. Dalam penerbitannya, manajemen bank pun tidak bertindak sembarangan. Makanya penerbitan NCD yang melanggar aturan yang ditetapkan dalam SK Direksi BI tanggal 27 Oktober 1988 itu langsung dilaporkan kepada Bank Indonesia. Bahkan dalam laporan keuangan akhir tahun 1999, yang diaudit oleh AAJ Associates, jelas-jelas disebutkan keberadaan sertifikat ini dengan nilai equivalent Rp 198,8 miliar (berdasarkan kurs Rp 7.100 per dolar AS)
Sebuah dokumen hasil penyidikan oleh auditor independen--yang memeriksa keuangan PT Bank Unibank Tbk yang telah berstatus BBKU (bank beku kegiatan usaha)--juga menunjukkan bukti bahwa bank ini telah mengabarkan adanya 28 bilyet NCD dolar dengan nilai total US$ 28 juta. Pemberitahuan itu disampaikan pada 31 Maret 2000 atau 19 bulan sebelum terjadi pembekuan usaha.
Tidak hanya itu, pada 10 Oktober, pemberitahuan serupa juga disampaikan kepada Bank Indonesia. Cuma, yang agak mengherankan, otoritas moneter tidak mengeluarkan pendapat apa-apa tentang hal tersebut. Paling tidak, sang auditor tidak menemukan adanya surat dari BI yang melarang atau merestui diterbitkannya NCD tersebut. Sehingga, ia berasumsi, sertifikat ini termasuk penyimpangan yang telah mendapat persetujuan BI.
Begitu pula dalam hal tingkat bunga yang ditetapkan. Kendati bunga yang masuk dalam penjaminan hanya 8%, auditor menganggap pemberian bunga 20,75% merupakan penyimpangan yang juga telah mendapat restu Bank Indonesia.
Pradjoto pun tampaknya sependapat. Kata dia, walaupun diterbitkan dalam mata uang dolar, jika mendapat persetujuan BI maka keberadaan sertifikat itu adalah sah. Apalagi kalau tercatat dalam pembukuan yang setiap minggu dan setiap bulan dilaporkan ke Bank Indonesia. Berarti, NCD itu tidak bodong dan masuk ke dalam program penjaminan pemerintah, katanya.
Nah, karena masuk dalam program penjaminan, maka”tidak seperti yang dituduhkan oleh beberapa kalangan--dalam hal ini negara tidak pernah dirugikan. Iya dong. Seandainya NCD itu telah dilaporkan ke BI tapi tiba-tiba BI mengabaikan, maka bisa disimpulkan bahwa BI mengelak dari tanggung jawab, bukan begitu? tutur Pradjoto.
Dalam hal penjaminan, manajemen Unibank tampaknya cukup berhati-hati. Ketika sudah masuk ke dalam perawatan BPPN, misalnya, bank ini masih membayar premi untuk bulan Januari-Juni 2000 sebesar Rp 2,092 miliar.
Kepentingan Siapa yang Berbenturan?
Nah, kalau sertifikat depositonya sah, lantas bagaimana keberadaan PT Bhakti Investama Tbk sebagai broker dan Drosophila sebagai penjual NCD? Apakah peran dua perusahaan tersebut”yang notabene dimiliki oleh Keluarga Hary Tanoesoedibjo”dalam transaksi ini bisa dibenarkan? Untuk pertanyaan ini, beberapa pakar hukum perbankan yang dihubungi TRUST berpendapat senada. Menurut mereka, tak ada benturan kepentingan dalam transaksi tersebut.
Betul, Drosophila Enterprise Pte. Ltd. memiliki hubungan kepemilikan dengan PT Bhakti Investama Tbk. Namun, dalam transaksi ini, keduanya muncul sebagai satu entitas. Sementara PT CMNP merupakan entitas lain yang bertindak sebagai pembeli NCD. Jelas terlihat bahwa di kala jual-beli berlangsung, pemegang saham CMNP (seperti PT Jasa Marga, Krakatau Steel, Yayasan Purna Bhakti Pertiwi, dan tujuh pihak lainnya) tidak merangkap sebagai pemegang saham Drosophila maupun Bhakti Investama. Begitu pula sebaliknya, pemegang saham dua perusahaan itu tidak memiliki saham CMNP.
Begitu juga dalam hal kepengurusan. Direksi maupun komisaris CMNP tidak ada yang merangkap sebagai pengurus di Drosophila dan Bhakti Investama. Fakta ini dibenarkan oleh Lucas S.H., kuasa hukum CMNP. Kata dia, kecuali hubungan antara penjual-broker-pembeli, antara CMNP-Drosophila-PT Bhakti Investama tak ada hubungan apa-apa, baik dalam kepemilikan maupun kepengurusan. Bahkan, dengan tegas Lucas menyatakan bahwa dengan Unibank pun Bhakti atau Drosophila serta CMNP tidak memiliki keterkaitan apa-apa.
Dari fakta-fakta di atas, jelas sudah, sebenarnya tak ada sesuatu yang negatif dalam transaksi ini. Yang terjadi hanyalah”karena berbagai alasan--penjamin dana pihak ketiga (dulu BPPN) tak mau membayar kewajibannya. Dengan kata lain, ihwal NCD senilai US$ 28 juta ini sekarang sepenuhnya menjadi persoalan antara PT CMNP dan pemerintah.
Kelak, kalau Mahkamah Agung kembali menguatkan keputusan yang sudah diambil oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan Pengadilan Tinggi, maka”suka atau tidak suka”pemerintah harus membayar kewajiban tersebut. Sebaliknya, jika putusan akhir dari MA membatalkan vonis dua pengadilan tersebut, CMNP terpaksa harus gigit jari.
Di ambil dari;
Tidak ada komentar:
Posting Komentar