Rabu, 5 Maret 2008 16:10 WIB - wartaekonomi.com
Peringkat Konglomerat 2008
Pascakrisis, jumlah konglomerasi mengempis dari 200-an menjadi tinggal 50-an. Para konglomerat yang mampu bertahan, kini menjadi makin kuat. Mereka kini kian ekspansif. Nilai transaksinya mencapai triliunan rupiah. Kemampuannya memobilisasi dana-dana publik menjadi modal ekspansinya.
Grup Bakrie lagi-lagi membuat “gaduh” bursa saham. Di tengah euforia melonjaknya harga saham pada penghujung 2007, konglomerasi milik Keluarga Bakrie itu meluncurkan rencana mengejutkan. Lewat salah satu gergasi bisnisnya, PT Bakrie & Brothers (B&B) Tbk., mereka bermaksud mengail dana publik lewat penerbitan saham atau rights issue senilai Rp40 triliun lebih! Dana sebesar itu akan digunakan untuk mengakuisisi tiga perusahaan: PT Bumi Resources Tbk., PT Bakrie Development Tbk., dan PT Energi Mega Persada Tbk.
Publik terperangah. Pasalnya, selain nilainya kelewat besar, bukankah tiga aset itu masih milik Keluarga Bakrie juga? Artinya, ini adalah akuisisi internal yang sarat benturan kepentingan. Beragam isu pun menyeruak. Sebagian pihak menduga Keluarga Bakrie tengah berupaya mengakumulasi keuntungan. Kabar lain menyebutkan sebagian dana hasil penjualan saham akan dipakai untuk meningkatkan kendali di B&B.
Bobby Gafur S. Umar, presdir B&B, menepis rumor tersebut. Ia menjelaskan akuisisi ini sesuai road map bisnis B&B di masa depan. Pembelian tiga aset itu akan meningkatkan nilai perusahaannya sampai lima kali lipat. “B&B akan berubah menjadi strategic investment holding,” ujarnya. Seiring perubahan status ini, bisnis inti B&B berubah menjadi aktivitas investasi pada aset-aset strategis, baik melalui penyertaan modal, merger, maupun akuisisi.
Rencana B&B tadi seakan menegaskan pulihnya kejayaan kerajaan bisnis Keluarga Bakrie. Apalagi sebelumnya majalah Forbes Asia menobatkan Aburizal “Ical” Bakrie sebagai orang terkaya se-Indonesia. Kekayaan Menko Kesejahteraan Rakyat itu ditaksir mencapai Rp50 triliun! “Ah, itu cuma di atas kertas,” kelit Ical pada sebuah media nasional. Dengan kekayaan yang bertambah bagai deret ukur itu, Keluarga Bakrie mampu menyalip sederet taipan kondang, seperti Liem Sioe Liong, Eka Tjipta Widjaja, atau Sukanto Tanoto yang bos Grup Raja Garuda Mas (RGM), sebagai orang terkaya se-Indonesia.
Menggelembungnya kekayaan Ical itu ditiup oleh kenaikan harga saham perusahaan-perusahaannya. Contohnya, harga saham BUMI dalam dua tahun meroket dari Rp20 menjadi Rp7.300 per lembar. Sepanjang 2007, omzet BUMI melesat 77,5% menjadi Rp15,4 triliun. Peningkatan ini didorong oleh makin mahalnya harga batu bara di pasaran dunia. Bertambahnya kekayaan juga membuat aset Keluarga Bakrie melambung. Penelusuran Warta Ekonomi menunjukkan gurita bisnis yang didirikan Achmad Bakrie sejak 1942 ini memiliki aset Rp42,63 triliun, naik signifikan dibanding tahun lalu yang Rp30,5 triliun.
Era Baru
Geliat Grup Bakrie hanyalah fenomena gunung es di kalangan konglomerasi nasional. Beberapa tahun terakhir, para konglomerat yang selamat dari krisis memang mulai unjuk diri. Mereka agresif berekspansi ke proyek-proyek baru, dan masuk ke sejumlah industri strategis.
Meski begitu, Warta Ekonomi mencatat jumlah konglomerasi sudah jauh lebih mengempis. Kalau sebelum krisis ada 200-an konglomerasi, kini tinggal 50-an. “Seleksi sudah terjadi. Akhirnya yang bertahan adalah yang besar dan sehat,” kata Jaya Suprana, pemilik perusahaan Jamu Jago.
Kembalinya era konglomerasi tak luput dari pengamatan Jaya. Kendati menorehkan catatan kelam dalam sejarah bisnis di Indonesia, di mata penggemar piano itu, konsep konglomerasi tidak salah. Hanya, di banyak negara, model konglomerasi—terutama yang terintegrasi dari hulu sampai hilir tetap diharamkan.
Salah satu yang dikritik Jaya adalah imperium bisnis Grup Salim. Mereka memiliki pabrik tepung, mi, punya distributor, sampai bisnis ritelnya di hilir. “Ketika ketemu Om Liem, saya pernah tanya, mengapa tidak sekalian dibeli sendiri saja produk-produknya, sehingga komplit... hahaha,” seloroh Jaya.
Lima tahun silam, seorang analis pasar modal pernah meramalkan fenomena tersebut. Menurut dia, krisis ekonomi memang menyebabkan banyak konglomerasi tumbang. Konglomerasi yang bertahan mencoba melakukan konsolidasi dan mengerem laju ekspansi untuk menghindari sorotan publik. “Namun, perhatikan lima sampai sepuluh tahun setelah krisis, mereka akan kembali bangkit.”
Ramalan analis tadi kini menjadi kenyataan. Dalam setahun terakhir, ekonomi konglomerasi kembali unjuk gigi lewat serangkaian ekspansi. Gejala ini seolah menjadi tanda dimulainya era konglomerasi jilid kedua. Para taipan yang sudah kembali sehat, bisnisnya menjadi lebih kuat. Mereka berhasil mengembalikan kepercayaan publik serta lembaga-lembaga keuangan baik nasional maupun internasional. Kini, mereka siap berlari kembali.
Langkah Prajogo Pangestu bisa menjadi contoh. Bos Grup Barito Pacific itu sukses mengembalikan kejayaannya setelah berhasil mengambil alih dan menguasai 70% saham PT Chandra Asri seharga Rp9,7 triliun. Sumber dana akuisisi dikeruknya dari hasil rights issue PT Barito Pacific Tbk. senilai Rp9,16 triliun.
Prajogo juga bertindak sebagai pembeli siaga melalui Magna Resources Corporation Pte. Ltd., perusahaan investasi miliknya yang berbasis di Singapura. Perusahaan ini belakangan diketahui memperoleh sokongan dana dari DBS Bank Singapura, anak usaha Temasek, sebesar US$2 miliar. Alhasil, pembelian ini menyebabkan aset Grup Barito melonjak dari Rp1,7 triliun menjadi Rp14,9 triliun. Padahal, pada 1996, aset Grup Barito tercatat hanya Rp5,04 triliun.
Langkah bisnis para konglomerat ini juga mengejutkan. Mereka masuk ke sejumlah industri strategis, menggandeng mitra global, memobilisasi dana publik lokal maupun asing, dan membesarkan nilai perusahaan begitu cepat. Konglomerasi seperti Bakrie, Para, dan Bhakti adalah segelintir yang berhasil melipatgandakan asetnya secara luar biasa.
Wajah Lama
Berdasarkan penelusuran Warta Ekonomi, peringkat konglomerasi tahun ini masih didominasi wajah-wajah lama. Grup Sinar Mas tercatat menjadi yang terbesar dengan aset Rp72,8 triliun. Sedikit di bawahnya ada kelompok usaha RGM, yang asetnya mencapai Rp72 triliun. Urutan berikutnya adalah Grup Astra, Grup Salim, dan Grup Bakrie (lihat tabel).
Grup Bhakti merupakan salah satu konglomerasi yang fenomenal. Kelompok usaha milik Hary Tanoesoedibjo ini berhasil melipatgandakan asetnya menjadi Rp18 triliun hanya dalam tempo setahun. Hary Tanoe sungguh memahami cara mendongkrak nilai asetnya. Lewat kendaraan investasinya, ia mengakuisisi 50% saham maskapai penerbangan Adam Air. Ia juga menambah kepemilikan saham di PT Citra Marga Nusaphala Tbk. dari 10,76% menjadi 17,9%.
Investasi lainnya adalah memperkuat kendali di PT Global Mediacom (GMC) Tbk. lewat penambahan saham dari 49,01% menjadi 52,85%. Grup Bhakti juga mengakuisisi 20% saham PT MNC Sky Vision, operator jaringan televisi berbayar Indovision. “Dana ekspansi dari hasil rights issue Bhakti Investama sebesar US$400 juta,” ungkap Robert Satrya, sekretaris perusahaan PT Bhakti Investama Tbk.
Hary adalah konglomerat yang gaya ekspansinya berbeda dengan para seniornya. Dari sisi sumber dana, ia lebih mengandalkan pasar modal ketimbang perbankan. Dari sisi industrinya, Hary menggeluti bisnis media dan telekomunikasi. Sementara itu, konglomerasi yang lain justru mengincar aset-aset infrastruktur, energi, pertambangan, dan perkebunan. “Bercermin dari pengalaman dan prediksi ke depan, bidang-bidang ini relatif kebal krisis dan prospektif,” tegas A.B. Susanto, managing partner The Jakarta Consulting Group.
Susanto benar. Grup Medco milik Arifin Panigoro, yang beraset Rp21 triliun, misalnya, gencar menggarap ladang-ladang minyak baru di sejumlah negara dan memperkuat bisnis perkebunannya. Upaya ini diakui Yani Panigoro, komisaris PT Medco Energi Internasional Tbk. Setelah Kalimantan dan Sumatera, mereka mengincar lahan baru di Papua. Tahap pertama, targetnya 15.000 hektar kebun sawit. “Kami berharap bisa membuka 50.000–60.000 hektar sampai lima tahun ke depan,” ujarnya.
Bisnis perkebunan memang ciamik. Kendati padat modal, marginnya menggiurkan. Jadi, jangan heran jika antarkonglomerasi bersaing sengit di industri ini. Apalagi, delapan dari sepuluh konglomerasi terbesar menekuni bisnis ini dan menguasai lahan ratusan ribu hektar yang terbentang dari Sumatera hingga Papua.
Grup Salim, misalnya, baru saja mengakuisisi 64,4% saham PT London Sumatra Tbk. (Lonsum) senilai Rp8,4 triliun lewat dua mesin uangnya, PT Invomas Pratama dan PT Indofood Agri Resources. Kini mereka memiliki lahan sawit seluas 400.000 hektar. “Akuisisi ini untuk memperkuat struktur bisnis Indofood,” kata Felix Sindhunata, kepala riset PT Recapital Securities.
Ganjar Sidik, direktur pengelola perusahaan riset Data Consult, menilai gairah ekspansi konglomerasi ke perkebunan dan pertambangan didorong oleh lonjakan harga di pasaran dunia. Konglomerasi diuntungkan karena dua industri ini bersifat padat modal dan jangka panjang. Jadi, hanya grup usaha yang bermodal kuat saja yang bisa sukses menekuni bisnis ini. Siapa saja? Lagi-lagi para konglomerat tadi.
Investasi di sumber daya alam, menurut Ganjar, menjadi pendorong pertumbuhan aset. “Grup-grup perusahaan yang punya kelapa sawit dan batu bara, rata-rata asetnya meningkat cukup besar,” ungkapnya. Ini tercermin dari kontribusi labanya yang sebagian besar dari dua industri tadi.
Momentum Pendorong
Ekspansi para konglomerat sedikitnya memiliki empat alasan. Pertama, kondisi ekonomi yang kondusif, tercermin dari tren penurunan suku bunga, inflasi terkendali, nilai tukar rupiah yang relatif stabil, dan pertumbuhan ekonomi yang lumayan tinggi. Kedua, jumlah dana asing yang menganggur sangat berlimpah.
Ketiga, pulihnya kepercayaan publik dan lembaga keuangan terhadap konglomerasi. Ini tercermin dari aksi-aksi mereka dalam memperoleh pendanaan. Potret yang sama terjadi pula di industri perbankan, yang kian longgar dalam mengucurkan kreditnya kepada kelompok usaha besar. Keempat, adanya peluang bisnis baru yang didorong kebutuhan pasar maupun kebijakan pemerintah. “Pengusaha selalu melihat peluang. Jika ada peluang, ada dana, dan memiliki kompetensi, pasti kesempatan itu tak akan disia-siakan,” kata Yani Panigoro.
Potensi bisnis itu, misalnya, ada di sektor infrastruktur dan perkebunan. Di bisnis infrastruktur, muncul nama-nama besar, seperti Bakrie, Medco, Indika, Bosowa, dan Bukaka. Mereka membentuk konsorsium dan menggandeng mitra asing untuk menggarap proyek-proyek tersebut.
Lewat PT Bosowa Energy, Grup Bosowa bekerja sama dengan Chenda Engineering Corporation of China membangun PLTU Jeneponto di Sulawesi Selatan. Proyek pembangkit berkapasitas 2 x 100 megawatt itu menelan investasi US$200 juta. Aksa Mahmud, pemilik Grup Bosowa, ternyata gesit bermain di bisnis ini. Tanpa harus ikut tender, ia bisa meyakinkan pemerintah untuk mendapatkan proyek tersebut.
Bosowa adalah konglomerasi terbesar kedua di Indonesia Timur, setelah Grup Kalla, milik Jusuf Kalla, kini Wakil Presiden RI. “Total aset Bosowa sudah Rp4 triliun,” ungkap Erwin Aksa, CEO Bosowa Corporation. Untuk membiayai ekspansinya, tahun ini mereka menyediakan belanja modal US$400 juta. Dana itu di luar investasi untuk proyek pembangkit listrik.
Sementara itu, Grup Indika milik Sudwikatmono kebagian proyek PLTU Bangko Tengah, Sumatera Selatan, berkapasitas 4 x 600 megawatt. Di proyek senilai US$1,6 miliar itu, porsi kepemilikan Indika 24,5%. Sebelumnya, Indika juga mengakuisisi 41% saham PT Kideco Jaya Agung, produsen batu bara terbesar ketiga di Indonesia. Mereka juga menguasai 60% saham PT Berau Coal.
Dukungan perbankan membantu ekspansi konglomerasi. “Pascakrisis, konglomerasi sudah makin baik,” kata Pahala N. Mansury, chief financial officer Bank Mandiri. Penilaian inilah yang mendorong Bank Mandiri berani mengucurkan kreditnya ke sejumlah kelompok usaha besar meski masih sangat selektif dalam memilih industri maupun debiturnya. Kebanyakan kredit mengucur untuk proyek-proyek yang terkait kebijakan pemerintah, seperti infrastruktur, serta bisnis pertambangan dan perkebunan. Bank Mandiri juga melihat rekam jejak dari masing-masing konglomerasi. “Tak semua konglomerat itu buruk,” ujarnya.
Kredit Bank Mandiri mengucur ke konglomerasi baru, Grup Triputra. Melalui salah satu lengan bisnisnya, yakni Union Sampoerna Triputra Persada Group (USTP), mereka berhasil mengantongi kucuran kredit investasi dari Bank Mandiri sebesar US$147,8 juta. “Sebanyak US$125 juta dipakai untuk mengakuisisi 63.000 hektar kebun kelapa sawit di Kalimantan Tengah,” tegas Teddy P. Rachmat, komisaris USTP. Di USTP, mereka menggandeng Keluarga Sampoerna.
Triputra adalah kelompok usaha yang dimotori para mantan petinggi Grup Astra, seperti Teddy P. Rachmat dan Benny Subianto. Mereka bergerak di bisnis perkebunan, pertambangan, distribusi kendaraan, dan jasa keuangan, dengan omzet mencapai Rp30 triliun! Untuk mengembangkan kebun sawit, mereka mengklaim siap menggelontorkan dana US$294,4 juta. Jadi, go!... go!...go!
PRANANDA HERDIAWAN, ARI WINDYANINGRUM, EVI RATNASARI, SATRIANI ARI WULAN, DAN D. UTAMI WARDHANI
Peringkat Konglomerat 2008
Pascakrisis, jumlah konglomerasi mengempis dari 200-an menjadi tinggal 50-an. Para konglomerat yang mampu bertahan, kini menjadi makin kuat. Mereka kini kian ekspansif. Nilai transaksinya mencapai triliunan rupiah. Kemampuannya memobilisasi dana-dana publik menjadi modal ekspansinya.
Grup Bakrie lagi-lagi membuat “gaduh” bursa saham. Di tengah euforia melonjaknya harga saham pada penghujung 2007, konglomerasi milik Keluarga Bakrie itu meluncurkan rencana mengejutkan. Lewat salah satu gergasi bisnisnya, PT Bakrie & Brothers (B&B) Tbk., mereka bermaksud mengail dana publik lewat penerbitan saham atau rights issue senilai Rp40 triliun lebih! Dana sebesar itu akan digunakan untuk mengakuisisi tiga perusahaan: PT Bumi Resources Tbk., PT Bakrie Development Tbk., dan PT Energi Mega Persada Tbk.
Publik terperangah. Pasalnya, selain nilainya kelewat besar, bukankah tiga aset itu masih milik Keluarga Bakrie juga? Artinya, ini adalah akuisisi internal yang sarat benturan kepentingan. Beragam isu pun menyeruak. Sebagian pihak menduga Keluarga Bakrie tengah berupaya mengakumulasi keuntungan. Kabar lain menyebutkan sebagian dana hasil penjualan saham akan dipakai untuk meningkatkan kendali di B&B.
Bobby Gafur S. Umar, presdir B&B, menepis rumor tersebut. Ia menjelaskan akuisisi ini sesuai road map bisnis B&B di masa depan. Pembelian tiga aset itu akan meningkatkan nilai perusahaannya sampai lima kali lipat. “B&B akan berubah menjadi strategic investment holding,” ujarnya. Seiring perubahan status ini, bisnis inti B&B berubah menjadi aktivitas investasi pada aset-aset strategis, baik melalui penyertaan modal, merger, maupun akuisisi.
Rencana B&B tadi seakan menegaskan pulihnya kejayaan kerajaan bisnis Keluarga Bakrie. Apalagi sebelumnya majalah Forbes Asia menobatkan Aburizal “Ical” Bakrie sebagai orang terkaya se-Indonesia. Kekayaan Menko Kesejahteraan Rakyat itu ditaksir mencapai Rp50 triliun! “Ah, itu cuma di atas kertas,” kelit Ical pada sebuah media nasional. Dengan kekayaan yang bertambah bagai deret ukur itu, Keluarga Bakrie mampu menyalip sederet taipan kondang, seperti Liem Sioe Liong, Eka Tjipta Widjaja, atau Sukanto Tanoto yang bos Grup Raja Garuda Mas (RGM), sebagai orang terkaya se-Indonesia.
Menggelembungnya kekayaan Ical itu ditiup oleh kenaikan harga saham perusahaan-perusahaannya. Contohnya, harga saham BUMI dalam dua tahun meroket dari Rp20 menjadi Rp7.300 per lembar. Sepanjang 2007, omzet BUMI melesat 77,5% menjadi Rp15,4 triliun. Peningkatan ini didorong oleh makin mahalnya harga batu bara di pasaran dunia. Bertambahnya kekayaan juga membuat aset Keluarga Bakrie melambung. Penelusuran Warta Ekonomi menunjukkan gurita bisnis yang didirikan Achmad Bakrie sejak 1942 ini memiliki aset Rp42,63 triliun, naik signifikan dibanding tahun lalu yang Rp30,5 triliun.
Era Baru
Geliat Grup Bakrie hanyalah fenomena gunung es di kalangan konglomerasi nasional. Beberapa tahun terakhir, para konglomerat yang selamat dari krisis memang mulai unjuk diri. Mereka agresif berekspansi ke proyek-proyek baru, dan masuk ke sejumlah industri strategis.
Meski begitu, Warta Ekonomi mencatat jumlah konglomerasi sudah jauh lebih mengempis. Kalau sebelum krisis ada 200-an konglomerasi, kini tinggal 50-an. “Seleksi sudah terjadi. Akhirnya yang bertahan adalah yang besar dan sehat,” kata Jaya Suprana, pemilik perusahaan Jamu Jago.
Kembalinya era konglomerasi tak luput dari pengamatan Jaya. Kendati menorehkan catatan kelam dalam sejarah bisnis di Indonesia, di mata penggemar piano itu, konsep konglomerasi tidak salah. Hanya, di banyak negara, model konglomerasi—terutama yang terintegrasi dari hulu sampai hilir tetap diharamkan.
Salah satu yang dikritik Jaya adalah imperium bisnis Grup Salim. Mereka memiliki pabrik tepung, mi, punya distributor, sampai bisnis ritelnya di hilir. “Ketika ketemu Om Liem, saya pernah tanya, mengapa tidak sekalian dibeli sendiri saja produk-produknya, sehingga komplit... hahaha,” seloroh Jaya.
Lima tahun silam, seorang analis pasar modal pernah meramalkan fenomena tersebut. Menurut dia, krisis ekonomi memang menyebabkan banyak konglomerasi tumbang. Konglomerasi yang bertahan mencoba melakukan konsolidasi dan mengerem laju ekspansi untuk menghindari sorotan publik. “Namun, perhatikan lima sampai sepuluh tahun setelah krisis, mereka akan kembali bangkit.”
Ramalan analis tadi kini menjadi kenyataan. Dalam setahun terakhir, ekonomi konglomerasi kembali unjuk gigi lewat serangkaian ekspansi. Gejala ini seolah menjadi tanda dimulainya era konglomerasi jilid kedua. Para taipan yang sudah kembali sehat, bisnisnya menjadi lebih kuat. Mereka berhasil mengembalikan kepercayaan publik serta lembaga-lembaga keuangan baik nasional maupun internasional. Kini, mereka siap berlari kembali.
Langkah Prajogo Pangestu bisa menjadi contoh. Bos Grup Barito Pacific itu sukses mengembalikan kejayaannya setelah berhasil mengambil alih dan menguasai 70% saham PT Chandra Asri seharga Rp9,7 triliun. Sumber dana akuisisi dikeruknya dari hasil rights issue PT Barito Pacific Tbk. senilai Rp9,16 triliun.
Prajogo juga bertindak sebagai pembeli siaga melalui Magna Resources Corporation Pte. Ltd., perusahaan investasi miliknya yang berbasis di Singapura. Perusahaan ini belakangan diketahui memperoleh sokongan dana dari DBS Bank Singapura, anak usaha Temasek, sebesar US$2 miliar. Alhasil, pembelian ini menyebabkan aset Grup Barito melonjak dari Rp1,7 triliun menjadi Rp14,9 triliun. Padahal, pada 1996, aset Grup Barito tercatat hanya Rp5,04 triliun.
Langkah bisnis para konglomerat ini juga mengejutkan. Mereka masuk ke sejumlah industri strategis, menggandeng mitra global, memobilisasi dana publik lokal maupun asing, dan membesarkan nilai perusahaan begitu cepat. Konglomerasi seperti Bakrie, Para, dan Bhakti adalah segelintir yang berhasil melipatgandakan asetnya secara luar biasa.
Wajah Lama
Berdasarkan penelusuran Warta Ekonomi, peringkat konglomerasi tahun ini masih didominasi wajah-wajah lama. Grup Sinar Mas tercatat menjadi yang terbesar dengan aset Rp72,8 triliun. Sedikit di bawahnya ada kelompok usaha RGM, yang asetnya mencapai Rp72 triliun. Urutan berikutnya adalah Grup Astra, Grup Salim, dan Grup Bakrie (lihat tabel).
Grup Bhakti merupakan salah satu konglomerasi yang fenomenal. Kelompok usaha milik Hary Tanoesoedibjo ini berhasil melipatgandakan asetnya menjadi Rp18 triliun hanya dalam tempo setahun. Hary Tanoe sungguh memahami cara mendongkrak nilai asetnya. Lewat kendaraan investasinya, ia mengakuisisi 50% saham maskapai penerbangan Adam Air. Ia juga menambah kepemilikan saham di PT Citra Marga Nusaphala Tbk. dari 10,76% menjadi 17,9%.
Investasi lainnya adalah memperkuat kendali di PT Global Mediacom (GMC) Tbk. lewat penambahan saham dari 49,01% menjadi 52,85%. Grup Bhakti juga mengakuisisi 20% saham PT MNC Sky Vision, operator jaringan televisi berbayar Indovision. “Dana ekspansi dari hasil rights issue Bhakti Investama sebesar US$400 juta,” ungkap Robert Satrya, sekretaris perusahaan PT Bhakti Investama Tbk.
Hary adalah konglomerat yang gaya ekspansinya berbeda dengan para seniornya. Dari sisi sumber dana, ia lebih mengandalkan pasar modal ketimbang perbankan. Dari sisi industrinya, Hary menggeluti bisnis media dan telekomunikasi. Sementara itu, konglomerasi yang lain justru mengincar aset-aset infrastruktur, energi, pertambangan, dan perkebunan. “Bercermin dari pengalaman dan prediksi ke depan, bidang-bidang ini relatif kebal krisis dan prospektif,” tegas A.B. Susanto, managing partner The Jakarta Consulting Group.
Susanto benar. Grup Medco milik Arifin Panigoro, yang beraset Rp21 triliun, misalnya, gencar menggarap ladang-ladang minyak baru di sejumlah negara dan memperkuat bisnis perkebunannya. Upaya ini diakui Yani Panigoro, komisaris PT Medco Energi Internasional Tbk. Setelah Kalimantan dan Sumatera, mereka mengincar lahan baru di Papua. Tahap pertama, targetnya 15.000 hektar kebun sawit. “Kami berharap bisa membuka 50.000–60.000 hektar sampai lima tahun ke depan,” ujarnya.
Bisnis perkebunan memang ciamik. Kendati padat modal, marginnya menggiurkan. Jadi, jangan heran jika antarkonglomerasi bersaing sengit di industri ini. Apalagi, delapan dari sepuluh konglomerasi terbesar menekuni bisnis ini dan menguasai lahan ratusan ribu hektar yang terbentang dari Sumatera hingga Papua.
Grup Salim, misalnya, baru saja mengakuisisi 64,4% saham PT London Sumatra Tbk. (Lonsum) senilai Rp8,4 triliun lewat dua mesin uangnya, PT Invomas Pratama dan PT Indofood Agri Resources. Kini mereka memiliki lahan sawit seluas 400.000 hektar. “Akuisisi ini untuk memperkuat struktur bisnis Indofood,” kata Felix Sindhunata, kepala riset PT Recapital Securities.
Ganjar Sidik, direktur pengelola perusahaan riset Data Consult, menilai gairah ekspansi konglomerasi ke perkebunan dan pertambangan didorong oleh lonjakan harga di pasaran dunia. Konglomerasi diuntungkan karena dua industri ini bersifat padat modal dan jangka panjang. Jadi, hanya grup usaha yang bermodal kuat saja yang bisa sukses menekuni bisnis ini. Siapa saja? Lagi-lagi para konglomerat tadi.
Investasi di sumber daya alam, menurut Ganjar, menjadi pendorong pertumbuhan aset. “Grup-grup perusahaan yang punya kelapa sawit dan batu bara, rata-rata asetnya meningkat cukup besar,” ungkapnya. Ini tercermin dari kontribusi labanya yang sebagian besar dari dua industri tadi.
Momentum Pendorong
Ekspansi para konglomerat sedikitnya memiliki empat alasan. Pertama, kondisi ekonomi yang kondusif, tercermin dari tren penurunan suku bunga, inflasi terkendali, nilai tukar rupiah yang relatif stabil, dan pertumbuhan ekonomi yang lumayan tinggi. Kedua, jumlah dana asing yang menganggur sangat berlimpah.
Ketiga, pulihnya kepercayaan publik dan lembaga keuangan terhadap konglomerasi. Ini tercermin dari aksi-aksi mereka dalam memperoleh pendanaan. Potret yang sama terjadi pula di industri perbankan, yang kian longgar dalam mengucurkan kreditnya kepada kelompok usaha besar. Keempat, adanya peluang bisnis baru yang didorong kebutuhan pasar maupun kebijakan pemerintah. “Pengusaha selalu melihat peluang. Jika ada peluang, ada dana, dan memiliki kompetensi, pasti kesempatan itu tak akan disia-siakan,” kata Yani Panigoro.
Potensi bisnis itu, misalnya, ada di sektor infrastruktur dan perkebunan. Di bisnis infrastruktur, muncul nama-nama besar, seperti Bakrie, Medco, Indika, Bosowa, dan Bukaka. Mereka membentuk konsorsium dan menggandeng mitra asing untuk menggarap proyek-proyek tersebut.
Lewat PT Bosowa Energy, Grup Bosowa bekerja sama dengan Chenda Engineering Corporation of China membangun PLTU Jeneponto di Sulawesi Selatan. Proyek pembangkit berkapasitas 2 x 100 megawatt itu menelan investasi US$200 juta. Aksa Mahmud, pemilik Grup Bosowa, ternyata gesit bermain di bisnis ini. Tanpa harus ikut tender, ia bisa meyakinkan pemerintah untuk mendapatkan proyek tersebut.
Bosowa adalah konglomerasi terbesar kedua di Indonesia Timur, setelah Grup Kalla, milik Jusuf Kalla, kini Wakil Presiden RI. “Total aset Bosowa sudah Rp4 triliun,” ungkap Erwin Aksa, CEO Bosowa Corporation. Untuk membiayai ekspansinya, tahun ini mereka menyediakan belanja modal US$400 juta. Dana itu di luar investasi untuk proyek pembangkit listrik.
Sementara itu, Grup Indika milik Sudwikatmono kebagian proyek PLTU Bangko Tengah, Sumatera Selatan, berkapasitas 4 x 600 megawatt. Di proyek senilai US$1,6 miliar itu, porsi kepemilikan Indika 24,5%. Sebelumnya, Indika juga mengakuisisi 41% saham PT Kideco Jaya Agung, produsen batu bara terbesar ketiga di Indonesia. Mereka juga menguasai 60% saham PT Berau Coal.
Dukungan perbankan membantu ekspansi konglomerasi. “Pascakrisis, konglomerasi sudah makin baik,” kata Pahala N. Mansury, chief financial officer Bank Mandiri. Penilaian inilah yang mendorong Bank Mandiri berani mengucurkan kreditnya ke sejumlah kelompok usaha besar meski masih sangat selektif dalam memilih industri maupun debiturnya. Kebanyakan kredit mengucur untuk proyek-proyek yang terkait kebijakan pemerintah, seperti infrastruktur, serta bisnis pertambangan dan perkebunan. Bank Mandiri juga melihat rekam jejak dari masing-masing konglomerasi. “Tak semua konglomerat itu buruk,” ujarnya.
Kredit Bank Mandiri mengucur ke konglomerasi baru, Grup Triputra. Melalui salah satu lengan bisnisnya, yakni Union Sampoerna Triputra Persada Group (USTP), mereka berhasil mengantongi kucuran kredit investasi dari Bank Mandiri sebesar US$147,8 juta. “Sebanyak US$125 juta dipakai untuk mengakuisisi 63.000 hektar kebun kelapa sawit di Kalimantan Tengah,” tegas Teddy P. Rachmat, komisaris USTP. Di USTP, mereka menggandeng Keluarga Sampoerna.
Triputra adalah kelompok usaha yang dimotori para mantan petinggi Grup Astra, seperti Teddy P. Rachmat dan Benny Subianto. Mereka bergerak di bisnis perkebunan, pertambangan, distribusi kendaraan, dan jasa keuangan, dengan omzet mencapai Rp30 triliun! Untuk mengembangkan kebun sawit, mereka mengklaim siap menggelontorkan dana US$294,4 juta. Jadi, go!... go!...go!
PRANANDA HERDIAWAN, ARI WINDYANINGRUM, EVI RATNASARI, SATRIANI ARI WULAN, DAN D. UTAMI WARDHANI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar