Minggu, 08 Februari 2009

Sekali di Udara,Tetap di Udara

Jum'at, 25 Mei 2007 10:31 WIB - wartaekonomi.com

Bisnis Multimedia dan Telekomunikasi

Perubahan nama Bimantara Citra menjadi Global Mediacom mengukuhkan ambisi Hary Tanoe untuk memberikan layanan one-stop entertainment, informasi, dan telekomunikasi. Ruang usahanya mulai dari siaran TV, radio, media cetak, portal internet, operator selular, penyedia layanan SMS Premium, hingga satelit. Strateginya: sinergi dan terintegrasi.

Selasa (27/3) siang itu raut muka Bambang Hary Iswanto Tanoesoedibjo tampak sumringah. Apalagi kalau membicarakan masa depan bisnisnya di bidang media dan telekomunikasi. Ditemui seusai RUPS Luar Biasa, Hary, yang siang itu mengenakan setelan jas warna gelap, mengungkap alasannya mengganti nama PT Bimantara Citra Tbk. menjadi PT Global Mediacom Tbk.

Menurut Hary, itu bukan sekadar ganti nama. Perubahan nama itu sekaligus merefleksikan perubahan fokus bisnis dari yang semula perusahaan konglomerasi tanpa fokus usaha tertentu, menjadi sebuah perusahaan yang memiliki fokus bisnis inti di bidang media dan telekomunikasi. Lewat cara ini pula, ucap Hary, “Saya berharap manajemen Global Mediacom akan fokus pada core business.” Anak-anak usaha di luar bisnis inti, seperti properti dan otomotif, ungkap Hary, akan dilepas. Kini, perseroan memiliki misi untuk memberi layanan one-stop entertainment, informasi, dan telekomunikasi.

Pada akhir Desember 2000 silam, Hary memang pernah menegaskan kepada Warta Ekonomi. Katanya, “Buat saya, kalau mau mengembangkan media jangan tanggung-tanggung. Harus terintegrasi.” Itu enam tahun silam, kala ia masih belum menampakkan pamornya sebagai “Raja Bisnis Multimedia Indonesia”. Ia belum memiliki satu pun stasiun TV. Baru setahun kemudian pialang asal Surabaya ini masuk ke Bimantara Citra dan langsung mengambil alih saham milik Bambang Trihatmodjo. Lewat PT Bhakti Investama Tbk., kendaraan bisnisnya, Hary langsung menguasai 24,94% saham. Sementara itu, saham Bambang Tri melalui PT Asriland tinggal 12,37%. Kini, lewat Bhakti Investama, Hary Tanoe menjadi pemegang saham mayoritas (52,85%) di Bimantara Citra, yang telah berganti nama itu.

Menurut pengakuan Hary, memasuki bisnis yang tidak dikuasainya bukan berarti ia menantang risiko. “Saya selalu menerapkan konsep cek dan cek ulang. Misalnya, dalam akuisisi, meski bukan operator, kami akan menempatkan orang yang mengawasi pada posisi komisaris,” tutur dia. Mudahnya, Hary menyerahkan operasional perusahaan kepada orang yang memang kompeten di bidangnya.

Ketika memiliki saham Bimantara, Hary berkenalan dengan bisnis penyiaran lewat PT Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI), yang kebetulan menunjukkan kinerja amat baik. Untuk mengkonsolidasikan bisnis medianya, Hary membentuk PT Media Nusantara Citra (MNC), yang 100% sahamnya dikuasai Global Mediacom. Kini, sub dari sub-holding Bhakti Investama ini menguasai keseluruhan saham RCTI dan PT Global Informasi Bermutu (Global TV), serta 75% saham PT Televisi Pendidikan Indonesia (TPI).

Tiga stasiun TV ini membidik segmen yang berbeda. Jika RCTI diposisikan untuk segmen menengah hingga menengah-atas, TPI ditujukan ke kelas menengah ke bawah. Adapun Global TV, sebuah broadcaster company MTV, membidik mereka yang berjiwa muda. Hasilnya, menurut AGB Nielsen Media Research, per kuartal I 2007, tiga stasiun TV ini menguasai 34,1% pangsa pasar tontonan layar kaca di Tanah Air. Ini lantaran program yang disajikan oleh ketiganya memiliki average rating cukup tinggi, mencapai 4,6.

Menurut Bimo Nugroho, anggota Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), cara Hary memisahkan urusan operasional dan bisnis memang bisa mengurangi terlalu banyak intervensi pemilik ke dalam konten siaran. Ini penting karena, menurut dia, penguasaan berbagai media oleh satu pihak punya kecenderungan penyiaran tidak demokratis.

Penguasa Angkasa

Selain memiliki stasiun TV tak berbayar, Global Mediacom juga memperkuat posisi sebagai “penguasa angkasa” dengan mengakuisisi 51% saham PT MNC Skyvision. Akuisisi ini membuatnya menjadi pemilik saham mayoritas operator stasiun TV berbayar dengan merek dagang Indovision. Saat ini, Indovision menguasai 71% pangsa pasar dengan memiliki 200.000 pelanggan.

Sementara itu, untuk go international, MNC menggandeng IPS Inc. guna membuka akses siaran TV kabel berlangganan di Jepang. Alhasil, mulai 15 April lalu, sebanyak 600.000 WNI yang ada di Jepang bisa mengakses tayangan RCTI, TPI, Global TV, dan siaran Radio Trijaya lewat MNC Channel International. “Industri media itu akan borderless, sehingga pelebaran akses siaran ke Jepang ini adalah antisipasi menuju tren tersebut,” tutur Hary. Nantinya, MNC Channel International akan melebarkan sayap ke Singapura, Hong Kong, dan Timur Tengah.

Penguasaan Hary di media penyiaran makin kukuh dengan membuat payung usaha MNC Networks. Lewat jaringan ini, ia memiliki empat brand radio: Trijaya Networks, Radio Dangdut TPI, ARH Global, dan Woman Radio, di samping 35 mitra stasiun radio yang tersebar di sejumlah kota di Indonesia. Untuk memudahkan pemasarannya, Hary mengkonsolidasikan segmen antara radio dan stasiun TV miliknya. Trijaya Networks dan Woman Radio, misalnya, sengaja membidik pendengar kelas menengah-atas, sesuai target audiens RCTI.

Lalu, untuk media cetak, Hary memiliki koran Seputar Indonesia (Sindo), tabloid Genie, Realita, dan Mom & Kiddie. Baru-baru ini, portofolio media MNC makin lengkap dengan diluncurkannya situs online okezone.com. “Selama ditayangkan di MNC, diproduksi oleh rumah produksi milik MNC, atau ada gosip artis di bawah manajemen MNC, pasti akan muncul di okezone.com,” papar David Fernando Audy, head of investor relations PT Media Nusantara Citra. Baru satu bulan berjalan, sudah ada 200.000 hit di situs itu. Namun, David memperkirakan, hingga lima tahun ke depan, okezone.com belum akan menuai untung.

Menurut Bimo Nugroho, kepemilikan satu pengusaha terhadap berbagai media tidak menjadi masalah selama tidak ada kontrol informasi dan penggalangan opini publik. “Kalau demi membela kepentingan politik atau ekonomi, lalu pengusaha menggunakan media miliknya, itu baru masalah besar,” tegasnya. Menurut catatan KPI, Hary Tanoe memang sempat tersandung saat menggunakan talk show RCTI untuk mengklarifikasi kasus NCD bodong Bank Global yang terkait dengan dirinya.

Serba Terintegrasi

Sejatinya, perkenalan Hary dengan bidang usaha penyiaran, menurut D. Ganjar Sidik, managing director PT Data Consult—sebuah perusahaan informasi bisnis―bukan semata-mata karena Hary jatuh cinta kepada dunia media, tetapi karena ia mencium aroma bisnis yang menguntungkan. Hary senang membeli bidang usaha yang melejit dan memiliki capital gain tinggi,ungkap Ganjar. Jadi, bukan kebetulan jika ia bisa membeli saham Bimantara saat harganya murah.

Dan, bukan sebuah kebetulan pula jika tiga stasiun TV swasta milik Hary menguasai 33% dari total belanja iklan TV nasional, atau sekitar Rp7 triliun. Fakta paling fantastis terjadi di Global TV. Jika pada 2004 perusahaan ini hanya memperoleh omzet Rp10 miliar, per 2006 pendapatannya mencapai Rp236 miliar, atau naik lebih dari 23 kali lipat!

Gaya bisnis beli saat murah ini sesuai dengan pilihan tokoh idola Hary. Meski sudah menjadi Raja Bisnis Multimedia Indonesia, Hary justru mengidolakan Warren Buffett, manajer investasi yang berhasil mendirikan bank investasi raksasa, Berkshire Hathaway Inc., dan bukannya Rupert Murdoch atau Ted Turner yang menguasai media global. Strategi MNC pun terpengaruh gaya Warren Buffett: perbanyak merger dan akuisisi untuk memperbesar usaha, dengan dana dari lembaga investasi. “Pola itu sangat mungkin dilakukan di sini,” aku Hary.

Pada dasarnya, strategi utama Hary dalam memperbesar usaha media dan telekomunikasi adalah memperkuat sinergi dan integrasi antar-anak perusahaan. Lihat saja, dalam waktu kurang dari dua dasawarsa, Global Mediacom bisa menjelma menjadi perusahaan media dan telekomunikasi dengan platform paling lengkap. Mulai dari penyiaran radio dan televisi―baik berbayar maupun tak berbayar―media cetak, produksi dan distribusi konten, manajemen artis, penyedia layanan SMS Premium, portal internet, hingga operator selular dan satelit.

Program acara tahunan yang digelar RCTI, Indonesian Idol, misalnya, bisa memberi contoh kuatnya sinergi dan integrasi anak perusahaan di bawah Global Mediacom. Sebelum menjadi kontestan, pemirsa bisa mendapatkan formulir pendaftaran yang tersedia di koran Sindo dan tabloid Genie, selain di sejumlah radio di bawah naungan MNC Networks. Nah, untuk mendapatkan pemenang, sang Idola Indonesia, pemirsa RCTI harus mengirim dukungan melalui SMS Premium ke nomor 9288. Bisa ditebak, pemilik nomor pendek tersebut adalah PT Infokom Elektrindo, yang notabene adalah anak usaha Global Mediacom. “Fokus utama kami adalah melayani kebutuhan grup,” ungkap Temi Efendi, vice president director PT Infokom Elektrindo. Asal tahu saja, saat Grand Final Indonesian Idol 2006 terkumpul 2,7 juta SMS. Jika setiap pesan pendek dihargai Rp2.000, maka malam itu perusahaan meraup Rp5,4 miliar.

Kalau tak sempat menonton TV di rumah, ada layanan TV Mobile dari Fren. Dari layar ponsel Fren, pelanggan bisa melihat live TV atau video on demand untuk sejumlah program acara, selama 24 jam nonstop. Dari channel yang ditawarkan untuk diunduh, PT Mobile-8 Telecom Tbk., yang juga anak usaha MNC, memberi opsi channel RCTI, TPI, Global TV, MNC Entertainment, MNC News, dan Trijaya Networks. Lagi-lagi, semua terintegrasi.

ARI WINDYANINGRUM, EVI RATNASARI, DAN HOUTMAND P. SARAGIH

Tidak ada komentar:

Posting Komentar