Tim Liput 68 H
02-03-2006
Katabelece kembali bikin geger. Kali ini, giliran menimpa Muladi. Surat itu dibuat pada tahun 1999, pada saat Muladi masih menjabat menteri sekretaris negara di masa pemerintahan BJ Habibie. Isinya meminta agar pejabat terkait memuluskan pemberian ijin alokasi frekuensi untuk Global TV. Berbagai kalangan menilai, beginilah jadinya jika ijin frekuensi dikelola pemerintah.
Berkelit
Surat itu ditujukan kepada Menteri Penerangan Yunus Yosfiah, Menteri Perhubungan Giri Suseno, Menteri Negara Riset dan Teknologi Zuhal, serta Menteri Koordinator Politik dan Keamanan Feisal Tanjung. Isinya, meminta mereka meluluskan ijin pemberian frekuensi Global TV.
Kepada 68h, Muladi mengaku, ia memang membuat dan menandatangani surat itu. Tapi Muladi berkelit dan menyebut itu sebagai surat biasa, bukan katebelece. Tak ada maksud untuk menekan atau mempengaruhi menteri penerangan dan menteri perhubungan, sebagai pihak yang memberi ijin frekwensi.
"Keterlibatan saya enggak, hanya kirim surat saja. Waktu itu ya dananya tidak memenuhi, lalu mau dicabut. Belum sampai siaran tahun 2000 mau dicabut. Ya dan setelah itu katanya pindah, ditolong Bimantara. Setelah itu perjalanan selanjutnya kok bisa jatuh ke Hary Tanoe, saya tidak tahu yang menjual siapa"
Selanjutnya ia pun mengatakan, bahwa apa yang dilakukannya hanya sekadar menandatangani, dan Habibie pun mengetahuinya. Menurut Muladi, dalam proposalnya, The Internasional Islamic Forum for Science, Technology and Human Resources Development atau IIFTIHAR, mengajukan ijin untuk membuat televisi pendidikan. Pemilik saham di IIFTIHAR adalah para tokoh Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia, ICMI seperti Ahmad Tirtosoediro, Jimly Asshidiqie, dan Nasir Tamara.
Kontroversial
Singkat cerita, surat ijin pendirian Global TV diluluskan. Bersama lima TV swasta lainnya, Global TV resmi memperoleh ijin frekuensi hanya lima hari, sebelum ditolaknya laporan pertanggung jawaban presiden Habibie.
Kasus ini lantas menjadi kontroversi. Anggota Komisi I DPR dari fraksi PDI-P Permadi menilai, kasus ini menja di bukti kronisnya praktek korupsi, kolusi dan nepotisme dalam pengurusan ijin frekwesi TV swasta yang dikelola pemerintah. "Di jaman orde baru dan seterusnya itu KKN sangat kental sekali. Mosok seorang menteri sekneg memintakan ijin bagi televisi swasta. Ini sangat luar biasa. Lebih hebat dari suratnya Sudi (Silalahi). Karena langsung mintanya kepada menteri-menteri termasuk kepada menteri kordinator dan sebagainya. Supaya ijin kepada global swasta diberikan. Ini kan luar biasa sekali". Peristiwanya sendiri, tambah Permadi, berlangsung tahun 1999.
Warisan Zaman Soeharto
Pendapat serupa disampaikan anggota DPR lainnya Tris Tanti Mitayani, dari fraksi PAN. "Surat Muladi itu jadi dasar untuk kita Komisi I untuk bukan memeriksa Muladinya, tetapi lebih meriksa kepada sistem atau cara pemberian frekuensi kepada televisi-televisi swasta di masa yang lalu. Jadi artinya ini salah satu alasan untuk kita mencurigai bahwa mungkin yang lain-lainnya juga diperolehnya dengan cara-cara yang tidak patut seperti ini"
Kasus ini mencuat, pada saat Komisi I DPR dan sejumlah kelompok civil society sedang ramai-ramainya menolak empat paket Peraturan Pemerintah di bidang Penyiaran. Dalam peraturan itu, ijin pendirian TV dan Radio dikembalikan kepada pemerintah, dalam hal ini Departemen Komunikasi dan Informatika. Padahal, dalam UU penyiaran seharusnya, pemberian ijin dikeluarkan oleh lembaga independen bentukan pemerintah, Komisi Penyiaran Indonesia KPI.
Melanggar Prinsip
Pakar Komunikasi Universitas Indonesia Effendy Gazali menilai, ada tiga pelajaran penting dari kasus ini. Pertama, ini hanyalah bagian kecil dari skenario pendirian berbagai stasiun TV swasta sejak jaman Soeharto yang penuh indikasi KKN. Kedua, dan ini yang menjadi ironi, kelemahan itu kini justru dipertahankan lewat empat paket Peraturan Pemerintah tentang Penyiaran.
"Kita belajar dari sejarah kita bahwa ada dua TV yang mula-mula diminta dengan tujuan pendidikan, lalu kemudian hampir sama saja menjadi televisi dangdut, menjadi televisi hiburan semata yang sekali lagi, kalau itu misalnya diproses melalui KPI atau katakanlah dalam konteks FCC, federal communication commision di Amerika, itu bisa langsung dicabut seketika. Ketika misalnya FCC atau KPI-nya melihat wah ini anda sudah melanggar ijin prinsip. Tidak menuju pada cita-cita pendirian anda," jelasnya.
Effendy juga mempertanyakan soal ijin prinsip. Kalau dulu Global TV diniatkan menjadi TV pendidikan, kenapa kini ketika mengudara justru melenceng menjadi TV hiburan. Wakil Ketua KPI Sinansari Ecip, mengaku akan mempersoalkan masalah ini. Ia menegaskan, sesuai dengan undang-undang, seluruh televisi yang sudah mempunyai ijin siaran akan diminta untuk mendaftar ulang. Pada saat daftar ulang nanti, KPI akan mempersoalkan ijin siaran Global TV.
"Ya dakwah gitu. Tapi saya gak tau prosesnya, gak tau kelanjutannya kok tiba-tiba ke Global. Dan tiba-tiba kok sekarang mekar ketempat lain," jelas Sinansari. Disinggung apakah hal ini nantinya akan jadi bahan untuk daftar ulang, menambahkannya ia tidak tahu persis,
"Saya tidak tahu detailnya, tapi kalau daftar ulang semua iya harus daftar ulang. Jadi baik yang baru apalagi yang baru, yang lama juga daftar ulang. Jadi semua wajib daftar tapi kemudian yang baru masih mungkin dipertimbangkan"
Cara-cara Curang
Tak cuma Global TV, ijin siaran stasiun televisi lain juga bisa dicabut jika terbukti proses perijinannya dilakukan dengan cara-cara curang. Bagaimana klarifikasi Global TV? stasiun itu kini telah dimiliki oleh MNC group yang dikomandani taipan muda Harry Tanoesoedibjo. Dalam klarifikasinya, MNC mengaku telah mengambilalih kepemilikan saham mayoritas di Global TV sejak tahun 2001. Bagaimana dengan IIFTIHAR? Salah seorang komisarisnya Jimmly Asshidiqie, mengaku masih memilki saham di sana.
Beberapa waktu lalu, status kepemilikan saham Jimly di Global TV dipersoalkan. Maklum, beberapa waktu lalu, Jimly yang kini menjabat ketua Mahkamah Konstitusi, membuat keputusan terkait UU Penyiaran. Keputusan itu kini dipertanyakan, karena Jimly dianggap mempunyai bias konflik kepentingan. Kasus ini menambah panjang kesemrawutan, dibalik pro kontra empat paket Peraturan Pemerintah tentang Penyiaran. Tapi ada satu pelajaran penting, bahwa pengelolaan ijin frekwesi penyiaran semestinya tak dipegang lagi oleh pemerintah.
Katabelece kembali bikin geger. Kali ini, giliran menimpa Muladi. Surat itu dibuat pada tahun 1999, pada saat Muladi masih menjabat menteri sekretaris negara di masa pemerintahan BJ Habibie. Isinya meminta agar pejabat terkait memuluskan pemberian ijin alokasi frekuensi untuk Global TV. Berbagai kalangan menilai, beginilah jadinya jika ijin frekuensi dikelola pemerintah.
Berkelit
Surat itu ditujukan kepada Menteri Penerangan Yunus Yosfiah, Menteri Perhubungan Giri Suseno, Menteri Negara Riset dan Teknologi Zuhal, serta Menteri Koordinator Politik dan Keamanan Feisal Tanjung. Isinya, meminta mereka meluluskan ijin pemberian frekuensi Global TV.
Kepada 68h, Muladi mengaku, ia memang membuat dan menandatangani surat itu. Tapi Muladi berkelit dan menyebut itu sebagai surat biasa, bukan katebelece. Tak ada maksud untuk menekan atau mempengaruhi menteri penerangan dan menteri perhubungan, sebagai pihak yang memberi ijin frekwensi.
"Keterlibatan saya enggak, hanya kirim surat saja. Waktu itu ya dananya tidak memenuhi, lalu mau dicabut. Belum sampai siaran tahun 2000 mau dicabut. Ya dan setelah itu katanya pindah, ditolong Bimantara. Setelah itu perjalanan selanjutnya kok bisa jatuh ke Hary Tanoe, saya tidak tahu yang menjual siapa"
Selanjutnya ia pun mengatakan, bahwa apa yang dilakukannya hanya sekadar menandatangani, dan Habibie pun mengetahuinya. Menurut Muladi, dalam proposalnya, The Internasional Islamic Forum for Science, Technology and Human Resources Development atau IIFTIHAR, mengajukan ijin untuk membuat televisi pendidikan. Pemilik saham di IIFTIHAR adalah para tokoh Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia, ICMI seperti Ahmad Tirtosoediro, Jimly Asshidiqie, dan Nasir Tamara.
Kontroversial
Singkat cerita, surat ijin pendirian Global TV diluluskan. Bersama lima TV swasta lainnya, Global TV resmi memperoleh ijin frekuensi hanya lima hari, sebelum ditolaknya laporan pertanggung jawaban presiden Habibie.
Kasus ini lantas menjadi kontroversi. Anggota Komisi I DPR dari fraksi PDI-P Permadi menilai, kasus ini menja di bukti kronisnya praktek korupsi, kolusi dan nepotisme dalam pengurusan ijin frekwesi TV swasta yang dikelola pemerintah. "Di jaman orde baru dan seterusnya itu KKN sangat kental sekali. Mosok seorang menteri sekneg memintakan ijin bagi televisi swasta. Ini sangat luar biasa. Lebih hebat dari suratnya Sudi (Silalahi). Karena langsung mintanya kepada menteri-menteri termasuk kepada menteri kordinator dan sebagainya. Supaya ijin kepada global swasta diberikan. Ini kan luar biasa sekali". Peristiwanya sendiri, tambah Permadi, berlangsung tahun 1999.
Warisan Zaman Soeharto
Pendapat serupa disampaikan anggota DPR lainnya Tris Tanti Mitayani, dari fraksi PAN. "Surat Muladi itu jadi dasar untuk kita Komisi I untuk bukan memeriksa Muladinya, tetapi lebih meriksa kepada sistem atau cara pemberian frekuensi kepada televisi-televisi swasta di masa yang lalu. Jadi artinya ini salah satu alasan untuk kita mencurigai bahwa mungkin yang lain-lainnya juga diperolehnya dengan cara-cara yang tidak patut seperti ini"
Kasus ini mencuat, pada saat Komisi I DPR dan sejumlah kelompok civil society sedang ramai-ramainya menolak empat paket Peraturan Pemerintah di bidang Penyiaran. Dalam peraturan itu, ijin pendirian TV dan Radio dikembalikan kepada pemerintah, dalam hal ini Departemen Komunikasi dan Informatika. Padahal, dalam UU penyiaran seharusnya, pemberian ijin dikeluarkan oleh lembaga independen bentukan pemerintah, Komisi Penyiaran Indonesia KPI.
Melanggar Prinsip
Pakar Komunikasi Universitas Indonesia Effendy Gazali menilai, ada tiga pelajaran penting dari kasus ini. Pertama, ini hanyalah bagian kecil dari skenario pendirian berbagai stasiun TV swasta sejak jaman Soeharto yang penuh indikasi KKN. Kedua, dan ini yang menjadi ironi, kelemahan itu kini justru dipertahankan lewat empat paket Peraturan Pemerintah tentang Penyiaran.
"Kita belajar dari sejarah kita bahwa ada dua TV yang mula-mula diminta dengan tujuan pendidikan, lalu kemudian hampir sama saja menjadi televisi dangdut, menjadi televisi hiburan semata yang sekali lagi, kalau itu misalnya diproses melalui KPI atau katakanlah dalam konteks FCC, federal communication commision di Amerika, itu bisa langsung dicabut seketika. Ketika misalnya FCC atau KPI-nya melihat wah ini anda sudah melanggar ijin prinsip. Tidak menuju pada cita-cita pendirian anda," jelasnya.
Effendy juga mempertanyakan soal ijin prinsip. Kalau dulu Global TV diniatkan menjadi TV pendidikan, kenapa kini ketika mengudara justru melenceng menjadi TV hiburan. Wakil Ketua KPI Sinansari Ecip, mengaku akan mempersoalkan masalah ini. Ia menegaskan, sesuai dengan undang-undang, seluruh televisi yang sudah mempunyai ijin siaran akan diminta untuk mendaftar ulang. Pada saat daftar ulang nanti, KPI akan mempersoalkan ijin siaran Global TV.
"Ya dakwah gitu. Tapi saya gak tau prosesnya, gak tau kelanjutannya kok tiba-tiba ke Global. Dan tiba-tiba kok sekarang mekar ketempat lain," jelas Sinansari. Disinggung apakah hal ini nantinya akan jadi bahan untuk daftar ulang, menambahkannya ia tidak tahu persis,
"Saya tidak tahu detailnya, tapi kalau daftar ulang semua iya harus daftar ulang. Jadi baik yang baru apalagi yang baru, yang lama juga daftar ulang. Jadi semua wajib daftar tapi kemudian yang baru masih mungkin dipertimbangkan"
Cara-cara Curang
Tak cuma Global TV, ijin siaran stasiun televisi lain juga bisa dicabut jika terbukti proses perijinannya dilakukan dengan cara-cara curang. Bagaimana klarifikasi Global TV? stasiun itu kini telah dimiliki oleh MNC group yang dikomandani taipan muda Harry Tanoesoedibjo. Dalam klarifikasinya, MNC mengaku telah mengambilalih kepemilikan saham mayoritas di Global TV sejak tahun 2001. Bagaimana dengan IIFTIHAR? Salah seorang komisarisnya Jimmly Asshidiqie, mengaku masih memilki saham di sana.
Beberapa waktu lalu, status kepemilikan saham Jimly di Global TV dipersoalkan. Maklum, beberapa waktu lalu, Jimly yang kini menjabat ketua Mahkamah Konstitusi, membuat keputusan terkait UU Penyiaran. Keputusan itu kini dipertanyakan, karena Jimly dianggap mempunyai bias konflik kepentingan. Kasus ini menambah panjang kesemrawutan, dibalik pro kontra empat paket Peraturan Pemerintah tentang Penyiaran. Tapi ada satu pelajaran penting, bahwa pengelolaan ijin frekwesi penyiaran semestinya tak dipegang lagi oleh pemerintah.
Di ambil dari;
Tidak ada komentar:
Posting Komentar