Minggu, 05 April 2009

"Waspadai Pergeseran Tren Pengguna Internet Indonesia"

Jangan anggap remeh potensi bisnis yang dikandung oleh e-commerce. Menurut estimasi eMarketer Inc, penyedia data statistik bisnis yang berbasis di New York, revenue dari sektor e-commerce khusus untuk kawasan Asia-Pasifik saja akan membumbung tinggi, dari US$ 76,8 miliar pada akhir tahun 2001 lalu menjadi US$ 338,5 miliar pada akhir 2004 nanti. Sektor business-to-business (B2B) merupakan penyumbang terbesar, dengan estimasi sekitar US$ 300,5 miliar.

Sedangkan sektor business-to-customer (b2c) memiliki andil sebesar US$ 38 miliar. Estimasi tersebut didasarkan pula pada pertumbuhan jumlah pengguna Internet yang terus tumbuh. Pada akhir 2002, jumlah pengguna Internet di negara kawasan Asia Pasifik diperkirakan akan mencapai 181,5 juta orang. Sedangkan nanti pada tutup tahun 2004, diperkirakan angka tersebut akan meningkat drastis menjadi 235,8 orang.

Berangkat dari angka optimistik yang dilansir pada September 2002 tersebut, maka kawasan Asia Pasifik merupakan pangsa pasar terbesar industri e-commerce dunia. Jepang, Cina dan Korea Selatan adalah tiga negara terbesar jumlah pengguna Internetnya. Hal tersebut tidak mengherankan, berdasarkan data International Telecommunication Union (ITU) dan International Data Base (IDB) US Census Bureau yang dilansir pada 2002, tingkat penetrasi Internet di Korea Selatan yang berpenduduk sekitar 47 juta jiwa tersebut adalah 51,1% (sekitar 24 juta pengguna).

Cina, meskipun penetrasi Internetnya hanya 2,6%, tetapi kuantitasnya menjadi besar karena jumlah penduduk Cina mencapai 1,2 miliar jiwa (lebih dari 31,2 juta pengguna). Sedangkan Jepang, dengan jumlah penduduk sekitar 127 juta jiwa, jumlah pengguna Internetnya mencapai 45,5% (sekitar 57,78 juta pengguna).

Bandingkan dengan Indonesia yang berpenduduk 231 juta jiwa, penetrasi Internetnya hanya 1,9% (sekitar 4,38 juta pengguna). Dengan jumlah pengguna Internet yang kecil tersebut, jangan harap Indonesia akan bisa mendapatkan porsi yang cukup besar dalam kue revenue e-commerce.

Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) pun akan mengalami kesulitan ketika diminta meningkatkan penetrasi Internet di Indonesia. Pasalnya, nyata sekali bahwa para Internet Service Provider (ISP), yang notabene adalah anggota APJII, kurang menyadari pentingnya memperluas pasar jasa layanan mereka. Sosialisasi pemanfaatan Internet dan edukasi teknologi informasi yang dilakukan oleh ISP nyaris nihil. Kalaupun ada, sifatnya masih parsial dan ditujukan hanya untuk me-maintain pasar yang itu-itu saja. Disadari ataupun tidak, sekian banyak ISP di Indonesia berebut pasar yang kian lama kian jenuh. Walhasil, cukup banyak ISP yang tutup, menciutkan diri, mentransfer pelanggannya ke ISP lain, atau memaksa hidup kembang-kempis. Sebabnya, mereka kesulitan menambah jumlah pelanggan Internet.

APJII memang sempat optimis bahwa akan tercapai peningkatan pelanggan sekitar 1 juta orang pada 2002, dengan asumsi kenaikan sekitar 72,12% dari 581 orang pada 2001. Tetapi tampaknya telah merevisi prediksi tersebut dengan menyatakan bahwa jumlah pelanggan Internet pada 2002 akan stagnan atau seperti tahun lalu. Tidak melulu rendahnya penetrasi Internet di Indonesia merupakan tanggung-jawab APJII dan para ISP anggotanya.

Rendahnya penetrasi telepon di Indonesia misalnya, yang hanya 3% - 4% dari total jumlah penduduk, juga merupakan salah satu faktor penghambat yang signifikan. Hal lain yang cukup dominan adalah mahalnya biaya pulsa telepon. Dengan kondisi Indonesia dewasa ini, maka biaya pulsa telepon (dan kenaikannya) akan semakin menjauhkan masyarakat dari Internet dan menjadikan Internet sebagai prioritas yang terendah dalam kehidupan sehari-hari.

Bagaimana dengan jumlah pengguna? Meskipun tidak dibarengi dengan peningkatan jumlah pelanggan, untuk jumlah pengguna tampaknya masih tetap tumbuh meskipun dengan tingkat yang sama seperti tahun lalu, yaitu sebesar 7% menurut hasil riset ACNielsen Indonesia terkini. AC Nielsen menyebutkan pula bahwa untuk 2002 ini terjadi pergeseran tempat mengakses Internet yang cukup signifikan.

Jika pada 2000 warung Internet (warnet) merupakan tempat favorit bagi 50% pengguna Internet, maka pada 2004 ini diperkirakan meningkat menjadi 64%. Peningkatan tersebut ternyata merupakan dampak dari turunnya jumlah pengguna akses rumahan menjadi 7% tahun ini, dari 13% pada 2000. Tren penurunan tersebut diikuti pula oleh pengguna akses kantoran, dari 42% pada 2000 menjadi 18% tahun ini.

Tren meningkatnya pengguna warnet perlu dicermati, karena memiliki dua sisi yang saling bertolak-belakang. Positifnya, dengan tumbuhnya para pengguna warnet, maka diharapkan para pengusaha warnet akan dapat memanen untung dan meningkatkan usahanya. Hal tersebut akan memacu para pemilik modal untuk menanamkan pundi-pundi uangnya pada bisnis warnet. Walhasil, masyarakat akan semakin menikmati mutu layanan dan biaya akses Internet yang kompetitif, seiring dengan terciptanya persaingan yang sehat antar warnet.

Semakin banyak pengguna Internet, maka akan semakin besar porsi kue revenue e-commerce dunia yang bisa direbut Indonesia.Tetapi, kita harus pula mengkaji sisi negatif dari tren tersebut di atas, karena justru akan menciutkan porsi Indonesia. Apa sebab?

Dengan meningkatnya jumlah pengguna warnet, bukan tidak mungkin para pemilik modal akan membangun warnet hanya sebagai profit center. Margin keuntungan hanya akan dihitung berdasarkan nilai nominal uang yang masuk dalam meja kasir. Warnet tidak diposisikan, setara dengan perpustakaan, yang harus dikawal, dijaga dan dirawat sebagaimana lazimnya sebuah perpustakaan misalnya. Inilah yang menyebabkan mengapa warnet pada akhirnya menjadi sentra informasi dan aktifitas apa saja, termasuk pornografi dan cyberfraud.

Tidak ada, atau jarang sekali, proposal pendirian warnet yang mencantumkan masalah analisa dampak sosial pada masyarakat sekitar terhadap berdirinya sebuah warnet dan rencana antisipasinya. Warnet yang telah berdiri pun sangat jarang yang melakukan semacam bimbingan dan arahan kepada masyarakat sekitar warnet pada umumnya, dan penyewa pada khususnya, tentang memanfaatkan Internet secara aman dan bertanggung-jawab.

Asalkan uang masuk kas lancar, tak peduli jasa akses Internet yang disewakannya tersebut digunakan untuk apa saja, termasuk untuk kejahatan sekalipun. Walhasil, sudah menjadi rahasia umum, dan kerap muncul dalam pemberitaan di media massa, bahwa para carder, sebutan bagi para pelaku cyberfraud, hampir selalu memanfaatkan warnet sebagai tempat melakukan aksinya.

Cyberfraud sejatinya dapat mengancam bisnis e-commerce Indonesia, bukan lantaran nilai nominal kerugiannya, tetapi karena citra yang ditimbulkannya. Komunitas Internet dunia sangat peduli dengan isu yang berkaitan dengan keamanan bertransaksi secara online.

Berdasarkan riset yang dilakukan oleh PC Data Online pada 2000, dengan maraknya kasus kejahatan di Internet, 54% responden menyatakan bahwa dirinya akan mengubah kebiasaan kebiasaannya di Internet. 80% dari yang akan berubah tersebut menyatakan akan semakin jarang mengirim informasi kartu kredit melalui Internet. Sedangkan menurut hasil riset Internet terkini yang dirilis pada November 2001 oleh Pusat Kebijakan Komunikasi UCLA, dinyatakan bahwa 98,9% pengguna Internet pemula (< 1 tahun) dan 89,1% pengguna Internet berpengalaman (minimal 5 tahun) peduli dengan keselamatan data kartu kredit mereka di Internet.

Untuk kondisi di Indonesia, kita dapat merujuk pada hasil riset yang dilansir oleh MarkPlus pada 2000 lalu. Responden yang diambil sebanyak 1100 orang dari lima kota utama di Indonesia, yaitu Jabotabek, Bandung, Yogyakarta, Surabaya dan Medan. Hal yang perlu digarisbawahi pada hasil survei tersebut adalah ternyata 90% dari total responden belum pernah atau enggan bertransaksi online.

Ketika ditanya kenapa mereka enggan melakukan transaksi, jawabannya antara lain: tidak percaya/kuatir (15,1%) dan tidak aman/resikonya tinggi (13,6%). Ini berarti 25,85% atau sekitar 284 dari 1100 responden yang disurvei ternyata enggan bertransaksi e-commerce karena kuatir dengan faktor keamanan bertransaksi melalui Internet.

Maka tidaklah heran, ketika ClearCommerce Inc, sebuah perusahaan e-sekuriti yang berbasis di Texas, pada awal 2002 menyatakan bahwa Indonesia berada di urutan kedua negara terbanyak tempat beraksinya carder, secara serta-merta banyak situs e-commerce yang melakukan collective punishment terhadap komunitas Internet Indonesia. Pemblokiran nomor Internet Protocol (IP) Indonesia, kartu kredit Indonesia hingga pemesanan yang dari dan ke Indonesia akan segera ditolak.

ClearCommerce menyatakan bahwa sekitar 20 persen dari total transaksi kartu kredit dari Indonesia di Internet adalah cyberfraud, berdasarkan survey yang dilakukan terhadap 1137 merchant, 6 juta transaksi, 40 ribu customer, dimulai pada pertengahan tahun 2000 hingga akhir 2001. Collective punishment tersebut, sebenarnya secara parsial telah dilakukan oleh beberapa situs e-commerce jauh sebelum ClearCommerce mengeluarkan datanya. Sekarang, tekanan tersebut semakin telak memukul Indonesia.

Pepatah ibarat nila setitik rusak susu sebelanga, pantas disandang oleh komunitas Internet Indonesia. Tetapi harus kita sadari bahwa kehadiran “nila” atau carder tersebut bukanlah serta merta muncul dari ketiadaan.. Setiap aksi kejahatan apapun, selain karena adanya niat dari si pelaku, terutama didukung pula dengan adanya peluang. Tanpa kita sadari, sikap, cara dan perilaku kita dalam berbisnis pun memiliki andil yang cukup dominan dalam memunculkan peluang tersebut.


oleh : Donny B.U., M.Si. *
*) Penulis adalah Koordinator ICT Watch dan jurnalis TI independen.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar