Senin, 25 Mei 2009

Analisa Terhadap Citizen Jurnalism pada Media Blog, Antara Blogger, Jurnalisme dan Jurnalis

Bloggers vs journalists is over. Begitulah deklarasi Jay Rosen sejak Januari 2005 silam. Rosen adalah professor jurnalisme di New York University sekaligus penulis hal-ihwal cakrawala baru jurnalisme.

"Persoalannya sekarang bukan lagi apakah blog dapat menjadi jurnalisme. Kadang-kadang bisa. Persoalannya sekarang bukan lagi apakah blogger adalah jurnalis. Kadang-kadang begitu."

Hampir senada dengan itu adalah ujaran Enda Nasution lewat karangan Apakah Blogger = Jurnalis? Enda memutuskan, "Tidak semua blogger adalah jurnalis dan tidak semua jurnalis adalah blogger." Tapi ujaran Jay Rosen dan Enda Nasution bukan vonis atas perdebatan soal ini.

Bahkan, sampai Desember 2007 lalu, masih ada ada tulisan yang memojokkan blogger (citizen journalist). Bekas koresponden NBC, David Hazinski, lewat tulisannya di The Atlanta Journal-Constitution menggambarkan tren ketergantungan stasiun televisi pada laporan warga, citizen journalism. Misalnya, video kiriman non-profesional seperti dalam program iReports di CNN. Di Indonesia ada I Witness di Metro TV.

Hazinski juga professor jurnalisme tapi di University of Georgia. Menurut dia, perbedaan antara jurnalis dan warga kebanyakan yang merekam berita di telepon selulernya terletak pada pendidikan, keterampilan dan standar. "Informasi tanpa standar jurnalistik disebut gosip," simpulnya.

Robert Cox, presiden Media Bloggers Association, mengatakan, blogger cenderung sengaja provokatif dan kadang-kadang hiperbolis. Padahal, setumpuk pasal bisa menjerat mereka, mulai dari soal fitnah, pelanggaran hak cipta hingga privasi.

Di Indonesia, Roy Suryo tentu saja juru bicara paling lantang dari kubu pelawan/penentang blogger, meski kemudian mengenalkan pemilahan antara blogger baik dan buruk. Sebaliknya, ada deklarasi bahwa semua orang bisa menjadi jurnalis.

Pengacara Washington, Scott Gant, membeber argumennya lewat buku berjudul; We’re All Journalists Now tahun 2007 lalu. Sub judulnya, The Transformation of the Press and Reshaping of the Law in the Internet Age.

Gagasan dasarnya, kebebasan pers kini bukan cuma monopoli media tradisional tapi juga siapapun yang menggunakan telepon seluler, kamera video dan peranti lunak blogging serta teknologi lain untuk mengabarkan berita dan pendapatnya kepada dunia.

Menurut Ann Cooper, judul yang mungkin lebih akurat untuk buku itu, meski kurang seksi, adalah We Can All Be Journalists, If and When We Choose to Be. Ann Cooper mengajar di Columbia’s Graduate School of Journalism. Ia juga reporter koran, majalah serta National Public Radio sekaligus direktur eksekutif Komite Perlindungan Jurnalis (Committee to Protect Journalists).

Lewat Ann Cooper inilah, snapshot perdebatan dua kubu di atas saya baca. Sebelum sampai pada anjuran, Cooper mengilustrasikan soal trend jurnalis media tradisional yang juga ngeblog (entah berisi opini maupun berita) di Amerika Serikat. Antara lain, para jurnalis koran The New York Times di nytimes.com dan koran The Washington Post di washingtonpost.com.

Di Indonesia, tidak susah mencari contohnya. Tidak semua blog jurnalis media cetak, misalnya, melulu berisi posting ulang berita mereka yang sudah termuat di medianya. Ada banyak juga yang berisi berita sensitif sehingga tak termuat, unprinted stories.

Baiklah, tujuan Ann Cooper menghadirkan perdebatan ini memang bukan untuk melanggengkannya tapi coba mencari jalan tengah. Ia sepakat pada gagasan Jay Rosen dari tahun 2005 silam. Yakni, soal perlunya perkawinan antara hal-hal yang terbaik dari kedua kubu demi jurnalisme yang lebih bermutu.

Rosen via Cooper menyebut-nyebut istilah hybrid dalam proses itu, saya meminjamnya secara serampangan sebagai hibrida. Maka, seperti jagung hibrida yang besar dan unggul, jurnalisme yang mengawinkan sisi terbaik dari dua kubu itu niscaya bisa menjadi jurnalisme hibrida yang berkualiteit, berkualitas.

"Tapi (jurnalisme) hibrida itu mensyaratkan kolaborasi tulus antara praktisi lama dan baru yang serius tentang upaya memantapkan jurnalisme dan misinya melayani publik," tulis Ann Cooper.

Menurut dia, (awak) media tradisional mesti menanggalkan beberapa sikap dan asumsi yang tak lagi relevan, sedangkan (awak) media baru perlu menyerap standar jurnalistik yang dapat mendatangkan kredibilitas dan kepercayaan dalam jurnalisme baru ini.

Bagaimana model ideal kerjasama itu? Bagaimana yang sudah terjadi di Amerika Serikat? Adakah ia juga sudah terjadi di Indonesia? Saya akan senang menerima masukan soal ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar