Apa itu Social Media Marketing & PR?
Social media secara fundamental mengubah cara perusahaan berkomunikasi. Maraknya Facebook, Twitter, Plurk, blog, wiki, youtube dan lainnya memaksa perusahaan meningkatkan cara komunikasi yang semula satu arah dan dua arah menjadi segala arah. Di tengah maraknya fenomena itu, istilah social media marketing & PR kini muncul di mana-mana. Apa sesungguhnya arti istilah itu? Jawabannya bisa beraneka ragam, karena setiap kepala bisa saja memiliki pengertian masing-masing.
Saya sendiri sangat suka dengan penjelasan Marketing Sherpa mengenai hal ini.
Social Media Marketing and PR is the practice of facilitating a dialogue and sharing content between companies, influencers, prospects and customers, using various online platforms including blogs, professional and social networks, video and photo sharing, wikis, forums and related Web 2.0 technlogies.
Lantas apa bedanya antara “Social Media” dengan “Social Media Marketing and PR”?
Dari kacamata online marketing, Social Media merujuk pada sebuah wahana online yang konten utamanya diisi dan didominasi oleh publik, bukan oleh karyawan perusahaan pemilik wahana tersebut online. Youtube, Facebook dan Friendster adalah beberapa contohnya.
Nah, Social Media Marketing and PR adalah upaya memanfaatkan secara komersial para pecinta merek atau perusahaan untuk mempromosikan diri mereka melalui berbagai kanal social media. Social Media Marketing and PR adalah sebuah kolaborasi massal, orkestra publik di dunia maya, yang pada hakekatnya saling memberi dan menerima informasi. Akar dari Social Media Marketing and PR adalah melibatkan konsumen dalam sebuah percakapan maya yang saling memberikan nilai tambah buat kedua belah pihak, baik konsumen maupun produsen.
The premise of Social Media Marketing and PR is engaging the consumer in conversations in a way that provides mutual value.
Bagaimana Strategi Online Public Relations di Era Web 2.0?
Di dunia maya, konsumen bisa mengekspresikan kehendak mereka tanpa tergantung pada media mainstream. Mereka dapat membentuk komunitas online mereka sendiri, baik berbasis hobi maupun sebuah brand. Mereka juga saling berbagi informasi melalui blog, forum dan media online, sekaligus menjalin network melalui social media seperti Facebook dan Friendster. Bebasnya penyampaian pesan dalam dunia maya antara konsumen, publik, dan perusahaan/brand, membuat posisi konsumen setara dengan produsen dan media.
Apa boleh buat, kehadiran internet telah mengubah lanskap dunia Public Relation.
Jika sebelumnya para humas lebih banyak bersentuhan dengan media (melalui strategi Media Relations), dengan pemerintah (melalui Goverment Relations) dan sedikit bersentuhan dengan konsumen melalui MarketingPR, maka kini mereka harus bersentuhan langsung dengan publik dan konsumen di dunia maya.
Itu sebabnya, saat ini ada beberapa pertanyaan mendasar yang harus dijawab oleh para praktisi humas.
Pertama : Bagaimana strategi Public Relations di dunia maya, di tengah perubahan dahsyat ini?
Kedua : Bagaimana perilaku pengguna Internet dalam berkomunikasi?
Tiga: Disiplin ilmu apa yang harus dimiliki seorang PR untuk terjun ke media baru ini agar mampu berinteraksi dengan publik dan konsumen secara langsung?
Tiga pertanyaan mendasar itulah yang akan saya kupas dalam seminar Kamis, 19 Maret 2009, di Ritz Carlton, Ballroom 3A, Pacific Place, Jakarta. Seminar ini terselenggara berkat kerjasama dengan majalah marketing communications MIX dan majalah SWA.
Corporate Culture Hambat Corporate Blogging: Wordcamp Indonesia
Hanya segelintir perusahaan Indonesia yang mengadopsi corporate blog di situs korporatnya hingga saat ini. Jumlahnya bisa dihitung dengan jari, termasuk blog yang sedang Anda baca ini. Padahal sudah terbukti bahwa corporate blog amat dibutuhkan sebuah situs korporat untuk menjalin komunikasi dua arah dengan pasar dan pelanggan menggunakan bahasa yang informal. Itulah tema yang saya sampaikan di acara Wordcamp Indonesia, Minggu 18 Januari 2009 di Erasmus Huis, Jakarta. Founder Wordpress, Matt Mullenweg, hadir di Jakarta untuk menyemarakkan Wordcamp pertama di Indonesia yang diikuti oleh para developer dan pengguna Wordpress, piranti lunak paling populer untuk ngeblog, mengingat acara di Indonesia ini adalah adalah salah satu rangkaian dari acara Wordcamp yang digelar di berbagai belahan dunia.
Corporate blog adalah konsep blog yang diterapkan di sebuah situs korporat. Berbeda dengan situs web yang bahasanya amat formal, memuat informasi perusahaan, produk dan solusi perusahaan, blog korporat justru ditulis secara santai, bahasanya membumi, dan mengajak bicara audiencenya di dunia maya. Jika situs korporat berisi informasi satu arah dari perusahaan ke konsumen dan pasar, sebaliknya blog korporat berbicara dua arah dengan konsumen dan pasar. Melalui blog korporatlah perusahaan melakukan “conversation“.
Di era digital yang sudah Web 2.0 seperti saat ini, pasar adalah percakapan dua arah, tiga arah, multiarah. Market are conversations. Posisi konsumen dan calon konsumen di dunia maya saat ini sudah setara dengan produsen atau korporasi. Mereka bebas berbicara di dunia maya, baik melalui forum-forum online, menulis di blog mereka sendiri, atau saling berbagi di berbagai situs jejaring sosial seperti Facebook dan Friendster. Mereka juga bebas bicara dengan perusahaan melalui blog korporat yang dibangun perusahaan.
Namun, situasi bebas bicara ini sangat bertentangan dengan corporate cultur Indonesia yang amat mementingkan kosmetik citra perusahaan. Semua eksekutif dan manajemen puncak perusahaan pasti tidak rela jika produk atau perusahaan dicela. Itu sebabnya hampir semua perusahaan besar sangat serius menjaga citra perusahaan melalui berbagai aktivitas public relations. Hanya informasi perusahaan yang positif dan berpotensi meningkatkan citra perusahaanlah yang digelontorkkan ke publik. Sebaliknya, jika ada sedikit saja keluhan pelanggan yang masuk ke ruang publik, terutama dimuat di surat pembaca media cetak besar, mereka kebakaran jenggot dan segera melakukan antisipasi.
Dengan kultur tertutup dan tidak terbuka terhadap celaan konsumen inilah perusahaan enggan masuk ke corporate blog. “Bagaimana nanti jika ada yang memberikan komentar negatif dan menjelek-jelekkan perusahaan?” itulah pertanyaan utama ketika perusahaan akan membuat blog korporat. Karena berbenturan dengan corporate cultur yang sok jaim, akhirnya mereka memilih tidak membangun blog korporat. Itu artinya mereka tidak mau berkomunikasi dengan pasar dan konsumennya di dunia maya.
Di Indonesia, corporate culturlah penghambat utama corporate blogging. Namun tidak usah berkecil hati. Di negara sehebat Amerika Serikat pun, masalahnya hampir sama. Memang, perusahaan di AS banyak yang mengadopsi blog korporat. Namun hasil riset Forester Reseach terhadap blog korporat 90 perusahaan yang masuk ke Fortune 500 menunjukkan bahwa “most corporate blogs are dull, drab, and don’t stimulate discussion.” Artinya, kebanyakan blog korporat perusahaan-perusahaan terbesar di AS itu bermutu rendah, isinya membosankan, dan tidak memicu diskusi alias tidak menghasilkan perbincangan dengan audiennya.
Apakah itu berarti tidak perlu corporate blog?
Jika menilik keberhasilan perusahaan seperti Dell, Lenovo, Adobe, 37Signal, BBC dan lainnya dalam mengelola blog, saya yakin banyak perusahaan ingin mencicipi keberhasilan serupa.
Public Relations 2.0
Ya, itulah tema yang saya sampaikan di hadapan 200-an mahasiswaSekolah Tinggi Ilmu Komunikasi The London School of Public Relations (LSPR) di Jakarta kemarin Senin, 12 Januari 2008, dalam seminar bertajuk “Reinvent PR in Creative Action”. Mengapa tema itu yang saya bawakan? Sederhana: karena LSPR adalah salah satu lembaga pendidikan di negeri ini yang banyak melahirkan profesional dan praktisi di bidang kehumasan. Sejauh yang saya amati, profesional PR lebih lamban mengadaptasi perubahan konsumen di era digital, terutama yang didorong maraknya Web 2.0, dibanding rekan-rekannya di bidang marketing.
Para marketer Indonesia, sejauh pengamatan saya, terlihat lebih agresif dalam memanfaatkan medium online dengan berbagai strategi online marketingnya, termasuk penempatan banner di online media, email marketing, paid search, serta mencoba memanfaatkan social media. Sebaliknya, para praktisi PR di Indonesia masih berkutat di Public Relations 1.0 — sebuah strategi PR yang menempatkan middle man, yakni para jurnalis, sebagai penyampai pesan.
Yang dilakukan para praktisi PR 1.0 dalam kaitannya dengan media adalah membangun media relation, menjalin hubungan yang amat baik dengan media mainstream, agar pesan-pesan mereka bisa tersampaikan ke publik melalui media. Di era PR 1.0, pekerjaan seorang PR relatif mudah, mengingat jumlah media di Indonesia tidak banyak.
Kini era sudah berubah. Penyampai pesan bukan lagi hanya media mainstream, baik teve, cetak, radio maupun online. Semenjak blog mudah dibuat, forum online bertebaran dan social media bertumbuhan, setiap pengguna Internet bisa menjadi penyampai pesan. Mereka yang biasanya hanya menonton teve, membacakkoran/majalah, medengarkan radio, browsing di Internet, kini juga bisa membuat blog, membuat akun di Facebook atau Friendster, dan menuliskan pesan apa saja yang mereka sukai atau maui. Jika mereka tidak suka dengan pengalamannya mengonsumsi sebuah produk, mereka dengan mudah menulisnya di blog, di Facebook, dan menyebarkannya di forum atau milis. Mereka tidak perlu bersusah payah mengirim surat pembaca ke media cetak yang entah kapan dimuatnya. Demikian juga, jika mereka senang dengan sebuah produk, mereka tak akan segan-segan menulisnya di Internet.
Dengan fenomena itu, praktisi PR masa kini harus menghadapi publisher baru. Mereka adalah para blogger, para facebookers, para friensdters, para plukers serta pemilik akun di Web 2.0 lainnya. Mereka adalah para konsumen.
Jadi, PR 2.0 bukan lagi sekadar mengelola jurnalis, tetapi juga mengelola konsumen yang mampu menjadi publisher di dunia maya. Posisi konsumen kini sudah naik pangkat. Mereka tidak lagi sekadar konsumen, tapi juga publisher dan influencer. Jelas, PR 2.0 jauh lebih rumit dan menantang dibanding PR 1.0.
Itu sebabnya, di hadapan calon-calon praktisi PR di LSPR itu saya menekankan bahwa seorang PR tidak cukup hanya berbekal ilmu kuliah yang sampai hari ini masih saja hanya mengajarkan PR 1.0, tetapi juga harus melengkapi diri dengan pemahaman terhadap online user behavior.
Era Public Relations 2.0
Corporate Blogging Bakal Mengganggu Kredibilitas Perusahaan?
Kredibilitas. Itulah salah satu sebab penting mengapa tidak ada satu pun perusahaan besar Indonesia saat ini memiliki blog korporat. “Kalau ada konsumen yang mengeluhkan produk/layanan perusahaan di blog perusahaan, apakah hal tersebut akan menurunkan kredibilitas perusahaan?” tanya salah satu peserta seminar Corporate Blogging yang diselenggarakan Koran Tempo, di Peninsula Hotel, Jakarta siang tadi. Pembicara utama saya (Nukman Luthfie), Ong Hok Chuan (advisor Maverick PR) dan Risman Adnan (Microsoft evangelist), dengan moderator blogger kondang dari Koran Tempo, Wicaksono Ndoro Kakung.
Kredibiltas memang menjadi perhatian banyak perusahaan, termasuk di negeri seberang, ketika akan masuk ke corporate blogging. Meski sudah tahu betapa banyaknya benefit dari membangun blog korporat, kebanyakan perusahaan masih ketakutan mendapatkan kecaman, keluhan, atau komentar-komentar negatif yang bisa mencoreng citra perusahaan. Apalagi jika keluhan itu terpampang di blog korporat dan bisa dilhat oleh konsemen sejagad.
Perusahaan-perusahaan besar memang memiliki aturan yang amat ketat berkaitan dengan citra perusahaan. Perusahaan seperti ini dilengkapi tim PR (public relations) yang kuat, serta didukung konsultan PR yang piawai menjaga citra perusahaan di mata publik. Setiap informasi perusahaan yang keluar ke publik mesti melewati proses yang ketat. Bahkan siaran pers yang dibagikan ke jurnalis pun melewati proses pembuatan dan persetujuan yang cukup panjang.
Tidak heran jika mereka ragu-ragu untuk masuk ke ranah online, yang perilaku penggunanya masih sulit ditebak. Meski demikian, ada saja yang menjadi pionir yang mulai melirik blog sebagai media komunikasi. Perusahaan besar yang paling awal mengadopsi blog korporat kebanyakan perusahaan teknologi/internet (seperti Google, Microsoft, Sun Microsytem, Cisco dan sejenisnya) serta perusahaan konsultan strategi/teknologi/internet.
Di Indonesia, Maverick dan Virtual Consulting tergolong perusahaan yang paling awal mengadopsi corporate blogging. Kini, semakin banyak perusahaan menengah-bawah yang membangun blog perusahaan, meski kadangkala tercampur dengan blog pribadi. Mereka membangun blog untuk branding sekaligus menembus pasar. Sebaliknya, perusahaan besar, yang sudah memiliki citra perusahaan dan memiliki citra produk, masih terjerat dengan ketakutan mengenai kredibilitas.
Untuk menjawab ketakutan tersebut, saya mengatakan bahwa pada dasarnya tidak ada produk/jasa yang 100% sempurna dan memuaskan pelanggan. Akan selalu ada pelanggan yang tak puas yang banyak bertebaran di surat pembaca di berbagai media. Seorang manajer PR atau manajer pemasaran pasti senam jantung jika ada keluhan pelanggan dimuat di media sebesar Kompas atau Koran Tempo. Nah, di era Internet Web 2.0, konsumen melemparkan kekecewaan dengan menulis blog atau mem-posting-nya di berbagai milis serta social networking. Internet membuka banyak kanal untuk memprotes produsen.
Untuk mengantisipasi ini, mindset perusahaan harus diubah dari yang merasa harus memiliki “citra sempurna, layanan sempurna, produk sempurna” menjadi “Produk/layanan kami bukanlah sesuatu yang sempurna. Tapi kami adalah perusahaan yang mau mendengarkan masukan/keluhan pelanggan demi peningkatan mutu produk/layanan kami”.
Itulah paradigma baru perusahaan yang membangun blog korporat dan punya keinginan kuat untuk lebih menghargai konsumen.
Iklan Online 2009 Masih Tumbuh
Hampir semua petinggi marketing perusahaan yang saya temui mengatakan bahwa mereka memotong budget marketingnya besar-besaran gara-gara efek krisis finansial Amerika Serikat yang mengimbas ke seluruh dunia sejak Oktober 2008 lalu. Meski dampak krisis pelaku ekonomi terbesar dunia itu ke Indonesia tidak sehebat ke negara-negara lain, tetap saja banyak pelaku bisnis di Indonesia yang bersikap hati-hati dan menahan diri. Pemotongan budget marketing adalah salah satu indikatornya. Namun saya yakin, 2009 ini bukan merupakan tahun yang buruk bagi dunia online. Meski budget marketing perusahaan secara keseluruhan dipangkas cukup banyak, jumlah total budget yang diguyur ke media online di Indonesia masih lebih tinggi dibanding tahun lalu.
Sedikitnya ada tiga alasan yang melandasi keyakinan saya itu.
Pertama, media online menikmati kue iklan kampanye Pemilu 2009.
Boleh dibilang, inilah pertama kalinya media online menikmati iklan online dari pelaku politik, baik partai politik yang membangun brand awareness maupun individu-individu yang mencalonkan diri menjadi calon legislatif
Kedua, munculnya advertiser baru yang memanfaatkan media online.
Bebeberapa perusahaan yang sudah biasa beriklan di online memang memangkas budget onlinenya, seiring dengan pemangkasan budget beriklan di media-media konvensional seperti teve, cetak dan radio. Namun beberapa perusahaan yang sudah sadar efektivitas online biasanya tetap menjaga budget onlinenya, atau bahkan meningkatkan budget online. Yang melakukan langkah ini biasanya adalah perusahaan atau pemilik brand multinasional.
Lebih dari itu, akan muncul perusahaan/pemilik brand yang tahun lalu belum pernah beriklan di dunia maya, kini memutuskan untuk mencoba “media alternatif” karena dipaksa oleh perubahan perilaku konsumen dalam mengonsumsi media. Sederhananya: jika dulu konsumen hanya menonton teve, membaca koran/tabloid/majalah dan mendengarkan radio, kini mereka juga menjelajah Internet. Online sudah menjadi point of contact yang tidak bisa diabaikan, sehingga perusahaan/pemilik brand harus masuk di point of contact tersebut.
Ketiga, pelaku industri online semakin sadar marketing.
Ketika berganti wajah tahun lalu, Kompas.com melakukan upaya marketing yang luar biasa, baik secara offline maupun online. Di bawah manajemen baru, Kompas.com sadar betul perlunya kampanye baik ke publik sebagai pengguna, maupun ke advertiser maupun biro iklan yang menjadi calon pemasang iklan onlinenya.
Bukan hanya Kompas.com yang serius beriklan, media online lain juga melakukan hal yang sama. Detik.com dan Kapanlagi.com misalnya memasang billboard di beberapa jembatan penyeberangan di Jakarta. Kaskus.us yang sebelumnya tidak pernah berkampanye, setelah bermitra dengan SemutApi kini makin agresif melakukan kampanye. Contoh lain masih banyak, yang tentu tidak bisa saya sebutkan satu persatu di sini.
Saya duga tahun ini mereka akan tetap kampanye. Bahkan Bisnis.com pun tahun ini mulai mengkampanyekan diri sebagai salah satu bagian penting Bisnis Indonesia yang sudah berubah wajah, bukan lagi sebagai sekadar koran, tetapi media yang bisa memberikan solusi iklan terintegrasi baik melalui offline, online maupun mobile.
Kampanye para pelaku media online ini akan semakin meningkatkan awareness media online sebagai media yang penting untuk beriklan bagi para pemilik merek maupun biro iklan.
Dengan tiga alasan inilah saya menduga, 2009 ini adalah tahun yang menyenangkan bagi industri online. Saya tidak kaget ketika ada yang meramalkan bahwa nilai iklan online 2009 naik tiga kali lipat dibanding 2008.
Pertanyaan selanjutnya: siapa yang bakal menikmati kue ini?
Ponari Mengalahkan Sarah Azhari
Judulnya provokatif amat ya? Saya juga merasa begitu. Tapi itulah faktanya. Karena tertarik dengan fenomena Ponari Sweat yang menjadi viral, saya mencoba menggali lebih jauh mengenai Ponari di dunia maya. Ponari, sang dukun cilik dadakan yang dipercaya bisa menyembuhkan berbagai penyakit hanya dengan air celupan batu petir yang konon didapatnya ketika kesambar petir, memang lagi hot di dunia nyata. Puluhan ribu orang antri, dan beberapa meninggal, hanya karena ingin disembuhkan bocah SD asal Jombang ini. Selama bulan Februari 2009 ini, Ponari mengharubirukan berbagai media massa baik cetak, radio maupun online. Dan ternyata, di dunia maya pun Ponari tidak kalah saktinya ketimbang Sarah Azhari. Pencarian kata di Google dengan kata kunci “Ponari” mengalahkan kata kunci seleb paling dicari di web, “Sarah Azhari”.
Pencarian kata kunci “Sarah Azhari” stabil, artinya bintang sinetron itu memiliki penggemar tetap di dunia maya. Sedangkan Ponari muncul tiba-tiba karena kehebohannya awal tahun ini. Hebatnya, selama 15-22 Feb, tingkat pencariannya mengalahkan adik Ayu Azhari itu.
Saya menduga, hal itu bisa terjadi lantaran dipicu oleh usulan lucu blogger. Karena prihatin dengan korban-korban yang berjatuhan gara-gara antri dalam kondisi sakit, ada yang mengusulkan agar air celupan batu geledek Ponari dibuat dalam kemasan saja, dan dimereki PONARI SWEAT, plesetan dari Pocari Sweat. Usulan itu dilengkapi dengan gambar-gambar iklan lucu produk baru dunia maya itu.
Banyak blogger yang menulis ulang atau memodifikasi gambar-gambar ini sehingga menimbulkan efek viral. Saya tidak tahu siapa yang memulainya, yang jelas, karena saking lucunya, pesan dan gambar itu menyebar ke berbagai mailing list, forum, bahkan nyasar ke Facebook.
Hasilnya? Pencarian di Google per 2 Maret 2009 dengan kata kunci “Ponari Sweat” yang kontennya dipasok sebulan saja, memberikan rujukan situs web yang dua kali lebih banyak ketimbang kata kunci “Pocari Sweat” yang dipasok sepanjang masa.
Kata kunci produk asli “Pocari Sweat” sepanjang masa hanya menghasilkan 187 ribu rujukan situs di Google.
Sebaliknya, kata kunci “Ponari Sweat” yang hanya meledak sebulan, bisa menghasilkan 302 ribu rujukan Google.
Sedih atau gembirakan pemilik merek Pocari Sweat terhadap hal ini? Kalau saya pemilik Pocari Sweat, saya malah gembira. Plesetan produk yang bersifat lucu ini dan penyebarluasannya menjadi viral oleh publik justru menguntungkan. Publik diingatkan lagi mengenai Pocari Sweat tanpa harus membuat iklan dengan biaya mahal.
Social Media, Ponari Sweat dan Posisi Produsen-Konsumen
“Sudahkah Anda minum Ponari Sweat hari ini?” Itulah status beberapa teman di internet messenger dan di social media seperti Facebook di Februari 2009 ini. Ponari Sweat? Ya. Tidak salah. Bukan Pocari Sweat.
Semua itu berawal dari keprihatinan blogger melihat antrian panjang orang berobat di dukun cilik yang bisa menyembuhkan segala penyakit dengan air dicelupi batu yang konon didapat Ponari ketika ia kesambar petir. Daripada repot antri dan memakan korban, ada yang melemparkan usulan lucu, kenapa tidak dibuat saja air minum kemasan hasil celupan batu petir itu dengan merek Ponari Sweat, plesetan dari Pocari Sweat. Usulan itu dilengkapi dengan berbagai gambar Ponari Sweat yang lucu-lucu, baik dalam kemasan kaleng maupun sachet. Bentuknya sama persis dengan Pocari Sweat, hanya huruf C diganti dengan N. Lantaran lucu, pesan ini kemudian menyebar ke mailing list, forum dan social media seperti Facebook, sekaligus memicu blogger untuk menuliskan hal yang sama. Hasilnya, tulisan Ponari Sweat yang dicatat Google satu bulan itu saja, bisa mengalahkan tulisan mengenai Pocari Sweat sepanjang masa.
Pocari Sweat jelas diuntungkan dengan postingan lucu ini lantaran pengguna Internet teringat lagi dengan minuman itu. Namun tidak banyak merek atau produk yang diuntungkan oleh perbincangan konsumen di dunia maya seperti ini. Yang terjadi justri konsumen yang kecewa kini dengan mudah mengungkapkan kekesalannya di dunia maya. Kini mereka tidak perlu capek mengirim dan menunggu dimuat di media masa mainstream seperti koran, majalah, radio maupun teve. Mereka bisa dengan cepat menulis di blog, forum, mailing list dan jejaring sosial. Jika banyak konsumen lain yang merasa senasib, mereka akan saling berkomunikasi dan informasi buruk itu dapat membentuk bola liar sehingga berpeluang mencederai citra produknya.
Inilah yang terjadi di jagad Internet belakangan ini. Konsumen saling bercakap-cakap satu sama lain baik melalui komentar di blog, maupun sapaan di berbagai fitus social media, seperti status, wall, notes, pages, email, group dan berbagai aplikasi game menempel di social media.
Konsumen – Publisher - Influencer.
Dengan membuat blog, membuka akun dan aktif di Facebook, Friendster, MySpace, Youtube, menyimpan dan membagi foto di Flickr, bermicroblogging di Twitter atau Plurk, maka otomatis konsumen sudah naik pangkat menjadi publisher.
Maka tanpa disadari, perusahaan yang biasanya menghadapi ratusan publisher, baik cetak, radio maupun teve, kini harus berkomunikasi dengan jutaan publisher baru yang pada dasarnya adalah konsumen. Jumlah blogger Indonesia saja saat ini sudah mencapai setengah juta jiwa, yang bertebaran di rumah blog seperti BlogDetik, Dagdigdug, Wordpress dan Blogspot. Sementara itu member Friendster di Indonesia sekitar enam juta, meski kecenderungannya mulai menurun, dan Facebook mencapai 1,7 juta dengan kecenderungan tumbuh pesat.
Kecuali menjadi publisher, sebagian dari mereka juga naik pangkat menjadi influencer. Kecenderungan mereka untuk membagi informasi yang didapat ke teman-temannya akan mempengaruhi penerima pesan. Survei yang dilakukan DEI Worldwide mengenai dampak social media terhadap perilaku belanja menunjukkan bahwa, 62% mengatakan informasi produk yang didapatkannya melalui percakapannya di social media lebih bernilai ketimbang informasi yang diterima dari iklan. Survei yang dilakukan Forester Reseach tahun 2007 bahkan sudah meletakkan blogger sebagai influencer kedua setelah teman/keluarga dalam hal memutuskan konsumen membeli barang.
Bahkan dalam industri tertentu, komentar teman social media bisa mengubah total keputusan konsumen. Di dunia pariwisata misalnya, menurut Forrester Research, sepertiga pelancong AS membatalkan pemesanan hotelnya karena komentar negatif online dari pelancong lain.
Sebelumnya, era digital disebut-sebut banyak pakar, termasuk futurologist Alfin Toffler, mengaburkan batas antara produsen dan konsumen. Don Tapscott dan Anthony D Williams kemudian menunjukkan bagaimana hebatnya makna prosumtions. Dalam buku “Wikinomics: How Mass Collaborations Change Everythings” mereka berdua menunjukkan betapa pembuatan produk massal melalui keterlibatan massal produsen dan konsumen sangat dimungkinkan di era digital. Lego Mindstorm adalah contoh tepat mengenai pembuatan produk massal yang terkostumisasi ini. Pembeli dapat mengunduh peranti lunak di situs web Lego, dan kemudian memodifikasi sesuai dengan kebutuhan mereka masing-masing dengan mudah.
Dan kini di era Web 2.0. konsumen menjadi bagian penting pemasaran. Kini, boleh dibilang, batas antara produsen dan konsumen semakin kabur dari ujung produksi hingga ujung pemasaran.
Bagi perusahaan yang terbiasa dengan produk terkustomisasi, perubahan ini relatif mudah diantisipasi, bahkan bisa dimanfaatkan sebagai peluang emas. Dell Computer misalnya, meluncurkan situs Dell’s Ideastorm yang mempersilahkan pelanggan untuk menyampaikan apapun produk yang mereka inginkan di masa mendatang. Salah satu hasilnya adalah Linux Box, yang jelas-jelas mencederai hubungan jangka panjang Dell dengan Microsoft yang selama ini menjadi mitra penting di sisi operating system.
Starbucks mencoba menirunya dengan meluncurkan http://Mystarbucksideas.com, meski hasilnya tidak sefundamental Dell.
Memang tidak mudah mengelola perubahan ini. Namun, kegairahan para marketer memanfaatkan posisi baru konsumen sebagai publisher dan influencer ini semakin menjadi-jadi di saat krisis seperti ini karena strategi ini relatif jauh lebih murah dibanding iklan namun memberi impak besar.
Masalahnya adalah: komunikasi dan pemasaran di media yang 100% kontennya diisi oleh konsumen bukanlah pekerjaan mudah, sebagaimana berkomunikasi dengan media mainstream yang dikelola industry media massa. Sudah begitu, amat sulit mencari sumber daya manusia yang memiliki pemahaman mengenai social media, baik dari sisi komunikasi maupun teknologi. Ditambah lagi, hingga kini penghitungan Return on Investment (ROI) pemasaran di social media belum jelas. Toh dengan segala keterbatasan itu, perusahaan terpaksa masuk ke social media karena takut kalah cepat dibanding pesaingnya.
Meski demikian, ada cara untuk mengurangi risiko gagal komunikasi dan pemasaran di social media. Pertama, lihatlah perubahan konsumen ini secara strategis terlebih dulu sehingga dapat digali potensi-potensinya baik untuk pengembangan produk maupun customer relations.
Kedua, perusahaan mengantisipasi perubahan ini secara strategis, bukan sekadar melaksanakan program marketing dan public relations di social media, tetapi juga membangun organisasi yang siap mengeksekusinya. Sangat layak jika saat ini perusahaan besar memiliki manager baru di bidang social media.
Ketiga: perkuat riset di bidang social media agar betul-betul memahami perilaku social media sehingga mampu membangun strategi yang tepat.
Ponari Sweat adalah contoh lucu-lucuan bagaimana konsumen membangun komunikasi horizontal antar mereka secara otomatis tanpa keterlibatan pemilik brand. Terbayang hebatnya jika yang diperbincangkan dengan antusias oleh konsumen itu sesungguhnya adalah Pocari Sweat atau produk anda yang berakibat pada meningkatnya brand awareness yang berujung pada sales.
Saatnya Public Relations Lebih Berperan di Online Social Media
Barangkali anda sudah sering mendengar bahwa Public Relations itu sesuatu yang strategik bagi perusahaan karena tugas utamanya adalah membangun citra (image) positif perusahaan maupun produk. Namun, pada saat yang sama, barangkali anda juga sering melihat bahwa peran humas pada praktiknya seringkali diabaikan oleh direksi, atau bahkan dianggap di bawah marketing. Namun di era Web 2.0, era online social media, era di mana konsumen melakukan percakapan secara horisontal satu sama lain di dunia maya, sudah jelas bahwa peran PR jauh lebih penting ketimbang marketing. Itulah intisari yang saya sampaikan dalam seminar sehari bertajuk Sharpening Your Online Public Relations Strategy, di Ritz-Carlton Jakarta, Kamis 19 Maret 2009.
Seminar yang dihadiri lebih dari 150 peserta dari berbagai perusahaan ini memang membahas peran PR di dunia online, terutama di tengah merebaknya tren komunikasi horisontal antar konsumen melalui social media serta makin derasnya penetrasi smartphone seperti Blackberry. Di social media seperti Facebook, Friendster, Twitter, Multiply, Flickr dan lainnya, pendekatan iklan yang biasanya dilakukan para marketer nyaris tidak memberikan hasil. Di medium yang lebih menekankan pada percakapan antar pengguna ini para marketer kesulitan mencari bentuk iklan yang tepat untuk menarik perhatian pengguna. Itu sebabnya, meski berkembang pesat, pengelola social media, terutama Facebook terus berusaha mengoptimalkan situs social medianya agar ampuh untuk beriklan mengingat iklanlah sumber pendapatan utama mereka.
Marketer pun matikutu jika harus beriklan di pengguna smartphone semacam BB, lantaran hingga hari ini belum ada model bisnis yang disukai oleh pengguna maupun pemasang iklan. Mereka yang browsing portal penuh iklan seperti Detik.com di versi mobilenya tidak akan mendapatkan banner-banner iklan sebagaimana yang terpampang di versi desktopnya.
Itulah sebabnya, pendekatan paling tepat untuk konsumen di social media yang maunya melakukan konversasi secara horisontal dan pengguna smartphone yang bebas iklan, adalah pendekatan Public Relations, bukan iklan.
Pendekatan PR inilah yang dipaparkan dengan baik oleh Derrick Surya, Brand Manager PT. Topindo Atlas Asia, distributor utama Oli Top 1. Beberapa tahun terakhir ini, Oli Top1 digempur oleh isu negatif di dunia maya (yang tidak terbukti kebenarannya) tanpa berbuat apapun di online. Namun, semenjak tahun lalu, Oli Top 1 mulai melakukan online PR dengan membangun situs web khusus Indonesia, melakukan pendekatan ke media-media online, memperbanyak publikasi positif di media online, membuka konsultasi online untuk hal-hal yang berkaitan dengan motor dan mobil, terutama mengenai sistem pelumasan di mesin kendaraan, serta edukasi mengenai pengetahuan pelumas bagi masyarakat dan membangun komunikasi dua arah dengan pengguna Internet. Hasilnya, menurut pemantauannya, isu negatif Oli Top 1 sudah meluruh. Meski demikian, Derrick menyatakan bahwa Oli Top 1 akan terus investasi di dunia maya, dengan melakukan pendekatan online PR untuk membangun citra positif produknya.
Contoh lain disampaikan oleh Memoria Dwi Prasita, Brand Manager Bango - Unilever Indonesia. Citra yang dibangun kecap Bango adalah kuliner, tradisional, dan Indonesia, sehingga melahirkan activation programm bernama Bango Cita Rasa Nasional (BCRN) dengan key messege “preserving Indonesian traditional foods”. Pelestarian makanan tradisional inilah yang kemudian melahirkan program Festival Jajanan Bango yang digelar setiap tahun di berbagai kota sejak 2005. Di dunia maya, Unilever bekerjasama dengan komunitas Bango Mania, yang sangat intens membangun komunikasi melalui berbagai kanal online, termasuk blog, forum, mailing list, hingga social media seperti Plurk dan Facebook. Hasilnya antara lain, pada tahun 2008, tercatat 500 lebih postingan blog dan 500-an email mengenai Festival Jajanan Bango, jauh meningkat dibanding tahun sebelumnya.
Oli Top 1 dan Kecap Bango memang saya undang khusus untuk menjadi bintang tamu pada seminar tersebut agar peserta mendapat paparan mendalam menganai langlah-langkah ke-PR-an mereka di dunia maya. Namun saya juga memberikan contoh lain, seperti Indosat yang mencoba membangun Indosat FansBerry melalui aktivitas di Facebook, dengan pendekatan penambahan teman sebanyak-banyaknya berhadiah Blackberry Indosat. Saya juga mencontohkan bagaimana Toyota Astra Motor membangun komunikasi horisontal di Facebook dengan membuat account Yaris Groovynations dan menyelenggarakan program Yaris Grooviest Moment Celebration, yang men-tag foto bersama mobil Yaris.
Di akhir seminar, saya memberikan tips bagaimana membangun strategi Public Relations di online, khususnya di social media. Strategi itu harus dibangun berdasarkan user insight lokal, bukan user insight internasinal. Saya memang memberikan beberapa data user behavior pengguna social media global hasil riset Marketing Sherpa. Namun saya juga memberikan hasil riset lokal yang dilakukan Virtual Consulting, yang dalam beberapa hal berbeda dengan temuan global. Sebagai contoh, tujuan utama pengguna global di social media adalah bersenang-senang. Sedangkan tujuan utama pengguna Indonesia di social media adalah membangun jaringan. Perbedaan lain masih banyak. Dengan demikian, pemahaman user behavior lokal mutlak diperlukan untuk membangun strategi Public Relation di dunia maya dengan target konsumen Indonesia.
Feedback 3.0
Dua tahun lalu perusahaan computer Dell Inc. meluncurkan sebuah program unik di situs web Ideastorm.com. Idenya seseungguhnya sederhana, yakni mengajak pelanggan Dell di seluruh dunia untuk berbagi di situs ini tentang produk apa yang mereka inginkan di masa mendatang. Sebagai satu-satunya perusahaan computer yang membuat computer sesuai keinginan pelanggan (customized), Dell memang perlu paham keinginan pelanggan.
Namun, karena trend Web 2.0 yang semakin interaktif dan kolaboratif, Dell tidak hanya mengajak pelanggannya menyampaikan keinginannya. Pelanggan, lebih dari itu, diajak untuk berbagi ide tentang produk, kemudian memilih ide yang paling bagus dengan cara voting oleh pelanggan lain. Dan ide yang banyak dipilih pelanggan kemudian dieksekusi oleh Dell.
Hasilnya? Luar biasa. Terbentuklah sebuah komunitas pelanggan Dell dari seluruh dunia yang berusaha melemparkan ide-ide perbaikan produk yang sangat menguntungkan Dell dan pelanggannya. Salah satunya adalah Linux Box, yang jelas-jelas mencederai hubungan jangka panjang Dell dengan Microsoft mengingat selama ini menjadi mitra penting di sisi operating system. Namun demi memenuhi kebutuhan pelanggan di masa depan, Dell segera banting setir dan menyediakan computer berbasis Linux.
Hanya dalam dua tahun, situs komunitas berbagi ide Dell ini berhasil menjaring lebih dari 11 ribu gagasan dari pelanggan dan memicu lahirnya 85 ribu komentar dari para pelanggan yang saling berkomunikasi satu sama lain untuk mengkritisi dan memperbaiki gagasan-gagasan yang dilempar oleh pelanggan lain.
Karena sifatnya komunitas, bukan hanya produk baru yang dilahirkan, tetapi gagasan mengenai cinta lingkungan dan hubungan emosional antar pelanggan pun bermunculan yang barangkali
tidak terlintas di benak manajemen Dell. Misalnya saja, pelanggan yang sadar lingkungan mengusulkan ke Dell agar ada program tukar tambah. Daripada computer tua tersimpan di gudang, atau dijual ke pasar loak, atau dibuang, kenapa tidak ditukartambah dengan computer baru sehingga tidak mengotori lingkungan.
Demikian pula usulan mengenai Dell PINK. Ada pelanggan yang menggagas gerakan Dell PINK, dengan memodifiasi gerakan social Bono membantu pemberantasan penyakit AIDS di Afrika. Melalui Dell PINK akhirnya Dell menyisihkan $ 5 dari setiap penjualan Dell berwarna pink ke lembaga social yang membantu operasi kanker payudara.
Kesuksesan Dell berkomunikasi secara intensif, dua arah, bahkan segala arah secara horizontal antar pelanggan, bisa jadi memicu inspirasi Starbucks untuk melakukan hal yang sama. Kedai kopi kelas atas itu meluncurkan program My Starbucks Ideas, yang memungkinkan membernya untuk bisa berbagi ide, vote dan diskusi. Konsumen Starbucks diajak menjadi member di situs Mystarbucksideas.com, dipersilahkan memberikan usulan apapun untuk meningkatkan layanan dan produk Starbuck. Gagasan yang paling banyak dipilih pelanggan akan dieksekusi oleh Starbucks.
Starbucks tentu saja mengambil banyak manfaat dari usulan-usulan ini karena ada beberapa usulan yang sangat menarik diantara sekian banyak usulan ngawur untuk meningkatkan produk dan layanannya. Salah satunya adalah teh tubruk. Menghidangkan teh tubruk barangkali ide gila bagi Starbuck. Namun ternyata konsumen membutuhkannya.
Pada saat yang sama beberapa usulan layanan pun mendapat perhatian manajemen. Misalnya saja soal sofa dan kursi. Salah satu keistimewaan Starbucks di mata pelanggannya adalah sofanya yang nyaman untuk bekerja dan nongkrong di kedai itu. Namun, kini semakin banyak kedai Starbucks yang mengefisienkan diri, menggganti sofa itu dengan kursi kayu kecil. Seorang konsumen mengusulkan agar Starbucks jangan menghilangkan factor kenyamanan demi efisiensi. Dan itu menjadi salah satu usulan yang populer.
Usulan lain masih banyak dan terus bermunculan. Dalam usia setahun, situs social media berbasis merek ini mencatat hampir sepuluh ribu usulan dari membernya.
Dari dua contoh di atas tadi menggambarkan betapa hebatnya usaha perusahaan untuk bukan hanya mendengarkan suara pelanggan, tetapi juga melibatkan mereka dalam peningkatan layanan perusahaan, bahkan untuk pembuatan produk atau layanan baru.
Internet memang telah mengubah posisi konsumen di mata perusahaan. Ini, apa boleh buat, dipicu oleh teknologi dan perilaku pengguna Internet. Di awal lahirnya Internet, pada awal tahun 1990-an, hampir semua pengguna Internet adalah pengguna pasif. Mereka hanya menggunakan mesin pencari seperti Yahoo! Search engine atau memanfaatkan email gratisan seperti Hotmail. Inilah yang seringkali disebut sebagai era Web 0.0.
Era Web 1.0 lahir ketika konten Internet semakin beragam dengan munculnya berbagai portal berita serta e-commerce. Pengguna Internet sudah mulai membaca dan berinteraksi dengan portal berita melaui komentar-komentar di setiap postingan berita. Sedangkan di situs-situs e-commerce, pengguna Internet sudah mulai aktif berkomunikasi dengan pemilik/pengelola situs dengan cara membeli barang dan melakukan transaksi.
Di era yang didominasi oleh situs e-commerce seperti took buku Amazon.com, situs lelang eBay.com, atau di dalam negeri seperti situs berita Detik.com, pengguna Internet sudah melakukan komunikasi dua arah antara mereka dengan pemilik/pengelola situs. Ini sebuah peningkatan yang luar biasa dari era sebelumnya yang sama sekali tanpa komunikasi antara mereka dengan pemilik situs. Pada era Web 0.0, mereka hanya menggunakan jasa search engine dan email gratis tanpa bercakap-cakap dengan pemilik/pengelolanya.
Pada era inilah sebenarnya komunikasi perusahaan dengan pelanggannya sudah mulai berubah. Pelanggan sudah mulai bisa menghubungi perusahaan langsung ke situs perusahaan. Jika membutuhkan produk mereka akan masuk ke situs perusahaan, mengisi formulir kontak yang disediakan di web. Demikian pula, mereka bisa mengeluhkan layanan pelanggan ke situs perusahaan atau melemparkannya ke surat pembaca sebuah portal, jika mereka malas mengirim ke media cetak, radio atau teve yang harus menunggu lama pemuatannya.
Nah, pada awal tahun 2.000-an muncul benih-benih teknologi Web yang lebih canggih, di mana pengguna Internet bukan hanya bisa melakukan komunikasi dua arah dengan perusahaan. Lebih dari itu, mereka bisa saling berkomunikasi satu sama lain antar pelanggan, antar pengguna Internet, saling bebagi gagasan, dan sekaligus membentuk jaringan. Inilah yang disebut dengan social networking, sebuah jaringan pertemanan di dunia maya, yang membuat mereka bisa saling bercakap-cakap satu sama lain. Social networking seperti Youtube, MySpace, Multiply, Friendster dan sejenisnya, terutama Facebook, pun bermunculan. Demikian juga fenomena Wiki yang memungkinkan pelanggan membuat produk baru di Internet – misalnya Wikipedia, sebuah kamus online raksasa yang sepenuhnya diisi oleh pengguna Internet dan kini mengalahkan kamus terbesar di dunia. Pada saat yang sama, blog juga bermunculan yang melahirkan jasa-jasa penyedia blog seperti Wordpress dan Blogspot dengan skala global, atau Dagdigdug dan BlogDetik dalam skala lokal.
Inilah yang disebut sebagai era Web 2.0. Era di mana pengguna Internet saling berkomunikasi, saling berkolaborasi secara interaktif.
Era-era ini juga mengubah cara konsumen memberikan feedback ke perusahaan. Ketika pengguna Internet mengirim keluhan ke portal-portal berita yang ditampilkan begitu saja di portal itu seperti dimuat di media cetak di era Web 1.0, disebut sebagai era FeedBack 1.0. Pada era ini praktis perusahaan jarang melihat keluhan itu karena biasanya perusahaan masih terfokus memantau keluhan pelanggan di media konvensional seperti cetak, teve dan radio.
Ketika social media meledak dan era Web 2.0 mewabah di seluruh dunia lahirlah era baru cara komunikasi pelanggan yang disebut sebagai Feedback 2.0. Pada era ini konsumen lebih sibuk berkomunikasi dan berbincang mengenai produk dan perusahaan dengan sama konsumen. Terjadi komunikasi horizontal. Sayang komunikasi ini nyaris tidak melibatkan perusahaan. Inilah yang terjadi saat ini. Inilah yang menyebabkan perusahaan gagap untuk berkomunkasi dan mendapatkan feedback dari pelanggannya. Di era yang sedang mewabah saat ini, perusahaan baru pada tahap bisa mendengarkan apa yang konsumen bicarakan di berbagai situs social media, tanpa bisa memberikan respon balik ke mereka.
Apa yang dilakukan oleh Dell dan Starbucks adalah mencoba keluar dan kekacaubalauan feedback di Web 2.0. Mereka membangun komunitas konsumen secara masal, membiarkan mereka berkomunikasi satu sama lain, namun juga membuka komunikasi antara perusahaan dengan konsumen secara langsung. Inilah cikal bakal Feedback 3.0. Komunikasi missal yang melibatkan juga komunikasi dua arah antara perusahaan dengan konsumennya.
Feedback 3.0 akan menjadi era komunikasi perusahaan-konsumen masa depan. Namun tantangan ke sana tidak mudah. Komitmen perusahaan tidak cukup hanya dengan mendengar suara pelanggan. Namun harus bersedia secara serius menindaklanjuti usulan pelanggan seperti yang dilakukan oleh Dell dan Starbucks.
Tanpa komitmen tindak lanjut, Feedback 3.0 tidak akan terjadi. Yang terjadi malah bisa sebaliknya: pukulan balik ke perusahaan karena mengabaikan suara pelanggan.
Masalahnya saat ini, banyak perusahaan Indonesia yang belum menerapkan Feedback 1.0, apalagi 2.0. Bisakah mereka melangkah ke 3.0?
Written By : Nukman Luthfie, CEO Virtual Consulting, www.virtual.co.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar