February 17, 2009, 11:23 am
Ini dari Dandhy Laksana
Jelang pemilu selalu ada saja keributan di ruang redaksi televisi. Sekira setahun sebelum pemilu 2004 lalu, Wakil Pemimpin Redaksi RCTI Ivan Haris (eks Tempo) mengancam mengundurkan diri bila pemilik RCTI (Harry Tanoe) masih ngotot memasukkan Derek Manangka (eks Media Indonesia) sebagai pimred yang ditengarai akan membawa umbul-umbul parpol tertentu ke layar publik.
Harry Tanoe bergeming. Derek naik tahta. Ivan membuktikan kata-katanya: mundur dan pindah ke SCTV.
Entah seperti membenarkan dugaan Ivan atau cuma kebetulan belaka, nyatanya Derek memang hanya seumur jagung di jabatan itu. Usai pemilu, Harry Tanoe lalu mengangkat Arief Suditomo, sampai sekarang.
Kini giliran ruang redaksi Liputan 6 SCTV.
Barangkali memang tidak ada hubungannya dengan pemilu, meski tiba-tiba Fofo Sariatmadja yang pemilik, mengangkat dirinya sebagai pemimpin redaksi dan ‘memarkir’ Rosiana Silalahi sebagai Penasihat Pemimpin Redaksi.
Dulu Harry Tanoe juga pernah mengangkat dirinya sendiri sebagai Ketua Dewan Redaksi. Kalau pemilik berada di struktur redaksi, maka antara intervensi dan news judgement pasti tumpang tindih.
SCTV atau media lain sebagai bagian dari domain publik (frekuensi), memang layak diamati atau dikomentari publik. Dari luar teramatilah bahwa seorang anggota Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Don Bosco Selamun tiba-tiba duduk sebagai direksi di SCTV.
Padahal usia mandat jabatannya di KPI masih setengah jalan. Padahal sudah berkomitmen di hadapan wakil rakyat akan menjadi watchdog bagi industri penyiaran dan memegang amanat publik. Kini ‘berbalik’ bekerja kepada industri.
Don Bosco memang bukan orang baru di Liputan 6. Jabatan terakhirnya adalah Wakil Pemimpin Redaksi di era Karni Ilyas sebelum akhirnya pindah ke Metro TV sebagai Pemimpin Redaksi.
Tak lama berbulan madu dengan Surya Paloh dan ‘geng Media Indonesia-nya’, Don Bosco pun angkat kaki dan mencoba peruntungan di RCTI.
Oleh Harry Tanoe, Don Bosco diberi kapling di MNC (terdiri dari RCTI, TPI, dan Global). Di awal tahun 2006 itu, ruangannya satu blok dengan bagian HRD, di gedung yang terpisah dari news room RCTI.
Lalu tiba-tiba namanya masuk dalam bursa calon anggota KPI sebelum akhirnya benar-benar lolos menjadi salah satu komisioner di lembaga yang mestinya sangat disegani kalangan industri penyiaran seperti halnya Offcom di Inggris itu.
Belum lagi terlalu terdengar debutnya (selain menutup program Empat Mata-nya Tukul), kini Don duduk sebagai Direktur Pemberitaan di SCTV.
Resistensi muncul dari geng Rosi. Entah karena khawatir politik partisan yang akan dibawa ke layar atau sebab lain. Sementara tudingan kedekatan politik dengan figur-figur tertentu juga diarahkan ke kubu Rosi.
Segregasi mulai terjadi. Permainan politik kantor dimulai.
Ruang redaksi yang luasnya tak seberapa itu pun terpecah menjadi dua kubu: pro-Rosi dan pro-Don. Tidak ada tempat bagi pihak yang netral (netral karena obyektif atau sekedar oportunis menunggu keluarnya pemenang).
Rapat-rapat politik digelar. Tiap kubu menghadap direksi atau pemilik untuk menyampaikan aspirasi sembari menggembosi kekuatan politik lawan.
Bak adegan gun-fight para koboi, tinggal menunggu saat siapa yang mencabut pistol duluan dan menarik pelatuk.
Mutasi pun terjadi di level menengah dan atas jajaran redaksi, kepada orang-orang yang dianggap pro-Don. Dalam setiap mutasi politis seperti ini, selalu dibumbui dengan argumen bahwa itu cuma tour of duty biasa. Disadari atau tidak, diakui atau tidak, politik alienasi dilancarkan atas orang-orang yang dianggap ‘bukan orang kita’. Hanya ada pilihan: you with us or against us.
Situasi pun makin panas.
Pada suatu rapat sore, Rosi digeser. Pemilik SCTV mengambil alih kemudi dengan menobatkan dirinya sebagai pimred. Kubu Don Bosco di atas angin. Retaliasi lalu dilancarkan. Praktik ‘main kayu’ dilanjutkan oleh pihak seberang (baca: mutasi politis kini giliran menimpa orang-orang yang dianggap pro-Rosi).
Jabatan-jabatan profesional yang mestinya terhormat bagi para jurnalis dan diisi berdasarkan pertimbangan merit system, dijungkirbalikkan. Orang-orang ditempatkan tidak lagi pada kompetensinya. Baik dari sisi yang dimutasi, atau mereka yang kini menduduki posisi bekas gusuran itu.
Akibatnya, hari ini saya dengar sejumlah jurnalis senior seperti Bayu Sutiono atau Merdy Sofansyah (juga Andy Budiman, eks 68H) memilih mengundurkan diri. Mereka yang mundur secara sederhana dipetakan sebagai ‘orangnya Rosi’. Sementara ‘orangnya Don’ mulai ambil posisi.
Orang-orang yang dianggap netral masih wait and see. Meski netral tetap terbuka untuk ditafsirkan oleh sebagian kalangan sebagai obyektif atau justru oportunis.
Kubu Don agaknya merasa hanya ‘membeli’ apa yang ‘dijual’ kubu Rosi: mutasi balas mutasi.
Begitulah. Ini adalah kondisi yang memprihatinkan bagi kita para jurnalis yang akhirnya saling berbenturan. Jurnalisme Liputan 6 yang memiliki sumbangsih bagi demokratisasi, akhirnya dipertaruhkan. Layar dan publik –juga mandat kontrol sosial—adalah korban dari semua kekisruhan ini.
Sedih juga, melihat lebih banyak energi dihabiskan untuk pertarungan- pertarungan politik di ruang redaksi, daripada untuk menghasilkan karya-karya jurnalistik yang berfaedah bagi publik.
Dan para pemilik TV itu, masih menjadi dewa yang tak pernah bisa dibantah.
Dan KPI masih menjadi medium petulangan.. .
tabik,
Dandhy D Laksono
About the author:
Dandhy Dwi Laksono adalah seorang freelance journalist. Pernah bekerja di berbagai media, baik cetak maupun eletronik. Ia pernah menjadi produser berita di radio dan juga stasiun TV swasta.
Dikutip dari:
http://nurfahmi.wordpress.com/2009/02/17/kisruh-di-liputan-6-sctv/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar