June 2, 2009
Oleh Dandhy D Laksono, freelance journalist
Setiap mendekati pemilu, selalu ada saja keributan di ruang redaksi media, termasuk televisi. Setahun sebelum pemilu 2004, Wakil Pemimpin Redaksi RCTI Ivan Haris (eks Tempo) mengancam mengundurkan diri bila pemilik RCTI (Harry Tanoesoedibjo) masih ngotot memasukkan Derek Manangka (eks Media Indonesia) sebagai pemimpin redaksi. Derek Manangka ketika itu ditengarai akan membawa umbul-umbul PDI-P ke layar publik.
Semua pihak tentu membantah, termasuk Panda Nababan, politisi PDIP yang disebut-sebut mensponsori masuknya Derek ke RCTI. Panda dan Derek memang sama-sama wartawan alumni koran Prioritas yang didirikan Panda bersama Surya Paloh di pertengahan 1980-an. Derek naik tahta di RCTI, Ivan pun mundur dan pindah ke SCTV. Di sana ia bergabung dengan Karni Ilyas, seniornya dulu di Tempo. Nyatanya Derek hanya seumur jagung di jabatan itu. Usai pemilu, Harry Tanoe mengangkat Arief Suditomo, eks SCTV, sampai sekarang.
Kini giliran ruang redaksi Liputan 6 SCTV yang kisruh menjelang pemilu. Barangkali memang tidak ada hubungannya dengan pemilu. Meski tiba-tiba Fofo Sariaatmadja, pemilik SCTV, mengangkat dirinya sebagai pemimpin redaksi dan ‘memarkir’ Rosianna Silalahi menjadi penasihat Presiden Direktur PT Surya Citra Media.
Dulu Harry Tanoe juga pernah mengangkat dirinya sendiri sebagai Ketua Dewan Redaksi. Kalau pemilik media berada di struktur redaksi, maka antara intervensi dan news judgement mustahil dipisahkan. Keputusan menaikkan atau membatalkan sebuah berita bisa dilakukan tanpa terkena delik intervensi.
SCTV atau media lain sebagai bagian dari domain publik (‘penyewa’ frekuensi), memang layak diamati atau dikomentari. Sebab, ada kepentingan publik juga di sana.
Dari luar teramatilah bahwa seorang anggota Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Don Bosco Selamun tiba-tiba duduk sebagai direksi di SCTV. Padahal usia mandat jabatannya di KPI masih setahun lagi (2010). Dan ia sudah berkomitmen di hadapan wakil rakyat akan menjadi watchdog bagi industri penyiaran dan memegang amanat publik. Tapi kini ‘berbalik’ bekerja kepada industri.
Don Bosco memang bukan orang baru di Liputan 6. Jabatan terakhirnya adalah wakil pemimpin redaksi di era Karni Ilyas sebelum akhirnya pindah ke Metro TV pada tahun 2004 sebagai pemimpin redaksi.
Tak lama berbulan madu dengan Surya Paloh dan kelompok Media Indonesia-nya, Don Bosco pun angkat kaki dan mencoba peruntungan di RCTI. Oleh Harry Tanoe, Don diberi kapling di MNC (Media Nusantara Citra, yang terdiri dari RCTI, TPI, dan Global).
Lalu tiba-tiba namanya masuk dalam bursa calon anggota KPI. Akhirnya, ia benar-benar lolos menjadi salah satu komisioner untuk periode 2007-2010, di lembaga yang mestinya sangat disegani kalangan industri penyiaran seperti halnya Offcom di Inggris itu.
Belum lama di KPI yang tidak terlalu terdengar debutnya (kecuali menutup program Empat Mata-nya Tukul), kini Don duduk sebagai Direktur Pemberitaan di SCTV.
Resistensi muncul dari kelompok Rosianna Silalahi. Bukan karena persoalan tinggal gelanggang dari KPI. Tapi karena sebab-sebab lain, termasuk kekhawatiran bahwa Don akan membawa agenda politik tertentu ke layar Liputan 6. Sebaliknya, tudingan kedekatan politik dengan figur-figur tertentu juga diarahkan ke kubu Rosi. Permainan politik kantor pun dimulai.
Ruang redaksi yang luasnya tak seberapa itu terpecah menjadi dua kubu: pro-Rosi dan pro-Don.Tiap kubu menghadap direksi atau pemilik untuk menyampaikan aspirasi sembari menggembosi kekuatan politik lawan.
Bak adegan gun-fight para koboi, tinggal menunggu saat siapa yang mencabut pistol duluan dan menarik pelatuk. Dan Rosi memulai tembakan. Mutasi pun terjadi di level menengah dan atas jajaran redaksi, kepada orang-orang yang dianggap pro-Don. Setiap mutasi politis seperti ini tentu dibumbui dengan argumen bahwa itu cuma tour of duty biasa.
Pada suatu rapat sore, 12 Februari 2009, Rosi yang menjabat pemimpin redaksi sejak 2005 itu, digeser. Presiden Direktur SCTV, Fofo Sariaatmadja, mengambil alih kemudi dengan menobatkan dirinya sebagai pemimpin redaksi. Kubu Don Bosco lantas berada di atas angin. Retaliasi lalu dilancarkan. Mutasi politis kini giliran menimpa orang-orang yang dianggap pro-Rosi.
Jabatan-jabatan profesional yang mestinya terhormat bagi para jurnalis dan diisi berdasarkan pertimbangan merit system, terjungkir. Akibatnya, sejumlah jurnalis senior seperti Bayu Sutiono, Merdy Sofansyah, juga Andy Budiman, memilih mengundurkan diri. Mereka yang mundur secara sederhana dipetakan sebagai ‘orangnya Rosi’. Sementara ‘orangnya Don’ mulai ambil posisi. Orang-orang yang dianggap netral masih wait and see. Kelompok Don mungkin merasa hanya ‘membeli’ apa yang ‘dijual’ kubu Rosi: Mutasi balas mutasi.
Begitulah. Ini adalah kondisi yang memprihatinkan bagi para jurnalis yang akhirnya saling berbenturan. Jurnalisme Liputan 6 yang memiliki sumbangsih bagi demokratisasi, akhirnya dipertaruhkan. Layar dan publik –juga mandat kontrol sosial—adalah korban dari semua kekisruhan ini. Energi habis untuk pertarungan-pertarungan politik di ruang redaksi, daripada untuk menghasilkan karya-karya jurnalistik yang berfaedah bagi publik.
Rating, Bisnis, atau Politik?
Pertanyaan lain bisa diajukan: apakah kisruh di ruang redaksi Liputan 6 SCTV ini didasari alasan bisnis (rating dan share) atau politik menjelang pemilu?
Seperti halnya dalam kasus Derek Manangka di RCTI, memang sulit membuktikan apakah Don Bosco masuk dengan agenda politik tertentu. Di sisi lain, Rosianna Silalahi disebut-sebut kerap membendung gempuran tuntutan rating dan share yang dipaksakan sebagai agama tunggal oleh pemilik dan para direksi.
Rating Liputan 6 memang pernah lama di bawah Seputar Indonesia (RCTI). Tapi justru saat itulah berita-beritanya moncer dan bahkan menerima Panasonic Award. Tapi siapa yang tahan dengan godaan rating dan share. Bahkan, Liputan 6 berkali-kali memainkan isu artis di segmen pertama program beritanya. Alhasil, Liputan 6 pun akhirnya mengungguli Seputar Indonesia yang selama bertahun-tahun mendapatkan rating tinggi. Meski tidak pernah ada penjelasan tunggal tentang naik turunnya indikator versi AC Nielsen ini.
Jadi apakah alasan rating atau politik, masih sumir. Bisa pula dua-duanya.
Tapi soal rating agaknya lebih ‘terukur’ dijadikan pisau analisis. Divisi Programming di SCTV (juga RCTI) sering berhadapan vis a vis dengan Divisi News. Sepanjang tahun kemarin SCTV kerap memasang iklan nyaris setengah halaman di Kompas bahwa rating agregat stationnya nomor satu. Lengkap dengan grafik perbandingan dengan TV-TV lain, dan poster-poster sinetron itu.
Sementara Divisi News SCTV punya sejarah yang kuat. Sejarah yang dibentuk justru bukan oleh pertimbangan-pertimbangan rating dan share, melainkan editiorial policy-nya. Dia adalah flag carrier saat tak ada satu pun orang ingat apa acara ungulan SCTV selain Liputan 6, di awal-awal masa reformasi.
Ada klaim sejarah yang istimewa di sana. Otonomi Liputan 6 di SCTV lebih kuat dibanding newsroom stasiun TV lain. Pemimpin redaksi-nya pernah menjabat Direktur Pemberitaan. Di stasiun TV lain seperti RCTI, pemimpin redaksi-nya cuma selevel Kepala Divisi. Bargain budget-nya juga lebih kuat. Di RCTI misalnya, mobil untuk liputan Divisi News tidak dibedakan dengan mobil divisi lain. Kalau sedang ada hajatan Indonesian Idol atau Miss Indonesia, reporter-reporter sering tidak kebagian mobil untuk liputan. Di SCTV, ini haram terjadi. Ini contoh kecil untuk menggambarkan relasi-relasi yang lebih besar.
Tapi sebetulnya tidak hanya Rosi. Siapa pun pemimpin redaksi SCTV, pasti punya beban sejarah untuk mempertahankan bargainning position news di SCTV yang memang kuat. Historical dignity ini yang membuat mereka tidak mudah didikte. Bahkan oleh direksi dan pemilik sekalipun. Termasuk urusan rating dan share. Tuntutan agar news lebih ringan, entertaining, dan komersial demi meraih kepemirsaan, selalu berhadapan dengan beban sejarah sebagai watchdog di medium junalisme TV.
Di stasiun TV lain, posisi politik para pemimpin redaksi-nya kurang kuat. Don Bosco pun barangkali punya beban sejarah yang sama. Apalagi dia juga dibesarkan dalam tradisi jurnalisme Liputan 6.
Penjelasan yang kerap disampaikan mengapa manajemen SCTV memasukkan Don Bosco adalah untuk mengantisipasi UU Penyiaran (yang mestinya berlaku Desember 2007, tetapi diundur pemerintah menjadi Desember 2009), di mana sistem penyiaran tidak boleh lagi sentralistik alias Jakarta sentris. Terestrial tidak boleh menguasai domain nasional. Harus bergandengan dengan stasiun-stasiun TV lokal.
Secara bisnis, kabarnya Don ditarik untuk proyek ini. Sebab, sejumlah pemilik TV memang sudah bersiap-siap. Harry Tanoe, misalnya, merespon dengan proyek SUN TV-nya. Meski meragukan karena ia hanya membeli TV-TV lokal, bukan bermitra dengan mereka.
SCTV pun sedang mempersiapkan itu meski dengan model bisnis yang lain. Di situlah peran Don Bosco dibutuhkan. Penjelasan ini tidak ada kaitannya dengan politik jelang pemilu, atau intervensi bisnis (rating dan share) kepada ruang redaksi.
Isi layar akan membuktikan, penjelasan mana yang paling valid.
Disadur dari:
http://hanifahnafiatin.wordpress.com/2009/06/02/kisruh-di-ruang-redaksi-akhir-kejayaan-liputan-6-sctv/
http://www.jakartabeat.net/index.php?option=com_content&view=article&id=137:kisruh-di-ruang-redaksi-akhir-kejayaan-liputan-6-sctv&catid=43:artikel&Itemid=77
Tidak ada komentar:
Posting Komentar