2 November 2007 — Junarto Imam Prakoso
Perkembangan siaran televisi di negara kita baru dimulai pada tahun 1962 tatkala Indonesia menjadi tuan rumah bagi penyelenggaraan Pesta Olah Raga Asia. Pertelevisian ketika itu bagian proyek mercusuar selain Simpang Susun Semanggi, Monas, dan Gelanggang Olah Raga Senayan.
Boleh dibilang, dia dibangun tanpa visi jelas tentang cetak biru jaringan pertelevisian nasional di masa depan. Atau, ia ada tanpa alasan yang rasional. Pokoknya dia harus ada agar Indonesia dianggap ‘sejajar’ oleh bangsa lain.
Industri pertelevisian biasanya tumbuh pesat di negara-negara demokrasi yang menjalankan ekonomi kapitalisme. Di negara-negara ini televisi dipandang sebagai peluang bisnis. Sebaliknya, di negara-negara otoritarian, televisi cenderung dijadikan sebagai alat propaganda alih-alih ruang publik.
Sampai tahun 1989 Indonesia memiliki sebuah stasiun televisi saja. Lantas kapitalisme kroni ciptaan Orde Baru tiba-tiba tumbuh pesat pada awal 80-an sampai 90-an. Ini menyebabkan distribusi kemakmuran timpang: segelintir kroni penguasa memperoleh 90 peratus pendapatan negara.
Modal yang tertumpuk di satu kelompok inilah akhirnya disalurkan untuk membangun stasiun televisi swasta. Itupun didirikan tanpa suprastruktur pendukung seperti regulasi tentang penyiaran. Regulasi dibuat kemudian justru setelah stasiun televisi swasta berdiri (Sunardian Wirodono, 2005).
Dalam konteks inilah jurnalisme televisi nasional berkembang. Tradisi pemberitaan televisi sendiri sebenarnya sudah muncul pada tahun 1978 melalui Dunia Dalam Berita yang diproduksi TVRI. Akan tetapi, warta berita televisi sebagai sebuah bisnis informasi baru muncul pada era 1990-an sejalan dengan pertumbuhan stasiun televisi swasta.
Liputan 6 SCTV, misalnya, mengudara pada tahun 1996. Pengelola bilik berita (newsroom) Liputan 6 berasal dari media cetak. Tanpa pengalaman di dunia pemberitaan televisi, kebanyakan mereka bekerja sambil berlatih dengan situasi baru dan alat-alat yang asing (h.54).
Liputan 6 menemukan momentum untuk menjadi popular pada saat krisis ekonomi dan politik pada tahun 1998. Pada saat itu stasiun-stasiun televisi harus bertahan hidup karena pembelanjaan iklan oleh perusahaan-perusahaan nasional menurun drastis. Pendapatan televisi berkurang, sehingga pos pengeluaran harus ditekan. Produksi siaran berita merupakan jalan keluar lantaran biaya produksinya jauh lebih murah ketimbang impor film, ataupun membeli sinetron dari rumah-rumah produksi. Di sisi lain, ada kebutuhan masyarakat akan informasi tentang perkembangan situasi tanah air terkini sebagai akibat ketidakpastian ekonomi dan politik saat itu.
Hal yang menarik dari jurnalisme televisi era 1997-1998 adalah para awaknya mendukung gerakan reformasi walaupun sesungguhnya stasiun televisi swasta dikuasai oleh para pemilik modal yang dekat dengan istana.
Di Malaysia, gerakan reformasi berakhir menyedihkan. Sang pemimpin, Anwar Ibrahim, difitnah dan dipenjarakan. Sebab, media massa di negeri itu dimiliki oleh partai yang berkuasa– UMNO–dan cenderung mempertahankan status quo.
Namun, di Indonesia, gerakan reformasi bisa bergema. Salah pendorongnya adalah ekspose oleh media massa semisal televisi. Stasiun televisi menayangkan perkembangan krisis politik, ekonomi, dan sosial dari hari ke hari secara nyata. Terutama rekaman gambar dramatis peristiwa penembakan oleh aparat terhadap para mahasiswa yang berunjuk rasa 12 Mei 1998.
Pada masa itu semua stasiun televisi swasta membingkai pemberitaan bahwa “rakyat menginginkan perubahan atas kemapanan.” Artinya, di tengah cengkraman kepentingan kapitalisme dan kekuasaan yang mempengaruhi kandungan tayangan secara kuat, awak televisi masih mempunyai idealisme, atau kegelisahan moral akan realitas sosial di sekitar mereka. Di sisi lain, stasiun televisi sendiri didesak oleh tokoh-tokoh pembangkang agar mendukung gerakan reformasi. Apalagi setelah korban jiwa berjatuhan, takada alasan lagi untuk menghindarinya.
Pertarungan moral antara idealisme dan pragmatisme para jurnalisme televisi tergambar pada periode ini. Liputan 6, misalnya, mencoba mengangkat isu yang sangat peka kala itu: suksesi. Melalui siaran wawancara langsung, ia menghadirkan Sarwono Kusumatmaja, seorang tokoh kritis yang bersimpati pada mahasiswa. Dalam wawancara nyata Sarwono dengan blak-blakan membuat perumpamaan Suharto dengan “gigi yang harus dicabut.”
Pieter Gontha–sang pemilik yang dekat dengan Cendana–dan Sumita Tobing–direktur pemberitaan–langsung meminta produser acara Don Bosco Selamun agar menghentikan wawancara. Pieter Gontha sendiri ditegur oleh sejumlah pejabat berwenang. Begitu juga, Don Bosco Selamun, akhirnya dikenai skorsing. Akan tetapi, pemberitaan ini memicu rasa simpati stasiun televisi lain yang kemudian juga mengekspose, atau membingkai berita yang mendelegitmasi kekuasaan. Misalnya pernyataan elit-elit politik reformis yang menuntut agar Suharto mundur. (h.66-72).
Pascalengsernya Suharto, Liputan 6 beberapa kali mengangkat peristiwa yang menimbulkan kontraversi, atau sensasi, sebagai komoditas yang bernilai jual tinggi. Di antaranya kekerasan di kampus STPDN, tertembaknya pemimpin militer Gerakan Aceh Merdeka Abdullah Syafe’i, dan kekerasan di kampus Universitas Muslim Indonesia.
Pada dasarnya fenomena Liputan 6 memperlihatkan bahwa jurnalisme televisi kita tengah berkembang dan semakin mepertunjukkan bentuknya. Terlihat ada keinginan awak jurnalisme televisi untuk menjadikan pemberitaan televisi sebagai ruang publik yang memediasi kepentingan masyarakat dengan penguasa.
Akan tetapi, secara umum, kandungan buku ini sebenarnya lebih tepat disebut sebagai ‘puji-pujian’ terhadap Liputan 6. Ia seolah menempatkan Liputan 6 sebagai salah satu contoh keberhasilan ruang publik sejati. Tentu saja, itu lebih karena buku ini dicetak untuk merayakan keberhasilan Liputan 6 mengudara selama satu dasawarasa. Bukan sebuah karya ilmiah.
Para tim redaksi LP3S yang merancang buku ini, sebagai contoh, tidak mengkritik posisi Liputan 6 ketika prestise SCTV–dan stasiun-stasiun televisi swasta lain di Jakarta–sebagai ‘stasiun televisi nasional’ terancam. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) kala itu mengumumkan rancangan regulasi yang mengakhiri monopoli siaran oleh stasiun televisi swasta Jakarta di seluruh negeri. Liputan 6 saat itu justru cenderung menjadi corong pemilik modal yang khawatir bahwa pemberian ruang bagi stasiusn televisi daerah bisa memangkas pendapatan iklan mereka (karena khalayak mereka berkurang atau semakin terbatas).
Tanpa malu-malu Liputan 6 pada saat itu membatasi wawancara pada narasumber-narasumber yang melegtimasi posisinya. Anggota KPI Ade Armando, umpamanya, tidak dipilih sebagai narasumber wawancara hidup lantaran pernyataan-pernyataannya bertentangan dengan kepentingan bisnis SCTV. Tentu saja bukan hanya SCTV, keinginan merajai pangsa iklan nasional menjadi ambisi hampir semua stasiun televisi di Jakarta.
Jadi, klaim buku ini bahwa Liputan 6 telah mewakili kepentingan publik, harus kita sikapi dengan hati-hati. Sebab, toh pada kenyataannya, kepentingan bisnis mereka masih dominan. Atau pendek kata, pada masa mendatang, Liputan 6 masih harus menunjukkan dengan tegas siapa yang ia representasikan sesungguhnya: publik, atau kepentingan sekolompok orang yang berkuasa dan bermodal?
Judul Buku: Jurnalisme Liputan 6: Antara Peristiwa dan Ruang Publik; Penulis: Tim Redaksi LP3S; Penyunting: Maruto M.D.; Pengantar: Iskandar Siahaan; Tebal: 240 halaman; Penerbit: PT Pustaka LP3S Indonesia; Tahun: 2006
Disadur dari:
http://junarto.wordpress.com/2007/11/02/liputan-6-sctv-memihak-siapa/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar