17-02-2008 02:49 WIB
Pegang Nasihat Ayah untuk Jujur Berbisnis
Bermula dari Jalan Darmo Permai Surabaya, SCTV yang memulai siaran pada 1990 dan terbatas di wilayah Gerbang Kertosusila (Gresik, Bangkalan, Mojokerto, Surabaya, Sidoarjo dan Lamongan) kini siap mendunia. Si bos, Fofo Sariaatmadja, bertekad membawa SCTV merambah pasar global.
Fofo Sariaatmadja ”baru” berusia 40 tahun saat dinobatkan sebagai presiden direktur (Presdir) SCTV pada 2004. Dia tercatat sebagai presdir kelima dan paling muda dalam sejarah perusahaan itu. Meski harus memimpin beberapa orang yang lebih senior, Fofo tidak mengalami masalah. Sosoknya yang ramah dan santun membuat dia gampang diterima.
Pria bertubuh jangkung berkumis tipis itu mengaku belajar memimpin dari ayahnya. Menurut Fofo, sang ayah, Mohamad Soeboeb Sariaatmadja, selalu menekankan nilai-nilai kejujuran dan ingat kepada Tuhan dalam setiap melakukan pekerjaan.
”Agar hidup ini berguna bagi diri sendiri dan orang lain, jujurlah. Tolonglah yang kesusahan dan selalu berdoa sebelum bekerja serta memutuskan sesuatu,” kata bapak empat anak itu kepada Radar Bogor mengenang nasihat sang ayah.
Menurut pria berdarah Sunda-Palembang itu, nasihat sederhana dari ayahanda tersebut selalu menjadi prinsip hidup. Terutama saat mengambil keputusan bisnis. Terbukti, sejak masuk SCTV pada 2001, kiprah keluarga Sariaatmadja di pertelevisian nasional makin moncer.
Bahkan, di bawah kepemimpinannya, SCTV terus melejit menjadi media televisi papan atas. Menurut Fofo, saat ini SCTV memimpin 20 persen share audience. Artinya, SCTV menjadi televisi nomor wahid yang paling banyak ditonton. ”Itu hasil survei yang dilakukan AGB Nielsen,” ujarnya.
Fofo mengakui, SCTV adalah perusahaan media kesayangan keluarga besar Sariaatmadja yang dikenal religius. Sebelumnya, keluarga itu dikenal sebagai konglomerat di bidang teknologi, media dan telekomunikasi (TMT). Bisnis keluarga tersebut diawali dengan membentuk perusahaan bernama PT Elang Mahkota Komputer (Emkom), distributor komputer merek asing.
Emkom memegang hak eksklusif pemasaran komputer Compaq di Indonesia. Emkom dibentuk pada 1983 oleh kakak Fofo, Eddy Kusnadi Sariaatmadja, yang menggandeng Piet Yaury. Pada 1988, Emkom juga menjadi distributor produk-produk Motorola Data Networking.
Kini Emkom menjadi pemain utama di bisnis TMT. Bisnis Emkom kini dikendalikan dalam Group Emtek. Emtek memiliki Divisi Multimedia & E-Commerce (PT Abhimata Mediatama, PT Surya Citra Media, PT Surya Citra Televisi). Lalu Divisi Operator Telekomunikasi (PT Tangara Mitrakom dan PT Tangara Lintasbuana). Juga Divisi Data Networking & Jasa Komunikasi (PT Abhimata Citra Abadi, PT Abhimata Mitraganda dan PT Globaltekno Datanet). Selain itu, ada Divisi Sistem Integrator (PT Abhimata Persada).
Sebelum keluarga Sariaatmadja masuk SCTV pada 2001, pemegang saham SCTV adalah orang-orang yang dikenal dekat dengan Cendana, seperti Sudwikatmono, Peter F. Gontha, Henry Pribadi, Halimah Bambang Trihatmodjo, hingga Azis Mochtar.
Melalui PT Abhimata Mediatama, keluarga Sariaatmadja awalnya (2001) hanya memiliki 17 persen saham di PT Surya Citra Media Tbk (SCM), holding SCTV. Namun, masih di tahun yang sama, keluarga itu menambah lagi kepemilikan saham sehingga menjadi 49,62 persen.
Pada 2002, Abhimata meningkatkan kepemilikan sahamnya menjadi 50 persen. Keinginan menguasai SCTV makin tak terbendung. Pada 2005, giliran saham milik Henry Pribadi dibeli. Setelah itu, saham PT Indika Multimedia kepunyaan Agus Lasmono, anak pengusaha Sudwikatmono, di SCM juga diakuisisi.
Kini keluarga Sariaatmadja menguasai 78,69 persen saham SCM. Sisanya dimiliki The Northern Trust Company 7,9 persen dan publik 13,41 persen.
Setelah memegang saham mayoritas di SCTV, pada medio 2004 keluarga Sariaatmadja menggandeng PT Mugi Rekso Abadi (MRA) mendirikan televisi dengan bendera PT Omni Intivisual. Televisi tersebut mengudara dengan nama O Channel. Muatannya lokal (Jakarta) dan menonjolkan sisi komersial-life style.
Awalnya, kepemilikan saham MRA dan keluarga Sariaatmadja masing-masing 50 persen. Namun, awal 2007, MRA melepas seluruh saham miliknya kepada keluarga Sariaatmadja, sehingga O Channel kini 100 persen dipegang Sariaatmadja.
Kabar terakhir, keluarga itu juga akan mengakuisisi Indosiar. Caranya, lewat transaksi tukar guling antara lahan sawit Lonsum milik keluarga Sariaatmadja dengan Indosiar milik Anthony Salim. Kabarnya, sekarang memasuki tahap akhir proses negosiasi transaksi.
Saat ditanya tentang perkembangan akuisisi itu, Fofo menjawab singkat. ”Jangan mancing-mancing. Transaksi tukar guling belum resmi berlangsung,” katanya. Apa rencana besar tahun ini? ”Tunggu saja Maret. Akan ada info besar dan menarik bulan Maret,” kata pria kelahiran 11 Desember 1963 itu.
Yang jelas, menurut Fofo yang juga menjabat Wapreskom SCM itu, dia akan terus melakukan inovasi bisnis. ”Bisnis media, apalagi televisi, harus banyak inovasi,” katanya lalu tersenyum. Jika memiliki lebih dari satu stasiun televisi, segmentasi pasar tidak boleh tumpang-tindih. Harus diatur positioning-nya.
Fofo berobsesi membawa SCTV go international. Menurut dia, perusahaannya pernah mencoba 24 jam news channel. ”Begini, kami ingin membuat news channel seperti CNN, Fox News, Aljazeera atau CNBC. Kalau televisi asing bisa, mengapa SCTV tidak,” kata putra keempat Mohamad Soeboeb Sariaatmadja itu.
Nanti, payung news channel itu SCTV. Tapi, news channel tersebut terpisah. Holding tetap di Emtek yang juga menjadi holding SCM. Inovasi lain, gaya pemberitaan SCTV juga harus diubah. SCTV, kata ahli teknologi informasi ini, sudah mengudara lebih 10 tahun, sehingga harus ada perbedaan gaya. ”Misalnya, berita yang keras-keras sudah harus dikurangi. Kami harus melihat ekspektasi generasi sekarang,” kata Fofo.
Untuk O Channel, peraih Master of Engineering Science dari Universitas New South Wales, Australia, itu akan memfokuskan pada aspek broadcaster komersial dengan muatan lokal lebih dominan. ”O Channel harus unik dan eksklusif. Misalnya, rekomendasi tempat kongkow-kongkow malam atau resto di Jakarta,” katanya.
Merespons bisnis pertelevisian tanah air yang semakin kompetitif, Fofo justru melihatnya dari perspektif berbeda. Fofo melihat bukan persaingan. ”Nggak ada persaingan. Persaingan apa? Banyaknya stasiun televisi adalah friendship kok,” ujarnya.
Industri televisi Indonesia, lanjut dia, sudah berkembang pesat. Tiap-tiap stasiun televisi memiliki pemirsa sendiri-sendiri. Untuk meningkatkan kualitas, kuncinya di basis teknologi. SCTV kini menerapkan sistem baru yang paperless sejak awak SCTV boyongan dari kantor lama di Jalan Gatot Subroto ke Senayan City.
Kantor baru, sudah dilengkapi teknologi mutakhir: wireless. Dengan teknologi ini, semua data bisa online dan dapat langsung diakses. Menurut dia, SCTV menjadi semacam pilot project, berikutnya akan diterapkan ke O Channel dan unit-unit bisnis lain.
Menurut dia, banyaknya investor yang ingin menanamkan modal ke bisnis pertelevisian menunjukkan bahwa industri ini masih terus berkembang. ”Kan bagus kalau banyak yang ingin menanamkan modal ke sektor ini,” katanya. (el)
(Iwan Ungsi - Suyunus Rizky)
Disadur dari:
http://radar-bogor.co.id/?ar_id=NjExMw==&click=MTUx
Tidak ada komentar:
Posting Komentar