Senin, 24 Juni 2013

Penggabungan raksasa media baru dengan bersatunya antara SCTV dengan Indosiar


Di awal tulisan ini dimana seperti yang sudah diketahui para pecinta sepakbola terutama Liga Inggris. Dugaan sebagian penggemar bahwa saat siaran Liga Inggris lepas dari MNC Grup, English Premier League (EPL) tidak akan lenyap dari free TV Indonesia melainkan hanya berpindah tangan. Bahkan ketika  hak siarnya dimenangkan oleh Orange TV selaku TV berbayar Rilis Orange TV meraih hak siar Liga Inggris, saya masih setengah yakin, melihat pengalaman tahun-tahun sebelumnya ketika hak siar eksklusif dimenangkan oleh TV berbayar, hak itu masih bisa dibagi dan tetap akan bisa dinikmati gratis oleh penonton Indonesia.

Rilis liputan 6.com akhirnya membuktikan hal itu. “Transfer akhir musim” telah memindahkan tayangan Liga Inggris menuju EMTEK yang merupakan induk SCTV dan Nexmedia. Hasilnya mulai musim mendatang SCTV akan menyiarkan 2 pertandingan Liga Inggris setiap pekan. Sementara saudara mudanya Nexmedia akan menyiarkan EPL sebagai tayangan TV berbayar.

Bahkan uniknya tayangan Liga Inggris musim depan di free TV Indonesia juga menandai bergabungnya SCTV dan Indosiar. Mulai 1 Mei 2013 kedua stasiun TV tersebut secara efektif bergabung dan Indosiar pun akan menjadi bagian dari jaringan media EMTEK. Dan rilis liputan 6.com yang diperkuat oleh tweet dari akun milik Direktur Produksi Indosiar, Indra Yudhistira beberapa hari lalu  menegaskan Liga Inggris juga akan tayang di Indosiar mulai Agustrus 2013. Dengan demikian mulai musim mendatang Indosiar kemungkinan besar akan menyandingkan EPL dengan Bundesliga yang sebelumnya sudah diikat hak siarnya untuk beberapa musim sehingga beralihnya hak siar tayangan Liga Inggris sebenarnya  hal yang biasa. Inipun bukan pertama kalinya SCTV menyiarkan Liga Inggris. Bukan hanya EPL saja, hampir seluruh liga sepakbola yang ditayangkan di Indonesia pernah digilir di semua stasiun TV.

Namun demikian berpindahnya hak siar Liga Inggris ke SCTV dan Indosiar kali  ini menurut saya rasanya membawa pesan khusus terkait persaingan media nasional. Hak siar Liga Inggris menjadi tanda terkini untuk memperkirakan bahwa peta kekuatan media besar nasional terutama stasiun TV akan segera berubah. Indikasinya adalah proses yang tengah terjadi di kedua stasiun TV tersebut kuat menunjukkan jika mereka, terutama Indosiar, sedang melakukan rebranding. Sementara di saat yang sama dua pemain utama media TV Nasional saat ini justru mengalami penurunan performa.

Ranah bisnis Indonesia sangatlah ‘basah’ dan hampir bisa disejajarkan dengan China maupun India. Hampir disetiap bidang, bila cerdik mengambil peluang akan menjadi ladang bisnis yang menarik. Bahkan, perusahaan media sekalipun bisa dijadikan pundi-pundi untuk mengeruk keuntungan di dalamnya. Dan Eddy K Sariatmadja membuktikannya.

Jejak sukses Pak Eddy K Sariatmadja, taipan media dengan bendera SCTV bisa dirunut sekitar empat tahun silam. Saat itu publik dikagetkan tukar guling PT London Sumatera Plantations Tbk milik keluarga Sariatmadja, dan PT Indosiar Karya Mandiri milik keluarga Salim Grup.

Keluarga Sariatmadja harus melepas mayoritas saham perusahaan perkebunan kelapa sawit dan karet, PT PP London Sumatra Indonesia Tbk, ke keluarga Salim untuk mendapat saham Indosiar. Meski banyak kendala, transaksi dua keluarga besar ini pun bisa tuntas.

Pada 13 Mei 2011, keluarga Sariatmadja resmi mengendalikan Indosiar, dan kini menguasai 84,7 persen saham. Ini adalah tonggak penting yang mendongkrak kekayaan keluarga Sariatmadja, sehingga kini masuk peringkat ke-40 dari daftar 40 orang terkaya Indonesia versi majalah Forbes 2012.

Adalah Pak Eddy Sariatmadja (59), salah satu penggagas mega transaksi itu. Dia putra pertama Mohamad Soeboeb Sariatmadja, pemilik grup media SCTV. Setelah menguasai Indosiar, Forbes mencatat kekayaan Keluarga Sariatmadja kini sekitar US$730 juta, atau sekitar Rp7 triliun. 

Sebenarnya, kekayaan ini bukan murni dari SCTV dan Indosiar. Keluarga Sariatmadja sudah terlebih dulu membangun usaha sejak 1983 melalui PT Elang Komputer. Sebagai anak tertua, Pak Eddy lah yang menjadi motor penggerak bisnis ini bersama 2 adiknya yaitu Pak Fofo dan Pak Darwin Sariatmadja.

Elang Komputer bergerak di bidang distribusi komputer. Lama-lama, perusahaan ini memperoleh kepercayaan menjadi distributor tunggal Compaq (Pada era '80-an memegang lisensi tunggal komputer merek Compaq di Indonesia).

Nama perusahaannya pun berubah menjadi PT Elang Mahkota Teknologi, atau kerap disebut Emtek. Konon, kelompok usaha ini memasok kebutuhan komputer dan teknologi informasi di sejumlah departemen pada masa pemerintahan Soeharto.

Divisi media di group Emtek meliputi dua saluran televisi tidak berbayar (Free to air), SCTV dan Indosiar, serta satu televisi lokal, O-Channel. Konon, SCTV bisa meraup pemirsa lebih dari 160 juta di lebih dari 240 kota di seluruh Indonesia. Kepemilikan saham keluarga Sariatmadja di stasiun ini melalui PT Omni Intivision, PT Indosiar Karya Media Tbk, dan PT Surya Citra Media Tbk.

Saat ini tak kurang ada 10 grup media yang mengisi ruang tontonan masyarakat Indonesia. Lima di antaranya menguasai sejumlah TV swasta nasional yakni MNC Grup, Media Grup Indonesia, VIVA, CT Corp dan EMTEK.

MNC Grup dan CT Corp boleh dibilang menjadi dua pemain terbesar selama 6 atau 7 tahun terakhir. Bukan hanya menjadi favorit pemirsa tapi keduanya juga  menguasai 5 free TV di Indonesia. MNC grup memiliki Global TV, MNC TV dan RCTI. Sementara CT Corp menempatkan Trans 7 dan Trans TV sebagai lini utama bisnis mereka.

Selama ini RCTI sukses menjadi leader bagi MNC Grup sekaligus menempatkan diri sebagai stasiun favorit pemirsa. Sementara Trans TV dan Trans 7 berhasil merangsek sebagai salah satu TV papan atas. Kesuksesan RCTI, Trans TV dan Trans 7 mendorong grup MNC dan CT Corp berkembang pesat.  Keduanya berhasil melakukan ekspansi baik melalui media on line, media cetak, TV berbayar dan sebagainya. Hegemoni kedua grup tersebut pun menjadi sangat kuat selama 6 tahun terakhir.

Namun kondisi itu mungkin akan segera berubah. EMTEK, pemain lama yang selama ini berada di bawah bayang-bayang, menjadi lebih agresif dan bersiap menjadi raksasa baru di saat performa jajaran TV milik grup MNC dan CT Corp mulai menurun.

Jika RCTI masih menjadi tumpuan utama MNC, maka stasiun TV itu sebaiknya menyiapkan lebih banyak terobosan untuk mengisi layar mereka. Modal sebagai TV swasta tertua memang membuat RCTI sangat beruntung karena memenangi lebih banyak penonton setia. Tapi bertahun-tahun nyaman sebagai TV nomor 1 membuat layar televisi Rajawali ini justru semakin monoton.

Keunggulan RCTI selama ini terletak pada kejelian mereka mengemas satu program secara megah seperti pertandingan sepakbola dan sejumlah program adopsi dari luar negeri. Di luar itu RCTI sesungguhnya jarang melakukan inovasi. RCTI juga bukan trendsetter dalam hal tayangan TV nasional. Satu-satunya “inovasi” yang paling sering mereka hadirkan adalah menayangkan sinetron dengan tema mainstream seperti percintaan anak sekolah, permusuhan keluarga hingga terakhir sinetron berlatar religius. Tapi RCTI tak bisa lagi mengandalkan itu semua. Kejenuhan penonton mulai terbaca sementara beberapa kompetitor telah membuat tayangan yang lebih segar.

Namun demikian MNC Grup masih beruntung karena saat RCTI miskin terobosan, kedua saudara mudanya Global TV dan MNC TV bisa melengkapi meski segmen keduanya agak berbeda dengan RCTI. Global TV dan MNC TV pun sebenarnya tak lebih inovatif dibanding TV lainnya. Keduanya bersama RCTI bahkan cenderung sering bertukar program. Untungnya posisi mereka masih mendapat dukungan dari tayangan favorit seperti Liga Inggris. Tapi secara umum ketiga stasiun TV milik MNC tersebut membutuhkan beberapa terobosan dan inovasi program.

Di lain gedung, Trans TV sebagai leader CT Corp mulai gamang dengan wajah mereka saat ini. Hengkangnya sejumlah figur yang sebelumnya menjadi otak kreatif ternyata berpengaruh besar pada tayangan mereka. Trans TV memang masih mengandalkan tayangan produksi sendiri yang pada masa lalu terbukti berhasil melejitkan mereka menjadi TV papan atas. Tapi sejumlah program produksi mereka akhir-akhir ini justru mengundang tanya dan terkesan “Sedikit di paksakan”.

Penurunan kualitas tayangan Trans TV tampak salah satunya dari rangkaian FTV serupa sinetron yang mulai mendominasi layar mereka. Ironisnya tayangan-tayangan itu mendapat banyak teguran dari KPI. Beruntung CT Corp masih memiliki Trans 7. Meski memiliki segmentasi yang agak berbeda, program-program menarik Trans 7 mampu menambah nilai persaingan CT Corp. Bahkan boleh dikatakan Trans 7 telah mengambil peran leader di CT Corp yang sebelumnya ada di tangan Trans TV. Namun demikian Trans 7 sepertinya tak bisa lagi mengandalkan tayangan model OVJ dan Bukan Empat Mata untuk bersaing di tahun-tahun mendatang.

Metro TV menjadi wakil Media Grup Indonesia di kancah persaingan TV nasional. Meski tidak berada di posisi 2 besar, Metro TV berhasil menempatkan diri sebagai pemimpin di sektor News. Sebagai TV spesialis berita, image forming Metro TV cukup berhasil meski di awal berdirinya tak sedikit yang memperkirakan bahwa TV berita tidak akan berkembang baik di Indonesia bahkan mungkin tutup lebih dini. Tapi terobosan yang dilakukan Metro TV ternyata cukup berhasil. Saat ini program-program Metro TV menunjukkan jika mereka sudah berkembang lebih dari sekedar TV berita. Menggabungkan konsep News & Entertainment, Metro TV tak lagi kaku. Namun branding yang kuat sebagai TV berita belum cukup untuk memikat penonton Indonesia. Tapi hal itu juga bisa dimaklumi karena positioning TV milik Surya Paloh ini memang berada di sisi yang berbeda sejak awal.

Sementara ini ketika beberapa tahun silam reborn dari Lativi, TV One cukup memikat dan langsung menjadi kompetitor utama bagi Metro TV. Tapi rasanya itu hanya berlangsung 2 tahun karena setelah itu TV One seperti gamang dengan wajahnya sendiri. Meski masih sangat menonjol sebagai TV yang mengedepankan program berita dengan segala cara kemasannya, wajah TV One saat ini boleh dibilang tidak jelas. Pemberitaan mereka tak lagi sekuat 2 tahun pertama berdiri. Program sport  yang menjadi bagian dari tag line utama selain News terkesan tak serius digarap. Entah apa yang terjadi pada TV One 2 tahun belakangan, mungkinkah mereka terlalu sibuk mengurusi pemiliknya hingga lupa membentuk wajah mereka sendiri ?.

Sialnya saat TV One terlihat gamang, VIVA tak mendapat back up yang cukup dari ANTV sebagai jaminan bersaing di jajaran atas TV nasional. Stasiun ANTV bahkan terkesan mandeg meski sejumlah program mereka mampu meraih banyak penonton. Tapi secara umum ANTV tak mampu menjalankan peran sebagai pelapis yang unggul seperti Global TV di MNC grup atau Trans 7 di CT Corp. Ketidakjelasan wajah VIVA dilengkapi dengan ketidakjelasan nasib mereka setelah TV One cs diumumkan siap untuk dijual.

Pada akhirnya seperti roda yang berputar, ada bagian yang sementara waktu mengisi sisi atas dan bagian lain menempati sebaliknya. Di dalam persaingan bisnis televisi, hal itu dipengaruhi salah satunya oleh kemampuan masing-masing stasiun menyajikan inovasi dalam kreasi mereka. Maka ketika nama-nama yang selama 5 tahun terakhir begitu mendominasi persaingan berada di trend yang menurun, maka di sisi lain ada yang sedang merangkak ke atas.

EMTEK grup boleh jadi tengah bersiap lepas landas menggusur kemapanan dua besar MNC dan CT Corp. Mengkombinasikan Indosiar dan SCTV menjadi cara mereka untuk merangkak naik. Ada sejumlah alasan dan potensi mengapa duet Indosiar dan SCTV dipandang sangat mungkin menggeser kemapanan RCTI dan Trans TV. Namun yang menarik potensi itu justru lebih besar ada pada Indosiar.

Menarik sejumlah nama sebagai otak kreatif yang sebelumnya mengisi dapur Kompas TV, TV One dan Trans TV, Indosiar benar-benar serius mengembalikan wibawa dan wajah mereka sebagai trendsetter program-program TV Indonesia. Hal yang tidak mudah karena sejak 6 tahun lalu menjadi TV Nomor 1, wibawa dan posisi Indosiar justru terjun secara mengejutkan hingga menyisakan image yang dicandai banyak orang sebagai TV Batman dan Elang.

Tapi sejumlah gebrakan baru Indosiar saat ini cukup menjadi tanda bahwa mereka bersiap lahir kembali. Uniknya Indosiar justru tampak kembali ke gaya mereka 7 tahun lalu saat menampilkan banyak program in house production. Menariknya sebagian gaya lama Indosiar inilah yang diadopsi oleh Trans TV hingga kini.

Kombinasi Indosiar dan SCTV di bawah bendera EMTEK pantas dinantikan hasilnya. Termasuk menanti siapakah yang akan menjadi leader bagi EMTEK karena sejatinya kedua stasiun TV itu memiliki segmentasi yang berbeda sejak awal. SCTV berusaha mendekati penonton remaja dengan tetap menjaga citra liputan 6 sebagai lini utama program berita mereka. Sementara pembenahan yang terjadi pada wajah Indosiar menunjukkan kalau mereka bersiap kembali menjadi TV keluarga dengan sajian hiburan sebagai lini utamanya. Kombinasi SCTV dan Indosiar rasanya sudah lama dirancang oleh EMTEK untuk menggabungkan banyak hal yang dibutuhkan oleh penonton Indonesia. Bahkan jika era TV digital dimulai, grup ini memiliki keuntungan karena dari banyak stasiun TV yang ada, Indosiar dinilai memiliki studio dan sarana yang mendukung. Dan jangan lupa merekalah yang kini menguasai program favorit penonton Indonesia yakni sepakbola Liga Inggris.

Peta persaingan TV Nasional rasanya memang akan segera berubah. Hegemoni MNC grup dan CT Corp di layar kaca Indonesia mungkin tak akan sekuat 6 tahun terakhir. Tapi kejutan lain siap terjadi jika TV One dan ANTV akhirnya jatuh ke tangan salah satu raksasa. Mungkinkah MNC akan meleburkan beberapa TV nya jika berhasil membeli VIVA?. Atau CT Corp yang nantinya mengubah wajah TV One cs ? yah kita lihat saja akan tetapi di tengah ketidakjelasan itu, kombinasi Indosiar dan SCTV bersiap mengejutkan para pemirsa dan industri Free to air tanah air.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar