Senin, 17 Juni 2013

Carut marut migrasi Industri Digital di Indonesia


Dalam waktu dekat ini proses migrasi televisi (TV) analog ke TV digital mulai berlangsung akan tetapi sampai kini, aturan pelaksanaan kebijakan ini, terutama soal lembaga multiplexing, masih belum jelas bahkan eksistensi Lembaga Penyiaran Penyelenggara Penyiaran Multipleksing (LPPPM) dan proses seleksi telah ditentang oleh berbagai pihak, antara lain oleh Asosiasi Televisi Lokal Indonesia (ATVLI) karena dinilai eksistensi dan kedudukan LPPPM bermasalah.

Seperti diketahui, pemerintah membuka peluang usaha (tender) untuk penyelenggaraan penyiaran multiplexing dalam rangka penyelenggaraan penyiaran televisi digital terestrial penerimaan tetap tidak berbayar (free to air). Peluang usaha ini diberikan kepada lembaga penyiaran swasta jasa penyiaran televisi.

Untuk bisa menyelenggarakan penyiaran televisi digital terestrial tersebut, pemerintah telah menandatangani Keputusan Menteri Kominfo No. 95/KEP/M.KOMINFO/2/2012 tentang Peluang Usaha Penyelenggaraan Penyiaran Multipleksing Pada Penyelenggaraan Penyiaran Televisi Digital Terestrial Penerimaan Tetap Tidak Berbayar (Free To Air).

Belakangan perseteruan juga terjadi antara pihak Menkominfo dengan beberapa kalangan seperti Koalisi Independen untuk Demokratisasi Penyiaran (KIDP), Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Masyarakat Cipta Media meminta pemerintah dalam hal ini diwakili oleh Menkominfo untuk menunda proses migrasi siaran televisi digital.

Belum lagi sepak terjang aturan Permen yang beredar terkait dengan mekanisme migrasi digital tersebut dibilang cacat hokum kata anggota Komisi I DPR RI Ahmed Zaki Iskandar menjelaskan, Keputusan Menteri (Kepmen) 95/2012 disusun tanpa sepengetahuan DPR dan Kepmen yang ditandatangani Menteri Kominfo Tifatul Sembiring tersebut mengatur peluang usaha penyelenggaraan penyiaran multipleksing pada penyelenggaraan penyiaran televisi digital terestrial penerimaan tetap tidak berbayar (free to air).

Tidak hanya itu, lanjut Zaki, Permen 22/2011 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Televisi Digital Teresterial Penerimaan Tetap Tidak Berbayar (Free To Air) tidak menuruti UU 32/
2002 tentang Penyiaran yang saat ini sedang direvisi DPR dan "Saya menilai tender harus ditunda atau dibatalkan. Aturan tentang TV digital harus lebih dulu diatur dalam UU Penyiaran," 

Asosiasi TV Jaringan Seluruh Indonesia (ATVJSI) mengklaim sebanyak 143 stasiun TV local siap bermigrasi. Namun, menurut Bambang Santoso, Ketua ATVJSI sekaligus pemilik cahaya TV Banten (CTV), para pengelola TV local iingin aturan teknis sudah jelas sebelum migrasi. “ada aspek yang kami soroti dari Peraturan Menteri Nomor 22 Tahun 2011, yaitu tentang keanggotaan multiplexing ,” yang dia maksud adalah keberadaan Lembaga Penyiaran Penyelenggara Penyiaran Multiplexing (LPPPM). Lembaga ini bertugas menyalurkan program-program siaran di zona siaran dengan perangkat multipleks.

Namun, terlepas dari polemik tentang status hukum LPPPM, ada hal yang cukup urgen yakni sejauh mana LPPPM dan penyelegara program siaran ( LPPPS ) mampu mengedepankan lokalisasi, baik itu lokalisasi komponen maupun lokalisasi program siaran yang betul-betul bersifat lokal dan bisa berakar.

Sampai batas waktu terakhir pengambilan dokumen seleksi pada 22 Maret 2013, sudah ada 19 Penyelenggara yang minat sediakan Multiplexing Zona 1 dan 14 

Untuk Zona layanan 1, Kemkominfo menetapkan pemenang sebagai berikut, PT RCTI Lima Belas Aceh (RCTI Network), PT Cakrawala Andalas Televisi Medan dan Batam (ANTV Medan), PT Trans 7 Medan Palembang (Trans7 Medan), PT Media Televisi Banda Aceh (Metro TV Aceh), dan PT Indosiar Medan Televisi (Indosiar Medan).

Sementara untuk Zona layanan 14, pemenang seleksinya adalah PT Trans 7 Pontianak Samarinda (Trans 7 Samarinda), PT GTV Tujuh (Global TV), PT Lativi Mediakarya Manado dan Samarinda (TVOne Samarinda), PT Media Televisi Banjarmasin (Metro TV Kalsel), dan PT Surya Citra Multikreasi (SCTV Banjarmasin).

Persoalan hukum yang ada saat ini dari beberapa pakar yang ada menyuarakan bahwa suatu peraturan--dari permen, peraturan pemerintah, kepmen, peraturan daerah, hingga surat keputusan--merupakan turunan dari peraturan yang lebih tinggi. Dalam hal peraturan menteri dan keputusan Menteri Komunikasi dan Informatika ini, induknya seharusnya adalah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (selanjutnya: UU Penyiaran). Dalam UU Penyiaran yang dimaklumatkan sejak 28 Desember 2002 itu sama sekali tidak atau belum termaksud perihal siaran televisi digital itu.

Dalam UU Penyiaran, hanya terdapat satu kata “digital”, itu pun terkesan sambil lalu lantaran kemungkinan keberadaannya masih sangat jauh di depan. Sementara itu, ada 21 frasa “penyiaran swasta” dalam undang-undang yang sama, dan atas frasa terakhir inilah yang kemudian dilahirkan turunannya berupa Peraturan Pemerintah Nomor 50/2005 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Swasta. Peraturan yang dimaklumatkan pada 16 November 2005 ini terhitung terperinci, terdiri atas 73 pasal dan 120 ayat.

Bisa dikatakan, peraturan pemerintah ini mengatur perihal lembaga penyiaran swasta yang sesungguhnya sudah beroperasi. Toh, tetap dibutuhkan pengawalan untuk merumuskan pasal dan ayatnya agar tidak menyimpang dari undang-undang yang menjadi payung hukumnya. Sementara lembaga penyiaran digital yang difantasikan masih berada jauh nun di seberang itu, belakangan hal itu seperti mendadak dihadirkan di depan gerbang dan sama sekali tanpa pengawalan. Itu sebabnya, dalam peraturan dan keputusan menteri tadi ditubuhkan atau dibangun lembaga baru yang tak disebut-sebut dalam undang-undang.

Lembaga baru yang memiliki peran penting itu setidaknya ada dua, yakni Lembaga Penyiaran Penyelenggara Program Siaran (LPPPS) dan Lembaga Penyiaran Penyelenggara Program Multipleksing (LPPPM), yakni lembaga-lembaga yang secara prinsip menjadi pengelola program siaran untuk dipancarluaskan ke khalayak--yang satu melalui slot kanal frekuensi radio, satunya melalui perangkat multipleks dan transmisi. Padahal, dalam UU Penyiaran, hanya dikenal terminologi lembaga penyiaran publik, lembaga penyiaran swasta, lembaga penyiaran komunitas, dan lembaga penyiaran berlangganan--serta beberapa varian di antaranya meliputi lembaga penyiaran lokal, penyiaran berjaringan, penyiaran melalui satelit, kabel, dan terestrial.

Selain itu, dalam permen dan kepmen tak lagi didapatkan sebuah institusi yang menjadi amanat undang-undang, yakni Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Melalui judicial review yang diajukan Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI), Mahkamah Konstitusi, Maret 2008, memang telah mempreteli peran KPI sebagai regulator pemberi izin frekuensi bersama pemerintah, namun peran lain sebagai pengawas dan pemberi teguran atas isi tayangan tak ikut dicopot.

Menjadi pertanyaan: apakah dalam sistem digital ini KPI tak difungsikan untuk televisi atau pemain baru? Atau seluruh stasiun penyiaran tak berbayar tak lagi perlu mempertimbangkan dan memperhitungkan keberadaan KPI? Saya rasa, pertanyaan penting ini menjadi bahan bahasan atas UU Penyiaran yang berlangsung pada hari-hari ini.

Namun, ada kesan, peraturan dan keputusan tersebut main kejar-kejaran dengan pembahasan untuk penyempurnaan UU Penyiaran itu. Bahkan KPI mengaku tak diajak serta dalam proses perumusan pasal dan ayat dalam permen, kepmen, dan peraturan pemerintah perihal siaran televisi digital itu.

Tak jelas benar apa yang dikejar, termasuk penetapan 6 April 2012 sebagai pembukaan tender bagi penyelenggaraan penyiaran televisi digital, dua bulan sejak ditandatanganinya Kepmen Kominfo Nomor 95/KEP/M.KOMINFO/2/2012. Tampaknya, terlampau simplistik jika dikalkulasi bahwa Menteri Kominfo berniat membangun monumen sebelum berakhirnya Kabinet Indonesia Bersatu II pada 2014. Namun, saya tak hendak pula menduga-duga agar anggaran untuk membeli sejenis antena televisi digital (disebut mux) itu--per buahnya seharga Rp 20 miliar--harus segera cair pada tahun ini. Pasalnya, keharusan total bersiaran dan berpenerimaan siaran televisi digital itu dirancangkan pada awal 2018, sebuah waktu yang terhitung jauh.

Belajar dari pengalaman UU Penyiaran yang beberapa pasal pentingnya tak bisa terimplementasikan, padahal sudah diberi peluang waktu cukup panjang, awal April 2012--ditambah minim sosialisasi perihal televisi digital itu ke khalayak maupun ke lembaga penyiaran yang sudah bersiaran pun--jadi kian terasa ketergesa-gesaannya belum lagi UU Penyiaran yang seharusnya menjadi payung hukum itu masih dalam proses pembahasan. Lain soal jika kepmen dan permen perihal penyiaran televisi digital itu hendak menakdirkan dirinya sendiri sebagai anak haram alias anak diluar nikah kali yah……

Mari kita semua berdoa dan berharap mudah-mudahan polemik yang ada saat ini bisa di selesaikan secara elegan dan masing-masing pihak bisa berkompromi bagi bangsa dan rakyat Indonesia tercinta ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar