Selasa, 25 Juni 2013

Pertumbuhan bisnis TV berlangganan vs. Pembajakan



Kesadaran masyarakat Asia terhadap keberadaan televisi berbayar menjadikan pertumbuhan jumlah rumah tangga yang memiliki akses terhadap siaran televisi berlangganan pun meningkat tajam dari waktu ke waktu. 

Lihat saja, berdasarkan riset, perkembangan televisi berbayar di Asia adalah yang terbesar di dunia dengan lebih dari 340 juta pelanggan pada akhir tahun 2009. Menurut Media Partner Asia, penetrasi televisi berbayar mencapai 46% pada tahun 2009 dengan peningkatan sebesar 9% dari tahun sebelumnya. Atau sekitar 47% dari total pelanggan televisi berbayar d seluruh dunia. 

Tak cuma itu, pertumbuhan televisi berbayar di Asia juga diyakini masih akan terus berkembang setiap tahunnya terlebih dengan pesatnya kemajuan teknologi penyiaran seperti teknologi High Definition (HD) dan perkembangan penyiaran 3D. 

Karenanya, diperkirakan kawasan Asia Pasifik akan memiliki 784 juta TV set dan 400 juta pelanggan televisi berbayar pada tahun 2015. Jika rata–rata ada sekitar 1,4 TV set di setiap rumah, maka pada 2015 tersebut diprediksi akan ada setidaknya 1,1 miliar TV set di seluruh Asia Pasific.

Seiring dengan meningkatnya pendapatan penduduk di Indonesia memberi efek positif bagi perkembangan bisnis televisi berbayar (pay TV). Tahun 2013, jumlah pelanggan total pay TV diperkirakan akan mencapai 3 juta pelanggan atau tumbuh sekitar 50% dari estimasi total pelanggan tahun 2011 sebesar 1,8 juta-2 juta pelanggan.

Pasar bisnis televisi berlangganan di Indonesia memang masih cukup besar. Dari sekitar 45 juta pemilik televisi, kurang dari 5% yang menggunakan jasa TV berbayar. Bandingkan dengan Malaysia yang pelanggannya mencapai hampir 40% serta Singapura yang sebesar 45% dari total pengguna televisi.

Data Asosiasi Pengusaha Multimedia Indonesia (APMI) menyebutkan,pasar TV berbayar di Indonesia yang belum tergarap mencapai 60 juta rumah tangga. Sementara data CIA World Factbook menyebutkan, Indonesia memiliki 50 juta pemirsa TV dimana 4% diantaranya atau sekitar 2 juta merupakan pelanggan TV.
Selain itu, Pyramid Research memperkirakan, jumlah pengguna TV berbayar di Indonesia mencapai 7%dari pangsa pasar di 2015

Sayangnya, walaupun perkembangan TV berbayar di Asia Pasifik terlihat menjanjikan, namun tetap saja masih banyak kendala yang menghadang. Salah satu yang cukup mengkhawatirkan ialah adanya pembajakan terhadap siaran yang terjadi di berbagai wilayah.

CASBAA (Cable and Satellite Broadcasting Association of Asia), sebagai sebuah organisasi yang mewakili 130 program channel, operator televisi berbayar dan penyedia teknologi di Asia mendefinisikan pembajakan ke dalam beberapa pengertian, yaitu : pendistribusian kembali program penyiaran secara tidak sah oleh organisasi penyiaran secara tidak sah oleh organisasi penyiaran lainnya; Menerima dan mendistribusikan secara menyeluruh paket channel–channel secara tidak sah oleh operator kabel; Penggunaan secara komersial satelit penyiaran secara tidak sah; Memfasilitasi penetrasi televisi berbayar untuk keperluan yang ilegal; Dan mendistribusikan program penyiaran di internet. 

Hampir semua kategori pembajakan tersebut ada di wilayah Asia. Akibatnya, tak hanya pendapatan operator TV berbayar mau pun penyedia konten yang tergerogoti, minat investor untuk menanamkan modal pun mengempis. Jika sudah begitu, berkurangnya inovasi dalam industri broadcast Asia pun menjadi suatu hal yang tak terhindarkan lagi. Demikian analisa Marcel Fenez, Head of The Entertainment and Media Group of PriceWaterhouseCoopers yang kini juga menjabat sebagai Ketua CASBAA.

Parahnya, diperkirakan total kehilangan pendapatan akibat pembajakan konten di Asia pada tahun 2009 yang mencapai US$ 2 Milliar atau naik dua kali lipat dalam lima tahun terakhir. Sedangkan pendapatan di Asia berada dikisaran angka US$ 14,25 Milliar pada tahun lalu (menurut Dataxis). Itu artinya, dari riset Dataxis tersebut nampak bahwa kerugian akibat pembajakan tumbuh dengan lebih cepat dibandingkan dengan laju pendapatan yang bisa diraup industri yang sah.

Itu sebabnya ketika perkembangan teknologi DTH, HD, dan 3D berhasil mendorong pertumbuhan industri TV berbayar di Eropa dan Amerika Utara secara signifikan, para pelaku industri TV berbayar di Asia justru masih harus berkutat dengan masalah pembajakan.

Menjamurnya TV Berbayar Ilegal

Pertumbuhan televisi (TV) kabel illegal yang hampir 5 tahun belakangan ini angkanya terus menggeliat tidak hanya akan menggerus pertumbuhan  usaha operator TV berlangganan resmi. Diperkirakan saat ini jumlah  pelanggan TV kabel illegal yang terus meroket hingga dua juta konsumen.

Sekalipun saat ini para provider TV Kabel Ilegal di Indonesia semakin menjamur serta merugikan para provider legal dimana Siaran TV berbayar menyuguhkan program tayangan yang berbeda dengan siaran TV lokal. Biaya ratusan ribu rupiah yang harus dibayarkan per bulannya cenderung menciutkan keinginan masyarakat untuk memperoleh siaran TV berbayar yang berkualitas.

Investigasi  terhadap kebocoran yang terjadi pada industri tv berbayar yang dilakukan Asosiasi Penyelenggara Multimedia Indonesia(APMI), menunjukkan terdapat 685 operator pay TV ilegal yang beroperasi dan tumbuh subur.  APMI menyebut pelanggan resmi pengguna TV pay di Indonesia adalah  800 ribu, dan hasil penyelidikan menunjukkan pay TV ilegal berhasil menjaring 1,4 juta pelanggan, yang  umumnya berada di wilayah Indonesia bagian timur dimana secara angka, jika berlangganan pay TV ilegal cukup mengeluarkan uang Rp. 30.000, maka keuntungan operator tak berlisensi selama satu bulan adalah 42 miliar atau Rp. 500 miliar dalam setahun luar biasa bukan. Polisi Ciduk Empat TV Kabel Ilegal Penyiar Liga Inggris.

TV berlangganan di Indonesia secara resmi dikelola oleh operator seperti Indovision, Aora TV, Top TV, Yes Tv, IM2, dan First Media.  Masing-masing pengelola biasanya memiliki acara unggulan dan menjadi acuan untuk menentukan tarif untuk berlangganan. Sementara TV pay ilegal, memberikan layanan satu akses ke semua saluran tv berbayar (premium channels air unedited).

Mereka tidak mengenal paket tv-on-demand yang biasanya membatasi acara tv berdasar paket/permintaan yang diberlakukan tv berbayar resmi.  Cukup mengeluarkan uang 30 ribu perbulan semua orang bebas menonton acara TV seperti HBO, ESPN, Celestial, Cinemax, dll.

Tontonan premium yang disajikan dalam saluran analog dan digital terrestrial lewat media kabel atau satelit, membuat banyak orang tergiur untuk dapat menikmatinya. Apalagi bila ditawarkan dengan harga sangat murah.

Di negara seperti Pakistan, sebuah survey  mencatat angka US $ 1.43 juta mewakili 26% pendapatan yang hilang akibat berbondong-bondongnya 4,6 juta orang untuk membayar murah TV Kabel tak resmi, sementara pelanggan resminya sendiri cuma 345.000 orang. Di hongkong, pay TV piracy-nya membuat kerugian US $ 27,4 juta. Dan yang luarbiasa di India terdapat 73 juta pelanggan TV berbayar dengan tingkat kebocoran US $ 985 juta. Sementara dengan 1,32 juta sambungan tidak sah, Thailand menderita kerugian tahunan dalam kisaran US $ 180 juta.

Ini adalah fakta-fakta baru yang menyoroti fenomena pertumbuhan kebutuhan industri TV berbayar terhadap pertumbuhan inteletual masyarakat akan kebutuhan hiburan, dan hilangnya kesempatan banyak orang untuk menikmati tontonan berkualitas dengan harga terjangkau.

Bahkan ada keberadaan kabel jaringan operator TV Kabel Illegal yang menempel ditiang listrik dan ini dirasakan telah sangat mengganggu. Padahal secara estetika bisa  merusak pemandangan lingkungan, penempatan kabel tanpa izin pengelola tiang listrik pun telah mengancam kelancaran distribusi listrik ke pelanggan.

Selain itu guna mendulang laba besar serta menekan biaya operasional, berbagai kegiatan melanggar hukum pun kerap dilakukan TV Kabel ilegal. Tak hanya melakukan pembajakan program siaran (content) guna menghindari timbulnya biaya program siaran (content cost) bahkan belakangan ini banyak ditemukan kasus TV Kabel Illegal yang menempatkan kabel jaringan pelanggan dengan menumpang tiang listrik yang notabenenya merupakan asset negara dibawah pengelolaan anak perusahaan PT. Perusahaan Listrik Negara (PLN), PT. Indonesia Comnets PLUS (Icon Plus).

Hingga kemudian para pengusaha 'Pintar' mengambil alih animo masyarakat yang menginginkan tayangan TV berlangganan dengan 'membajak' dan menghadirkan biaya sewa jauh lebih rendah. Bahkan, pelanggan hanya tinggal membayar sekira 10-20 persen saja dari harga paket full channel yang ditawarkan operator TV berlangganan resmi.

Menurut bapak Handiomono, Head of Legal and Litigation, APMI (Asosiasi Penyelenggara Multimedia Indonesia) mengatakan dengan memberi contoh, untuk operator TV berlangganan legal misalnya, mengenakan biaya per bulan full channel sekira Rp250-300 ribu. Maka yang ilegal ini hanya mengenakan biaya Rp30-40 ribu per bulan untuk full channel kepada pelanggannya dimana "Orang akan (cenderung) memilih yang Rp.30-40 ribu, maka yang legal akan mati. Satu hal yang penting, mereka nggak bayar pajak," jelasnya dan "Jelas ini sangat merugikan. Adanya ilegal ini mereka akan dapat mematikan yang legal, karena harga sewa itu berbeda," kata Handiomono dan bahkan beberapa operator TV berlangganan ilegal ini menurutnya sudah ada yang diurus di pengadilan. "Kita lapor ke Polda Jabar, di Balikpapan Kalimantan Timur. Sekarang sudah dalam proses di pengadilan," ujarnya.

Ada ilegal yang beroperasi di daerah terpencil di perkampungan kecil biasanya perorangan. Tapi ada juga yang di kota-kota besar seperti di Batam dan Surabaya, bahkan mereka sudah berbadan hukum, namun belum tentu badan hukum penyiaran dan "Ini yang perlu kita kaji," ungkapnya. Menurutnya, alat-alat TV berbayar ilegal ini bisa dibeli di luar (secara bebas), tidak terlalu canggih, ada dekoder, kemudian ada penguat, sinyal," jelasnya.

Pihak APMI kabarnya sudah berkoordinasi dengan polda setempat dimana saat ini "Kurang lebih ada 18 ilegal operator yang sudah kita laporkan ke polda dan polres setempat," dan dari 18 itu, sudah ada 6 yang di pengadilan, sisanya masih di proses.

"Secepatnya APMI akan buat laporan ke Bareskrim Polri, dalam minggu-minggu depan. Terserah bareskrim kapan akan tindak ke daerah, apakah bareskrim yg bertindak sendiri apakah diserahkan ke polda kita belum tahu," pungkasnya.

ARPU Melempem di Tengah Teknologi yang Berkejaran

Di luar tantangan berbisnis dan persaingan antar operator televisi berbayar, tantangan dalam menggenjot pendapatan subscriber (pelanggan) pun bukan perkara gampang. Soalnya dalam hal ARPU atau Average Revenue Per User (Pendapatan rata-rata yang diperoleh dari pelanggan per bulan_red.), juga berhubungan erat dengan pembajakan. 

Lihat saja, di Asia dengan pangsa pasar TV berbayar sebesar 47% dari pasar TV berbayar di dunia, total pendapatan yang terkumpul hanya 9,5%. Itu sangat berbeda dengan Amerika Utara. Dengan hanya menggenggam 20% pangsa pasar, pendapatan yang bisa diraup bisa mencapai 58% total pendapatan. Hal itu disebabkan ARPU di wilayah Asia hanya US$ 4 sampai dengan US$ 6 sedangkan di wilayah Amerika Utara dapat mencapai US$ 68.

Di saat yang sama, industri TV berbayar di negara berkembang pun berhadapan dengan daya beli masyarakatnya yang relatif masih rendah. ARPU yang rendah di wilayah Asia memang menunjukkan rendahnya pendapatan di negara berkembang. Nah, dalam kondisi seperti itu pembajakan pun berpeluang semakin mendapatkan tempat untuk tumbuh dan berkembang. Bagaimana tidak? Dengan asumsi: "Kenapa kita harus membayar lebih untuk sebuah pelayanan sedangkan kita bisa mendapatkannya secara gratis atau dengan biaya yang lebih murah," pembajakan pun bisa tumbuh dengan subur dalam masyarakat yang sensitif terhadap harga.

Sebenarnya masalah Pembajakan konten bukanlah sebuah masalah unik yang hanya terjadi di Asia saja. Di  belahan dunia lainnya termasuk di Eropa dan Amerika Utara kegiatan ilegal tersebut juga terjadi. Tetapi permasalahan di Asia memang lebih kronik dan lebih berat dibandingkan di kedua wilayah tersebut. Maka dari itu bagaimana pun penyelesaian berbagai masalah di wilayah Asia akan menjadi pembelajaran di wilayah lainnya khususnya di Amerika Latin dan Afrika dimana DTH dan TV berbayar sedang memulai untuk berkembang.

Semua pihak menyadari teknologi bisa menjadi cara yang tepat untuk mencegah atau menahan pembajakan konten di Amerika Utara, Eropa, maupun beberapa wilayah Asia lainnya. Conditional Access (CA) dan perusahaan–perusahaan sekuriti seperti NDS, Cisco, Viaccess, Irdeto dan Widevine pun nampak sangat aktif menawarkan jasa menghadapi pembajakan siaran di Asia. Dengan menggunakan server tercanggih dan teknologi smart card  perusahaan-perusahaan tersebut berharap dapat mencegah perluasan pembajakan.

Bahkan menurut riset yang dilakukan oleh ABI, pertumbuhan pembajakan konten di Asia telah menjadikan Asia sebagai pemimpin pasar dalam kategori teknologi perlindungan konten dengan perkiraan pertumbuhan mencapai $612 juta pada tahun 2013 atau mencapai 60% pasar dunia. (bas, APB)

Waktunya Industri Pay TV Indonesia Merintis Aksi Untuk Hadang Piracy
Mengandalkan teknologi saja untuk menghadang piracy atau pembajakan siaran saja  tentu tidak cukup,  karena pembajak selalu lebih maju dalam hal teknologi pembajakannya. Kondisi tersebut makin diperburuk dengan perkembangan internet, yang memungkinkan semakin banyaknya rumah tangga di Asia yang menyaksikan video melalui internet. Video internet tersebut berpeluang menyebarkan konten penyiaran ke konsumen tanpa melalui TV kabel dan satelit.

Perang melawan para pembajak harus melibatkan banyak pihak, namun yang paling penting ialah iklim peraturan dan pelaksanaan hukumnya. Tak hanya itu, penting juga untuk bekerja dengan mengedepankan edukasi kepada individual (masyarakat), operator, dan menyesuaikan diri dengan peraturan penyiaran di negara-negara dimana mereka sedang memasuki industri televisi berbayar.

Di Filipina contohnya, para pengelola penyiaran hanya punya sedikit aturan yang dapat melindungi mereka dalam beroperasi. Hukum di negara tersebut belum meberikan definisi dan ketentuan mengenai pencurian sinyal satelit, oleh karena itu sangat sulit untuk di tuntut pelakunya. Menurut hukum di Filipina, hanya barang yang bergerak yang terlihat bentuk fisiknya lah yang menjadi objek pencurian, sedangkan barang tidak terlihat tidak dapat dijadikan objek pencurian.

Sayangnya, situasi seperti ini masih terjadi di Filipina dan lazim terdapat juga di beberapa negara dan angka tidak pernah berbohong, pembajakan berkembang cepat bila dibandingkan dengan pertumbuhan keseluruhan sektor TV berbayar di Asia. ARPU di Asia merupakan salah satu yang terendah di dunia dan hampir tidak menunjukkan tanda–tanda peningkatan saat ini. Tapi walaupun terlihat serius, Asia saat ini sedang berusaha mengganti image buruk sebagai sarang para pembajak konten untuk menjamin keberlangsungan pasar penyiaran di asia, Asia telah memulainya saat ini.

Beruntunglah, peraturan di Indonesia memungkinkan penegakan hukum atas pelanggaran karya cipta dan hak penyiaran. Dengan menggandeng Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) serta Asosiasi Penyelenggara Multimedia Indonesia (APMI), berbagai kasus pembajakan siaran TV berbayar mulai dibasmi dengan tim leader Divisi Legal dari Indovision. 

Saat ini sejumlah operator TV berbayar ilegal kasusnya telah masuk ke meja hijau. "Sementara sebagian operator TV berbayar ilegal lainnya mulai berbondong-bondong mengurus izin dan menjalin kerjasama yang halal  dengan operator yang sah seperti Indovision," kata Arya Mahendra Sinulinga, Head of Corporate Secretary MNC Group yang juga merupakan Sekretaris Jenderal APMI. 

Salah satu contoh kasus adalah penahanan terhadap Daniel, seorang warga Manado, Sulawesi Utara, yang tertangkap tangan melakukan pembajakan siaran premium dari Indovision. Tim Legal Indovision yang telah melaporkan aksi kejahatan tersebut ke Polres Manado, dalam hitungan hari tinggal menunggu vonis terhadap Daniel. Soalnya segala bukti-bukti telah terkumpul dan telah melewati beberapa kali proses pengadilan.

Tersangka Daniel dijerat dengan tindak pidana pelanggaran Hak Cipta dan Hak Siar sebagaimana diatur dalam pasal 49 dan 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta dan atau pasal 25 dan 33 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Hak Siar juncto Pasal 55 dan 56 KUHP. Modus operandi yang dilakukan oleh tersangka adalah dengan menangkap siaran tanpa ijin pemilik dan tanpa ijin pemerintah (IPP – Ijin Penyelenggaraan Penyiaran).

Terdakwa Daniel hanyalah sebagian kecil dari begitu banyaknya pelaku pembajakan atas siaran-siaran Indovision. Berdasarkan catatan Asosiasi Penyelenggara Multimedia Indonesia (APMI), setidaknya terdapat 695 pelaku usaha televisi berbayar yang meredistribusikan siaran secara ilegal di seluruh Indonesia. Dari angka tersebut, diperkirakan jumlah pelanggan televisi berbayar ilegal di Indonesia mencapai 1,4 juta rumah tangga.

Karena itu, demi kelangsungan bisnis dan pekerjaan yang sehat untuk menghidupi keluarga sekaligus menegakkan keadilan, sudah waktunya para pebisnis di Industri ini merapatkan barisan untuk memberantas dan menumpas habis pembajakan jika tidak dari sekarang dimulai, kapan lagi?. 


1 komentar: