Rabu, 20 Agustus 2014

One upon a time Transformasi apa Revolusi yang dibutuhkan?.



Transformasi identik dengan perubahan, karena sejatinya transformasi adalah sebuah bentuk perpindahan menuju sistem yang dianggap lebih baik dan mendukung. Jika disandingkan dengan kepemimpinan, maka akan terbentuk sebuah pemikiran bahwa kepemimpinan transformasi adalah bentuk kepemimpinan yang berorientasi pada perubahan dengan mengedepankan pemberian inspirasi untuk bisa mencapai tujuan yang diharapkan.  Gaya kepemimpinan transformasional adalah gaya kepemimpinan yang visioner dan inspirasional. McShane dan Von Gilnow mengatakan bahwa kepemimpinan transformasi adalah kepemimpinan yang dapat mengubah tim dan organisasi yang dengan membentuk, mengkomunikasikan, dan memberikan visi yang menginspirasi para anggotanya. Kepemimpinan transformasional dicirikan dengan pemimpin yang dapat memberikan inspirasi bagi para pengikutnya sehingga dapat memberikan tujuan yang jelas pada tim yang dikelolanya.

Sedangkan Wikipedia menyebutkan Revolusi adalah perubahan sosial dan kebudayaan yang berlangsung secara cepat dan menyangkut dasar atau pokok-pokok kehidupan masyarakat. Di dalam revolusi, perubahan yang terjadi dapat direncanakan atau tanpa direncanakan terlebih dahulu dan dapat dijalankan tanpa kekerasan atau melalui kekerasan. Ukuran kecepatan suatu perubahan sebenarnya relatif karena revolusi pun dapat memakan waktu lama. Misalnya revolusi industri di Inggris yang memakan waktu puluhan tahun, namun dianggap 'cepat' karena mampu mengubah sendi-sendi pokok kehidupan masyarakat —seperti sistem kekeluargaan dan hubungan antara buruh dan majikan— yang telah berlangsung selama ratusan tahun. Revolusi menghendaki suatu upaya untuk merobohkan, menjebol, dan membangun dari sistem lama kepada suatu sistem yang sama sekali baru. Revolusi senantiasa berkaitan dengan dialektika, logika, romantika, menjebol dan membangun.

Perkembangan industri televisi berbayar di Indonesia merupakan yang paling lambat di Asia, hanya mampu penetrasi ke 3% rumah tangga atau sekitar 1,3 juta rumah di berbagai daerah pada 2010. Berdasarkan hasil riset yang dilaporkan oleh Pricewaterhouse Coopers (PWC), dikemukakan bahwa pertumbuhan pasar televisi berbayar di Indonesia hanya berkisar 2% per tahun, jauh di bawah Vietnam, Malaysia, bahkan Pakistan. Meskipun demikian, para penyedia layanan tv berbayar tetap meyakini pasar tersebut akan tumbuh menjadi 7% pada 2015, seiring dengan pertumbuhan ekonomi dan daya beli masyarakat. Tantangan lain yang dihadapi oleh para penyedia layanan TV berbayar tersebut adalah banyaknya penyedia layanan ilegal. Sementara kementrian komunikasi dan informasi mencatat hanya 700 operator yang berizin, asosiasi TV kabel Indonesia memperkirakan jumlahnya sekitar 2.500 operator.

Dari sisi porsi bisnisnya, layanan tv berbayar saat ini memang terbilang masih sangat kecil dibandingkan dengan televisi konvensional alias FTA (free to air). Namun, seiring dengan pertambahan jumlah kelas menengah di Indonesia yang menurut laporan Bank Dunia mencapai 7 juta jiwa per tahun, secara perlahan akan mendorong pertumbuhan industri televisi berbayar (pay tv) secara cepat.

Sebab, kelas menengah yang umumnya memiliki tingkat pendidikan di atas rata-rata masyarakat, tentunya memiliki tuntutan yang semakin tinggi terkait dengan siaran televisi yakni tayangan yang lebih bermutu, mendidik dan bermanfaat.  Selera pemirsa yang kian tinggi ini dapat dipenuhi oleh layanan tv berbayar lewat program-program hiburan, edukasi dan ilmu pengetahuan seperti National Geographic, Dis­co­very, CNN, CNBC dan sebagainya.

Pergeseran selera pemirsa televisi inilah yang tampaknya semakin memacu pertumbuhan bisnis tv berbayar di Indonesia belakangan ini, yang diyakini berbanding lurus dengan peningkatan volume penjualan produk televisi, pemintaan konten siaran serta pertambahan populasi kelas menengah.

Nah sekarang kembali ke topik permasalahan dari problematik yang ada terkait dengan salah satu operator perusahaan Tv berbayar yang ada di Indonesia yang mana saya melihatnya secara bertahap proses langkah pembenahan memang sudah dilakukan oleh management sejak hampir setahun lebih belakangan ini. Ada 3 faktor yang dicurigai menjadi permasalahan utama yang terjadi, yaitu di sisi proses atau cara instalasi perangkat, cara berjualan dan terakhir tatanan program siaran yang diberikan. Untuk setiap tahapan proses yang dilalui pasti setelah itu dilakukan proses benchmark untuk mengukur (benchmark) akan hasil yang ada. Walhasil semua tahapan selalu menghasilkan jauh dari harapan maupun ekspektasi yang ada.

Lalu kira-kira langkah apa yang harus ditempuh harus dilakukan, apakah langkah Transformasi atau Revolusi karena salah satu dari kedua langkah tersebutlah yang harus diambil menurut saya, yang mana bertujuan untuk kita bisa mencanangkan prioritas landasan utama untuk berorientasi pelayanan kepada pelanggan dari sebelumnya yang berorientasi produk.

Dalam pemikiran saya sebuah pembenahan secara besar besaran adalah cara yang harus dilakukan dengan seluruh potensi dan sumber daya yang diarahkan agar menjadikan organisasi “Customer friendly” karena dengan segudang permasalahan yang ada dan telah diwariskan belum lagi konsep nafas pendek didalam menjalankan perusahaan sekelas operator bukannya sekelas retailer kalo hanya berfokus pada area perbaikan management yang ada saja, maka itu akan membawa organisasi kepada kegagalan karena yang terjadi saat ini adalah disfungsionalitas bukan hanya sekedar keadaan malfungsi. Adapun definisi dari malfungsi menurut saya artinya sudah melakukan pekerjaan yang benar tapi dengan cara yang salah alias "It's the way you do things".

Proses Revolusi harus dilakukan dengan sangat mendasar bagaikan revolusi Copernican dalam dunia astronomi yg mana sebelumnya percaya bahwa matahari bergerak mengelilingi bumi sehingga menjadi kepercayaan baru bahwa Bumilah yang mengelilingi matahari.  Atau mengapa Frase ”REVOLUSI Mental” kini kerap disebut salah seorang kandidat presiden Indonesia. Pengertiannya merujuk pada adanya revolusi kesadaran. Perubahan mendasar yang menyangkut kesadaran, cara berpikir, dan bertindak sebuah bangsa besar. Revolusi mental dari sesuatu yang negatif menuju positif.  Perubahan dari ketidakpercayaan diri menjadi bangsa yang penuh kepercayaan. Menyadari diri bahwa kita adalah bangsa besar dan bisa berbuat sesuatu yang besar. ”Visi” revolusi mental ini begitu pentingnya mengingat beragam kegagalan kita sebagai bangsa, kerap (selalu) dimulai dari mentalitas ini.  

Jangan seperti proses reformasi yang ada sekarang ini di Indonesia yang mana pelaksanaannya sejak tumbangnya rezim Orde Baru Soeharto tahun 1998 baru sebatas melakukan perombakan yang sifatnya institusional. Ia belum menyentuh paradigma, mindset, atau budaya politik kita dalam rangka pembangunan bangsa (nation building). Agar perubahan benar-benar bermakna dan berkesinambungan, dan sesuai dengan cita-cita Proklamasi Indonesia yang merdeka, adil, dan makmur, kita perlu melakukan revolusi mental. Nation building tidak mungkin maju kalau sekadar mengandalkan perombakan institusional tanpa melakukan perombakan manusianya atau sifat mereka yang menjalankan sistem ini. Sehebat apa pun kelembagaan yang kita ciptakan, selama ia ditangani oleh manusia dengan salah kaprah tidak akan membawa kesejahteraan. Sejarah Indonesia merdeka penuh dengan contoh di mana salah pengelolaan (mismanagement) negara telah membawa bencana besar nasional.

Sebuah Revolusi radikal di era abad 21 ini memang diperlukan dan penting karena akan menjadi landasan dari berbagai keputusan penting yang dibuat nantinya untuk membawa organisasi menuju arah yang baru karena kita tidak hanya ingin menagemen yg lebih baik melainkan perlu adanya managemen baru yg berbeda yang akan mengubah konsep dan cara berfikir dari yang sebelumnya sederhana, teknis, dan linear menjadi cara melihat permasalahan dengan lebih kompleks.

Melakukan design ulang (redesign), bukannya pembenahan karena semua dari kita sebenarnya tahu bahwa banyak hal tidak berjalan dengan baik dalam organisasi. Manager, direktur atau pemimpin bukannya tidak bekerja. Namun kebanyakan dari kita berkutat dengan segala sesuatu yang sudah berjalan dan memang kita anggap sebagai kegiatan penting, demi pencapaian target. Dan fenomena ini bukanlah fenomena comfort zone karena semua orang tahu bahwa perubahan harus terjadi, tetapi tidak ada yang berani nekad, membuat perubahan total.

Kita tahu laba atau revenue menipis, kita sadar bahwa bisnis jauh dari kondisi sustain dimana disatu sisi muncul permasalahan baru dimana perkembangan teknologi, demografi dan populasi menuntut lain.

Coba kita ambil contoh perubahan media cetak ke digital yang dilakukan oleh pihak Huffington post dimana di tahun 2012 mengumumkan bahwa medianya akan go online saja. Redesign proses bisnis ini dibilang sangat radikal atau berani dibandingkan perusahaan media sejenis lain yg memang melakukan perubahan tapi secara bertahap terlepas apapun alasannya

Mencopot pejabat, pemain dengan konsep sistem yang tetap berjalan saat ini akan lagi-lagi hanya membenahi namanya, bukan mendesain ulang. Dan untuk itu perlu adanya sasaran yang beda, cara yang beda, koordinasi, nilai dan cara komunikasi yang berbeda pula karena kita harus ingat bahwa ini abad 21 bukan abad 20 lagi. Cara berbicara Gen Y sering tidak dimengerti oleh generasi sebelumnya. Bisakah kita memaksakan cara pikir, bersikap, dan berbicara kita? Konsep "Creative economy" yang lagi trend saat ini perlu didesign secermat cermatnya bila ingin sukses dan untuk itu perubahan mau tidak mau harus dijalankan dan kita harus berfikir terbalik atau paling tidak memandang sesuatu dari sudut pandang yang berbeda dari yang ada sekarang. Perihal berfikir terbalik ini pernah disinggung dan diajarkan oleh Bos atau atasan saya. Dikalangan teman sekerja saya selalu menyebutnya Lao Gong karena banyak hal-hal  yang baik dan benar menempel padanya dan itu otomati akan menjadi panutan bagi saya pribadi dengan segala keunikan yang dimilikinya, karena tanpa sadar, saya mengikuti dia ini sudah bertahun-tahun dan ternyata keunikan tersebut yang membuat saya makin respect dan paham jalan pikiran yang dimilikinya atau Lao Gong ini.

Era kapitalisasi pelanggan yang mana dalam abad 21 ini kontrol sesungguhnya adalah milik pelanggan. Kekuatan sudah bergeser dari yang dulunya dipegang oleh penjual dan kemudian berpindah menjadi ditangan para pembeli. Untuk menguasai pasar, organisasi perlu terus menerus menyediakan beragam nilai tambah baru dan menyajikannya kepada para pelanggan sehingga dalam dunia yang baru ini model management abad 20 yang melibatkan kontrol ketat kepada para pekerja dan mengukur setiap hasil yang diproduksi (process oriented) tidak lagi tepat dan produktif. Gaya kepemimpinan yang fokus pada penekanan prosedur jelas jelas sudah sangat ketinggalan karena untuk dapat menjawab beragam tantangan organisasi dan kompetisi masa kini.

Para atasan harus membantu setiap orang di dalam organisasi berfokus pada tujuan memukau pelanggannya ketimbang sekedar memperbaiki rantai proses dan efisiensi. Dan untuk itu peran atasan maupun pemimpin otomatis bergeser dari Controller menjadi Enabler untuk mengeluarkan energi dan talenta dari setiap orang yang dipimpinnya agar mampu mengatasi beragam hambatan yang muncul. Para atasan atau pemimpin perlu menciptakan fokus yang lebih jelas pada substansi permasalahan organisasi sehingga anak buahnya dapat bergerak degan lebih terarah untuk mencapai tujuan. Dinamika kelincahan berinovasi harus menjadi kultur baru. Pencerahan dalam mencari solusi perlu dilakukan semua orang dan bersemangat menemukan jalan keluar yang out of the box. Pekerjaan dikemas dalam siklus-siklus yang lebih pendek dimana tujuan diarahkan pada yang diketahui dapat memukau pelanggan. Kemajuanpun perlu diukur terus menerus  dilakukan melalui masukan pelanggan atau  orang luar secara langsung yang mana para pemangku pekerjaan memegang tanggung jawab penuh kepada hasil dari pekerjaan ini.

Ketimbang menspesifikan seluruh aktifitas proses secara detail lebih baik menspesifikan hasil yang diinginkan dari proses tersebut untuk kemudian memberikan kebebasan pada individu untuk bereksperimen dan berinovasi (end result oriented) karena bila semua hal tersebut dilakukan berarti kita benar-benar sudah melakukan proses transformasi total.

Salam Revolusi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar