Televisi saat ini telah berkembang dengan sangat pesat dan
menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat. Televisi
menjadi sarana masyarakat untuk mendapatkan informasi dan hiburan. Sejarah
pertelevisian di Indonesia dimulai pada tahun 1962 ketika untuk pertama kalinya
TVRI mengudara dengan siaran langsung HUT Kemerdekaan Republik Indonesia ke-17
di Istana Negara Jakarta dan liputan Asian Games IV di Jakarta. Sejak saat itu
sampai dengan tahun 1987, otomatis TVRI adalah satu-satunya saluran televisi di
Indonesia. Pada tahun 1987, dengan ditetapkannya Keputusan Menteri Penerangan
RI Nomor: 190A/KEP/Menpen/1987 tentang Siaran Saluran Terbatas, maka peluang
munculnya stasiun TV swasta terbuka. Dimulai dari RCTI yang diresmikan pada
tanggal 24 Agustus 1989, SCTV pada tanggal 24 Agustus 1990, TPI atau sekarang
dikenal dengan MNC TV pada tanggal 23 Januari 1991, Anteve pada tanggal 7 Maret
1993, Indosiar pada tanggal 11 Januari 1995.
Kemudian setelah disahkannya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1997
tentang Penyiaran berdiri stasiun TV7 atau yang sekarang bernama Trans 7 pada
tanggal 22 Maret 2000, Metro TV pada tanggal 25 November 2000, Trans TV pada
tanggal 25 November 2001, Lativi atau yang sekarang dikenal dengan sebutan TV
One pada tanggal 17 Januari 2002, dan Global TV pada tanggal 5 Oktober 2002.
Televisi tak pelak lagi menjadi medium favorit bagi para
pemasang iklan di Indonesia. Media televisi merupakan industri yang padat
modal, padat teknologi, dan padat sumber daya manusia. Selain memberikan
manfaat ekonomi bagi para pemasang iklan, televisi juga memberikan manfaat
lainnya mulai dari pendidikan, sosial, budaya, sampai dengan
politik.
Sejak ditetapkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang
Penyiaran, penyiaran tidak lagi menjadi monopoli Jakarta. Apalagi ditambah
dengan iming-iming manfaat media penyiaran televisi terutama manfaat ekonomi dan politik
yang menjanjikan sehingga fenomena menjamurnya stasiun TV lokal di berbagai
daerah di Indonesia tidaklah menjadi hal yang mengherankan.
Menjamurnya stasiun-stasiun TV lokal ini bisa jadi merupakan
indikasi menyebarnya sumber daya penyiaran di Indonesia, tetapi juga bisa
karena kelatahan atau gengsi para pemilik modal di daerah tanpa memperhitungkan
faktor-faktor kelayakan usahanya.
Target pemirsa TV lokal adalah masyarakat lokal di mana stasiun
TV lokal tersebut bersiaran. Peran ideal stasiun TV lokal adalah untuk
melestarikan budaya dan nilai-nilai kearifan lokal. Dengan target pemirsa dan
peran tersebut, maka potensi pasar TV lokal sangat terbatas, jika dibandingkan
dengan stasiun-stasiun TV nasional yang telah lebih dulu bersiaran
Contoh-contoh stasiun TV lokal antara lain: 1) di Jabodetabek:
O- Channel, Jak TV, Daai TV, Sun TV, Elshinta TV dan lain-lain. 2) di Bandung:
Bandung TV, TV Anak Spacetoon Bandung, MQTV, Padjadjaran TV, dan lain-lain. 3)
di Surabaya: JTV, Surabaya TV, TV9 Surabaya, dan lain-lain. 4) di Semarang: TV
Borobudur, TVKU, Semarang TV, dan lain-lain. 5) di Yogyakarta: Jogja TV, RBTV,
dan lain-lain. 6) dan di kota-kota lainnya.
Saat ini sedikitnya lebih dari 30 stasiun televisi lokal yang
sudah resmi tergabung dalam Asosiasi Televisi Lokal Indonesia dan kemudian menyusul
daerah-daerah lain, tak lama lagi televisi lokal akan mewarnai bumi Sriwijaya. Yang banyak tidak kita sadari adalah saat ini program-program
yang disajikan oleh stasiun TV lokal kini cenderung menghibur dan mencerdaskan.
Kebanyakan berita disajikan secara proporsional. Kita pun masih dapat menikmati
sajian informasi yang sifatnya lokal, seputar daerah stasiun televisi tersebut
berada. Sebagai contoh dari kehadiran televisi lokal di Palembang yang mana
sudah meramaikan ‘dunia persilatan’ lembaga penyiaran di Sumatera Selatan, yang
kini diramaikan oleh 10 stasiun televisi nasional dan TVRI Sumsel, serta beberapa
televisi lokal yang telah mengajukan ijin dan diproses oleh Komisi Penyiraan
Indonesia Daerah (KPID) Sumsel.
Era televisi lokal di Palembang patut disambut
gembira dan apresiasi. Kehadiran televisi lokal akan menambah variasi atau
pilihan bagi masyarakat untuk mendapatkan informasi, hiburan, dan pendidikan.
Televisi lokal bisa menjadi mimbar perdebatan masyarakat lokal mengenai isu-isu
atau persoalan-persoalan lokal yang sedang dihadapi. Selain itu, keberadaan
televisi lokal dapat menjadi sarana pengembangan potensi daerah, sehingga
daerah pada gilirannya menjadi lebih maju dan sejahtera melalui pengembangan
perekonomian rakyat.
Dari perspektif Otonomi Daerah, kehadiran televisi lokal dapat
mengurangi sentralisme informasi dan bisnis. Hal ini sesuai dengan amanat UU
No. 32/ 2002 tentang Penyiaran yang merevisi UU Penyiaran terdahulu (UU No.
24/1997) yang kental sekali dengan kekuasaan.
Seperti diungkapkan oleh Paulus Widianto, mantan Ketua Pansus
DPR-RI yang membahas RUU Penyiaran, “Pemerintah Orba waktu itu ingin
memanfaatkan stasiun televisi sebagai tunggangan. Dengan demikian, hanya
mengakui kalau stasiun televisi berdiri di ibu kota negara, Jakarta. Akibatnya,
suara dari daerah tidak mendapat tempat atau diberi tempat tetapi sangat kecil
sekali.”
Lewat televisi lokal dan televisi berjaringan, pemirsa tidak hanya
dijejali informasi, budaya, dan gaya hidup ala Jakarta dan ala Barat. Pemirsa
akan lebih banyak menyaksikan berbagai peristiwa dan dinamika di daerah dan
lingkungannya.
Dalam konteks sosial budaya, televisi lokal bisa menjadi harapan
dan “benteng terakhir” ketahanan bangsa (Bali Post, 27/7). Selama ini kita
merasakan serbuan kapitalisme global dan budaya luar begitu kuat
menyeruak-masuk lewat televisi nasional yang bekerja sama dengan televisi asing.
Televisi ini mempunyai “dosa besar” dalam mengikis kebudayaan lokal, melalui
gempuran acara yang membawa nilai-nilai yang tidak sesuai nilai-nilai yang
dianut selama ini.
Gempuran acara televisi nasional yang negatif ini harus disikapi.
Pada posisi ini, televisi lokal punya peluang membawa nilai-nilai luhur budaya
daerah, dengan mengangkat budaya dan kearifan lokal (local genius) yang hidup
dan berkembang di masyarakat. Di sana akan terjadi proses pembelajaran dan
penanaman nilai-nilai (positif) budaya lokal. Televisi lokal menjadi harapan,
Jika tidak ada orang yang memulai program televisi yang mengangkat budaya
daerah, dikhawatirkan budaya itu akan makin luntur dan tidak dikenal generasi
muda.
Bahkan dengan adanya televisi lokal dengan muatan konten lokal menjadi suatu
hal yang baru juga disaat musim Pilpres 2014 baru-baru ini dimana hampir semua
stasiun televisi nasional pendukung capres-cawapres dikemas semenarik mungkin
untuk mengangkat popularitas calon yang dipuja. Otomatis, setiap saat
pemberitaan hanya dimonopoli oleh satu informasi yang sama. Mereka berharap
masyarakat terpengaruh dan menaruh simpati. Namun, justru sajian tayangan
tersebut membuat penat, jenuh, monoton, dan membosankan. Pada saat seperti itu,
kita masih memliki alternatif pilihan lain dengan mengubah saluran ke stasiun
televisi lokal.
Data di 2004 mengatakan saat itu jumlah stasiun TV lokal di
Indonesia ada sekitar 50 stasiun nah bandingkan saat ini dimana jumlah stasiun
TV lokal sudah membengkak dan menembus lebih dari 200 stasiun. Jumlah ini masih
terus berkembang seiring dengan pembukaan loket perizinan di pelbagai daerah.
Beberapa stasiun TV lokal yang memiliki keunikan progam sajian
di antaranya JTV Surabaya, yang menggarap siaran berita berbahasa Jawa-timuran
dan Madura. Hal itu dimaksudkan untuk meraih simpati publik yang memiliki latar
belakang budaya bahasa sama. Bali TV dan Yogya TV berisi program-program
kebudayaan (kesenian) lokal. Favorit TV (Padang) menggarap adat-istiadat
sebagai sajian khasnya. Adapun TV Manado dan TOP TV (Papua) mengambil siaran
utama dengan tajuk kelucuan-kelucuan (humor) khas daerah. Sementara itu, TA TV
(Solo) dengan rutin masih melangsungkan siaran kesenian-kesenian tradisi
seperti klenengan gamelan, wayang kulit, dan ketoprak.
Semua keunikan stasiun TV lokal tersebut tentu saja tak dapat
dijumpai pada stasiun TV nasional manapun. Iklan yang masuk juga bersifat
lokal, seperti iklan penjual bakso dan jamu, air isi ulang, kontrakan, dan
kos-kosan mahasiswa. Bahkan, di beberapa stasiun TV lokal seperti Grabak TV di
desa Grabak, Magelang, Jawa Tengah, pembiayaan dilakukan secara swadaya oleh
masyarakat setempat.
Stasiun TV lokal kian dinikmati karena mampu memberi suguhan
yang berbeda daripada stasiun TV nasional. Saat ini, hampir semua acara stasiun
TV nasional seragam, dari berita politik, film, hiburan, hingga gosip artis.
Mereka miskin kreativitas, karena semata memburu untung-rugi pasar berupa iklan
dan rating. Pada konteks inilah posisi stasiun TV lokal menjadi penting kembali
untuk dilihat dan sekaligus direnungkan.
Sarah Anabarja (2011) mengungkapkan bahwa televisi merupakan
media yang paling potensial untuk mempengaruhi dan membentuk perilaku
seseorang. TV mampu merebut 94 persen saluran masuknya pesan atau informasi ke
dalam jiwa manusia lewat mata dan telinga. TV mampu membuat orang umumnya
mengingat 50 persen dari apa yang mereka lihat dan dengar, walaupun hanya
sekali ditayangkan. Wajar jika kemudian banyak anarkisme, kekerasan, dan
pelecehan seksual terjadi, karena efek tontonan yang selama ini mereka lihat
dan dengar di televisi. Karena itu, sudah saatnya kita menonton tayangan yang
bermutu dengan menonton tontonan cita rasa lokal.
Ada dua tipe televisi lokal di Indonesia. Pertama, televisi lokal yang
dibiayai oleh pemerintah kabupaten/propinsi melalui APBD dan di-setting menjadi
government tv atau televisi pemda. Kedua, televisi lokal yang dibiayai atau
dimodali oleh kalangan swasta, yang bernuansa binis dan bertujuan untuk
mendapatkan keuntungan (profit priented). Apalagi, televisi merupakan bisnis
yang padat modal.
Seperti halnya media massa lain, televisi lokal memiliki kekuatan
sebagai penggerak ekonomi dan dinamika kebudayaan. Karena itu, televisi lokal
sejak dini harus mampu menunjukkan idealisme yang jelas, tidak hanya berangkat
dari idealisme komersial.
Stakeholders yang membangun sebuah perusahaan media elektronik harus
lebih dulu mempunyai idealisme moral dan spiritual, sebelum sampai pada
tingkatan komersial. Jika cita-cita itu tidak diperjelas sejak awal, akan
mempengaruhi perjalanan program tayangan.
Apa pun bentuk idealisme stakeholders, sebuah media televisi harus
digarap secara profesional. Dalam sistem kerja profesional harus jelas arah
yang ingin dicapai. Program juga bisa ditata secara profesional, tidak
setengah-setengah sehingga menjadi kabur dan kurang menarik. Belum lagi
bagaimana tanggapan dari masyarakat atau pasar yang akan menjadi sasaran
program itu.
Selain kepastian idealisme, idealnya keberadaan televisi lokal harus
didukung sebuah jaringan yang kuat. Dengan jaringan kerja dan bisnis seperti
itu, kehadiran sebuah televisi lokal nantinya tidak sekadar sebagai kelengkapan
sebuah peradaban masyarakat kota, tetapi menjadi bagian dari kehidupan
masyarakatnya.
Tantangan terberat yang dihadapi oleh televisi lokal (swasta) sebetulnya
adalah bagaimana menjamin kelangsungan hidup industri televisi lokal dalam
konteks persaingan bisnis media. Kita tahu, kemunculan sebuah media, tentu akan
mengancam (dan diancam) media lain. Persaingan ini tidak bisa dihindari, karena
televisi lokal ini akan nimbrung dalam perebutan kue iklan yang selama ini
diperebutkan oleh media cetak, radio, dan televisi.
Karena itu perlu antisipasi, bagaimana menciptakan persaingan yang sehat
dan fair. Idealnya, persaingan mestinya dibangun pada konteks program, content,
dan manfaat? bukan harga spot. Karena saya pernah mendengar informasi, harga
spot iklan di sebuah televisi lokal ’seharga’ spot iklan di radio. “Pasang
iklan di televisi, harga radio!’” Kondisi ini perlu menjadi perhatian kalangan
pengelola dan pebisnis media, agar kehadiran televisi lokal nantinya, tidak
mematikan media lain.
Primadona televisi lokal pada umumnya adalah program bermuatan lokal.
Mulai dari berita, musik dan hiburan, program kesenian dan kebudayaan, hingga
potensi ekonomi lokal. Namun, dalam konteks arus perubahan zaman yang demikian
cepat, menghadirkan dan mengangkat kembali budaya daerah bukan hal mudah.
Selama ini, infiltrasi televisi melalui bahasa, musik, pertunjukan gaya hidup,
terus membombardir alam pikiran pemirsa dan membuatnya seakan menjadi ciri
kehidupan modern, dan memaksa pemirsa untuk mengikutinya hingga akan dibuat
tergantung terhadapnya.
Masyarakat pun tampaknya tidak terlalu ambil peduli, terhadap gempuran
acara televisi yang negatif. Televisi sudah mengalahkan pengaruh guru,
agamawan, budayawan, memaksa seseorang melakukan kebiasaan tertentu.
Dengan kondisi itu, stasiun televisi lokal yang ingin mengangkat budaya
daerah harus memiliki idealisme kuat, karena stasiun televisi yang bercirikan
budaya daerah harus menjalani kehidupan yang penuh risiko. Tingkat rating yang
rendah, bisa mengakibatkan stasiun TV itu miskin iklan. Dampak selanjutnya bisa
diperkirakan jika kue iklan tidak bisa banyak diraih: berhenti beroperasi. Hal
ini ini membawa sebuah dilema.
Dengan kekuatan itu, jika program positif semua, televisi lokal bisa
menciptakan masyarakat berbudaya lebih baik. Masalahnya, seringkali tergoda
uang, hingga meninggalkan idealisme. Bukan tak mungkin televisi lokal mengalami
hal serupa.
Pertanyaannya: apakah televisi lokal akan
bertahan dari godaan? Hal-hal seperti ini harus ‘dibaca’ oleh para pengelola
dan dikontrol oleh masyarakat-pemirsa, karena mulai di era kepemimpinan Pak Jokowi dan Jusuf Kala mari kita coba mendorong produk-produk lokal kita bisa menjadi raja di negara sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar