Selasa, 04 November 2014

Nonton tontonan cita rasa lokal


Televisi saat ini telah berkembang dengan sangat pesat dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat. Televisi menjadi sarana masyarakat untuk mendapatkan informasi dan hiburan. Sejarah pertelevisian di Indonesia dimulai pada tahun 1962 ketika untuk pertama kalinya TVRI mengudara dengan siaran langsung HUT Kemerdekaan Republik Indonesia ke-17 di Istana Negara Jakarta dan liputan Asian Games IV di Jakarta. Sejak saat itu sampai dengan tahun 1987, otomatis TVRI adalah satu-satunya saluran televisi di Indonesia. Pada tahun 1987, dengan ditetapkannya Keputusan Menteri Penerangan RI Nomor: 190A/KEP/Menpen/1987 tentang Siaran Saluran Terbatas, maka peluang munculnya stasiun TV swasta terbuka. Dimulai dari RCTI yang diresmikan pada tanggal 24 Agustus 1989, SCTV pada tanggal 24 Agustus 1990, TPI atau sekarang dikenal dengan MNC TV pada tanggal 23 Januari 1991, Anteve pada tanggal 7 Maret 1993, Indosiar pada tanggal 11 Januari 1995. 

Kemudian setelah disahkannya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1997 tentang Penyiaran berdiri stasiun TV7 atau yang sekarang bernama Trans 7 pada tanggal 22 Maret 2000, Metro TV pada tanggal 25 November 2000, Trans TV pada tanggal 25 November 2001, Lativi atau yang sekarang dikenal dengan sebutan TV One pada tanggal 17 Januari 2002, dan Global TV pada tanggal 5 Oktober 2002.

Televisi tak pelak lagi menjadi medium favorit bagi para pemasang iklan di Indonesia. Media televisi merupakan industri yang padat modal, padat teknologi, dan padat sumber daya manusia. Selain memberikan manfaat ekonomi bagi para pemasang iklan, televisi juga memberikan manfaat lainnya mulai dari pendidikan, sosial, budaya, sampai dengan politik.   

Sejak ditetapkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, penyiaran tidak lagi menjadi monopoli Jakarta. Apalagi ditambah dengan iming-iming manfaat media penyiaran televisi  terutama manfaat ekonomi dan politik yang menjanjikan sehingga fenomena menjamurnya stasiun TV lokal di berbagai daerah di Indonesia tidaklah menjadi hal yang mengherankan.

Menjamurnya stasiun-stasiun TV lokal ini bisa jadi merupakan indikasi menyebarnya sumber daya penyiaran di Indonesia, tetapi juga bisa karena kelatahan atau gengsi para pemilik modal di daerah tanpa memperhitungkan faktor-faktor kelayakan usahanya. 

Target pemirsa TV lokal adalah masyarakat lokal di mana stasiun TV lokal tersebut bersiaran. Peran ideal stasiun TV lokal adalah untuk melestarikan budaya dan nilai-nilai kearifan lokal. Dengan target pemirsa dan peran tersebut, maka potensi pasar TV lokal sangat terbatas, jika dibandingkan dengan stasiun-stasiun TV nasional yang telah lebih dulu bersiaran

Contoh-contoh stasiun TV lokal antara lain: 1) di Jabodetabek: O- Channel, Jak TV, Daai TV, Sun TV, Elshinta TV dan lain-lain. 2) di Bandung: Bandung TV, TV Anak Spacetoon Bandung, MQTV, Padjadjaran TV, dan lain-lain. 3) di Surabaya: JTV, Surabaya TV, TV9 Surabaya, dan lain-lain. 4) di Semarang: TV Borobudur, TVKU, Semarang TV, dan lain-lain. 5) di Yogyakarta: Jogja TV, RBTV, dan lain-lain. 6) dan di kota-kota lainnya. 

Saat ini sedikitnya lebih dari 30 stasiun televisi lokal yang sudah resmi tergabung dalam Asosiasi Televisi Lokal Indonesia dan kemudian menyusul daerah-daerah lain, tak lama lagi televisi lokal akan mewarnai bumi Sriwijaya. Yang banyak tidak kita sadari adalah saat ini program-program yang disajikan oleh stasiun TV lokal kini cenderung menghibur dan mencerdaskan. Kebanyakan berita disajikan secara proporsional. Kita pun masih dapat menikmati sajian informasi yang sifatnya lokal, seputar daerah stasiun televisi tersebut berada. Sebagai contoh dari kehadiran televisi lokal di Palembang yang mana sudah meramaikan ‘dunia persilatan’ lembaga penyiaran di Sumatera Selatan, yang kini diramaikan oleh 10 stasiun televisi nasional dan TVRI Sumsel, serta beberapa televisi lokal yang telah mengajukan ijin dan diproses oleh Komisi Penyiraan Indonesia Daerah (KPID) Sumsel. 

Era televisi lokal di Palembang patut disambut gembira dan apresiasi. Kehadiran televisi lokal akan menambah variasi atau pilihan bagi masyarakat untuk mendapatkan informasi, hiburan, dan pendidikan. Televisi lokal bisa menjadi mimbar perdebatan masyarakat lokal mengenai isu-isu atau persoalan-persoalan lokal yang sedang dihadapi. Selain itu, keberadaan televisi lokal dapat menjadi sarana pengembangan potensi daerah, sehingga daerah pada gilirannya menjadi lebih maju dan sejahtera melalui pengembangan perekonomian rakyat.

Dari perspektif Otonomi Daerah, kehadiran televisi lokal dapat mengurangi sentralisme informasi dan bisnis. Hal ini sesuai dengan amanat UU No. 32/ 2002 tentang Penyiaran yang merevisi UU Penyiaran terdahulu (UU No. 24/1997) yang kental sekali dengan kekuasaan.

Seperti diungkapkan oleh Paulus Widianto, mantan Ketua Pansus DPR-RI yang membahas RUU Penyiaran, “Pemerintah Orba waktu itu ingin memanfaatkan stasiun televisi sebagai tunggangan. Dengan demikian, hanya mengakui kalau stasiun televisi berdiri di ibu kota negara, Jakarta. Akibatnya, suara dari daerah tidak mendapat tempat atau diberi tempat tetapi sangat kecil sekali.”

Lewat televisi lokal dan televisi berjaringan, pemirsa tidak hanya dijejali informasi, budaya, dan gaya hidup ala Jakarta dan ala Barat. Pemirsa akan lebih banyak menyaksikan berbagai peristiwa dan dinamika di daerah dan lingkungannya.

Dalam konteks sosial budaya, televisi lokal bisa menjadi harapan dan “benteng terakhir” ketahanan bangsa (Bali Post, 27/7). Selama ini kita merasakan serbuan kapitalisme global dan budaya luar begitu kuat menyeruak-masuk lewat televisi nasional yang bekerja sama dengan televisi asing. Televisi ini mempunyai “dosa besar” dalam mengikis kebudayaan lokal, melalui gempuran acara yang membawa nilai-nilai yang tidak sesuai nilai-nilai yang dianut selama ini.

Gempuran acara televisi nasional yang negatif ini harus disikapi. Pada posisi ini, televisi lokal punya peluang membawa nilai-nilai luhur budaya daerah, dengan mengangkat budaya dan kearifan lokal (local genius) yang hidup dan berkembang di masyarakat. Di sana akan terjadi proses pembelajaran dan penanaman nilai-nilai (positif) budaya lokal. Televisi lokal menjadi harapan, Jika tidak ada orang yang memulai program televisi yang mengangkat budaya daerah, dikhawatirkan budaya itu akan makin luntur dan tidak dikenal generasi muda.

Bahkan dengan adanya televisi lokal dengan muatan konten lokal menjadi suatu hal yang baru juga disaat musim Pilpres 2014 baru-baru ini dimana hampir semua stasiun televisi nasional pendukung capres-cawapres dikemas semenarik mungkin untuk mengangkat popularitas calon yang dipuja. Otomatis, setiap saat pemberitaan hanya dimonopoli oleh satu informasi yang sama. Mereka berharap masyarakat terpengaruh dan menaruh simpati. Namun, justru sajian tayangan tersebut membuat penat, jenuh, monoton, dan membosankan. Pada saat seperti itu, kita masih memliki alternatif pilihan lain dengan mengubah saluran ke stasiun televisi lokal.

Data di 2004 mengatakan saat itu jumlah stasiun TV lokal di Indonesia ada sekitar 50 stasiun nah bandingkan saat ini dimana jumlah stasiun TV lokal sudah membengkak dan menembus lebih dari 200 stasiun. Jumlah ini masih terus berkembang seiring dengan pembukaan loket perizinan di pelbagai daerah.

Beberapa stasiun TV lokal yang memiliki keunikan progam sajian di antaranya JTV Surabaya, yang menggarap siaran berita berbahasa Jawa-timuran dan Madura. Hal itu dimaksudkan untuk meraih simpati publik yang memiliki latar belakang budaya bahasa sama. Bali TV dan Yogya TV berisi program-program kebudayaan (kesenian) lokal. Favorit TV (Padang) menggarap adat-istiadat sebagai sajian khasnya. Adapun TV Manado dan TOP TV (Papua) mengambil siaran utama dengan tajuk kelucuan-kelucuan (humor) khas daerah. Sementara itu, TA TV (Solo) dengan rutin masih melangsungkan siaran kesenian-kesenian tradisi seperti klenengan gamelan, wayang kulit, dan ketoprak. 

Semua keunikan stasiun TV lokal tersebut tentu saja tak dapat dijumpai pada stasiun TV nasional manapun. Iklan yang masuk juga bersifat lokal, seperti iklan penjual bakso dan jamu, air isi ulang, kontrakan, dan kos-kosan mahasiswa. Bahkan, di beberapa stasiun TV lokal seperti Grabak TV di desa Grabak, Magelang, Jawa Tengah, pembiayaan dilakukan secara swadaya oleh masyarakat setempat.

Stasiun TV lokal kian dinikmati karena mampu memberi suguhan yang berbeda daripada stasiun TV nasional. Saat ini, hampir semua acara stasiun TV nasional seragam, dari berita politik, film, hiburan, hingga gosip artis. Mereka miskin kreativitas, karena semata memburu untung-rugi pasar berupa iklan dan rating. Pada konteks inilah posisi stasiun TV lokal menjadi penting kembali untuk dilihat dan sekaligus direnungkan.

Sarah Anabarja (2011) mengungkapkan bahwa televisi merupakan media yang paling potensial untuk mempengaruhi dan membentuk perilaku seseorang. TV mampu merebut 94 persen saluran masuknya pesan atau informasi ke dalam jiwa manusia lewat mata dan telinga. TV mampu membuat orang umumnya mengingat 50 persen dari apa yang mereka lihat dan dengar, walaupun hanya sekali ditayangkan. Wajar jika kemudian banyak anarkisme, kekerasan, dan pelecehan seksual terjadi, karena efek tontonan yang selama ini mereka lihat dan dengar di televisi. Karena itu, sudah saatnya kita menonton tayangan yang bermutu dengan menonton tontonan cita rasa lokal.

Ada dua tipe televisi lokal di Indonesia. Pertama, televisi lokal yang dibiayai oleh pemerintah kabupaten/propinsi melalui APBD dan di-setting menjadi government tv atau televisi pemda. Kedua, televisi lokal yang dibiayai atau dimodali oleh kalangan swasta, yang bernuansa binis dan bertujuan untuk mendapatkan keuntungan (profit priented). Apalagi, televisi merupakan bisnis yang padat modal.
Seperti halnya media massa lain, televisi lokal memiliki kekuatan sebagai penggerak ekonomi dan dinamika kebudayaan. Karena itu, televisi lokal sejak dini harus mampu menunjukkan idealisme yang jelas, tidak hanya berangkat dari idealisme komersial.
Stakeholders yang membangun sebuah perusahaan media elektronik harus lebih dulu mempunyai idealisme moral dan spiritual, sebelum sampai pada tingkatan komersial. Jika cita-cita itu tidak diperjelas sejak awal, akan mempengaruhi perjalanan program tayangan.
Apa pun bentuk idealisme stakeholders, sebuah media televisi harus digarap secara profesional. Dalam sistem kerja profesional harus jelas arah yang ingin dicapai. Program juga bisa ditata secara profesional, tidak setengah-setengah sehingga menjadi kabur dan kurang menarik. Belum lagi bagaimana tanggapan dari masyarakat atau pasar yang akan menjadi sasaran program itu.
Selain kepastian idealisme, idealnya keberadaan televisi lokal harus didukung sebuah jaringan yang kuat. Dengan jaringan kerja dan bisnis seperti itu, kehadiran sebuah televisi lokal nantinya tidak sekadar sebagai kelengkapan sebuah peradaban masyarakat kota, tetapi menjadi bagian dari kehidupan masyarakatnya.
Tantangan terberat yang dihadapi oleh televisi lokal (swasta) sebetulnya adalah bagaimana menjamin kelangsungan hidup industri televisi lokal dalam konteks persaingan bisnis media. Kita tahu, kemunculan sebuah media, tentu akan mengancam (dan diancam) media lain. Persaingan ini tidak bisa dihindari, karena televisi lokal ini akan nimbrung dalam perebutan kue iklan yang selama ini diperebutkan oleh media cetak, radio, dan televisi.
Karena itu perlu antisipasi, bagaimana menciptakan persaingan yang sehat dan fair. Idealnya, persaingan mestinya dibangun pada konteks program, content, dan manfaat? bukan harga spot. Karena saya pernah mendengar informasi, harga spot iklan di sebuah televisi lokal ’seharga’ spot iklan di radio. “Pasang iklan di televisi, harga radio!’” Kondisi ini perlu menjadi perhatian kalangan pengelola dan pebisnis media, agar kehadiran televisi lokal nantinya, tidak mematikan media lain.
Primadona televisi lokal pada umumnya adalah program bermuatan lokal. Mulai dari berita, musik dan hiburan, program kesenian dan kebudayaan, hingga potensi ekonomi lokal. Namun, dalam konteks arus perubahan zaman yang demikian cepat, menghadirkan dan mengangkat kembali budaya daerah bukan hal mudah.
Selama ini, infiltrasi televisi melalui bahasa, musik, pertunjukan gaya hidup, terus membombardir alam pikiran pemirsa dan membuatnya seakan menjadi ciri kehidupan modern, dan memaksa pemirsa untuk mengikutinya hingga akan dibuat tergantung terhadapnya.
Masyarakat pun tampaknya tidak terlalu ambil peduli, terhadap gempuran acara televisi yang negatif. Televisi sudah mengalahkan pengaruh guru, agamawan, budayawan, memaksa seseorang melakukan kebiasaan tertentu.
Dengan kondisi itu, stasiun televisi lokal yang ingin mengangkat budaya daerah harus memiliki idealisme kuat, karena stasiun televisi yang bercirikan budaya daerah harus menjalani kehidupan yang penuh risiko. Tingkat rating yang rendah, bisa mengakibatkan stasiun TV itu miskin iklan. Dampak selanjutnya bisa diperkirakan jika kue iklan tidak bisa banyak diraih: berhenti beroperasi. Hal ini ini membawa sebuah dilema.
Dengan kekuatan itu, jika program positif semua, televisi lokal bisa menciptakan masyarakat berbudaya lebih baik. Masalahnya, seringkali tergoda uang, hingga meninggalkan idealisme. Bukan tak mungkin televisi lokal mengalami hal serupa.
Pertanyaannya: apakah televisi lokal akan bertahan dari godaan? Hal-hal seperti ini harus ‘dibaca’ oleh para pengelola dan dikontrol oleh masyarakat-pemirsa, karena mulai di era kepemimpinan Pak Jokowi dan Jusuf Kala mari kita coba mendorong produk-produk lokal kita bisa menjadi raja di negara sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar