Global Web Index menyurvei 391.130 responden di 41 negara. Konsumen digital kini menghabiskan lebih dari 6 jam 45 menit online, 3 jam 18 menit dihabiskan lewat smartphone.
Bagaimana dengan TV?
Kehadiran televisi mengubah perilaku audiens. Di semua tempat ketika televisi mulai populer, ruang keluarga menjadi tempat sakral. Semua anggota keluarga berkumpul menonton televisi bersama.
Televisi juga kerap disebut menyebabkan obesitas. Para penikmat televisi banyak hanya duduk menghabiskan waktu di depan layar sambil ngemil. Hadirnya internet yang layanannya bisa dinikmati di layar ponsel membuat masyarakat meninggalkan media cetak. Perilaku konsumen informasi berubah. Di internet, beragam konten informasi bisa dinikmati gratis, bahkan bisa memilih mana yang ingin dinikmati.
TV streaming termasuk yang cukup pesat pertumbuhannya, kini sudah dinikmati lebih dari satu jam per hari. Berdasarkan survei GlobalWebIndex dari 2014-2018 terhadap 391.130 responden di seluruh dunia, media cetak seperti koran dan majalah, rata-rata hanya dibaca 43 menit per hari. Padahal, media online dikonsumsi 6 jam 45 menit per hari.
Sementara televisi linear, yakni TV gratis dan kabel hanya stagnan ditonton di bawah dua jam sehari. Sejak 2014, dari 33 negara yang disurvei, TV linear mengalami penurunan di 29 negara. Sementara TV online naik di 28 negara.
Media konvensional seperti televisi, hanya tumbuh di negara dengan banyak penduduk lansia seperti sebagian Eropa dan Jepang. Penonton televisi terbesar adalah mereka yang berusia lebih dari 50 tahun. Padahal, pengiklan televisi mengincar mereka yang termasuk usia produktif dan punya uang untuk dihabiskan.
Fenomena serupa ditemukan di Indonesia. Penelitian lembaga rating AC Nielsen mengungkap pertumbuhan kepemilikan smartphone dalam lima tahun terakhir sangat pesat, mencapai 250 persen.
Waktu yang dihabiskan konsumen Indonesia untuk media digital pun meningkat dalam tiga tahun terakhir. Dari rata-rata 2 jam 26 menit menjadi 3 jam 20 menit per hari. Sementara waktu yang dihabiskan untuk media TV baik streaming, kabel, atau gratis nyaris tidak bertambah. Dari 4 jam 54 menit menjadi hanya 4 jam 59 menit pada periode yang sama.
Televisikah korban berikutnya?
Akankah gelombang digital juga akan menghantam industri televisi?
Di Amerika Serikat, puncak bisnis televisi berhenti di 2016. Berdasarkan data agensi periklanan Magna, kue iklan di televisi mencapai 43 miliar dolar Amerika.
Namun setelah 2016, angkanya terus turun sekitar 2 persen per tahun. Diprediksi pada 2022, kue iklan yang diperebutkan televisi turun menjadi 37,1 miliar dolar Amerika.
Al-Jazeera terpaksa merumahkan 500 karyawannya dan menghentikan operasionalnya di Amerika Serikat pada 2016 lalu. Pergeseran lanskap media membuat langkah pengurangan operasional ini diikuti oleh CNN, ABC, dan CBS.
Berdasarkan laporan MAGNA, belanja iklan di digital sudah mengalahkan belanja iklan TV pada 2017. Temuan ini didapat dari survei terhadap 73 negara.
Pada 2017, belanja iklan digital mencapai 208,8 miliar dolar AS di seluruh dunia. Sementara televisi meraup 178,4 miliar dolar AS. Sebanyak 41 persen belanja iklan dihabiskan di digital, televisi hanya 35 persen.
Di Indonesia, pertumbuhan iklan televisi cenderung stagnan, sementara iklan digital melesat. Berdasarkan data PubMatic, Indonesia adalah pasar yang paling cepat pertumbuhan iklan digitalnya.
Dari 2018 ke 2019 saja, pertumbuhan iklan digital di Indonesia mencapai 26 persen, dengan nilai sekitar Rp 36,5 triliun.
Sementara untuk televisi, Indonesia mengalami kesamaan tren dengan Amerika Serikat yang kue iklannya turun setelah 2016. Lembaga iklan Adstensity mencatat pertumbuhan iklan berjalan lambat sejak 2016.
- 2008 Rp 27 triliun
- 2009 Rp 31 triliun
- 2010 Rp 36 triliun
- 2011 Rp 53 triliun
- 2012 Rp 61 triliun
- 2013 Rp 81,3 triliun
- 2014 Rp 99 triliun
- 2015 Rp 72,5 triliun
- 2016 Rp 96,8 triliun
- 2017 Rp 97,45 trliun
- 2018 Rp 110,46 triliun
Dari 2016 ke 2017, kue iklan televisi hanya tumbuh 0,43 persen, dari Rp 96,8 triliun menjadi Rp 97,45 triliun. Padahal tahun sebelumnya pertumbuhannya mencapai 33,52 persen, dari Rp 72,5 triliun menjadi Rp 96,8 triliun. Tingginya kue iklan pada 2018 yang mencapai Rp 110,46 triliun tak bisa dilihat sebagai berjayanya televisi. Sebab pada tahun itu, televisi memang kebanjiran iklan kampanye politik, Asian Games, hingga Piala Dunia.
Era Disrupsi Digital
Pola konsumsi media yang hari ini bergeser ke digital sedang berlangsung di Indonesia. Implikasinya, para pemain di industri tayangan konvensional mulai kelabakan.
Industri TV terlambat
Beralihnya masyarakat ke digital bukan berarti orang menghilangkan kebiasaan menontonnya akan tetapi ereka hanya beralih pasar medium. Bahkan dari sisi teknologi saja, Indonesia belum mampu mengalihkan siaran televisi dari analog ke digital. Di saat negara-negara lain di dataran Eropa dan Amerika sudah mematikan sinyal analognya sebelum 2010, Indonesia baru merencanakan akan benar-benar menghentikan analog pada Juni 2020.
Belum lagi dari sisi konten. Tayangan televisi konventional tak lagi menarik bagi generasi muda khususnya di generasi Z. Hiburan murni terlambat karena consumer behaviour sekarang sudah sangat segmented. Belum lagi pola konsumsi sekarang makin personal berbeda di era sebelumnya dimana sebuah program tontonan bisa dan untuk dinikmati bersama-sama.
Dari sisi durasi, tayangan berdurasi lama pun makin tergerus dengan tayangan dengan durasi singkat. Sudah tidak ada long hours viewing. Paling kalau nonton bola, final badminton, atau tinju saja.
TV didalam TV alias OTT
Pasar OTT bukan Operasi Tangkap Tangan melainkan singkatan dari Over The Top di Indonesia bisa dibilang cukup menjanjikan. Alasannya karena beberapa faktor utama dalam perkembangan teknologi di Indonesia yang sedang meningkat.
Alasan pertama, jumlah pengguna internet yang ada di Indonesia yang tumbuh lumayan pesat. Berdasarkan hasil studi Polling Indonesia yang bekerja sama dengan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), jumlah pengguna internet di Indonesia pada tahun 2018 lalu tumbuh 10,12 persen. Hasilnya, sekitar 171,17 juta jiwa atau sekitar 64,8 persen penduduk Indonesia sudah terhubung ke internet.
Kedua, total penduduk Indonesia yang memiliki smartphone juga mengalami peningkatan. Berdasarkan data dari Statista yang diolah oleh Katadata, penetrasi jumlah pengguna smartphone di Indonesia pada tahun 2018 mencapai 26% dan diproyeksikan naik 2% pada tahun 2019.
Terakhir, hampir semua daerah di Indonesia diklaim sudah terjangkau jaringan 4G di Indonesia. Direktur Jenderal Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika (Dirjen SDPPI) Kementerian Kominfo, Ismail, kepada Detikcom mengatakan, penetrasi layanan 4G LTE sejak diperkenalkan hingga saat ini diklaim sudah mencapai 90% dari total populasi penduduk Indonesia.
Melihat peluang pasarnya yang cukup cerah, saat ini beberapa grup media yang memiliki stasiun TV Free-To-Air (FTA) mulai ikut merambah ke pasar OTT.
Baru-baru ini, MNC Grup meluncurkan layanan OTT terbaru mereka, RCTI+, saat perayaan ulang tahun RCTI ke-30 di Ecovention, Ancol, Jakarta, pada 23 Agustus 2019. Dalam press release yang dikeluarkan oleh grup media milik Hary Tanoe itu kepada CNBC Indonesia, RCTI+ akan memberikan jasa siaran langsung saluran TV tidak berbayar (Free To Air/FTA), perpustakaan, dan konten kreatif lainnya.
Sepertinya melalui RCTI+ ini, MNC Grup sedang ((buang-buang duit)). Karena sebelumnya, grup media milik Hary Tanoesoedibjo itu telah merilis platform OTT lainnya, yaitu MNC Now dan Metube. Bahkan, beberapa konten dari kedua platform tersebut, yaitu live streaming stasiun TV milik MNC (RCTI, GTV, MNC TV, iNews), juga disertakan dalam RCTI+. Bukhan maennn ((=
Sebelumnya, Emtek merilis Vidio Premier, layanan streaming berbayar dari situs video sharing milik mereka, Vidio.com, pada akhir 2018 lalu. Menurut Head of Marketing Vidio, Ade Muti Dilapanga, kepada DailySocial, Vidio Premier adalah fitur terbaru Vidio.com yang menyajikan konten-konten premium. Mulai dari sepak bola, saluran televisi internasional, film lokal, film Korea, Hollywood, dan lainnya.
TVRI pun tak mau kalah dengan merilis aplikasi TVRI Klik, yang menyuguhkan live streaming siaran TVRI Nasional, TVRI Kanal 3 (Budaya), serta siaran lokal TVRI di 30 daerah di Indonesia.
Bahkan, platform OTT milik stasiun TV yang mendaku sebagai “Media Pemersatu Bangsa” ini memiliki fitur rekaman siaran TV yang tayang selama beberapa hari terakhir, atau istilah lainnya TV On Demand (TVOD).
Ketiga perusahaan media terbesar di Indonesia itu mengikuti langkah beberapa perusahaan / grup media lainnya yang sudah nyemplung di platform OTT. Mulai dari Zulu yang dirilis oleh NET dengan konten-konten acara yang tayang secara penuh (tidak dipotong seperti video-video di saluran Youtube-nya), Vivall dari Viva Group yang mengunggulkan konten Piala Dunia pada tahun 2014 lalu, hingga My Trans milik Trans Media yang bisa dibilang sebagai grup media pertama yang merilis platform OTT di Indonesia.
Sayang, saat ini Vivall dan My Trans sudah tidak terdengar lagi kabarnya. Aplikasi Vivall di Google Play Store telah digantikan oleh aplikasi berita dan live streaming VIVA. Aplikasi My Trans pun sudah tidak update lagi setelah keluar versi 1.1.3 sebagai versi terakhirnya. Nasib Zulu sampai sekarang belum ada kabar lagi seiring isu NET yang sedang melakukan efisiensi. Meski begitu, situs dan aplikasi Zulu masih bisa diakses dan tetap up-to-date dengan acara-acara terbaru NET saat ini.
Dengan merilis layanan OTT, ada beberapa keuntungan yang bisa didapatkan oleh grup media. Mulai dari jangkauan pemirsa, variasi konten, marketing, hingga pembatasan siaran karena lisensi.
Pertama, stasiun TV yang dimiliki oleh grup media bisa menjangkau pemirsa di perkotaan yang tidak punya waktu banyak untuk menonton TV karena kesibukan dalam bekerja. Fleksibilitas waktu tayang konten yang dimiliki OTT menjadi kelebihan yang sangat susah dicapai oleh siaran TV melalui gelombang radio UHF dan VHF. Pemirsa yang tinggal di daerah yang berada di luar jangkauan pemancar stasiun TV pun bisa dengan mudah dijangkau. Asalkan, masyarakat di sana menginstal dan menggunakan aplikasi OTT milik stasiun TV tersebut.
Selain itu, layanan OTT bisa menjadi wadah baru bagi variasi konten yang diproduksi oleh grup media. Tidak seperti siaran TV biasa yang kontennya terbatas oleh waktu dan rating, Beberapa konten bisa ditayangkan di layanan OTT dan menjadi “pelengkap” bagi konten yang disiarkan di TV. Hasilnya, konten-konten yang diproduksi oleh in-house production sebuah grup media bisa unjuk gigi. Contohnya mirip seperti yang dilakoni oleh HBO+, layanan OTT yang dikelola oleh stasiun TV internasional khusus film, HBO.
Selanjutnya, layanan OTT ini bisa menjadi sumber pundi uang terbaru bagi grup media. Vidio Premier milik Emtek sudah membuktikannya dengan menjadikan konten ajang sepakbola di Indonesia, Liga 1, sebagai konten premium. Bagi pemirsa yang ingin menonton Liga 1 di platform tersebut, harus membayar sebanyak nominal tertentu yang dibayarkan per bulannya.
Dari segi marketing, grup media bisa memperoleh data kepemirsaan dari stasiun TV yang lebih spesifik. Jika masing-masing grup media mengembangkan layanan OTT dengan baik, mereka bisa mendapatkan data pemirsa berupa konten apa yang paling sering ditonton, gender dan usia pemirsa, konten yang difavoritkan oleh masyarakat di suatu daerah, hingga preferensi konten yang ditonton oleh masing-masing pemirsa.
Data tersebut tentu saja lebih baik, ketimbang data rating televisi Nielsen yang respondennya hanya tersebar di 11 kota besar, perbedaan data hanya berdasarkan pada kemampuan ekonomi responden, dan 70% respondennya tinggal di sekitar Jakarta dan Surabaya.
Terakhir, grup media yang sedang mendapatkan lisensi untuk menayangkan konten terbatas, seperti acara olahraga, bisa dengan mudah membatasi jangkauan siarannya. Khusus layanan OTT, grup media bisa membatasi siarannya untuk perangkat yang terhubung ke operator telekomunikasi di Indonesia dengan cara geo-blocking, atau dengan menjadikan acara terbatas tersebut sebagai konten premium.
Meski menawarkan beberapa keuntungan, layanan OTT yang dioperasikan oleh grup media bisa saja malah membuat kerugian jika tak dikelola dengan baik. Selain faktor internal, ada beberapa ancaman eksternal bagi layanan OTT grup media.
Pertama, masih ada beberapa kalangan masyarakat di Indonesia yang menginginkan hiburan dengan meminimalkan biaya yang dikeluarkan, kalau bisa gratis. Layanan OTT yang pembayarannya menggunakan sistem berlangganan, dan harga yang ditawarkan belum termasuk biaya kuota internet yang dibeli tiap bulannya, membuat masyarakat dengan kemampuan ekonomi terbatas berpikir ulang sebelum menggunakan layanan OTT.
Contoh terbaru dari masalah ini bisa dilihat saat TVRI membatasi siarannya hanya untuk siaran di frekuensi analog dan digital saat stasiun TV publik itu menyiarkan pertandingan Liga Inggris musim ini. Hal tersebut dilakukan karena TVRI tunduk pada kontrak lisensi yang diberikan oleh Mola TV selaku penyedia layanan OTT yang mendapat broadcaster licence dari FA (asosiasi sepakbola Inggris).
Beberapa kalangan masyarakat, khususnya pengguna parabola, menuliskan protesnya di akun media sosial resmi TVRI karena kebijakan stasiun TV pertama di Indonesia itu yang menggunakan “acakan maut” (sebutan lain untuk teknik pengacakan siaran Xcrypt). Tempat tinggal yang berada di luar jangkauan pemancar, serta tidak punya anggaran untuk membeli perangkat baru, menjadi alasan mayoritas dari mereka.
Mereka lebih memilih untuk membuka acakan siaran di parabola yang menggunakan acakan BISS, karena lebih mudah untuk dibuka dengan kunci tertentu. Walau begitu, tindakan mereka itu bisa dibilang ilegal. Penyebabnya, karena kunci pembuka acakan (apapun jenis acakannya) hanya bisa diberikan kepada stasiun pemancar yang memiliki perangkat pembuka acakan.
Kedua, ada kecenderungan masyarakat saat ini hanya menjadikan layanan OTT milik media mainstream tersebut sebagai alternatif belaka. Alasannya karena konten dari platform OTT yang dikelola oleh perusahaan media ini kebanyakan berasal dari stasiun TV naungan perusahaan tersebut. Adapun konten yang benar-benar baru di platform tersebut bisa jadi hanya menjadi pelengkap dari konten utama yang tayang di TV.
Ketiga, meski Pemerintah mengklaim hampir seluruh daerah di Indonesia sudah tercover jaringan 4G, tetapi realitanya beberapa masyarakat di daerah di luar Jawa belum merasakan kecepatan internet yang sepadan dengan kualitas jaringan 4G yang digembar-gemborkan. Contoh nyatanya seperti yang dirasakan oleh warga Agats, Papua. “4G, tetapi rasa 2G,” aku pegawai Kominfo di sana, dikutip dari artikel Tirto.
Lantas, bagiamana perusahaan media mengatasi ancaman tersebut? Untuk masalah pertama, sepertinya masyarakat Indonesia sangat butuh edukasi soal lisensi dan hak cipta dalam penyiaran. Ini menjadi penting agar masyarakat kita bisa menghargai hak cipta dalam suatu produk, yang seringkali dianggap remeh. Kalau bahasa kasarnya sih: “Dapet hiburan berkualitas itu ga melulu gratis, bossque!”
Khusus stasiun TV, masalah kontrak lisensi sebenarnya bisa diakali dengan membeli lisensi konten TV untuk parabola. Meski ini bisa menyelesaikan masalah secara cepat, namun rasanya hal tersebut akan ditentang oleh perusahaan TV berbayar yang juga membeli lisensi konten yang sama. Anggaran yang diperlukan pun pasti lebih mahal. Sehingga, langkah edukasi menjadi cara yang lebih murah untuk diaplikasikan ke masyarakat. Walau hasilnya baru bisa terlihat setelah beberapa lama.
Mengatasi masalah kedua, sebaiknya stasiun TV yang mengelola platform OTT juga merilis konten eksklusif yang hanya tayang di platform tersebut. Untuk urusan promosi, mereka bisa memanfaatkan frekuensi yang mereka miliki. Cara ini sudah ditempuh oleh ITV Hub, platform OTT yang dikelola oleh ITV, stasiun TV swasta di Inggris.
Soal kecepatan internet, meski itu berada di luar cakupan kerja perusahaan media, namun ada hal yang bisa dilakukan untuk mengatasi hal tersebut. Diantaranya dengan cara mengatur multimedia player plugin di dalam aplikasi agar video bisa diputar saat kecepatan internet pengguna tidak ideal.
Cara lainnya adalah menyediakan berbagai pilihan kualitas video di dalam aplikasi. Cara terakhir, bisa juga dengan menyediakan opsi “download dulu baru tonton”, seperti yang diterapkan oleh aplikasi Youtube Go, aplikasi Youtube versi Lite.
Platform OTT bisa jadi merupakan wajah baru penyiaran kita di masa depan. Oleh karena itu, perusahaan media yang sudah hadir cukup lama harus segera beradaptasi dengan perkembangan teknologi. Inovasi di dalam konten dan teknologi mutlak diperlukan dalam mengembangkan sebuah media, agar tidak ditinggalkan oleh pemirsa setianya yang juga ikut beradaptasi dengan perkembangan zaman.
Next Gen TV
Menurunnya penonton televisi baik gratis maupun berbayar belum tentu akan jadi akhir bagi industri televisi. Di Korea Selatan dan Amerika Serikat, sistem penyiaran televisi digital Advanced Television Systems Committee (ATSC) tengah dikembangkan menjadi 3.0 atau Next Gen TV.
Dilansir dari atsc.com, Next Gen TV tak cuma membawa gambar yang lebih bagus dengan saluran yang lebih banyak tapi juga akan bekerja seperti OTT yang bisa dikustomisasi sesuai keinginan penggunanya.
"Misalnya saat balapan NASCAR, penonton bisa memilih ingin mendengar radio dari pengemudi yang dijagokannya, dan juga menyesuaikan audio untuk mengurangi gangguan suara. Singkatnya, penonton bisa mengontrol konten suara dan mix," kata Dave Siegler, Direktur ATSC.
Rencananya, siaran televisi gratis yang menggunakan teknologi ATSC 3.0 ini bakal bisa dinikmati di ponsel, tanpa sambungan internet. Teknologi ini telah disetujui Federal Communications Commission, komisi penyiaran Amerika Serikat.
Sejumlah pemain industri media tengah mengembangkannya. Diperkirakan teknologi ini baru bisa dinikmati khalayak dua hingga tiga tahun lagi. Sampai tiba saatnya, industri televisi harus mengubah format bisnisnya agar bisa bertahan di era disrupsi digital.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar