Selasa, 11 Agustus 2020

Digitalisasi Penyiaran Televisi Di Indonesia

 Pendahuluan

Televisi Republik Indonesia (TVRI) memulai sejarah televisi Indonesia dengan disiarkannya sebagai stasiun televisi pertama Indonesia pada 17 Agustus 1962. TVRI kembali menyiarkan siaran langsung upacara pembukaan Asian Games keempat dari Stadion Gelora Bung Karno pada 24 Agustus 1962, yang sampai kini diperingati sebagai hari ulang tahun TVRI. Memasuki tahun 1980, TVRI memperkenalkan TVRI nasional dan TVRI lokal dengan saluran dan konten lokal dari beberapa provinsi di Indonesia. Adanya perkembangan ini menimbulkan peluang hadirnya stasiun televisi baru, seperti RCTI, SCTV, TPI, Indosiar, ANTV, TransTV, MetroTV, GlobalTV, Lativi dan TV7. Setelah era tersebut, masih ada kemunculan stasiun televisi lainnya baik stasiun televisi baru maupun stasiun televisi yang berganti wajah seperti Lativi menjadi TVone, TV7 menjadi Trans7, NetTV, dan baragam TV lokal di masing-masing daerah.

Kini Indonesia memasuki era penyiaran televisi digital terrestrial free-to-air (siaran tv digital gratis) yang mampu memancarkan sinyal gambar dan suara lebih tajam dan jernih dibandingkan siaran analog. Penyiaran televisi digital terrestrial adalah penyiaran yang menggunakan frekuensi radio Very High Frequency (VHF) maupun Ultra High Frequency (UHF) seperti halnya penyiaran analog dengan format konten digital. Pemerintah Indonesia menetapkan untuk mengadopsi standar penyiaran televisi digital terestrial Digital Video Broadcasting – Terrestrial Second Generation (DVB-T2). Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh gambaran terkait status dan perkembangan penyiaran digital di Indonesia beserta tantangannya saat ini. Penelitian ini secara khusus membahas digitalisasi penyiaran televisi di Indonesia. Media siaran lainnya yaitu radio, film, rekaman suara tidak tercakup untuk memudahkan analisis.

Berdasarkan hasil studi literatur terhadap beberapa penelitian terkait migrasi penyiaran digital, maka dapat diidentifikasi beberapa aspek yang dibahas pada penelitian-penelitian tersebut. Aspek tersebut antara lain regulasi, keuntungan dan manfaat, serta tantangan/hambatan dan kekurangan. Kebanyakan studi membahas mengenai aspek tantangan yang dihadapi dalam implementasi. Oleh karena itu, penelitian ini juga mengkaji mengenai tantangan yang dihadapi Indonesia dalam upaya migrasi penyiaran digital.

Perspektif Global Penyiaran Digital

Perkembangan penyiaran pindah ke tingkat yang baru dan lebih tinggi pada tanggal 16 Juni 2006. Perwakilan dari 104 negara di Jenewa, Swiss, menandatangani sebuah perjanjian pada sebuah konferensi internasional yang diselenggarakan oleh International Telecommunications Union (ITU). Kesepakatan itu untuk peralihan televisi dari penyiaran analog ke digital.

Posisi ITU terkait migrasi menginformasikan dengan perkembangan teknologi telekomunikasi memungkinkan penggunaan spektrum frekuensi radio lebih efisien dan peningkatan kualitas gambar dan audio. Sebelumnya semua orang mengandalkan spektrum radio untuk transmisi televisi namun yang memiliki batasan pada transmisi analog. Transmisi analog yang saling berdekatan dapat menyebabkan gangguan, yang mengharuskan badan regulasi memberikan ruang di antara saluran dan hanya dapat mengalokasikan sebagian kecil spektrum yang tersedia untuk transmisi, untuk menjamin transmisi dan penerimaan berkualitas tinggi di seluruh wilayah.

Semua kekurangan ini dapat dilewati dengan adanya digitalisasi, yang memberikan kejelasan dan kualitas sinyal dan efisiensi spektrum yang lebih baik. Sinyal televisi digital lebih jelas dan lebih kuat dalam keluaran audio dan video. Spektrum yang sangat besar akan tersedia untuk siaran radio dan televisi sehingga lebih banyak frekuensi yang akan tersedia untuk penyiaran.

Manfaat Penyiaran Digital

Penyiaran digital membawa banyak manfaat dibandingkan sistem analog. Revolusi digital menghadirkan penyiaran dengan peluang besar untuk melakukan begitu banyak hal yang saat ini dibatasi oleh sumber daya teknologi, keuangan dan sumber lainnya. Beberapa manfaat digitalisasi penyiaran adalah meningkatkan efisiensi penggunaan spektrum frekuensi, efisiensi infrastruktur industri penyiaran, membuka peluang usaha baru bagi industri konten, menghemat biaya listrik sebesar 94%, biaya modal (Capital Expenditure) sebesar 79% dan biaya operasional (Operational Expenditure) sebesar 57% dibandingkan dengan tetap menggunakan pemancar televisi analog, serta meningkatkan kualitas penerimaan siaran bahkan dengan definisi tinggi (High Definition TV) (Kementerian Komunikasi dan Informatika, 2016).

Sementara migrasi dari penyiaran terestrial analog ke digital dapat dianggap sebagai evolusi nasional bagi industri penyiaran, adopsi penyiaran digital masih dipimpin oleh televisi satelit dan televisi kabel, namun platform siaran terestrial merupakan yang bisa dibilang paling bermanfaat bagi masyarakat. Migrasi ke penyiaran terestrial digital melibatkan biaya yang cukup besar, namun ini sebanding dengan keuntungan signifikan yang diberikan penyiaran digital untuk semua pemain di seluruh rantai nilai yang ditunjukkan pada Gambar 1.

Manfaat bagi industri penyiaran

Standar penyiaran digital meningkatkan kapasitas jaringan transmisi dengan meningkatkan efisiensi spektrum (yaitu lebih banyak data dapat ditransmisikan per satuan bandwidth). Dalam saluran frekuensi setara yang digunakan untuk satu layanan televisi analog, siaran digital memungkinkan 4-18 layanan. Peningkatan kapasitas transmisi dapat dimanfaatkan untuk menghadirkan saluran televisi tambahan (SD/HD), fitur multi-suara, radio atau layanan data. Gambar 2 memberikan contoh bagaimana saluran siaran digital 8 MHz dapat digunakan.

Manfaat teknis lain adalah kualitas sinyal yang lebih baik yang mengurangi noise dan gangguan. Interferensi dengan transmisi digital tidak menghasilkan distorsi visual yang sama yang sering dialami transmisi analog (misalnya ghosting).

Manfaat bagi konsumen

Dibandingkan dengan penyiaran analog, siaran digital memberikan berbagai manfaat bagi konsumen diantaranya:

  • Pilihan pemrograman dan layanan yang lebih luas (termasuk saluran tambahan, penawaran HD, radio, layanan data, program pembayaran).
  • Kualitas yang lebih baik - cenderung jarang mengalami gangguan sinyal dan masalah kualitas gambar
  • Interaktivitas - menawarkan berbagai aplikasi interaktif (permainan, teleteks yang disempurnakan), antarmuka yang lebih user-friendly dan personalisasi yang lebih baik (misalnya kemampuan mosaik / multiscreen, subtitling multi bahasa, deskripsi audio).
  • Kenyamanan - layanan video-on-demand / catch-up memungkinkan pemirsa menonton program pada saat mereka memilih.
  • Pengaturan kunci orang tua - memberi orang tua kontrol yang lebih besar terhadap apa yang ditonton anak-anak mereka di televisi melalui klasifikasi program atau saluran.

Manfaat yang lebih luas

Penyiaran digital juga memiliki peran dalam memberikan manfaat publik yang lebih luas, diantaranya memperkecil kesenjangan digital dan menjangkau area yang belum terlayani dan menghasilkan spektrum digital dividen untuk dimanfaatkan untuk layanan lainnya.

Status Peralihan Digital

Televisi terestrial digital telah diperkenalkan di banyak negara di seluruh dunia dan beberapa negara telah menyelesaikan mematikan layanan televisi analog seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3, yaitu Andorra, Australia, Austria, Belgia, Bulgaria, Kanada, Kolombia, Kroasia, Siprus, Republik Cheska, Denmark, Estonia, Finlandia, Makedonia, Perancis, Georgia, Jerman, Yunani, Hongaria, Islandia, Irlandia, Israel, Italia, Jepang, Korea, Latvia, Lituania, Luksemburg, Malawi, Malta, Meksiko, Monako, Mongolia, Montenegro, Maroko, Mozambik, Belanda, Selandia Baru, Norwegia, Polandia, Portugal, Rwanda, San Marino, Arab Saudi, Serbia, Republik Slowakia, Slovenia, Spanyol, Swedia, Swiss, Tanzania, Uni Emirat Arab, Inggris, Amerika Serikat, dan Vatikan.

Spektrum Frekuensi

Secara teknik spektrum frekuensi yang digunakan penyiaran televisi analog dapat digunakan untuk penyiaran televisi digital sehingga tidak perlu ada perubahan pita alokasi baik VHF maupun UHF. Bila pada penyiaran analog memerlukan pita selebar 8 MHz untuk satu kanal transmisi, penyiaran digital dengan lebar pita frekuensi yang sama dengan teknik multiplek dapat digunakan untuk memancarkan sebanyak 6-8 kanal transmisi sekaligus dengan program yang berbeda tentunya. Jika Realokasi spektrum frekuensi 700 MHz yang saat ini digunakan oleh televisi analog sebesar 328 MHz melalui penyiaran digital yang hanya menggunakan 192 MHz, pemerintah Indonesia dapat menghasilkan digital dividend sebesar 112 MHz yang dapat dialihkan untuk fungsi yang lain (Salamah, 2016).

Regulasi

Melalui lembaga regulasi penyiaran, Kementerian Komunikasi dan Informatika, pemerintah Indonesia memulai program pada tahun 2006 untuk bergerak menuju penyiaran digital. Tanggal peralihan khusus telah ditetapkan pada tahun 2018 melalui Roadmap Siaran TV Digital yang ditunjukkan pada Gambar 4.

Berikut merupakan beberapa regulasi pemerintah yang terkait dengan transisi penyiaran analog ke penyiaran digital terestrial:

  1. Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia Nomor 22/PER/M.KOMINFO/11/2011 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Televisi Digital Terestrial Penerimaan Tetap Tidak Berbayar (Free To Air)
  2. Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia Nomor 23/PER/M.KOMINFO/11/2011 tentang Rencana Induk (Masterplan) Frekuensi Radio untuk Keperluan Televisi Siaran Digital Terestrial pada Pita Frekuensi Radio 478 – 694 MHz
  3. Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia Nomor 5/PER/M.KOMINFO/2/2012 tentang Standar Penyiaran Televisi Digital Terestrial Penerimaan Tetap Tidak Berbayar (Free-To-Air)
  4. Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan Penetapan Penyelenggaraan Penyiaran Multipleksing
  5. Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 22 Tahun 2012 tentang Penggunaan Pita Spektrum Frekuensi Radio Ultra High Frequency pada Zona Layanan IV, Zona Layanan V, Zona Layanan VI, Zona Layanan VII dan Zona Layanan XV untuk Keperluan Transisi Televisi Siaran Digital Terestrial
  6. Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 17 Tahun 2013 tentang Penggunaan Pita Spektrum Frekuensi Radio Ultra High Frequency pada Zona Layanan I dan Zona Layanan XIV untuk Keperluan Transisi Televisi Siaran Digital Terestrial
  7. Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2013 tentang Tata Cara dan Persyaratan Perizinan Penyelenggaraan Penyiaran Jasa Penyiaran Televisi Secara Digital melalui Sistem Terestrial
  8. Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Televisi Secara Digital dan Penyiaran Multipleksing melalui Sistem Terestrial
  9. Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2014 tentang Persyaratan Teknis Alat dan Perangkat Penerima Televisi Siaran Digital Berbasis Standar Digital Video Broadcasting Terrestrial–Second Generation
Pemerintah membagi wilayah Indonesia menjadi 15 zona multiplexing. Setiap zona memiliki jumlah area cakupan yang berbeda. Area cakupan disini mengacu pada jumlah kota yang tercakup dalam setiap layanan multipleks. Gambar 5 menggambarkan zonasi multiplexing di Indonesia.


Set Top Box (Dekoder) Digital

Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI) mempertanyakan kebutuhan dekoder, atau perangkat yang mengubah data digital yang dikirimkan oleh penyiar ke analog. Televisi tabung lama dan bahkan beberapa televisi LCD yang diproduksi di masa lalu, masih tidak dapat menerima sinyal televisi digital, sehingga memerlukan dekoder untuk bekerja di bawah sistem yang direncanakan.

Dekoder terestrial menggunakan sistem Digital Video Broadcast-Terestrial (DVB-T) atau dengan kata lain tidak memerlukan parabola khusus dalam menerima sinyal digital. Dekoder ini cukup menggunakan antena televisi VHF/UHF. Jenis dekoder ini juga digunakan sebagai standar televisi digital yang berlaku di Indonesia, karena pemerintah memutuskan untuk menggunakan teknologi DVB-T2 yang telah ditetapkan pemerintah. Sistem DVB-T merupakan sistem yang paling banyak diadopsi oleh negara anggota ASEAN, yang ditunjukkan pada Tabel 1.

Tantangan Penyiaran Digital di Indonesia

Sejumlah regulasi telah dikeluarkan oleh pemerintah termasuk menentukan pembagian zona dengan multioperator. Pembagian zona ini digugat oleh Asosiasi Televisi Jaringan Indonesia (ATJI) ke Mahkamah Agung karena dinilai tidak memiliki prinsip keadilan, dan dengan putusan PTUN pada 5 Maret 2015 membatalkan 33 Kepmen Kominfo tentang Lembaga Multiplexing MUX pada 11 provinsi (Kementerian Komunikasi dan Informatika, 2015). Hal ini mengakibatkan tertundanya target 100% migrasi penyiaran digital.

Masalah utama untuk menerapkan migrasi televisi digital di Indonesia adalah bahwa UU Nomor 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran hanya mengakui empat jenis lembaga penyiaran yang dapat memiliki lisensi spektrum: Lembaga Penyiaran Publik, Lembaga Penyiaran Swasta, Lembaga Penyiaran Komunitas, dan Lembaga Penyiaran Langganan. Sementara itu, dibandingkan dengan layanan televisi analog, rantai nilai penyiaran digital memiliki fungsi/pemain tambahan: operator multipleks. Sayangnya, istilah 'operator multiplex' atau 'multiplexing' tidak muncul dalam Undang-Undang Penyiaran yang sekarang dan karena itu kedudukan hukum mereka masih dipertanyakan.

Saat ini draft Rancangan Undang-Undang Penyiaran dalam pembahasan di Badan Legislatif. RUU Penyiaran ini merupakan pengganti Undang-Undang Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002 dan menjadi landasan utama pelaksanaan migrasi sistem penyiaran televisi analog menjadi digital. Pembahasan RUU Penyiaran ini terjadi perdebatan khususnya terkait dengan operator pengelola infrastruktur migrasi atau pengalihan dari frekuensi analog ke digital. Selain itu juga untuk menghindari terjadi monopoli di kalangan swasta, maka pengelolaan multipleksing diserahkan kepada multiplekser tunggal atau single mux operator (Kementerian Komunikasi dan Informatika, 2017). Single Mux bertujuan untuk menghemat spektrum frekuensi sehingga melahirkan digital deviden yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat luas. Lembaga Penyiaran Publik Radio Televisi Republik Indonesia (LPP RTRI) ditetapkan sebagai multiplekser tunggal yang mana untuk siaran televisi diberikan kepada lembaga penyiaran televisi publik, TVRI. Penerapan konsep single mux juga berpotensi terjadi praktik monopoli, dikarenakan penguasaan frekuensi siaran dan infrastruktur oleh LPP RTRI yang menunjukkan adanya posisi dominan atau otoritas tunggal oleh pemerintah yang diduga berpotensi disalahgunakan untuk membatasi pasar industri penyiaran. Penetapan single mux operator akan berdampak pada stasiun televisi eksisting yang akan menghadapi ketidakpastian karena frekuensi penyiaran dikelola oleh satu pihak saja. Namun pemerintah memastikan bahwa RUU Penyiaran tersebut tidak bertujuan untuk menguasai frekuensi melainkan untuk mengaturnya.

Simpulan dan Saran

Meskipun ada manfaat luar biasa yang dapat diperoleh dari penyiaran digital, Indonesia menghadapi beberapa tantangan yang timbul dalam peralihan ke penyiaran digital. Di sisi regulasi, UU Penyiaran saat ini belum mengatur penyiaran digital secara spesifik. Perlu segera disahkan UU Penyiaran yang baru agar dapat mengakomodasi regulasi terkait penyiaran digital. Permasalahan hukum terkait regulasi penyiaran digital berdampak tenggat waktu peralihan dari analog ke penyiaran televisi digital tahun 2018 yang tidak dapat dipenuhi. Di sisi konsumen, untuk dapat mendapatkan layanan televisi digital di televisi analog mereka diwajibkan untuk memiliki dekoder. Untuk jadi perhatian pemerintah terkait penyediaan dekoder agar mudah diperoleh.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar