Senin, 02 Februari 2009

Untung Bersama Sarana

LANTAI delapan Menara Kebon Sirih, Jakarta Pusat, begitu hening. Rabu pekan lalu, tak terlihat orang berlalu-lalang di situ. Di samping pintu lift tertera tulisan ”PT Sarana Rekatama Dinamika”, dilengkapi tanda panah penunjuk tempat perusahaan itu. Tapi, ketika Tempo hendak ke kantor itu, seorang petugas mencegat: tak seorang petinggi perusahaan berada di tempat. Semua tengah ke luar kota. ”Tidak tahu kapan kembalinya,” ujar petugas bernama Fandy itu.

Sarana, itulah perusahaan beruntung yang ketiban proyek mengelola situs Sistem Administrasi Badan Hukum yang kini tengah disidik aparat kejaksaan. Bayangkan, dari tarif sekitar Rp 1 juta pembuatan akta badan hukum lewat situs itu, Sarana mengantongi sekitar 90 persennya. Lebih ajaib lagi, perusahaan ini sebenarnya terbilang anyar. Baru berdiri pada Agustus 2000, tiga bulan sebelum tender proyek dibuka. Kendati demikian, Romli Atmasasmita, saat itu menjabat Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum, menyatakan Sarana perusahaan ”kredibel” dan pantas menang. ”Buktinya tak ada komplain,” kata Romli.

Merujuk pada Lembaran Berita Negara tentang pengesahan akta pendirian perusahaan itu yang diteken Romli pada 24 Agustus 2000, tertera tiga nama pendirinya: Lidya Lilik Setia Rini (yang diwakili Bambang Rudijanto), Gerard Yakobus, dan Endang Setiawaty. Perusahaan ini dibentuk dengan modal Rp 250 juta. Lidya dan Gerard sama-sama memiliki nilai nominal saham Rp 75 juta, sedangkan Endang menyimpan andil Rp 100 juta.

Mengutip Surat Edaran Direktur Jenderal Romli kepada semua notaris, Sarana mulai menjalin kerja sama dengan koperasi pada 8 November 2000. Belum genap tiga tahun beroperasi, sejak pemberlakuan sistem online ini, modal perusahaan berkembang menjadi Rp 10 miliar. Pemilik dan komposisi kepemilikan saham pun berubah. Dari pemilik mayoritas, kini Lidya cuma menguasai nominal Rp 1 juta. Sisanya berpindah ke PT Bhakti Asset Management.

Dari situs perusahaan, yang entah kenapa sejak pekan lalu sudah tidak bisa diakses, Sarana dipimpin Yohanes Waworuntu sebagai direktur utama. Ia didampingi dua direktur, yaitu Teddy S. Widjojo dan Richard Leo Tirtadji. Perusahaan berslogan ”Together, we move forward everyday” ini melayani sekitar 5.500 notaris di seluruh Tanah Air. Sarana juga telah mendapat sertifikasi standar dari perusahaan peranti lunak internasional, antara lain Cisco dan Microsoft.

Dari penelusuran Tempo, Bambang yang bernama lengkap Bambang Rudijanto Tanoesoedibjo adalah saudara sepupu Harry Tanoesoedibjo. Keduanya tercatat sebagai Komisaris dan Presiden Komisaris Bhakti Investama Tbk. Adapun Yohanes dan Teddy, ketua dan anggota Komite Audit Agis Tbk., pemilik toko elektronik, yang sebagian sahamnya dimiliki Bhakti. Sedangkan Gerard Yakobus pernah menjadi Bendahara Partai Bulan Bintang pimpinan Yusril Ihza Mahendra, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia periode 2001-2004.

Selain berkiprah di Sarana, Gerard pernah tercatat sebagai Direktur Utama PT Chandra Asri Petrochemical Centre, perusahaan yang pernah memiliki utang US$ 630 juta atau sekitar Rp 6,2 triliun terhadap konsorsium Marubeni, Jepang. Di kancah politik, setelah meninggalkan Partai Bulan Bintang, Gerard bergabung dengan Partai Bintang Reformasi, yang masih dipimpin Zainuddin M.Z. Dalam pemilihan umum legislatif 2004, Gerard gagal menuju Senayan.

Ihwal dominasi Bhakti di Sarana sempat dipersoalkan Siti Hardijanti Rukmana alias Tutut ketika terjadi kekisruhan lantaran adanya dua rapat umum pemegang saham luar biasa Televisi Pendidikan Indonesia, Maret 2005. Ketika itu Tutut, yang menggelar rapat terlebih dulu, 17 Maret, tidak dapat memasukkan laporan ke sistem administrasi karena user id-nya diblokir. Adapun Harry Tanoesoedibjo, yang mengadakan rapat sehari kemudian, ternyata bisa mendaftarkan hasilnya.

Pengacara Tutut, Hary Ponto, menuding ada yang berupaya menggagalkan pendaftaran yang dilakukannya. ”Sistem komputer sengaja diblokir,” katanya. Adapun Juniver Girsang, pengacara Harry, mengatakan kliennya bisa mendaftar karena telah memenuhi persyaratan administrasi. Ketika itu Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum, Zulkarnain Yunus, membantah ada kaitan antara Harry Tanoesoedibjo dan pengelola sistem administrasi. Kini keberuntungan Sarana itu ”berbuah” lain. Seiring dengan terkuaknya kasus korupsi biaya akses sistem administrasi badan hukum itu, para pemilik dan pengelola Sarana harus bersiap, satu per satu, diperiksa kejaksaan.

Adek Media, Rini Kustiani, Cornila Desyana

Tidak ada komentar:

Posting Komentar