Ini adalah potongan-potongan dari sebuah aktifitas kehidupan yang saya coba uraikan ke dalam kalimat-kalimat yang saya coba jabarkan sendiri dalam bentuk tulisan maupun berdasarkan pengambilan dari berbagai nara sumber yang ada.
Jumat, 16 April 2010
EKONOMI POLITIK & POLITIK EKONOMI TELEVISI
28 Maret 2008
EKONOMI POLITIK & POLITIK EKONOMI TELEVISI
SCTV Kurangi Jam Tayang Program Anak
Kamis, 27 Maret 2008 19:13 WIB - warta ekonomi.com
Survei AGB Nielsen Media Research menyebutkan durasi program anak hanya 19 jam di SCTV selama seminggu pada periode awal Januari-pertengahan Maret 2008. Jika dibandingkan periode yang sama tahun lalu turun sebesar 69% dari 61 jam.
“Ini strategi SCTV guna menambah lebih banyak program sinetron remaja, “ kata Helen Khaterina, associate director Marketing & Client Service AGB Nielsen Media Research menjawab pertanyaan WartaEkonomi pada ‘Press Club’ pada Kamis (27/3) pagi.
Langkah berlawanan justru dilakukan antv dengan meningkatkan durasi program anak sebesar 268% menjadi 291 jam selama seminggu pada awal Januari-pertengahan Maret 2008. Sebelumnya, stasiun tv ini hanya menayangkan program anak sebesar 19 jam selama seminggu pada waktu yang sama tahun lalu.
Menyoal stasiun TV sebagai durasi terbesar program anak, ujar Andini Wijendaru, communication executive AGB Nielsen Media Research, tetap SpaceToon sebanyak 1.109 selama satu minggu pada awal Januari-pertengahan Maret 2008. Jika dibandingkan periode yang sama tahun lalu naik dari 891 jam. “SpaceToon menayangkan 37% dari 40 jam tayangan program anak selama satu hari, “ paparnya.
Durasi tayangan terbesar program anak juga terdapat di tvOne sebesar 22 jam selama seminggu pada awal Januari 2008-pertengahan Maret 2008. Sebelumnya, Lativi hanya menayangkan program anak sebesar 4 jam. “Angka ini turun dari 150 jam durasi program anak, “ paparnya.
Namun semua stasiun TV menaikkan durasi program anak rata-rata sebesar 6% menjadi 40 jam seminggu pada periode awal Januari-pertengahan Maret 2008 ketimbang periode yang sama tahun lalu. Pada waktu itu mereka hanya menayangkan program anak rata-rsata 36 jam seminggu.
Sementara itu jam tayang program anak lokal di TV nasional mencapai tiga jam selama semimggu pada awal Januari-pertengahan 2008. Jika dibandingkan periode yang sama tahun lalu naik sebesar 160% dari satu jam selama seminggu. “Mungkin hal ini terjadi akibat masukan dari beberapa pihak program anak harus sesuai budaya kita, “ jelas Helen.
Dengan begitu TV nasional mengurangi jam tayang program impor anak sebesar 16% menjadi 17 jam selama seminggu pada awal Januari-pertengahan 2008 dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Pada saat itu mereka menayangkan program impor anak sebesar 20 jam selama seminggu.
Namun jam tayang program impor masih mendominasi sebesar 81%. Global TV adalah stasiun TV penayang terbesar program impor anak sebesar 43%. Penayang terbesar program lokal anak adalah Trans7 sebesar 39%. Mochamad Ade Maulidin
http://www.wartaekonomi.com/detail.asp?aid=10420&cid=2
Disadur dari:
http://teguhimawan.blogspot.com/2008/03/ekonomi-politik-politik-ekonomi.html
Bisnis Mereka Kini Makin Kokoh
Rabu, 5 Maret 2008 16:10 WIB - wartaekonomi.com
Peringkat Konglomerat 2008
Pascakrisis, jumlah konglomerasi mengempis dari 200-an menjadi tinggal 50-an. Para konglomerat yang mampu bertahan, kini menjadi makin kuat. Mereka kini kian ekspansif. Nilai transaksinya mencapai triliunan rupiah. Kemampuannya memobilisasi dana-dana publik menjadi modal ekspansinya.
Grup Bakrie lagi-lagi membuat “gaduh” bursa saham. Di tengah euforia melonjaknya harga saham pada penghujung 2007, konglomerasi milik Keluarga Bakrie itu meluncurkan rencana mengejutkan. Lewat salah satu gergasi bisnisnya, PT Bakrie & Brothers (B&B) Tbk., mereka bermaksud mengail dana publik lewat penerbitan saham atau rights issue senilai Rp40 triliun lebih! Dana sebesar itu akan digunakan untuk mengakuisisi tiga perusahaan: PT Bumi Resources Tbk., PT Bakrie Development Tbk., dan PT Energi Mega Persada Tbk.
Publik terperangah. Pasalnya, selain nilainya kelewat besar, bukankah tiga aset itu masih milik Keluarga Bakrie juga? Artinya, ini adalah akuisisi internal yang sarat benturan kepentingan. Beragam isu pun menyeruak. Sebagian pihak menduga Keluarga Bakrie tengah berupaya mengakumulasi keuntungan. Kabar lain menyebutkan sebagian dana hasil penjualan saham akan dipakai untuk meningkatkan kendali di B&B.
Bobby Gafur S. Umar, presdir B&B, menepis rumor tersebut. Ia menjelaskan akuisisi ini sesuai road map bisnis B&B di masa depan. Pembelian tiga aset itu akan meningkatkan nilai perusahaannya sampai lima kali lipat. “B&B akan berubah menjadi strategic investment holding,” ujarnya. Seiring perubahan status ini, bisnis inti B&B berubah menjadi aktivitas investasi pada aset-aset strategis, baik melalui penyertaan modal, merger, maupun akuisisi.
Rencana B&B tadi seakan menegaskan pulihnya kejayaan kerajaan bisnis Keluarga Bakrie. Apalagi sebelumnya majalah Forbes Asia menobatkan Aburizal “Ical” Bakrie sebagai orang terkaya se-Indonesia. Kekayaan Menko Kesejahteraan Rakyat itu ditaksir mencapai Rp50 triliun! “Ah, itu cuma di atas kertas,” kelit Ical pada sebuah media nasional. Dengan kekayaan yang bertambah bagai deret ukur itu, Keluarga Bakrie mampu menyalip sederet taipan kondang, seperti Liem Sioe Liong, Eka Tjipta Widjaja, atau Sukanto Tanoto yang bos Grup Raja Garuda Mas (RGM), sebagai orang terkaya se-Indonesia.
Menggelembungnya kekayaan Ical itu ditiup oleh kenaikan harga saham perusahaan-perusahaannya. Contohnya, harga saham BUMI dalam dua tahun meroket dari Rp20 menjadi Rp7.300 per lembar. Sepanjang 2007, omzet BUMI melesat 77,5% menjadi Rp15,4 triliun. Peningkatan ini didorong oleh makin mahalnya harga batu bara di pasaran dunia. Bertambahnya kekayaan juga membuat aset Keluarga Bakrie melambung. Penelusuran Warta Ekonomi menunjukkan gurita bisnis yang didirikan Achmad Bakrie sejak 1942 ini memiliki aset Rp42,63 triliun, naik signifikan dibanding tahun lalu yang Rp30,5 triliun.
Era Baru
Geliat Grup Bakrie hanyalah fenomena gunung es di kalangan konglomerasi nasional. Beberapa tahun terakhir, para konglomerat yang selamat dari krisis memang mulai unjuk diri. Mereka agresif berekspansi ke proyek-proyek baru, dan masuk ke sejumlah industri strategis.
Meski begitu, Warta Ekonomi mencatat jumlah konglomerasi sudah jauh lebih mengempis. Kalau sebelum krisis ada 200-an konglomerasi, kini tinggal 50-an. “Seleksi sudah terjadi. Akhirnya yang bertahan adalah yang besar dan sehat,” kata Jaya Suprana, pemilik perusahaan Jamu Jago.
Kembalinya era konglomerasi tak luput dari pengamatan Jaya. Kendati menorehkan catatan kelam dalam sejarah bisnis di Indonesia, di mata penggemar piano itu, konsep konglomerasi tidak salah. Hanya, di banyak negara, model konglomerasi—terutama yang terintegrasi dari hulu sampai hilir tetap diharamkan.
Salah satu yang dikritik Jaya adalah imperium bisnis Grup Salim. Mereka memiliki pabrik tepung, mi, punya distributor, sampai bisnis ritelnya di hilir. “Ketika ketemu Om Liem, saya pernah tanya, mengapa tidak sekalian dibeli sendiri saja produk-produknya, sehingga komplit... hahaha,” seloroh Jaya.
Lima tahun silam, seorang analis pasar modal pernah meramalkan fenomena tersebut. Menurut dia, krisis ekonomi memang menyebabkan banyak konglomerasi tumbang. Konglomerasi yang bertahan mencoba melakukan konsolidasi dan mengerem laju ekspansi untuk menghindari sorotan publik. “Namun, perhatikan lima sampai sepuluh tahun setelah krisis, mereka akan kembali bangkit.”
Ramalan analis tadi kini menjadi kenyataan. Dalam setahun terakhir, ekonomi konglomerasi kembali unjuk gigi lewat serangkaian ekspansi. Gejala ini seolah menjadi tanda dimulainya era konglomerasi jilid kedua. Para taipan yang sudah kembali sehat, bisnisnya menjadi lebih kuat. Mereka berhasil mengembalikan kepercayaan publik serta lembaga-lembaga keuangan baik nasional maupun internasional. Kini, mereka siap berlari kembali.
Langkah Prajogo Pangestu bisa menjadi contoh. Bos Grup Barito Pacific itu sukses mengembalikan kejayaannya setelah berhasil mengambil alih dan menguasai 70% saham PT Chandra Asri seharga Rp9,7 triliun. Sumber dana akuisisi dikeruknya dari hasil rights issue PT Barito Pacific Tbk. senilai Rp9,16 triliun.
Prajogo juga bertindak sebagai pembeli siaga melalui Magna Resources Corporation Pte. Ltd., perusahaan investasi miliknya yang berbasis di Singapura. Perusahaan ini belakangan diketahui memperoleh sokongan dana dari DBS Bank Singapura, anak usaha Temasek, sebesar US$2 miliar. Alhasil, pembelian ini menyebabkan aset Grup Barito melonjak dari Rp1,7 triliun menjadi Rp14,9 triliun. Padahal, pada 1996, aset Grup Barito tercatat hanya Rp5,04 triliun.
Langkah bisnis para konglomerat ini juga mengejutkan. Mereka masuk ke sejumlah industri strategis, menggandeng mitra global, memobilisasi dana publik lokal maupun asing, dan membesarkan nilai perusahaan begitu cepat. Konglomerasi seperti Bakrie, Para, dan Bhakti adalah segelintir yang berhasil melipatgandakan asetnya secara luar biasa.
Wajah Lama.
Berdasarkan penelusuran Warta Ekonomi, peringkat konglomerasi tahun ini masih didominasi wajah-wajah lama. Grup Sinar Mas tercatat menjadi yang terbesar dengan aset Rp72,8 triliun. Sedikit di bawahnya ada kelompok usaha RGM, yang asetnya mencapai Rp72 triliun. Urutan berikutnya adalah Grup Astra, Grup Salim, dan Grup Bakrie (lihat tabel).
Grup Bhakti merupakan salah satu konglomerasi yang fenomenal. Kelompok usaha milik Hary Tanoesoedibjo ini berhasil melipatgandakan asetnya menjadi Rp18 triliun hanya dalam tempo setahun. Hary Tanoe sungguh memahami cara mendongkrak nilai asetnya. Lewat kendaraan investasinya, ia mengakuisisi 50% saham maskapai penerbangan Adam Air. Ia juga menambah kepemilikan saham di PT Citra Marga Nusaphala Tbk. dari 10,76% menjadi 17,9%.
Investasi lainnya adalah memperkuat kendali di PT Global Mediacom (GMC) Tbk. lewat penambahan saham dari 49,01% menjadi 52,85%. Grup Bhakti juga mengakuisisi 20% saham PT MNC Sky Vision, operator jaringan televisi berbayar Indovision. “Dana ekspansi dari hasil rights issue Bhakti Investama sebesar US$400 juta,” ungkap Robert Satrya, sekretaris perusahaan PT Bhakti Investama Tbk.
Hary adalah konglomerat yang gaya ekspansinya berbeda dengan para seniornya. Dari sisi sumber dana, ia lebih mengandalkan pasar modal ketimbang perbankan. Dari sisi industrinya, Hary menggeluti bisnis media dan telekomunikasi. Sementara itu, konglomerasi yang lain justru mengincar aset-aset infrastruktur, energi, pertambangan, dan perkebunan. “Bercermin dari pengalaman dan prediksi ke depan, bidang-bidang ini relatif kebal krisis dan prospektif,” tegas A.B. Susanto, managing partner The Jakarta Consulting Group.
Susanto benar. Grup Medco milik Arifin Panigoro, yang beraset Rp21 triliun, misalnya, gencar menggarap ladang-ladang minyak baru di sejumlah negara dan memperkuat bisnis perkebunannya. Upaya ini diakui Yani Panigoro, komisaris PT Medco Energi Internasional Tbk. Setelah Kalimantan dan Sumatera, mereka mengincar lahan baru di Papua. Tahap pertama, targetnya 15.000 hektar kebun sawit. “Kami berharap bisa membuka 50.000–60.000 hektar sampai lima tahun ke depan,” ujarnya.
Bisnis perkebunan memang ciamik. Kendati padat modal, marginnya menggiurkan. Jadi, jangan heran jika antarkonglomerasi bersaing sengit di industri ini. Apalagi, delapan dari sepuluh konglomerasi terbesar menekuni bisnis ini dan menguasai lahan ratusan ribu hektar yang terbentang dari Sumatera hingga Papua.
Grup Salim, misalnya, baru saja mengakuisisi 64,4% saham PT London Sumatra Tbk. (Lonsum) senilai Rp8,4 triliun lewat dua mesin uangnya, PT Invomas Pratama dan PT Indofood Agri Resources. Kini mereka memiliki lahan sawit seluas 400.000 hektar. “Akuisisi ini untuk memperkuat struktur bisnis Indofood,” kata Felix Sindhunata, kepala riset PT Recapital Securities.
Ganjar Sidik, direktur pengelola perusahaan riset Data Consult, menilai gairah ekspansi konglomerasi ke perkebunan dan pertambangan didorong oleh lonjakan harga di pasaran dunia. Konglomerasi diuntungkan karena dua industri ini bersifat padat modal dan jangka panjang. Jadi, hanya grup usaha yang bermodal kuat saja yang bisa sukses menekuni bisnis ini. Siapa saja? Lagi-lagi para konglomerat tadi.
Investasi di sumber daya alam, menurut Ganjar, menjadi pendorong pertumbuhan aset. “Grup-grup perusahaan yang punya kelapa sawit dan batu bara, rata-rata asetnya meningkat cukup besar,” ungkapnya. Ini tercermin dari kontribusi labanya yang sebagian besar dari dua industri tadi.
Momentum Pendorong.
Ekspansi para konglomerat sedikitnya memiliki empat alasan. Pertama, kondisi ekonomi yang kondusif, tercermin dari tren penurunan suku bunga, inflasi terkendali, nilai tukar rupiah yang relatif stabil, dan pertumbuhan ekonomi yang lumayan tinggi. Kedua, jumlah dana asing yang menganggur sangat berlimpah.
Ketiga, pulihnya kepercayaan publik dan lembaga keuangan terhadap konglomerasi. Ini tercermin dari aksi-aksi mereka dalam memperoleh pendanaan. Potret yang sama terjadi pula di industri perbankan, yang kian longgar dalam mengucurkan kreditnya kepada kelompok usaha besar. Keempat, adanya peluang bisnis baru yang didorong kebutuhan pasar maupun kebijakan pemerintah. “Pengusaha selalu melihat peluang. Jika ada peluang, ada dana, dan memiliki kompetensi, pasti kesempatan itu tak akan disia-siakan,” kata Yani Panigoro.
Potensi bisnis itu, misalnya, ada di sektor infrastruktur dan perkebunan. Di bisnis infrastruktur, muncul nama-nama besar, seperti Bakrie, Medco, Indika, Bosowa, dan Bukaka. Mereka membentuk konsorsium dan menggandeng mitra asing untuk menggarap proyek-proyek tersebut.
Lewat PT Bosowa Energy, Grup Bosowa bekerja sama dengan Chenda Engineering Corporation of China membangun PLTU Jeneponto di Sulawesi Selatan. Proyek pembangkit berkapasitas 2 x 100 megawatt itu menelan investasi US$200 juta. Aksa Mahmud, pemilik Grup Bosowa, ternyata gesit bermain di bisnis ini. Tanpa harus ikut tender, ia bisa meyakinkan pemerintah untuk mendapatkan proyek tersebut.
Bosowa adalah konglomerasi terbesar kedua di Indonesia Timur, setelah Grup Kalla, milik Jusuf Kalla, kini Wakil Presiden RI. “Total aset Bosowa sudah Rp4 triliun,” ungkap Erwin Aksa, CEO Bosowa Corporation. Untuk membiayai ekspansinya, tahun ini mereka menyediakan belanja modal US$400 juta. Dana itu di luar investasi untuk proyek pembangkit listrik.
Sementara itu, Grup Indika milik Sudwikatmono kebagian proyek PLTU Bangko Tengah, Sumatera Selatan, berkapasitas 4 x 600 megawatt. Di proyek senilai US$1,6 miliar itu, porsi kepemilikan Indika 24,5%. Sebelumnya, Indika juga mengakuisisi 41% saham PT Kideco Jaya Agung, produsen batu bara terbesar ketiga di Indonesia. Mereka juga menguasai 60% saham PT Berau Coal.
Dukungan perbankan membantu ekspansi konglomerasi. “Pascakrisis, konglomerasi sudah makin baik,” kata Pahala N. Mansury, chief financial officer Bank Mandiri. Penilaian inilah yang mendorong Bank Mandiri berani mengucurkan kreditnya ke sejumlah kelompok usaha besar meski masih sangat selektif dalam memilih industri maupun debiturnya. Kebanyakan kredit mengucur untuk proyek-proyek yang terkait kebijakan pemerintah, seperti infrastruktur, serta bisnis pertambangan dan perkebunan. Bank Mandiri juga melihat rekam jejak dari masing-masing konglomerasi. “Tak semua konglomerat itu buruk,” ujarnya.
Kredit Bank Mandiri mengucur ke konglomerasi baru, Grup Triputra. Melalui salah satu lengan bisnisnya, yakni Union Sampoerna Triputra Persada Group (USTP), mereka berhasil mengantongi kucuran kredit investasi dari Bank Mandiri sebesar US$147,8 juta. “Sebanyak US$125 juta dipakai untuk mengakuisisi 63.000 hektar kebun kelapa sawit di Kalimantan Tengah,” tegas Teddy P. Rachmat, komisaris USTP. Di USTP, mereka menggandeng Keluarga Sampoerna.
Triputra adalah kelompok usaha yang dimotori para mantan petinggi Grup Astra, seperti Teddy P. Rachmat dan Benny Subianto. Mereka bergerak di bisnis perkebunan, pertambangan, distribusi kendaraan, dan jasa keuangan, dengan omzet mencapai Rp30 triliun! Untuk mengembangkan kebun sawit, mereka mengklaim siap menggelontorkan dana US$294,4 juta. Jadi, go!... go!...go!
PRANANDA HERDIAWAN, ARI WINDYANINGRUM, EVI RATNASARI, SATRIANI ARI WULAN, DAN D. UTAMI WARDHANI
http://www.wartaekonomi.com/search_detail.asp?aid=10326&cid=24&x=televisi
SCTV Belum Berencana Masuk Indosiar
Rabu, 26 Desember 2007 09:27 WIB - wartaekonomi.com
Jajaran direksi PT Surya Citra Media (SCMA) Tbk sebagai induk usaha SCTV mengaku merger atau akuisisi Indosiar belum direncanakan perusahaan tersebut. Apalagi hal ini tidak diperintahkan pemegang saham. “Rencana masuk Indosiar belum ada pengarahan dari share holder, “ kata Fofo Suriatmadja, dirut PT SCM Tbk dalam 'Public Expose' pada Rabu (19/12) lalu.
Walaupun demikian langkah akuisisi dan merger dinilai perlu oleh SCMA. Langkah itu bagian dari konsolidasi. “Rencana 2K (konvergensi dan konsolidasi) memang strategis, “ ujarnya.
Menyoal langkah konvergensi dilakukan SCTV dengan penyediaan konten bagi operator selular dan televisi kabel di domestik dan mancanegara. Operator selular yang dimaksud adalah Telkomsel dan sebuah TV kabel di Malaysia. “Kita fokus media elektronik pengembangan horizontal dan vertikal konten dan keberagaman konten, “ jelasnya. Mochamad Ade Maulidin
http://www.wartaekonomi.com/search_detail.asp?aid=9978&cid=2&x=televisi
Indosiar ‘Tidak Kawin’ Dengan SCTV
Kamis, 13 Desember 2007 08:40 WIB - wartaekonomi.com
Manajemen Indosiar Karya Media (IKM) mengaku merger (penggabungan) Indosiar dan SCTV tidak dilakukan perusahaan tersebut. Apalagi hal itu belum dijelaskan pemegang saham kepada direksi.
“Informasi tukar guling jajaran direksi sampai detik ini belum pernah dapat informasi dari pemegang saham, “ kata Handoko, presdir PT IKM Tbk kepada wartawan dalam ‘Public Expose’ pada Selasa (11/12) kemarin.
Apalagi cross ownership (kepemilikan silang) dalam industri penyiaran tidak diperbolehkan dalam UU No. 32 Tahun 2005 dan PP No. 50 Tahun 2005. Dalam aturan itu disebutkan satu pihak dilarang mempunyai kepemilikan dua badan penyiaran televisi (TV). “Di provinsi yang berbeda kepemilikan saham maksimal sebesar 49%, “ ujar Amir Effendi Siregar, komisaris independen PT IKM Tbk.
Menyinggung hubungan radio dan TV Elshinta, ujar Handoko, hanya kerjasama dilakukan dengan mereka. Kedua lembaga penyiaran itu merupakan entitas berbeda. “Ada kerjasama sewa menara, “ tutur Handoko.
Pada kesempatan yang sama Phiong Philipus Darma, direktur PT IKM Tbk, mengemukakan right issue sebesar Rp400 miliar akan diterbitkan pada Mei 2008. Dana itu akan digunakan sebagai pelunasan obligasi sebesar Rp696,21 miliar yang jatuh tempo pada Agustus 2008. “Sisanya akan dijajaki dari pinjaman bank, “ jelasnya.
Pinjaman itu akan diperoleh dari sindikasi tiga sampai empat bank lokal besar di Indonesia. Besaran angka itu belum dapat dipastikan sekarang. “Perolehan pinjaman diharapkan lebih besar dari right issue, “ paparnya.
Menyoal target 2008, ujar Philipus, IKM berharap pendapatan tumbuh sebesar 15% dibandingkan 2007 dari perkirakan sebesar Rp23,675 triliun. Sampai September 2007 sebanyak Rp444 miliar pendapatan dicapai perusahaan tersebut. Angka ini naik Rp40 miliar ketimbang 2006.
Namun rugi bersih masih dialami IKM sampai 2008. IKM mengalami rugi bersih sebesar Rp109 miliar hingga bulan sembilan 2007. Jika dibandingkan periode yang sama tahun lalu turun sebesar Rp74 miliar. “Pada 2009 laba bersih bisa posisi semula (laba bersih, red) dengan mencapai rating nomor satu, “ tukasnya.
Dari survei AGB Nielsen disebutkan Philipus bahwa Indosiar merupakan stasiun TV pilihan pertama pemirsa lima tahun ke atas dengan audience share sebesar 17,6%. Begitupula Top Program dengan audience share sebesar 7,3% dan Top Program Anak-Anak sebesar 5,6%. “Kami akan fokus pada nondrama in house production dan audiece share, “ tandasnya.
Sebanyak 1.000 dari 1.650 karyawan IKM merupakan tenaga ahli dalam memproduksi program nondrama. Program nondrama baru Indosiar pada 2007 seperti Mama Mia, Superdut, Stardut, Super Mama, dan Chen Sing.
Menyinggung capex 2008, ujar Philipus, IKM menyediakan sebesar Rp40-50 miliar. Sebagian dana itu akan digunakan bagi pembelian program selektif dan penggantian equipment (peralatan). “Dana ini dari internal cash flow, “ tegasnya. Mochamad Ade Maulidin
http://www.wartaekonomi.com/search_detail.asp?aid=9931&cid=2&x=televisi
SCTV Tidak Keberatan Hak Siar Liga Inggris Dimonopoli Astro TV
Kamis, 6 September 2007 09:53 WIB - wartaekonomi.com
Surya Citra Televisi (SCTV) sebagai televisi teresterial (tidak berbayar) tidak keberatan hak siar pertandingan England Premier League/EPL (Liga Utama Inggris) dimonopoli Astro TV sebuah TV berlangganan lewat satelit asal Malaysia dari ESPN. Pasalnya, hal itu diperoleh dengan mekanisme pasar.
“Masalah tidak ada, “ kata Budi J. Sutjiawan, direktur pogram PT Surya Citra Televisi (SCTV) kepada WartaEkonomi di sela-sela ‘Konferensi Pers Program Ramadhan SCTV 1428H pada Rabu (5/9) siang.
Hak siar EPL tidak diperoleh TV terestial lantaran tidak dapat membeli dari ESPN. Pasalnya, harga itu mengalami kenaikan setiap tahun. “TV teresterial tidak sanggup bayar, “ jelasnya.
Menyoal kontribusi iklan bagi pembelian hak siar EPL dari ESPN, ujar Budi, tidak cukup. Namun dia tidak dapat menyebutkan persentase perolehan iklan dari harga hak siar tersebut. “Dari sisi iklan tidak menguntungkan, “ paparnya.
Budi melanjutkan monopoli hak siar pertandingan sepak bola oleh salahsatu TV dinilai bertentangan dengan keinginan FIFA. Pasalnya, organisasi ini ingin memasyarakatkan olahraga sepak bola di dunia. “Misi dan visi FIFA jadi tidak berfungsi, “ tuturnya.
Kemungkinan penayangan sepakbola luar negeri dalam waktu dekat, ditanggapi Budi, SCTV belum akan melakukan hal tersebut. Stasiun TV ini akan memfokuskan program lokal seperti sinetron. “Audience share sinetron lokal sebesar 18% dibandingkan sejumlah TV di 10 kota besar, “ tukasnya. Mochamad Ade Maulidin
http://www.wartaekonomi.com/search_detail.asp?aid=9442&cid=2&x=televisi
Sekali di Udara,Tetap di Udara
Jum'at, 25 Mei 2007 10:31 WIB - wartaekonomi.com
Bisnis Multimedia dan Telekomunikasi
Perubahan nama Bimantara Citra menjadi Global Mediacom mengukuhkan ambisi Hary Tanoe untuk memberikan layanan one-stop entertainment, informasi, dan telekomunikasi. Ruang usahanya mulai dari siaran TV, radio, media cetak, portal internet, operator selular, penyedia layanan SMS Premium, hingga satelit. Strateginya: sinergi dan terintegrasi.
Selasa (27/3) siang itu raut muka Bambang Hary Iswanto Tanoesoedibjo tampak sumringah. Apalagi kalau membicarakan masa depan bisnisnya di bidang media dan telekomunikasi. Ditemui seusai RUPS Luar Biasa, Hary, yang siang itu mengenakan setelan jas warna gelap, mengungkap alasannya mengganti nama PT Bimantara Citra Tbk. menjadi PT Global Mediacom Tbk.
Menurut Hary, itu bukan sekadar ganti nama. Perubahan nama itu sekaligus merefleksikan perubahan fokus bisnis dari yang semula perusahaan konglomerasi tanpa fokus usaha tertentu, menjadi sebuah perusahaan yang memiliki fokus bisnis inti di bidang media dan telekomunikasi. Lewat cara ini pula, ucap Hary, “Saya berharap manajemen Global Mediacom akan fokus pada core business.” Anak-anak usaha di luar bisnis inti, seperti properti dan otomotif, ungkap Hary, akan dilepas. Kini, perseroan memiliki misi untuk memberi layanan one-stop entertainment, informasi, dan telekomunikasi.
Pada akhir Desember 2000 silam, Hary memang pernah menegaskan kepada Warta Ekonomi. Katanya, “Buat saya, kalau mau mengembangkan media jangan tanggung-tanggung. Harus terintegrasi.” Itu enam tahun silam, kala ia masih belum menampakkan pamornya sebagai “Raja Bisnis Multimedia Indonesia”. Ia belum memiliki satu pun stasiun TV. Baru setahun kemudian pialang asal Surabaya ini masuk ke Bimantara Citra dan langsung mengambil alih saham milik Bambang Trihatmodjo. Lewat PT Bhakti Investama Tbk., kendaraan bisnisnya, Hary langsung menguasai 24,94% saham. Sementara itu, saham Bambang Tri melalui PT Asriland tinggal 12,37%. Kini, lewat Bhakti Investama, Hary Tanoe menjadi pemegang saham mayoritas (52,85%) di Bimantara Citra, yang telah berganti nama itu.
Menurut pengakuan Hary, memasuki bisnis yang tidak dikuasainya bukan berarti ia menantang risiko. “Saya selalu menerapkan konsep cek dan cek ulang. Misalnya, dalam akuisisi, meski bukan operator, kami akan menempatkan orang yang mengawasi pada posisi komisaris,” tutur dia. Mudahnya, Hary menyerahkan operasional perusahaan kepada orang yang memang kompeten di bidangnya.
Ketika memiliki saham Bimantara, Hary berkenalan dengan bisnis penyiaran lewat PT Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI), yang kebetulan menunjukkan kinerja amat baik. Untuk mengkonsolidasikan bisnis medianya, Hary membentuk PT Media Nusantara Citra (MNC), yang 100% sahamnya dikuasai Global Mediacom. Kini, sub dari sub-holding Bhakti Investama ini menguasai keseluruhan saham RCTI dan PT Global Informasi Bermutu (Global TV), serta 75% saham PT Televisi Pendidikan Indonesia (TPI).
Tiga stasiun TV ini membidik segmen yang berbeda. Jika RCTI diposisikan untuk segmen menengah hingga menengah-atas, TPI ditujukan ke kelas menengah ke bawah. Adapun Global TV, sebuah broadcaster company MTV, membidik mereka yang berjiwa muda. Hasilnya, menurut AGB Nielsen Media Research, per kuartal I 2007, tiga stasiun TV ini menguasai 34,1% pangsa pasar tontonan layar kaca di Tanah Air. Ini lantaran program yang disajikan oleh ketiganya memiliki average rating cukup tinggi, mencapai 4,6.
Menurut Bimo Nugroho, anggota Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), cara Hary memisahkan urusan operasional dan bisnis memang bisa mengurangi terlalu banyak intervensi pemilik ke dalam konten siaran. Ini penting karena, menurut dia, penguasaan berbagai media oleh satu pihak punya kecenderungan penyiaran tidak demokratis.
Penguasa Angkasa.
Selain memiliki stasiun TV tak berbayar, Global Mediacom juga memperkuat posisi sebagai “penguasa angkasa” dengan mengakuisisi 51% saham PT MNC Skyvision. Akuisisi ini membuatnya menjadi pemilik saham mayoritas operator stasiun TV berbayar dengan merek dagang Indovision. Saat ini, Indovision menguasai 71% pangsa pasar dengan memiliki 200.000 pelanggan.
Sementara itu, untuk go international, MNC menggandeng IPS Inc. guna membuka akses siaran TV kabel berlangganan di Jepang. Alhasil, mulai 15 April lalu, sebanyak 600.000 WNI yang ada di Jepang bisa mengakses tayangan RCTI, TPI, Global TV, dan siaran Radio Trijaya lewat MNC Channel International. “Industri media itu akan borderless, sehingga pelebaran akses siaran ke Jepang ini adalah antisipasi menuju tren tersebut,” tutur Hary. Nantinya, MNC Channel International akan melebarkan sayap ke Singapura, Hong Kong, dan Timur Tengah.
Penguasaan Hary di media penyiaran makin kukuh dengan membuat payung usaha MNC Networks. Lewat jaringan ini, ia memiliki empat brand radio: Trijaya Networks, Radio Dangdut TPI, ARH Global, dan Woman Radio, di samping 35 mitra stasiun radio yang tersebar di sejumlah kota di Indonesia. Untuk memudahkan pemasarannya, Hary mengkonsolidasikan segmen antara radio dan stasiun TV miliknya. Trijaya Networks dan Woman Radio, misalnya, sengaja membidik pendengar kelas menengah-atas, sesuai target audiens RCTI.
Lalu, untuk media cetak, Hary memiliki koran Seputar Indonesia (Sindo), tabloid Genie, Realita, dan Mom & Kiddie. Baru-baru ini, portofolio media MNC makin lengkap dengan diluncurkannya situs online okezone.com. “Selama ditayangkan di MNC, diproduksi oleh rumah produksi milik MNC, atau ada gosip artis di bawah manajemen MNC, pasti akan muncul di okezone.com,” papar David Fernando Audy, head of investor relations PT Media Nusantara Citra. Baru satu bulan berjalan, sudah ada 200.000 hit di situs itu. Namun, David memperkirakan, hingga lima tahun ke depan, okezone.com belum akan menuai untung.
Menurut Bimo Nugroho, kepemilikan satu pengusaha terhadap berbagai media tidak menjadi masalah selama tidak ada kontrol informasi dan penggalangan opini publik. “Kalau demi membela kepentingan politik atau ekonomi, lalu pengusaha menggunakan media miliknya, itu baru masalah besar,” tegasnya. Menurut catatan KPI, Hary Tanoe memang sempat tersandung saat menggunakan talk show RCTI untuk mengklarifikasi kasus NCD bodong Bank Global yang terkait dengan dirinya.
Serba Terintegrasi.
Sejatinya, perkenalan Hary dengan bidang usaha penyiaran, menurut D. Ganjar Sidik, managing director PT Data Consult—sebuah perusahaan informasi bisnis―bukan semata-mata karena Hary jatuh cinta kepada dunia media, tetapi karena ia mencium aroma bisnis yang menguntungkan. gHary senang membeli bidang usaha yang melejit dan memiliki capital gain tinggi,h ungkap Ganjar. Jadi, bukan kebetulan jika ia bisa membeli saham Bimantara saat harganya murah.
Dan, bukan sebuah kebetulan pula jika tiga stasiun TV swasta milik Hary menguasai 33% dari total belanja iklan TV nasional, atau sekitar Rp7 triliun. Fakta paling fantastis terjadi di Global TV. Jika pada 2004 perusahaan ini hanya memperoleh omzet Rp10 miliar, per 2006 pendapatannya mencapai Rp236 miliar, atau naik lebih dari 23 kali lipat!
Gaya bisnis beli saat murah ini sesuai dengan pilihan tokoh idola Hary. Meski sudah menjadi Raja Bisnis Multimedia Indonesia, Hary justru mengidolakan Warren Buffett, manajer investasi yang berhasil mendirikan bank investasi raksasa, Berkshire Hathaway Inc., dan bukannya Rupert Murdoch atau Ted Turner yang menguasai media global. Strategi MNC pun terpengaruh gaya Warren Buffett: perbanyak merger dan akuisisi untuk memperbesar usaha, dengan dana dari lembaga investasi. “Pola itu sangat mungkin dilakukan di sini,” aku Hary.
Pada dasarnya, strategi utama Hary dalam memperbesar usaha media dan telekomunikasi adalah memperkuat sinergi dan integrasi antar-anak perusahaan. Lihat saja, dalam waktu kurang dari dua dasawarsa, Global Mediacom bisa menjelma menjadi perusahaan media dan telekomunikasi dengan platform paling lengkap. Mulai dari penyiaran radio dan televisi―baik berbayar maupun tak berbayar―media cetak, produksi dan distribusi konten, manajemen artis, penyedia layanan SMS Premium, portal internet, hingga operator selular dan satelit.
Program acara tahunan yang digelar RCTI, Indonesian Idol, misalnya, bisa memberi contoh kuatnya sinergi dan integrasi anak perusahaan di bawah Global Mediacom. Sebelum menjadi kontestan, pemirsa bisa mendapatkan formulir pendaftaran yang tersedia di koran Sindo dan tabloid Genie, selain di sejumlah radio di bawah naungan MNC Networks. Nah, untuk mendapatkan pemenang, sang Idola Indonesia, pemirsa RCTI harus mengirim dukungan melalui SMS Premium ke nomor 9288. Bisa ditebak, pemilik nomor pendek tersebut adalah PT Infokom Elektrindo, yang notabene adalah anak usaha Global Mediacom. “Fokus utama kami adalah melayani kebutuhan grup,” ungkap Temi Efendi, vice president director PT Infokom Elektrindo. Asal tahu saja, saat Grand Final Indonesian Idol 2006 terkumpul 2,7 juta SMS. Jika setiap pesan pendek dihargai Rp2.000, maka malam itu perusahaan meraup Rp5,4 miliar.
Kalau tak sempat menonton TV di rumah, ada layanan TV Mobile dari Fren. Dari layar ponsel Fren, pelanggan bisa melihat live TV atau video on demand untuk sejumlah program acara, selama 24 jam nonstop. Dari channel yang ditawarkan untuk diunduh, PT Mobile-8 Telecom Tbk., yang juga anak usaha MNC, memberi opsi channel RCTI, TPI, Global TV, MNC Entertainment, MNC News, dan Trijaya Networks. Lagi-lagi, semua terintegrasi.
ARI WINDYANINGRUM, EVI RATNASARI, DAN HOUTMAND P. SARAGIH
http://www.wartaekonomi.com/search_detail.asp?aid=8932&cid=24&x=televisi
TV O Channel Satu Grup Dengan SCTV?
Sabtu, 12 Mei 2007 18:55 WIB - wartaekonomi.com
Fofo Sariaatmadja, dirut PT Surya Citra Televisi (SCTV), tidak bersedia menjawab kepada wartawan tentang kabar saham mayoritas TV O Channel dimiliki PT Surya Citra Media (SCM) Tbk sebagai induk SCTV. Karena, dia tidak berwenang memberikan jawaban tersebut. Walaupun dia sebagai dirut SCM.
“Itu di level holding SCM, bahkan di atasnya lagi, “ katanya di sela-sela ‘Konferensi Pers Due Diligence Meeting & Public Expose Penawaran Umum Obligasi SCTV II Tahun 2007’ pada Kamis (10/5) kemarin.
Kabar yang beredar di lapangan menyebutkan mayoritas saham TV O Channel dipegang PT Elang Mahkota Teknologi (Emtek). Perusahaan ini merupakan salahsatu anak usaha dari SCM. Sedangkan usaha lain yang dipunyai Keluarga Sariaatmadja seperti PT Abhitama Citra Abadi dan PT Bitnet Komunikasindo (BozzKom).
Sampai sekarang saham SCTV dipegang sebesar 78,69% oleh PT Abhitama Citra Abadi. Sedangkan, The Northern Trust Company memiliki 7,9% saham SCTV. Sisanya, sebesar 13,41% dipegang publik
Pada kesempatan yang sama Fofo mengemukakan obligasi SCTV II Tahun 2007 senilai Rp525 miliar dikeluarkan perusahaan tersebut. Tingkat suku bunga yang ditawarkan sebesar 10,5%-11% setiap tiga bulan dengan jatuh tempo lima tahun.
Dari hasil obligasi SCTV II Tahun 2007 akan digunakan sebesar 81% sebagai refinancing pelunasan Obligasi I Tahun 2003 yang jatuh tempo pada Juni 2008. Sisanya, SCTV akan memakai sebagai modal kerja dan pengembangan usaha seperti penggantian peralatan yang berumur tua dan perpindahan gedung ke Senayan City (Jakarta) mulai Oktober-Desember 2007. Pada tahun ini SCTV menganggarkan capex sebesar Rp100 miliar.
Obligasi ini dijamin hak tanggungan atas tanah dan bangunan. Hal ini juga dijamin fidusia atas piutang usaha perseroan dan jaminan fidusia atas kendaraan bermotor. Begitupula jaminan fidusia atas inventori (film) dengan jaminan bersih sebesar 50% dari nilia pokok obligasi yang terutang.
Obligasi SCTV II Tahun 2007 mempunyai penjamin emisi PT Mandiri Sekuritas, DBS Vickers Securities Indonesia, dan PT Batavia Prosperindo Sekuritas. Sedangkan PT Bank Niaga Tbk sebagai wali amanat.
Masa penawaran awal Obligasi SCTV II Tahun 2007 akan dilakukan pada 10-28 Mei 2007. Sedangkan pernyataan efektif akan dikeluarkan Bapepam pada 15 Juni 2007. Bursa Efek Surabaya (BES) akan menjadi tempat pencatatan obligasi tersebut pada 27 Juni 2007. Obligasi itu memperoleh peringkat single A, stable outlook dari Pefindo.
Menyinggung pencapaian laba bersih 2007, ucap Fofo, SCTV menargetkan kenaikan sebesar 20%-25% ketimbang 2006. Pada tahun itu SCTV memperoleh laba bersih sebesar Rp120,287 miliar. Dan, pendapatan bersih dipatok naik sebesar 30%-40% pada 2007 dari Rp1,193 miliar pada 2006. Mochamad Ade Maulidin
http://www.wartaekonomi.com/search_detail.asp?aid=8903&cid=2&x=televisi
Raja-Raja TV: Raja TV ... Raja Akuisisi
Selasa, 19 Desember 2006 10:35 WIB - wartaekonomi.com
Bisnis TV milik Hary Tanoe, Chairul Tanjung, dan Anindya Bakrie besar berkat akuisisi. Mereka menguasai Rp10,5 triliun belanja iklan dan memikat 70,3% pemirsa TV. Bisnis ini tak sekadar menjanjikan keuntungan ekonomi, tetapi juga pengaruh politik.
Chairul Tanjung bukan ahli nujum. Namun, ia berani meramalkan, “Hanya ada tiga orang yang akan menjadi penguasa industri TV nasional.” Kini, ramalan pemilik Trans TV itu mulai mendekati kenyataan. Memang saat ini masih ada 10 stasiun TV swasta. Namun, para penguasa bisnis media TV tak lebih dari tiga pemain.
Bergabungnya TV7 dan Trans TV, ANTV dan Lativi, menyusul RCTI, TPI, dan Global, mengakibatkan peta industri TV berubah total. Simak catatan AGB Nielsen Media Research, lembaga pemeringkat acara TV. Hingga kuartal ke-3 tahun 2006, pendapatan iklan hanya dikuasai oleh Hary Tanoesoedibjo, Chairul Tanjung, dan Anindya N. Bakrie. Ketiganya menguasai Rp10,5 triliun belanja iklan, atau 71,8% dari total yang Rp14,7 triliun.
Porsi terbesar diraup Grup Media Nusantara Citra (MNC). Perusahaan milik Hary Tanoe ini, melalui tiga stasiun TV-nya (RCTI, TPI, dan Global), sukses meraup Rp4,8 triliun atau 32,9% dari total belanja iklan TV. Urutan ke-2 diduduki stasiun TV milik Chairul Tanjung, Trans TV dan TV7, dengan Rp3,4 triliun (23,2%). Anindya N. Bakrie, melalui ANTV dan Lativi, berhasil memperoleh pendapatan Rp2,3 triliun (15,7%), berada pada peringkat ke-3.
Sementara itu, dari penguasaan pasar (audience share) ketiganya sukses menjaring 70,3% pemirsa. Rinciannya, Hary Tanoe di posisi pertama dengan audience share 35,7%. Berikutnya, Chairul Tanjung dan Anindya Bakrie dengan masing-masing 21,1% dan 13,5%.
Akuisisi.
Saat ini ada tiga stasiun TV yang belum diakuisisi, yaitu SCTV, Indosiar, dan Metro TV. Akankah mereka hanya tinggal menunggu waktu untuk diakuisisi? “Sebab, kalau hanya mengandalkan modal kuat, tetapi terus merugi, tak akan mampu bertahan di industri ini,” kata pengamat media Arswendo Atmowiloto.
Itulah yang dialami TV7. Dana US$20 juta (sekitar Rp200 miliar) yang digelontorkan Kelompok Kompas Gramedia sebagai modal awal hanya mampu menopang selama lima tahun. Demikian juga Lativi milik bos Pasaraya, Abdul Latief, kini tergerus rugi dan di ambang kebangkrutan. Sejak tahun 2003 Latief tak lagi mampu membayar utang ke Bank Mandiri yang besarnya Rp450 miliar, sebelum Capital Managers Asia (CMA), perusahaan investasi milik Grup Bakrie yang juga pemenang 80% saham ANTV, menalangi utang tersebut. CMA menyetor lebih dari Rp200 miliar kepada Bank Mandiri.
Sebenarnya, ANTV juga sempat mengalami masalah serupa. Tahun 2002 perusahaan ini hampir bangkrut. Hanya, ANTV berhasil merestrukturisasi 80% utangnya menjadi penyertaan modal. “Kini, utang kami nol,” kata Anindya. Namun, yang membuat ANTV “kuat” adalah masuknya Star TV Hong Kong milik taipan media Rupert Murdoch, yang membeli 20% saham ANTV, sebagai investor. Sekadar informasi, News Corp., perusahaan milik Murdoch, tahun lalu total pendapatannya mencapai US$24 miliar.
Merger dan akuisisi tampaknya menjadi jawaban yang pas bagi stasiun TV yang terus merugi. “Sekarang semuanya harus efisien. Biaya produksi dan membangun infrastruktur makin mahal. Merger jadi jalan paling aman bagi media yang terus rugi,” analisis Amelia Hezkasari Day, pengamat media dari Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Intinya, jika biaya dapat dihemat, pendapatan akan meningkat.
Selain itu, merger juga membuat pangsa pasar stasiun TV kian luas. Menurut David Fernando Audy, head of investor relations MNC, kini pengiklan makin selektif. Dalam memasang iklan, selain rating, mereka juga melihat segmentasi stasiun TV yang bersangkutan. “Kalau hanya punya satu, kami tak akan mampu memenuhi semua selera konsumen,” tutur David, yang menganggap merger adalah cara paling masuk akal untuk menjangkau semua pengiklan.
Tak Sekadar Bisnis.
Bisnis TV memang menggiurkan. Belanja iklan, seperti kata Ignatius Haryanto, pendiri dan wakil direktur Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP), memang sangat menjanjikan, mencapai Rp17 triliun dan tumbuh 30% per tahun. Dari jumlah tersebut, industri pertelevisian meraup hampir 70%-nya. Sisanya yang 30% dibagi ke media lain.
Selain motif ekonomi, bisnis TV juga memberikan keuntungan politis. “Mereka butuh televisi untuk mengontrol pemberitaan,” tegas Haryanto. Soal ini, Ishadi S.K., presdir Trans TV, tak membantah. “Tak ada bisnis lain yang memiliki kekuatan seperti media TV, yang mempunyai pengaruh ekonomi sekaligus politik,” kata mantan dirut TVRI itu.
Diakui atau tidak, media TV ibarat pisau bermata ganda. Ia bisa dimanfaatkan untuk memberikan informasi yang dibutuhkan masyarakat, tetapi juga bisa digunakan untuk memoles atau merusak citra seseorang. Media TV sangat efektif untuk mempengaruhi opini masyarakat. Tak heran, Arswendo berani bertamsil, “Siapa yang menguasai industri televisi, ia akan menguasai negeri ini.”
Ini Dia para Raja TV!.
Anindya N. Bakrie
Anindya adalah anak sulung Aburizal Bakrie, Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat. Tahun 2002, dalam usia 27 tahun, Anin ditunjuk menjadi presdir ANTV, yang saat itu tengah dililit kredit macet. Lulusan MBA dari Stanford Graduate School of Business, AS, ini membuktikan kepiawaiannya ketika berhasil merestrukturisasi 80% utang ANTV menjadi penyertaan saham. Tahun 2005 Anin melakukan gebrakan dengan menggandeng Star TV Hong Kong, milik Rupert Murdoch. Selain di ANTV, Anin juga menjadi CEO di Capital Managers Asia (Singapura) dan Bakrie Telecom.
Chairul Tanjung .
Riza Primadi, eksekutif Astro TV, menyebut Chairul Tanjung sebagai pebisnis sejati. Pria kelahiran Jakarta, 18 Juni 1962 ini telah terjun ke bisnis sejak masih kuliah di Fakultas Kedokteran Gigi, Universitas Indonesia. Gemerlap bisnisnya mulai terlihat setelah mengambil alih Bank Mega pada 1996. Chairul terjun ke bisnis TV pada 2001. Bersama Ishadi S.K., Alex Kumara, dan Riza Primadi, Chairul mendirikan Trans TV. Hanya dalam tempo setahun, menurut survei Nielsen Media Research, Trans TV telah menempati peringkat ke-5 peraih iklan terbanyak dari 10 stasiun TV yang ada. Setelah berhasil mengambil TV7, santer diberitakan Chairul sedang mengincar Indosiar.
Hary Tanoesoedibjo.
Hary Iswanto Tanoesoedibjo, akrab dipanggil Hary Tanoe, awalnya seorang fund manager. Pria asal Surabaya ini masuk ke industri TV setelah membeli saham Bimantara, perusahaan induk RCTI, pada 2002. Menurut Temi Efendi, wakil dirut PT Infokom Elektrindo, salah satu anak perusahaan Bimantara, visi bosnya adalah menjadi perusahaan media terintegrasi. Tak heran jika di tangan pria 41 tahun ini Bimantara makin mengarah ke bisnis media. Selain mengakuisisi TPI dan Global TV, Hary juga merambah radio dan media cetak.
Di Balik Kunjungan Om Liem.
Trans TV dikabarkan akan membeli Indosiar. Siapa berminat dengan SCTV dan Metro?
Suatu hari di bulan Agustus 2006, stasiun TV Indosiar yang berlokasi di Jl. Daan Mogot, Jakarta Barat, kedatangan tamu istimewa: Liem Sioe Liong. Angin apa yang mengantarkan Om Liem ke sana? Kasak-kusuk yang beredar, ini terkait dengan rencana penjualan Indosiar ke Trans TV.
Benarkah? “Itu tak benar,” bantah Andreas Ambesa, corporate secretary PT Indosiar Karya Medika, induk perusahaan Indosiar. Meski demikian, Andreas membenarkan jika Om Liem memang datang ke Indosiar tiga bulan yang lalu. “Tapi, itu hanya kunjungan biasa,” kata Andreas.
Om Liem menguasai 28% saham Indosiar. Tahun lalu, stasiun TV swasta ini merugi Rp183 miliar. Anindya Bakrie menyebut kondisi Indosiar saat ini tak berbeda dengan ANTV ketika hampir bangkrut akibat dililit kredit macet.
Andreas sendiri tak mengelak jika ada investor yang mau masuk. “Jika Trans TV mau, kami welcome saja,” katanya seraya melanjutkan, “sekarang kan musimnya gabung.” Amelia Hezkasari Day dari Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) ikut menguatkan Andreas. Menurut Amelia, kepada KPI manajemen Indosiar mengatakan akan melakukan kerja sama produksi. “Dengan siapa, mereka tak mau bilang,” kata Amelia.
Kalau semua mata tertuju kepada Chairul Tanjung, bukan sesuatu yang mengejutkan. Chairul memang dekat dengan keluarga Salim. “Hubungan saya dengan Anthony Salim sangat baik,” ungkap Chairul. Paparnya, pertemanannya dengan keluarga Om Liem dimulai ketika ia menalangi BCA saat mengalami rush pada 1998. Setelah itu, merebak kabar keluarga Salim ikut memiliki saham di Grup Para, induk Trans TV. Dirut Trans TV, Ishadi S.K., membantah kabar itu. Namun, ketika isu pembelian TV7 meruyak, baik Chairul maupun Ishadi juga berkali-kali membantah.
Jika benar Indosiar jadi dibeli Trans TV, bagaimana dengan SCTV dan Metro TV? Wakil direktur Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP), Ignatius Haryanto, menilai SCTV dan Metro TV masih akan berdiri sendiri. “Meski Metro berdarah-darah, ego Surya Paloh masih dominan,” kata Haryanto. Sementara itu, kondisi keuangan dan infrastruktur SCTV masih tergolong baik. Meski begitu, ramal Haryanto, ke depan, industri TV hanya akan dikuasai tiga orang saja: Hary Tanoe, Chairul Tanjung, dan Anindya Bakrie. Nah, “Raja” mana yang akan mengambil Indosiar, SCTV, atau Metro TV? Kita tunggu.
PRAYOGO P. HARTO, EVI RATNASARI, HOUTMAND P. SARAGIH, DAN MUDJIONO
http://www.wartaekonomi.com/search_detail.asp?aid=8181&cid=24&x=televisi
Hanya Ada Tiga Penguasa Bisnis TV
Jum'at, 8 September 2006 14:05 WIB - wartaekonomi.com
Chairul Tanjung, Chairman Trans Corp.
Jumat (4/8) pekan lalu, Kelompok Kompas Gramedia (KKG) dan Trans TV, anak usaha Grup Para, menandatangani nota kesepakatan strategic partnership. Penandatanganan dilakukan oleh chairman Trans Corp., Chairul Tanjung, dan presdir KKG, Jakob Oetama. Dengan kesepakatan ini, Trans Corp. memiliki 49% saham di TV7. Usai penandatanganan itu, Chairul Tanjung yang kelahiran 16 Juni 1962 ini membeberkan rencana-rencananya kepada Prayogo P. Harto dari Warta Ekonomi. Petikannya:
Apakah kerja sama ini karena Anda khawatir dengan serbuan TV asing?
Kini semua sektor bisnis dimasuki asing. Kecuali Bank Mega, perbankan kita hampir semuanya dimiliki asing. Kalau tak mau industri ini dikuasai asing, kita harus bekerja sama. Kami bekerja sama karena kebetulan visi-misi saya sama dengan Pak Jakob. Bagi kami, berbisnis bukan semata-mata cari keuntungan. Di bisnis media, kami memiliki idealisme menjaga kesatuan bangsa, membuat masyarakat jadi lebih pintar, dan menyejahterakan karyawan.
Soal kemungkinan tumpang-tindih segmentasi?.
Itu tak akan terjadi. Segmentasi Trans TV tetap, yaitu informasi, edukasi, dan hiburan keluarga. Sedangkan TV7 ke TV olahraga dan hiburan untuk pria. Jadi, tak ada tumpang-tindih. Justru ini membuat pangsa pasar kami makin besar. Nanti acara-acara di Trans TV bisa saja diputar di TV7, dan sebaliknya.
Prediksi Anda mengenai peta industri televisi Indonesia?.
Jumlah stasiun tak akan berkurang, tetapi kepemilikannya tak akan lebih dari tiga kelompok.
Sebelum krisis, nama Grup Para kurang dikenal. Kini, Anda termasuk pebisnis papan atas. Bagaimana ceritanya?
Orang Cina punya pandangan bagus: di balik setiap krisis pasti ada peluang. Sebelum krisis, siapa yang kenal kami? Kalau tak ada krisis, mustahil saya mencapai posisi sekarang. Terlalu banyak jenjang yang harus saya lewati. Namun, krisis membuat semuanya berubah. Para pemilik bank panik dan pergi ke luar negeri. Nasabah yang tahu jadi takut, lalu menarik uangnya dan menyimpannya di Bank Mega karena pemiliknya tak ke mana-mana. Jadi, saat bank-bank lain kesulitan dana, kami malah kelebihan. Saat krisis, siapa yang memiliki uang adalah yang berkuasa.
Anda sukses karena Grup Salim?.
Ketika krisis, tak ada bank yang mau berbisnis dengan Keluarga Salim. Saya lalu membantu mereka. Kalau kini mereka percaya kepada saya, itu karena saya membantu tanpa pamrih. Cuma, bukan hanya kepada Salim. Siapa saja, kalau saya bisa bantu, akan saya bantu. Dalam bisnis, kita harus baik dengan semua orang.
Apa rencana Anda ke depan?.
Saya akan mengembangkan tiga bidang. Pertama, PT Trans Corp. yang menjadi induk seluruh bisnis media, gaya hidup, dan hiburan. Kedua, PT Para Global Investindo—namanya akan saya ubah jadi PT Mega Global Finance—berkonsentrasi di jasa keuangan. Ketiga, di infrastruktur, energi, dan pertambangan.
Mana yang paling besar?
Saat ini masih jasa keuangan. Asetnya sekitar Rp30 triliun. Namun, lima tahun ke depan, semuanya akan seimbang.
http://www.wartaekonomi.com/search_detail.asp?aid=7711&cid=22&x=televisi
SCTV Tidak Monopoli Siaran World Cup 2006
Selasa, 27 Juni 2006 15:37 WIB - wartaekonomi.com
Siaran World Cup 2006 yang hanya dilakukan Surya Citra Televisi (SCTV) dinilai bukan tindakan monopoli. Sebab, RCTI pernah melakukan hal serupa dalam World Cup 2002. “Bukan monopoli, tapi RCTI memberikan kita contoh kepada kita, ketika menyiarkan Piala Dunia 2002. Padahal, pada Piala Dunia 1998 seluruh stasiun TV menayangkan siaran itu, “ kata Stephanus Halim, vice president marketing Surya Citra Televisi (SCTV) dan project officer World Cup 2006 kepada Houtmand Parulian Saragih dari WartaEkonomi beberapa waktu lalu.
Apakah penyiaran World Cup 2006 hanya oleh SCTV dianggap monopoli?
Bukan monopoli, tapi RCTI memberikan kita contoh kepada kita, ketika menyiarkan Piala Dunia 2002. Padahal, pada Piala Dunia 1998 seluruh stasiun TV menayangkan siaran Piala Dunia.
SCTV waktu itu mendapatkan 10 partai pertandingan. Sementara stasiun TV yang lain, ada yang dapat 10 ada juga yang dapat 9 partai. Seharusnya tetap seperti itu, karena semua stasiun TV di indonesia adalah anggota ABU (Asian Broadcasting Union).
Dulu kita masih meminta ABU untuk bernegosiasi dengan pihak FIFA atau UEFA. Karena, ABU mewakili duapuluh tujuh negara di Asia. Melalui ABU, harganya bisa di tekan, bisa dibayangkan yang dibayarkan RCTI pada tahun 2002 sebesar US$4,5juta. Padahal tahun 1998, yang dibayarkan ABU untuk indonesia cuma US$500ribu. Penigkatan yang hampir 900%, itu gara-gara RCTI menggunakan hak eksklusif. Ketahuan FIFA, RCTI mampu membayar US$4,5juta, Piala Dunia 2006 mereka naikan lagi.
Apa latarbelakang SCTV berani membayar mahal hak siar World Cup 2006?
Karena, ini adalah olah raga spektakuler dunia, yang digemari rakyat Indonesia. Semua mata akan memandang kesana, sejarah Piala Dunia pada 2002 lebih dari 50% penonton akan menonton di stasiun itu.
Bagaimana proses SCTV bisa mendapat hak siar eksklusif siaran World Cup 2006?
Flashback ke tahun 2003, FIFA saat itu membuka tender bagi stasiun-stasiun TV di dunia untuk menyiarkan siaran Piala Dunia 2006. SCTV adalah salahsatu yang mengikuti tender tersebut.
RCTI sebagai pemegang hak siar Piala Dunia 2002 juga ikut. Dalam proses tersebut kita kebetulan menang dari RCTI sebagai pemegang hak siar sebelumnya. Lalu kita membuat perjanjian yang kita publikasikan bersamaan dengan press conference pada 17 Desember 2003.
FIFA menyetujui kita sebagai pemenang hak siar piala dunia 2006. Setelah resmi memegang hak siar tersebut, tahun 2004 kita mulai mengumpulkan program-program lain selain dari World Cup. Karena, siaran World Cup 2006 hanya 64 pertandingan yang mahalnya luar biasa.
Kemudian SCTV menghitung ulang, kalau hanya 64 pertandingan sepertinya kita tidak akan mampu mendapatkan uang untuk membayar hak siar tadi. Kemudian SCTV mencari program-program lain yang masih berhubungan dengan World Cup yang murah.
Jadi, kita tawarkan ke sponsor itu satu paket siaran World Cup yang menarik. Kemudian, kita membeli 150 dari 300 pertandingan penyisihan Piala Dunia yang kebanyakan kualifikasi zona Amerika Latin dan Eropa.
Apakah SCTV membeli hak siar World Cup 2006 dari FIFA secara langsung?
FIFA tidak secara langsung menjual hak siar tersebut. FIFA menunjuk salahsatu distributor untuk penjualan siaran World Cup ke seluruh dunia. Distributor yang ditunjuk FIFA tersebut adalah Infront Sports & Media WM GMBH. Perusahaan ini berada di Jerman.
Bagaimana bentuk hak siar World Cup 2006 yang diperoleh SCTV?
Hak eksklusif yang diperoleh SCTV yang sesuai dengan kontrak. Pertama, SCTV mendapat rights (hak siar) untuk TV teristerial (TV tak berbayar). Kedua, kita mempunyai hak siar untuk pay TV (TV berbayar). Pay TV yang dimaksud baik satelit TV maupun kabel TV. Ketiga, hak eksklusif penyiaran radio.
Berapa nilai yang dikeluarkan SCTV memperoleh hak siar World Cup 2006?
Saya belum berani buka. Ada beberapa media yang sudah melansir nilai kontrak tersebut. Dan, saya tidak tahu media tersebut mendapatkan informasi dari mana. Bahkan di SCTV sekalipun, tidak boleh ada yang menyebutkan nominal angkanya termasuk direktur utama maupun komisiaris. Mereka tidak boleh membocorkan.
Berapa stasiun TV relay siaran World Cup 2006 dari SCTV?
Kita mempunyai 45 relay stasiun, menjangkau sekitar 240 kota. Populasi dari 240 kota ini sekitar 145 juta. Jadi, kita menjangkau hampir 90% populasi Indonesia atau 145 juta. Dari angka itu sekitar 60% diprediksikan menyaksikan Piala Dunia.
Kita ingin dengan hak eksklusif ini akan menaikan image (citra) SCTV. Orang akan beranggapan bahwa SCTV bukan sekedar stasiun TV biasa. Karena, mampu menyiarkan Piala Dunia. Jadi image station SCTV akan terangkat dengan disiarkanya Piala Dunia di SCTV.
Selain itu, karena kita private TV, tujuannnya jelas bisnis. Hidup kita 100% tergantung dari iklan. Kenapa kita berani membeli produk semahal itu, karena kita tahu akan mendapatkan keuntungan dari acara itu.
Siapa Pay TV yang berminat membeli siaran World Cup 2006 dari SCTV?
Semua pay TV sebenarnya sudah datang dari tahun lalu, tapi kita sudah katakan siaran Piala Dunia 2006 tidak dijual. Itu bagian dari strategi kita, menekankan kepada sponsor, bahwa siaran Piala Dunia kali ini eksklusif. Ini akan memudahkan kita untuk ‘jualan’. Waktu itu kita sudah menghubungi Djarum, Extrajoss, dan sponsor-sponsor lain. Kita memberitahukan kepada mereka, siaran Piala Dunia hanya dapat di saksikan di SCTV dan tidak di stasiun TV yang lain.
Berapa persen kenaikan omzet SCTV dari siaran World Cup 2006?
Kalau kenaikan omzet, kontribusi dari revenue dari siaran Piala Dunia 2006 sekitar 25% dari pendapatan SCTV setahun.
Dari target pendapatan sudah berapa persen yang berhasil diraih?
Sekitar 90%.
Ada info dari biro iklan, akan terjadi kenaikan pemasangan iklan hingga 100% selama siaran World Cup 2006?
Kita tidak tahu pasti. Karena, itu merupakan bagian dari anggaran promosi. Jadi kita tidak tahu seberapa besar jumlah budget yang mereka anggarkan untuk iklan selama Piala Dunia. Kita hanya menjual paket kepada sponsor, jadi ada paket sponsor platinum, paket sponsor gold, paket sponsor silver, paket sponsor bronze, dan paket sponsor ritel.
Mengapa Mangga Dua Square dipilih sebagai studio siaran Word Cup 2006?
Waktu itu memang ada beberapa alternatif, tadinya maunya di Semanggi, Bengkel Cafe, Senayan, Citos (Cilandak Town Square), Kelapa Gading, tapi tidak ada yang representative (tepat).
Akhirnya kita memilih lantai delapan Mangga Dua Square sebagai Kampung World Cup atau Studio SCTV untuk menyiarkan Piala Dunia 2006 dari 9 Juni 2006-9 Juli 2006. Dengan luas 600m2 kita akan sulap menjadi studio kafe. Belum pernah ada kegiatan siaran World Cup diadakan di satu tempat yang seperti ini.
http://www.wartaekonomi.com/search_detail.asp?aid=7321&cid=22&x=televisi
Peringkat Usaha Dan Obligasi Indosiar Turun BBB-
Senin, 26 Desember 2005 09:32 WIB - wartaekonomi.com
Niken Indriasih, analis Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo), menyatakan peringkat usaha dan obligasi pertama Indosiar Tahun 2003 sebesar Rp696,21 miliar diturunkan jadi BBB+ (triple B plus) dari A- (A minus). Karena, pendapatan Indosiar turun sebesar 20% sampai September 2005. Apalagi perusahaan ini merugi senilai Rp24 miliar pada periode yang sama. Peringkat ini berlaku mulai 21 Desember 2005 sampai 1 Juni 2006.
Padahal, Indosiar sempat meraih pendapatan iklan sebesar Rp864 miliar pada sembilan bulan pertama 2004. Namun hingga September 2005 Indosiar hanya mampu meraih sebesar Rp650 miliar.
Peringkat usaha dan obligasi pertama Indosiar 2003 juga diturunkan Pefindo akibat penurunan profitibilitas dan pelemahan rasio proteksi arus kas. Begitupula pengaruh persaingan industri televisi yang semakin ketat. Mochamad Ade Maulidin
http://www.wartaekonomi.com/search_detail.asp?aid=6214&cid=2&x=televisi.
Indosiar Rugi Bersih Rp24 Miliar
Kamis, 8 Desember 2005 16:03 WIB - wartaekonomi.com
Phiong Philipus Darma, direktur keuangan PT Indosiar Karya Media Tbk, menyatakan rugi bersih akan dialami perusahaan tersebut pada akhir 2005. Sampai September 2005 Indosiar mengalami rugi bersih sebesar Rp24 miliar. Pasalnya, pendapatan iklan Indosiar hanya didapat sebesar Rp650 miliar pada sembilan pertama 2005. Angka ini turun sebesar 20% dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang mencapai Rp864 miliar.
Pendapatan iklan Indosiar turun akibat penayangan variety show difokuskan oleh Indosiar pada 2005. Karena, Indosiar memprediksi variety show akan laku pada tahun tersebut. Padahal, acara mistis yang diminati pemirsa sekarang. Apalagi Indosiar tidak mempunyai kebijakan penayangan acara tersebut. Pasalnya, program ini menuai protes dari masyarakat.
Pada kesempatan yang sama Handoko, direktur utama PT Indosiar Karya Mandiri Tbk, mengiyakan semula drama dan film mistis tidak akan ditayangkan stasiun televisi tersebut sampai Juni 2005. Namun hal ini disiarkan guna menaikkan pendapatan iklan.
Phiong meneruskan pendapatan iklan juga turun akibat penerimaan kualitas gambar Indosiar buruk. Karena, pengiriman gambar Indosiar lewat tower terhalang gedung-gedung tinggi. Hal ini berakibat Indosiar membangun tower setinggi 398 meter di kawasan Kebun Jeruk (Jakarta) sejak awal 2005.
Pembangunan tower Indosiar diprediksi selesai Juni 2006. Indosiar berharap penerimaan gambar lebih di DKI Jakarta dengan kehadiran tower tersebut. Dengan begitu Indosiar berharap memperoleh kenaikan pendapatan sekitar 10%-12% dari pembangunan tersebut. Sebanyak 60% market share industri televisi berada di DKI Jakarta.
Indosiar menyediakan dana pembangunan tower sebesar Rp120 miliar. Dari angka itu sebesar Rp80 miliar digunakan sebagai tower dan sisanya sebagai pembelian tanah.
Dana pembangunan tower Indosiar sebesar Rp100 miliar didapatkan dari Bank Central Asia (BCA) pada September 2005 dengan jatuh tempo lima tahun nanti. Sisa dana kebutuhan pembangunan tower diambil dari dana internal Indosiar.
Indosiar memprediksi arus kas positif belum diperoleh perusahaan pada 2006. Karena, sebanyak Rp60 miliar dari total Rp120 miliar dana pembangunan tower Indosiar dibebankan dalam pembukuan pada 2005. Sisanya akan dibiayakan dalam laporan keuangan Indosiar tahun depan.
Pada 2006 Indosiar menganggarkan capital expenditure/capex (belanja modal) di luar pembangunan tower utama sebesar Rp50 miliar. Dari dana itu akan digunakan sebesar Rp9 miliar-Rp10 miliar untuk pembangunan tower kecil. Sisanya, penggantian dan peralatan mendapatkan dana tersebut. Mochamad Ade Maulidin
http://www.wartaekonomi.com/search_detail.asp?aid=6097&cid=2&x=televisi
Pendapatan SCTV Akan Naik 20% Tahun Depan
Rabu, 16 November 2005 10:43 WIB - wartaekonomi.com
Wisnu Hadi, presiden direktur PT Surya Citra Televisi (SCTV), menyatakan perolehan laba bersih diprediksi sebesar Rp140 miliar oleh perusahaan tersebut sampai akhir 2005. “Pendapatan iklan kemungkinan menurun, karena komsumsi masyarakat turun akibat kenaikan harga BBM, “ katanya.
Dia memprediksi kenaikan pendapatan SCTV sebesar 20% pada 2006. Angka ini diperoleh dari pendapatan iklan siaran langsung Piala Dunia. Kehadiran siaran langsung Piala Dunia tidak mengeser acara prime time.
Pada kesempatan yang sama Fofo Sariatnaja, direktur utama PT Surya Citra Media Tbk mengemukakan televisi sebagai posisi rating pertama belum ditargetkan oleh SCTV. Stasiun televisi ini hanya berusaha mempertahankan segementasi pasar dengan program-program yang sukses.
Sekarang urutan kedua rating disandang SCTV sebagai stasiun TV nasional. "Yang penting pertahankan acara long term. Jangan sampai naik dan turun terlalu drastis, " jelasnya.
Dia juga mengutarakan dividen interim sebesar Rp25 per saham akan dibagikan SCM sebagai induk SCTV pada awal Desember 2005. Jadi, SCM akan membagikan Rp47,343 miliar kepada 1,893 miliar pemegang saham. Dividen akan dibagikan ke pemegang saham publik yang beredar 21,13% dari total saham, " ucapnya.
Pada sisi lain SCTV disetujui pindah gedung baru ke Komplek Terpadu Senayan City pada 2006 dalam RUPSLB. Stasiun televisi nasional ini juga diperbolehkan mengalihkan dana initial public offering/IPO tersisa sebesar Rp136 miliar bagi pengembangan usaha. Sebelumnya dana IPO sebesar Rp412,5 miliar akan digunakan untuk fasilitas produksi. Mochamad Ade Maulidin
http://www.wartaekonomi.com/search_detail.asp?aid=5966&cid=2&x=televisi
Pengembangan Media Dilakukan antv Dengan Opportunity
Rabu, 17 Agustus 2005 10:29 WIB - wartaekonomi.com
Harlin E. Rahardjo, deputy president director PT Cakrawala Andalas Televisi (antv) menyatakan pengembangan bentuk media lain seperti cetak atau elektronika belum dilakukan stasiun televisi tersebut pada 2005. Namun dia mengemukakan kemungkinan ini dapat dilakukan dari stake holder seperti pemegang saham antv. Begitupula langkah pengambilalihan antv oleh pihak lain.
“Kita akan selalu melihat opportunity dan kesiapan antv, “ katanya kepada WartaEkonomi disela-sela Acara Penyuluhan, Demo Masak, dan Dialog Anak Indonesia Merdeka dari Gizi Buruk yang diselenggarakan antv bersama Pondok Keluarga Sehat dan Layanan Kesehatan Cuma-Cuma (LKC) Senin (15/8) siang.
Pada program-program, dikemukakan Harlin, antv akan meningkatkan kualitas pada 2005. Antv akan memfokuskan diri dalam tayangan reality show pada 2005 seperti Penghuni Terakhir 3, Keluarga Bintang, Meteor Kampus, dan Komedian Kampus. “Iklan program ini akan memberikan kontribusi 50% bagi pendapatan antv, “ ucapnya.
Program Antv, dilanjutkan Harlin, akan mengembangkan program berita ekonomi dan bisnis mulai September 2005. Masyarakat diharapkan mengambil keputusan dalam perekonomian dan bisnis sehari-hari. “Acara ini juga dapat menjadi ajang promosi bagi pengusaha, “ ucapnya. “Iklan news memberikan sumbangan 25% pendapatan Antv.”
Harlin meneruskan program infotainment juga akan dikembangkan antv. Selama ini antv memproduksi program tersebut (in house). “Selanjutnya kami akan menyerahkan produksi tersebut pada production house (PH). Karena, biaya lebih murah dan mudah dikontrol tayangan tersebut, “ jelasnya.
Pada kesempatan tersebut Antv menyelenggarakan Program Dompet antv Peduli Gizi Anak berupa Penyuluhan, Demo Masak, dan Dialog Anak Indonesia Merdeka dari Gizi Buruk bersama Pondok Keluarga Sehat dan Layanan Kesehatan Cuma-Cuma (LKC). Program ini dilatarbelakangi kenaikan angka kasus gizi buruk di Indonesia seperti Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Nusa Tenggara Timur (NTT). “Melalui Dompet antv Peduli Gizi Anak inilah antv akan berupaya membantu para anak-anak penderita gizi buruk tersebut, “ tuturnya. Mochamad Ade Maulidin
http://www.wartaekonomi.com/search_detail.asp?aid=5413&cid=2&x=televisi
Indonesia Miliki 60 Saluran Televisi Lokal
Minggu, 31 Juli 2005 12:58 WIB - wartaekonomi.com
Irawati Pratignyo, executive director AC Nielsen Media Research Indonesia menyatakan industri televisi (TV) telah berkembang selama 15 tahun terakhir. Hal itu terlihat dari terdapat 11 TV nasional sekitar 60 saluran TV lokal di Indonesia. Demikian rangkuman disampaikan dalam Marketing & Media Presentation 2005 Kamis (28/7) kemarin
Laporan itu diperoleh dari survei AC Nielsen Semester I 2005 dalam 9 kota di Indonesa yakni Jakarta, Surabaya, Semarang, Medan, Bandung, Makasar, Yogyakarta (termasuk Sleman dan Bantul), Palembang, dan Depansar. Dari survei TV tersebut menunjukkan program TV berseri dipilih 27% pemirsa.
Selanjutnya, 21% pemirsa menyukai hiburan dan 12% pemirsa menikmati film. Kenaikan jumlah pemirsa terjadi dalam program informasi dan hiburan. Namun angka itu masih kecil dibandingkan penyediaan kedua program tersebut. "Supplay program 20% meningakat tetapi penonton hanya mengkonsumsi dengan kenaikan 12 %," katanya.
Kenaikan juga terjadi dalam pemirsa program reality show sebesar 53% dengan pemirsa meningkat 10%. Begitupula program anak-anak sebesar 31 % pada semester I 2005. Angka ini dibandingkan semester I 2004. "Tapi jumlah suplay programnya juga meningkat 42 % dan program-program animasi Jepang seperti Doraemon, Power Rangers masih sangat melekat pada hati anak-anak sampai sekarang, " jelasnya.
Pada kebutuhan informasi diperoleh tujuh jenis media oleh masyarakat Indonesia. Dari tujuh jenis media itu 82% masyarakat memilih informasi dari TV setiap hari. Kemudian, kebutuhan informasi dari radio dilakukan 38% masyarakat, sebanyak 4% masyarakat dari surat kabar, tabloid didapatkan sebesar 12% masyarakat; dan sebanyak 12% masyarakat membaca majalah.
AC Nielsen melakukan survei dalam perkotaan dan pedesaan di 23 provinsi Indonesia. Survei melibatkan 25.000 responden berusia sekitar 10 tahun ke atas. Mereka dianggap mewakili 167.781 populasi penduduk Indonesia. Sebelumnya, pada 2004 kebutuhan informasi diperoleh 5% masyarakat dari TV dan internet hanya digunakan 3% masyarakat.
Menyoal iklan, dikemukakan Irawati, TV berhasil menjaring hampir 260 ribu spot tersebut. Kenaikan terbesar terjadi pada hari Minggu sebesar 17%, Sabtu sebesar 15%, dan Senin sebesar 16%. "Tentu saja ini merupakan tantangan, bagaimana cara merebut perhatian pemirsa yang menyukai program, namun juga menyukai dan melihat informasi mengenai produk-produk baru, " jelasnya. Evi Ratnasari
http://www.wartaekonomi.com/search_detail.asp?aid=5314&cid=2&x=televisi
Kerjasama JAK-TV Dan Polda Belum Kejar Pendapatan
Selasa, 19 Juli 2005 09:39 WIB - wartaekonomi.com
JAK-TV akan menayangkan program televisi realty show berupa traffic report, kriminal, dan kinerja Polri. Program ini dilakukan bekerjasama dengan Kepolisian Daerah (Polda) Metro Jakarta Raya (Jaya) dan sekitarnya. “Mengenai income (dari Program Traffic Report, Kriminal, dan Kinerja Polri) belum terpikirkan oleh kami, “ kata Erick Thohir, direktur utama JAK-TV kepada pers seusai Penandatangan Memorandum of Understanding (MoU) JAK-TV dengan Polda Metro Jaya Senin (18/7) siang.
Program tersebut, dikemukakan Erick, JAK-TV berharap dapat melayani kepentingan umum. “(Industri) media bukan hanya mengejar kepentingan bisnis, “ jelasnya.
JAK-TV akan melibatkan sejumlah media lokal dan non lokal dalam Program Traffic Report, Kriminal, dan Kinerja Polri. Namun dia belum menyebutkan nama media tersebut. “Kerjasama itu dapat terjadi dengan di luar group media JAK-TV, “ ujarnya.
Pada kesempatan tersebut Brigjen Pol JRS FX Bagus Eko Danto, wakil kepala Kepolisian (wakapolda) Metro Jaya dan Sekitarnya mewakili Irjen. Pol. Drs. Firman Gani, kepala Kepolisian Metro Jaya dan Sekitarnya menanggapi program Traffic Report, Kriminal, dan Kinerja Polri diharapkan sebagai acara “city police”. Kerjasama ini diharapkan dapat konsisten dan berkesinambungan antara JAK-TV dengan Polda Metro Jaya. “(Sebelumnya) kami telah mempunyai program berita Kriminal dan Lalu Lintas dengan Radio Suara Metro, “ ucapnya.
Reality show tersebut, dikemukakan Erick, akan berbeda dibandingkan program televisi lain. Karena, JAK-TV membidik penonton menengah ke atas. “Kami akan menampilkan white collar crime, “ ujarnya.
Erick melanjutkan program traffic report, kriminal, dan kinerja itu masih disiapkan JAK-TV. Program itu diharapkan dapat muncul dalam JAK-TV dua bulan nanti. “Reality show itu sedang digodok akan terbagi dua yaitu reality police dan games saja, “ ucapnya.
JAK-TV, diutarakan Erick, juga akan mengajak Pemerintah Daerah (pemda) Khusus Ibukota (DKI) Jakarta dalam pemberitaan seputar kota dalam waktu dekat. Berita yang dimaksud dapat berupa pelayanan pemda dalam ijin mendirikan bangunan (IMB). Mochamad Ade Maulidin
http://www.wartaekonomi.com/search_detail.asp?aid=5213&cid=2&x=televisi
Hary Tanoesoedibjo: “Bom Waktu” di Sekitar Hary Tanoe
Selasa, 21 Maret 2006 10:05 WIB - wartaekonomi.com
Raja Bisnis Multimedia, Hary Tanoe, terhimpit sejumlah kasus: sengketa dengan Mbak Tutut, kasus NCD milik Unibank, dan penangkapan Shadik Wahono. Semuanya tinggal menunggu waktu untuk meledak.
Senin, 23 Januari 2006 lalu, stasiun Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) genap berusia 15 tahun. Ibarat anak remaja, TPI sedang memasuki usia ABG (anak baru gede)—usia “panas-panasnya”. TPI panas? Iya, jika ditilik dari beberapa programnya yang memperoleh rating tinggi.
Namun, bukan cuma itu isu panas di TPI. Isu panas lainnya adalah pertarungan antara Siti Hardijanti Rukmana alias Mbak Tutut dengan taipan multimedia dan pemilik baru PT Bimantara Citra Tbk., Hary Tanoesoedibjo. Bimantara Citra adalah kerajaan bisnis yang didirikan Bambang Trihatmodjo, adik kandung Mbak Tutut, yang kini diambil alih Hary Tanoe. Pangkal sengketa adalah soal kepemilikan saham TPI di PT Berkah Karya Bersama (Berkah). Berkah adalah anak usaha PT Media Nusantara Citra (MNC), holding company milik Hary Tanoe. Saat ini, Berkah memiliki 75% saham TPI, sedangkan Mbak Tutut hanya menguasai 25% sisanya.
Bagaimana Berkah bisa mempunyai saham di TPI?
Mulanya dari utang Mbak Tutut senilai US$55 juta. Di sini termasuk kewajiban obligasi TPI ke PT Indosat Tbk. Mbak Tutut rupanya tak mampu membayar utangnya. Oleh karena kepepet, pada Agustus 2002 Mbak Tutut sepakat membuat perjanjian dengan Hary Tanoe, yang juga pemilik PT Bhakti Investama Tbk.
Perjanjian itu menyebutkan bahwa semua utang Mbak Tutut akan diambil alih Hary Tanoe. Lalu, perjanjian tersebut juga mencantumkan kesediaan pria kelahiran 26 September 1965 itu untuk menambah modal agar kinerja TPI kian membaik. Sebagai imbalannya, Mbak Tutut bersedia memberikan 75% sahamnya di TPI kepada Hary Tanoe melalui Berkah tadi. Selain itu, Mbak Tutut juga memberikan surat kuasa agar Berkah bisa mengendalikan penuh operasional TPI. Maka, sejak Juni 2003, TPI menjadi salah satu pilar kerajaan multimedia yang dibangun Hary Tanoe di bawah bendera MNC.
Setahun kemudian masalah mencuat. Desember 2004, putri sulung mantan presiden Soeharto ini marah besar ketika mendengar rencana MNC untuk menjual lahan TPI di kawasan Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta Timur. Rencananya, uang hasil penjualan lahan seluas 12 hektar itu akan digunakan untuk menambah modal TPI. Bagi Mbak Tutut, rencana penjualan lahan TPI dianggap melanggar perjanjian. Di sisi lain, saat itu Hary Tanoe pun baru melunasi sebagian dari US$55 juta utang Mbak Tutut.
Sengketa pun meledak. Wanita yang selalu lembut dalam bertutur ini kemudian membatalkan perjanjian kerja samanya dengan Hary Tanoe dan sekaligus mencabut surat kuasa yang ia berikan ke Berkah. “Buat apa ada perjanjian kalau akhirnya harus menjual lahan TPI?” kata Harry Ponto, kuasa hukum Mbak Tutut, kepada Warta Ekonomi, Kamis (9/2) lalu. Sebab, kalau melunasi utang dengan cara menjual lahan TPI, Mbak Tutut pun bisa.
Namun, dirut TPI, Nyoman Suwisma, membantah rencana penjualan lahan TPI. Menurut Nyoman, yang terjadi adalah ketidakjelasan informasi. Usul penjualan lahan TPI, kata Nyoman, muncul sejak 2002. “Sebab, dari segi bisnis, untuk membuat studio dan stasiun TV sebenarnya tak perlu lahan sampai 12 hektar,” tandas Nyoman, di sela peringatan HUT ke-15 TPI. Nyoman justru heran dari mana Mbak Tutut mendengar kabar rencana penjualan lahan tersebut. Akan tetapi, ketika ditanya soal pelunasan utang Mbak Tutut oleh Berkah, Nyoman mengaku tak tahu-menahu.
TPI = “Sapi Perah” MNC?
Sebenarnya ada sengketa lain antara Mbak Tutut dan Hary Tanoe di TPI. Menurut sebuah sumber, Mbak Tutut prihatin dengan nasib TPI. Sumber yang dekat dengan Mbak Tutut itu menyebutkan bahwa pasca-”diambil alih” Berkah, TPI bak jadi “sapi perah” MNC, perusahaan induknya. Beberapa aset TPI, seperti studio, kamera, kendaraan operasional, dan peralatan lainnya, kini beralih status menjadi milik MNC. “Jadi, kini TPI harus sewa peralatan ke MNC,” ujar sumber tadi.
Tak cuma itu. Sejak bergabung dengan MNC, TPI juga mesti menayangkan iklan-iklan dari grup tersebut. “Banyak spot iklan yang ditayangkan TPI secara gratis,” ujar sumber itu lagi.
Ketika dimintai konfirmasi mengenai hal tersebut, Nyoman membantahnya. “Tak ada istilah TPI menyewa ke MNC,” katanya, pendek. Namun, soal iklan gratis, ucap Nyoman, itu hal biasa dalam sebuah grup bisnis. Itu adalah kebijakan saling sinergi yang diterapkan MNC ke semua media miliknya, termasuk dalam hal pembelian program acara, spot iklan, dan fasilitas lainnya.
Cuma, rupanya Mbak Tutut telanjur kecewa dan tetap berniat membatalkan perjanjian kerja sama dengan Hary Tanoe. Mbak Tutut rupanya tidak rela TPI dijadikan sapi perah. Apalagi, sampai dengan 2005, TPI berhasil membukukan pendapatan kotor Rp500 miliar. Sementara itu, biaya produksi TPI hanya separo dari pendapatan kotor tersebut.
Kabarnya, kini kubu Mbak Tutut dan kubu Hary Tanoe tengah gencar bernegosiasi. Cuma, negosiasi ini bakal alot karena Mbak Tutut hanya memberikan dua pilihan. Pertama, Berkah mesti membayar lunas sisa utang Mbak Tutut dan tak mengutak-atik lahan TPI di Taman Mini. Kedua, kepalang tanggung, Mbak Tutut mau melepas 25% sisa sahamnya di TPI. “Cuma, harga sahamnya pasti sangat tinggi,” kata sumber lain. Hingga kini, ujung sengketa masih belum kelihatan. Kedua belah pihak masih sangat tertutup.
Warta Ekonomi berkali-kali berusaha menghubungi Hary Tanoe, baik lewat surat, mencoba bertemu langsung, maupun melalui telepon selularnya. Namun, semuanya buntu. Hary selalu menghindar dan tak mau banyak bicara. “No comment. Hubungi pengacara saya saja,” ujarnya singkat. Salah seorang eksekutif di media milik Hary mengungkapkan bahwa bosnya sebenarnya bersedia menerima Warta Ekonomi. “Nanti akan diatur waktunya,” katanya. Dalam SMS-nya pun Hary hanya menjawab, “Tolong jangan sekarang. Nanti kalau waktunya tepat, saya akan beri tahu.” Namun, hingga tenggat penulisan, janji wawancara itu tak terealisasi.
Bom Waktu.
Hary Tanoe memang tengah dililit kasus. Selain sengketanya dengan Mbak Tutut, dia disebut-sebut terlibat dalam perkara Negotiable Certificate of Deposit (NCD), serta dikait-kaitkan dengan penangkapan Shadik Wahono, mantan komisaris PT Bimantara Citra Tbk., sehubungan dengan tuduhan penggunaan ijazah palsu. “Ada orang yang ingin menjelek-jelekkan nama Hary Tanoe,” kata Juniver Girsang, kuasa hukum Hary Tanoe, ketika dimintai konfirmasinya. Namun, Juniver menolak menyebutkan nama orang yang dimaksud.
Terlepas dari tangkisan Juniver, kasus-kasus tadi memang bisa menjadi “bom waktu”, yang setiap saat dapat meledakkan Hary Tanoe. Salah satunya adalah kasus NCD milik, ini dia, PT Citra Marga Nusaphala Persada (CMNP).
NCD adalah kasus lama yang melibatkan Hary Tanoe melalui Bhakti Investama. Terjadi pada 1999, kasus ini bermula dari keinginan CMNP berinvestasi melalui jual beli surat berharga lewat perantaraan Bhakti Investama, dengan Hary Tanoe sebagai dirut. Bhakti menawarkan kepada CMNP untuk membeli surat berharga dari Drosophila Enterprise, sebuah perusahaan milik Hary Tanoe yang berkedudukan di Singapura.
Maka, pada 12 Mei 1999, CMNP pun sepakat menjual beberapa surat berharga (obligasi CMNP II tahun 1997 senilai Rp189 miliar dan Medium Term Note Bank CIC senilai Rp153,5 miliar) ke Drosophila. Lalu, Drosophila akan membayar dengan NCD yang diterbitkan Unibank pada 26 Mei 1999. Nilainya US$28 juta, dan akan jatuh tempo pada 20 Mei 2002. Pihak CMNP diwakili oleh Tito Sulistio (direktur keuangan) dan Teddy Kharsadi (direktur operasional).
Anehnya, meski nilai transaksinya cukup besar, Tito dan Teddy melakukannya tanpa persetujuan RUPS. Bahkan, pada RUPS 1999 pun transaksi pembelian NCD itu juga tidak dilaporkan. Baru pada Maret 2000 transaksi itu tercium. Saat itu laporan keuangan CMNP memang tengah diaudit oleh AAJ Consulting. Ketika dikonfirmasi soal transaksi NCD tersebut, baik Tito maupun Teddy menolak memberikan keterangan.
Masalah mulai muncul ketika Unibank dinyatakan sebagai Bank Beku Kegiatan Usaha (BBKU) pada September 2001. CMNP berharap hak pencairan NCD itu langsung beralih ke Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) melalui program penjaminan pemerintah. Namun, nyatanya tidak begitu. Pada Agustus 2002 BPPN menyatakan bahwa NCD Unibank itu tak bisa dibayarkan melalui program penjaminan pemerintah. BPPN malah menyebutkan bahwa NCD Unibank itu melanggar ketentuan Bank Indonesia (BI) tentang penerbitan sertifikat deposito oleh bank atau lembaga keuangan bukan bank. “NCD Unibank melanggar aturan BI No. 21/27/UPG tanggal 27 Oktober 1998 yang menyebutkan bahwa NCD yang dijamin oleh pemerintah harus dikeluarkan dalam mata uang rupiah dan berjangka waktu tak lebih dari 240 hari,” kata Obor P. Hariara, kuasa hukum BPPN. Padahal, NCD Unibank jelas-jelas memakai mata uang dolar AS dan berjangka waktu tiga tahun.
Sumber Warta Ekonomi yang mengetahui soal transaksi tersebut mengatakan bahwa CMNP tak tahu soal aturan BI tadi. “CMNP bukan lembaga keuangan yang tahu setiap aturan BI,” kelitnya. Jadi, tegasnya, sah atau tidaknya NCD Unibank seharusnya menjadi tanggung jawab Bhakti Investama, sebagai perantara CMNP dengan Drosophila.
Maqdir & Mulyadi, konsultan hukum CMNP, pun merekomendasikan kliennya agar menuntut pertanggungjawaban semua pihak yang terlibat, yakni Drosophila, Bhakti Investama, BPPN, BI, dan Departemen Keuangan. Cuma, ternyata Drosophila dan Bhakti Investama kemudian tak masuk dalam daftar nama yang digugat CMNP. “Materi gugatan CMNP adalah tentang pencairan NCD Unibank yang sudah jatuh tempo dan seharusnya dibayar BPPN. Jadi, tak ada hubungannya dengan Drosophila dan Bhakti Investama,” kata Marselina Simatupang, kuasa hukum CMNP.
Tabir Jual Beli NCD.
Transaksi NCD ini memang menyisakan sejumlah pertanyaan. “Semuanya didesain oleh Hary Tanoe,” kata sebuah sumber di CMNP. Sebab, baik Drosophila, Bhakti Investama, maupun CMNP, semuanya terkait dengan Hary Tanoe.
Drosophila, sebagai pemilik NCD Unibank, ternyata baru didiri¬kan di Singapura pada November 1998 dengan modal awal S$100.000 atau setara dengan Rp300 juta. Bagaimana perusahaan itu bisa mempunyai NCD Unibank senilai US$28 juta? “Drosophila hanyalah vehicle company yang khusus dibuat Hary Tanoe,” kata sumber itu. Setelah kasus NCD sampai di meja hijau pada Januari 2004, Drosophila pun dibubarkan oleh Hary Tanoe (April 2004).
Lalu, perihal tidak masuknya Bhakti Investama sebagai pihak yang digugat CMNP tak terjadi begitu saja. Sebab, sejak Agustus 2002, melalui Bhakti Investama, Hary Tanoe ikut memiliki CMNP. Hary membeli saham CMNP milik Steady Safe (13,7%).
Jumlah itu membuat Bhakti Investama menjadi pemegang saham CMNP terbesar kedua setelah PT Jasa Marga (Persero) yang mengua¬sai 17,79%. Maka, tak heran jika nama Hartono Tanoesoedibjo, saudara Hary Tanoe, duduk sebagai komisaris CMNP. “Jadi, mana mungkin CMNP menuntut Bhakti Investama?” sergah sumber tadi, sambil geleng-geleng kepala.
Kini, kasus ini ramai dibicarakan sejak Eggi Sudjana, pengaca¬ra dan aktivis politik, melaporkan kasus NCD Unibank ini ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Eggi melaporkan kemungkinan adanya tindak pidana korupsi yang dilakukan Hary Tanoe dalam kasus ini.
KPK pun tengah gencar menguak kasus NCD ini. Sebagian orang-orang yang dianggap mengetahui transaksi tersebut mereka panggil. Ada Eggi Sudjana, Daddy Hariadi (dirut CMNP saat ini), M. Yusuf Hamka dan Teddy Kharsadi (mantan komisaris dan direktur CMNP), serta Shadik Wahono (komisaris CMNP).
Kabarnya, KPK juga sudah mengantongi nama-nama orang yang bakal dijadikan tersangka dalam kasus ini. Siapa saja? “Tunggu saja sampai tahap penyelidikan selesai,” kata Erry Riyana Hardja¬pamekas, wakil ketua KPK, kepada Warta Ekonomi.
Langkah KPK dalam mengungkap kasus ini kelihatan bak makan bubur panas. Mereka mulai dari pinggir, lalu bergerak ke tengah. Jika ini benar, maka pemanggilan Tito Sulistio (kini dirut Radio Trijaya FM, yang anak usaha MNC) dan Hary Tanoe hanya tinggal tunggu waktu. Dan, tik...tak...tik...tak....
Shadik Wahono Orang Dekat Mbak Tutut.
Sabtu (21/1) malam lalu adalah hari yang tak terlupakan bagi Shadik Wahono, mantan komisaris PT Bimantara Citra Tbk. Setibanya di Bandara Soekarno-Hatta dari Singapura, Shadik langsung dibawa aparat Polda Metro Jaya terkait dengan tuduhan penggunaan ijazah palsu ketika menjabat sebagai komisaris Bimantara. Lucunya, esok harinya Shadik dibebaskan. “Shadik dilepas karena tak cukup bukti. Ijazah itu tak pernah digunakan Shadik sewaktu di Bimantara,” kata Denny Kailimang, kuasa hukum Shadik.
Ada apa di balik penangkapan Shadik? Shadik disebut-sebut sebagai orang yang memasok dokumen kasus NCD Unibank ke Eggi Sudjana—kasus yang bisa merepotkan Hary Tanoe. Jadi, apakah Hary Tanoe yang melaporkan Shadik? “Ada anggota masyarakat yang melaporkan bahwa Shadik bukan lulusan Universitas Trisakti,” bantah Juniver Girsang, kuasa hukum Hary Tanoe, seperti dikutip Tempo.
Namun, sumber Warta Ekonomi yang “dekat” dengan Mbak Tutut mengungkapkan bahwa Shadik sebenarnya pernah menjadi orang kepercayaan Mbak Tutut. “Dia berjasa dalam merestrukturisasi PT Citra Lamtorogung Persada (CLP),” kata sumber tadi. CLP adalah holding company milik Mbak Tutut. Kabarnya, Mbak Tutut juga mengetahui perihal penangkapan Shadik oleh pihak kepolisian. Apakah Mbak Tutut pula yang membuat Shadik dibebaskan?
DIVERA WICAKSONO, EVI RATNASARI, DAN FERRY CAHYADI PUTRA
http://www.wartaekonomi.com/search_detail.asp?aid=6721&cid=24&x=televisi
Saya Harus Menjadi yang Nomor Satu
Jum'at, 11 Februari 2005 16:52 WIB - wartaekonomi.com
HB Naveen
Presdir PT Bhakti Media International
Ambisinya menggebu-gebu. Ia ingin menjadikan BMI sekelas Walt Disney. Dengan modal kerja keras plus SDM-SDM andal, Naveen bertekad meraih obsesinya itu.
Jumat (7/1) pagi yang cerah. Hari itu HB Naveen, CEO PT Bhakti Media International (BMI), terlihat santai. Padahal di kantornya di kawasan Kemang, Jakarta Selatan, hari itu sudah menunggu 10 orang tamu yang menanti giliran ingin menemuinya. Hari itu jadwal kerja Naveen memang padat.
"Itulah bagian dari tugas seorang pemimpin. Dia harus bisa menentukan skala prioritas dalam menangani pekerjaannya. Dan ketika menghadapi satu perkara, saya harus fokus pada persoalan yang sedang dihadapi," papar Naveen, membuka percakapan pagi itu. Selain itu, sebagai pemimpin, ia pun dituntut untuk bisa survive dalam kondisi apa pun meski ini tidak mudah. Dengan penuh percaya diri, Naveen menandaskan bahwa dirinya mampu mengendalikan itu semua.
Awal Membangun BMI.
Pada Naveen memang terpancar jelas betapa ia memiliki rasa percaya diri yang besar. Selain itu tampak pula betapa bergeloranya semangat yang ia miliki, dan ambisinya untuk meraih apa yang ia cita-citakan. Naveen adalah sosok khas seorang anak muda yang energik. "If a man can go to the moon, man can do anything," tandasnya. Prinsip itu pula yang kental mewarnai visi Naveen dalam menjalankan BMI perusahaan yang dipercayakan keluarga Bhakti kepadanya sejak empat tahun silam.
Ketika itu, lewat salah seorang rekannya, Naveen diperkenalkan kepada Hary Tanoesoedibjo CEO dan sekaligus pemegang saham Grup Bimantara, yang kini juga menjabat sebagai direktur utama PT Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI). Mulanya tidak ada hal istimewa yang mereka bicarakan pada saat pertama kali bertemu. Namun, pada pertemuan kedua, mulailah muncul pemikiran-pemikiran untuk membuat bisnis bersama-sama. "Kami merasa cocok. Pada satu sisi beliau merupakan sosok yang cukup ambisius, dan di sisi lain beliau juga melihat saya sebagai seorang muda yang ambisius, akan tetapi membutuhkan support yang besar," ungkap Naveen.
Dari pertemuan itu, Naveen menawarkan proposal untuk mendirikan perusahaan periklanan yang sifatnya berkelompok atau grup. Konsep ini ia tawarkan karena melihat kecenderungan perusahaan periklanan di Indonesia yang sifatnya masih menyebar. "Bayangkan jika ada beberapa perusahaan iklan menjadi satu, ia akan tumbuh menjadi kekuatan yang begitu besar," kata Naveen.
Dengan konsep seperti itu pula, maka Naveen pun mengomandani BMI yang awalnya bergerak di bisnis advertising. Kepercayaan yang diberikan oleh pemegang saham kepada pria berdarah India ini tentu saja tidak disia-siakan. Naveen mengaku, ia tidak ingin mengecewakan orang yang telah memberikan kepercayaan kepadanya. "Itu sebabnya, bukan berarti setelah mendapat modal saya lantas berleha-leha. Akan tetapi sebaliknya, sejak awal sampai hari ini pun saya beserta seluruh karyawan terus bekerja keras. Kami memang menjadikan kerja keras sebagai modal utama," aku Naveen.
Meski sebagian besar waktunya tersita habis untuk mengembangkan BMI, Naveen mengaku tetap menangani pekerjaannya dengan rileks. Ia menganggap pekerjaan yang kini dilakoninya bukanlah suatu beban berat, tetapi justru sebaliknya, merupakan sesuatu yang menyenangkan. Apalagi sudah sejak lama ia memang menyukai bidang advertising.
Berbekal pengalamannya menangani bidang advertising plus ambisinya yang tinggi untuk terus meningkatkan kinerja perusahaan, saat ini Naveen berhasil mengembangkan BMI menjadi memiliki enam anak perusahaan, yang masing-masing berlabel Mediate, Lemonade, Max, Pink, Ideasphere, dan Cross Media Service. Selain enam anak perusahaan, yang masing-masing terdiri dari lima biro iklan dan satu perusahaan content, baru-baru ini BMI juga telah mengakuisisi sebuah perusahaan periklanan, yakni PT Optima Media Dinamika. BMI juga berencana mendirikan satu perusahaan lagi.
Keberhasilan pria yang punya hobi olahraga, khususnya lari pagi, fitness, dan wind surfing, ini dalam mengembangkan perusahaannya, ia akui, selain karena kerja keras dan semangat yang tinggi, juga sangat terbantu dengan era kapitalisme. Kondisi ini, menurut dia, membuat dirinya merasa bisa lebih maju dan bergerak ke depan. "Saya anggap karier juga sebagai journey dalam kehidupan yang harus terus dilewati. Jika tahun ini saya mempunyai tujuh perusahaan, maka tahun depan bisnis saya harus tumbuh lebih baik lagi, baik secara vertikal maupun horizontal," tandasnya. Itulah sebabnya pada 2005 ini ia menargetkan peningkatan keuntungan BMI bisa mencapai 60%-70% dari tahun sebelumnya.
BMI Sekelas Walt Disney.
Ambisi itu membuat Naveen makin kreatif mencari ide-ide baru yang lebih segar untuk melebarkan sayap bisnis BMI. Bahkan untuk keperluan itu, untuk mencari inspirasi, tak jarang ia mesti bepergian ke luar negeri, seperti ke Kairo, New York, atau Peranci. Semua itu agar ia mendapatkan pelajaran dan pengalaman berharga yang kelak bisa diadopsi perusahaannya.
"Sudah saatnya kami memancing di laut, bukan lagi di kolam," tegas Naveen. Itulah sebabnya ia tidak ingin berhenti hanya mengelola satu bidang usaha, tetapi mulai meluaskan usahanya menjadi sebuah perusahaan yang bergerak di bidang media entertainment. Pasalnya, seiring dengan perkembangan zaman, Naveen mengamati bahwa iklan tidak lagi dikemas dalam hitungan detik, tetapi bisa berkembang dalam hitungan jam, bahkan hitungan hari, yang dikemas dalam bentuk program atau event-event tertentu. Dari fenomena itulah Naveen "menyulap" BMI yang tadinya hanya memiliki satu divisi usaha, yakni advertising, kini mulai merambah ke beberapa area lainnya, yaitu pembuatan content, produksi program acara, termasuk pembuatan merchandise, program-program yang berkaitan dengan media telephony, seperti premium call, SMS, dan sebagainya.
Untuk merealisasikan ambisinya itu, Naveen pun mulai mengakuisisi 8-9 program acara dari Perancis yang kelak ia racik ala Indonesia. Ia pun telah menyiapkan tim-tim kreatif yang secara khusus membuat program-program yang bisa diekspor ke luar negeri. Hasilnya? Ia mengklaim, sebuah perusahaan media entertainment asing terkemuka, 20th Century Fox, mulai melirik program yang ditawarkan BMI. Dari sana, kepercayaan dan ambisinya untuk terus menelurkan kreativitas-kreativitas baru pun makin meningkat. "Kreativitas itu sifatnya borderless, tanpa batas, asal ada upaya untuk mengembangkannya. Pokoknya kami akan all out untuk fight,"
tekad Naveen.
Meski ambisinya menggebu-gebu, dalam perjalanannya sebagai seorang CEO, Naveen pun kerap menghadapi problem yang dirasanya cukup berat, yakni masalah komunikasi. Kelihatannya memang cukup sederhana, tetapi nyatanya komunikasi memegang peranan sangat penting dalam bisnis. "Bayangkan jika terjadi lack of communication, banyak hal yang tadinya bukan problem malah berubah menjadi problem. Jadi, bagaimana caranya untuk membangun komunikasi yang lancar adalah tantangan yang saya rasakan," kata Naveen, yang gemar membaca buku-buku best seller, utamanya buku-buku biografi dan autobiografi orang-orang ternama ini. Dan satu hal lagi yang ingin ia hilangkan adalah masalah birokrasi. "Sering birokrasi malah menjadi hambatan dalam berkomunikasi," keluh Naveen.
Walaupun semua itu membutuhkan waktu dan upaya yang lebih keras lagi, pria yang masih lajang ini memiliki optimisme yang tinggi bahwa suatu hari kelak perusahaannya bakal sejajar dengan perusahaan-perusahaan media entertainment kelas dunia, seperti Walt Disney, Warner Bross, atau 20th Century Fox.
Keseriusan Naveen dalam mengejar ambisinya itu ia tunjukkan dengan merekrut SDM-SDM andal pada bidangnya. Dan sebagai pemimpin, tugas utamanya adalah memberikan kepercayaan, motivasi, dan menjadi fasilitator bagi para bawahannya. "Pada dasarnya kompas ada di tangan saya. Arah perusahaan juga ada di tangan saya. Akan tetapi, bagaimana pergerakan-pergerakan yang terjadi di dalamnya adalah tanggung jawab mereka," kata Naveen.
Naveen memang berusaha menempatkan diri sebagai pemimpin yang memberikan kepercayaan penuh kepada bawahannya. Bahkan, ia memberi kebebasan kepada pemimpin di masing-masing anak usaha untuk menciptakan kultur yang dianggap paling pas dengan kondisi yang ada. "Asalkan kami memiliki satu visi dan motivasi yang sama untuk terus fight dan growth, meski secara mikro kami memiliki kultur yang berbeda-beda," terangnya.
Bagi Naveen, semangat kerja yang tinggi adalah modal penting guna mengejar target yang telah dicanangkan. Dan, sebagai pemimpin, ia pun memiliki tanggung jawab untuk terus memupuk dan memelihara semangat kerja di lingkungan perusahaannya. "Saya tidak ingin ada karyawan yang memiliki kinerja kurang perform. Oleh karena itu, saya berusaha untuk selalu menyeimbangkan antara punishment dan reward," tandasnya. Namun, sebaliknya, jika dirinya sendiri yang dinilai kurang perform, dengan tegas Naveen menyatakan bahwa "kursinya" siap diambil alih oleh siapa pun yang memiliki kinerja lebih baik ketimbang dirinya.
Sikapnya itu tak lepas dari obsesi yang ingin ia capai baik dalam berkarier maupun dalam kehidupannya sehari-hari. Apa pun yang ia lakukan, Naveen selalu berambisi untuk menjadi nomor satu dan terbaik di bidangnya. Itulah sebabnya ia tak pernah lelah untuk senantiasa mempelajari hal-hal baru, termasuk mempelajari
berbagai macam bentuk kesenian. Mulai dari seni lukis, seni musik, sampai opera, kini sedang ia pelajari dengan sungguh-sungguh. "Saya suka opera, bukan saja untuk kesenangan, tetapi juga untuk mengabsorpsi hal-hal berharga yang didapat dari cerita opera itu," ungkapnya. Dan bagi Naveen, justru proses belajar itulah yang memegang peran penting untuk memperkaya wawasannya.
ADE RACHMAWATI DEVI
Piyama Keberuntungan
Siapa sangka sukses yang diraih Naveen berawal dari sepotong piyama (baju tidur) yang dikenakannya belasan tahun yang lalu? Sambil tergelak ia pun menceritakan kejadian menarik yang justru menjadi momentum perubahan hidupnya.
Beberapa lama selepas Naveen menamatkan kuliahnya di India, ia tidak lantas mendapatkan pekerjaan yang cocok. Hari-hari ketika ia 'menganggur" hanya diisi dengan kegiatan-kegiatan yang sifatnya hura-hura saja. Pergi ke pesta-pesta malam, clubbing bersama teman-temannya, adalah aktivitas yang tak pernah sekali pun ia lewatkan. Sampai suatu hari, pada pagi hari sepulang ia dari sebuah pesta, seorang temannya yang memiliki sebuah biro iklan mengajak Naveen untuk ikut meeting dengannya. Tentu saja Naveen menolak ajakan itu. Pasalnya, dia masih kelelahan dan belum sempat beristirahat karena "bergadang" semalaman.
Namun, tak patah arang, temannya terus-menerus memaksa Naveen untuk ikut meeting menemani dirinya. Bahkan Naveen tak diberi kesempatan untuk sekadar mandi. "Meeting nya tidak formal kok, hanya bersama teman-teman saja," rayu sang teman ketika itu.Akhirnya Naveen pun menyerah. Dengan pakaian tidur, alias piyama, yang masih melekat di badannya, ia pun menuruti ajakan sang teman menghadiri meeting "informal".
Akan tetapi, betapa terkejutnya Naveen ketika dirinya ternyata dibawa masuk ke sebuah perusahaan yang cukup ternama di kota itu. "Di dalam ruang meeting telah hadir sekitar 20 eksekutif dengan pakaian formal yang menunggu kedatangan kami. Bayangkan!" seru Naveen. Saat itu Naveen mengakui perasaannya sungguh tidak karuan malu, bingung, marah, dan kaget, semuanya bercampur aduk. Seakan mengetahui apa yang dirasakan Naveen, sang teman lantas menenangkannya. Dia pun lantas memperkenalkan Naveen sebagai seorang creative director nya, dan ketika itu ia diminta untuk tidak berkomentar apa pun. Cukup mengangguk-anggukkan kepala atau menggeleng-gelengkan kepala saja.
"Atas rekayasanya sendiri, ia memperkenalkan saya sebagai creative director nya yang sangat berbakat, sudah berpengalaman menangani bidang advertising di New York. Padahal saya tidak punya pengalaman apa pun dalam bidang itu," ungkapnya, tergelak. Bualan sang teman ternyata membuahkan hasil yang manis. Naveen pun keheranan ketika para eksekutif yang hadir itu begitu percaya akan kehebatan dirinya. "Sejak kejadian itu saya berpikir bahwa image seseorang bisa menjadi kekuatan yang luar biasa untuk bisa mempengaruhi persepsi orang lain," ujarnya. Dan sejak saat itu pulalah Naveen memutuskan untuk benar-benar terjun ke dunia advertising, yang kini mengantarkannya ke salah satu puncak karier. "Pakai piyama saja bisa meyakinkan 20 orang, apalagi kalau pakai jas," ujarnya sambil terbahak.
ADE
http://www.wartaekonomi.com/search_detail.asp?aid=4144&cid=4&x=televisi
Pergantian Logo Tidak Ubah Program Berita SCTV
Sabtu, 22 Januari 2005 08:43 WIB - wartaekonomi.com
Karni Ilyas, direktur pemberitaan PT Surya Citra Televisi (SCTV) menyatakan format program-program berita tidak berubah dengan rencana pergantian logo perusahaan. Program berita Liputan 6 tetap menjadi salahsatu unggulan acara SCTV.
“Namun rating Program Ibu Pertiwi Berduka sebagai acara pemberitaan bencana gempa dan tsunami Aceh dapat mengalahkan Liputan 6 kemarin. Acara tersebut masuk rating tertinggi dalam 100 program berita yang ditayangkan televisi lokal, “ katanya kepada wartawan dalam jumpa pers Seminar Visi Indonesia 2020 bekerjasama UNSFIR dan SCTV pada 25 Januari 2005 Kamis (20/1) siang.
Walaupun demikian Program Ibu Pertiwi Berduka tidak diteruskan SCTV. Karena, acara ini dinilai hanya menampilkan penderitaan rakyat Aceh. SCTV menghadirkan Program Bangkit Dari Titik Nadir pengganti acara tersebut. “Kami tetap menghadirkan wajah Aceh berisi kebudayaan Aceh dalam program Potret, “ ucapnya.
Karni melanjutkan program televisi akan berubah sesuai dinamika masyarakat. Hal ini akan terjadi juga dalam program pemberitaan televisi. “Tayangan berita televisi akan dinamis, “ ujarnya.
Menyoal pergantian SCTV akhir Januari 2005, dikemukakan Karni sebagai sesuatu yang biasa terjadi dalam perusahaan. Pasalnya, pergantian logo perusahaan selalu terjadi tiap dua tahun di luar negeri. “SCTV belum berganti logo setelah 14 tahun, “ jelasnya.
Pada hal lain, SCTV bermaksud menyelenggarakan Seminar Visi Indonesia 2020 bekerjasama UNSFIR dan SCTV di Jakarta pada 25 Januari 2005. Hal ini bentuk sumbangan pemikiran strategi perekonomian jangka panjang kepada pemerintah oleh SCTV. Seminar tersebut akan membahas Tantangan Strategi Pembangunan, Aspek Pembiayaan Pembangunan, dan Pengembangan Kelembagaan Pemerintah.
Menurut rencana seminar akan menghadirkan Sri Mulyani Indrawati sebagai menteri negara perencanaan pembangunan nasional/kepala Bappenas, Mubyarto dari PSEG-UGM, dan Anggito Abimanyu mewakili Departemen Keuangan. “SCTV tidak sekedar sebagai institusi bisnis saja, melainkan memiliki tanggungjawab sosial juga, “ papar Iskandar Siahaan, kepala litbang SCTV. Mochamad Ade Maulidin
http://www.wartaekonomi.com/search_detail.asp?aid=3997&cid=2&x=televisi
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Saya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.
BalasHapusNama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.
Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.
Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.
Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut