Kamis, 12 Februari 2015

Gonjang-ganjing Industri Televisi Berbayar di Indonesia - Part 1


Industri TV Berbayar saat ini.
Kebutuhan hiburan dan informasi yang instant dan tersedia setiap saat ini semakin meningkat. Televisi (TV) berbayar memberikan peluang bagi konsumen untuk mendapatkan hiburan dan informasi setiap saat selama 24 jam dan dalam perkembangannya, Industri TV Berbayar mengalami pertumbuhan yang sangat pesat dalam kurun waktu 3 sampai dengan 5 tahun belakangan ini. Hal ini ditandai dengan hadirnya berbagai macam pilihan TV Berbayar yang memanjakan konsumen di Indonesia.

Menurut beberapa pakar baik di dalam negeri maupun di luar negeri melihat bahwa perkembangan dari tahun ke tahun Industri ini banyak mengalami pertumbuhan yang cukup significant dimana tercatat pertumbuhan 7% pada tahun 2012 dan menjadi 9% di tahun 2013, sedangkan di tahun 2014 banyak para pakar memprediksikan bisa mencapai 12% dari jumlah rumah tangga (household) di Indonesia.

Nah kalo kita lihat angka 12% tersebut berbanding lurus dengan jumlah rumah tangga yang ada di Indonesia berada di angka 4,7 juta rumah tangga dari total 54 juta potensi pelanggan yang ada di Indonesia untuk kelas ekonomi A, B dan C+, dan ini menurut AC Nielsen dan itu merupakan angka yang cukup menarik buat para kalangan investor baik lokal maupun international untuk berlomba-lomba mengembangkan bisnis TV Berbayar di Indonesia.

Nielsen mengatakan bahwa pertumbuhan industri TV berbayar di Indonesia terus meningkat dengan pesat hingga 9 kali lipat dalam lima tahun terakhir. Pertumbuhan itu tidak lepas dari persaingan tarif antar perusahaan penyedia layanan TV berbayar yang makin kompetitif dimana peningkata para pelanggan TV berbayar terjadi karena seiring bertambahnya kelas menengah serta perusahaan penyedia layanan TV berbayar.

Namun yang disayangkan dimana para operator TV Berbayar sekitar 70 persen masih terkonsentrasi di Jakarta dan sekitarnya. Menurut Managing Director Media – Nielsen Indonesia Irawati Pratignyo, alasan utama konsumen memilih berlangganan TV berbayar adalah tayangan yang dinilai aman untuk dinikmati anak-anak dan berkualitas.

Saya coba mundur sedikit kebelakang untuk melihat sejarah dari Industri Tv berbayar di Indonesia yang bisa saya dapatkan dari beberapa informasi via paman google dan berikut ulasannya:

Reformasi teknologi yang bangsa Indonesia alamai sedikit lebih lambat dari negara-negara maju yang ada saat ini pada umumnya, dan itu membuat Indonesia baru dapat merasakan kenyamanan dan keindahan sistem televisi berlangganan di era tahun 1990 yang mana saat itu beroperasinya satu-satunya operator TV Berbayar dengan mempergunakan brand Indovision, namun setelah proses perijinan, inspeksi serta perbaikan disisi teknologi yang mana cukup memakan waktu lama akhirnya pada tahun 1994 PT Skyvision baru secara resmi meluncurkan produk televisi berlangganan dengan mempergunakan nama Indovision.

Sebagai satu-satunya operator TV Berbayar yang ada pada saat itu, Indovision mempergunakan teknologi satelit Palapa C-2 ini masih belum mampu merambah pasar yang luas dikarenakan harga yang pelanggan harus bayarkan masih mahal yang mana menyebabkan hanya segelintir konsumen yng bisa menikmatinya yaitu konsumen kalangan menengah ke atas. Namun kemunculan Indovision sebagai penyedia jasa TV Berbayar pertama di Indonesia membawa pengaruh yang besar kepada Industri televisi berlangganan Indonesia dengan bermunculannya pemain-pemain baru di industri ini. Salah satunya adalah masuknya pemain-pemain baru. Buktinya, tidak lama setelah Indovision hadir di pasaran, PT Broadband Multimedia – kini bernama PT First Media –  menghadirkan dua mereknya, yaitu Kabelvision dan Digital1. (Baca juga: Memilih TV Berlangganan Terbaik).

Setelah hampir 5 tahun bersaing, akhirnya pada pada tahun 1999 muncul Telkomvision. Provider ini merupakan produk dari PT Indonusa Telemedia, yang merupakan PT Telekomunikasi Indonesia (Telkom Indonesia). Kemudian, PT Indosat Mega Media menyusul dengan meluncurkan produk televisi berlangganan sekaligus koneksi internet dengan merek dagang Indosat M2. Selanjutnya, pada 2006 muncul provider asal Malaysia dengan produk Astro yang dipegang oleh PT Direct Vision untuk wilayah Indonesia.

Hingga 2007 saja sudah tercatat ada lima pemain di industri TV Berbayar yang sudah beroperasi, yaitu Indovision, Astro, First Media, IM2 dan TelkomVision. Namun, kini jumlah tersebut telah bertambah. Jumlah perusahaan yang telah mengantongi Izin Penyelenggaraan Penyiaran (IPP) jasa TV Berbayar sudah berkembang dua kali lipat dari tahun-tahun sebelumnya. Beberapa perusahaan baru itu diantaranya adalah PT Nusantara Vision (Oke Vision) yang notabenenya masih dalam satu group Indovision, PT Media Commerce Indonesia (B-Vision), PT Cipta Skynindo (I-Sky-Net), PT Global Comm Nusantara (Safuan TV), PT Mentari Multimedia (M2TV)  serta PT Karya Megah Adijaya (Aora TV yang sebelumnya memiliki izin nama Citra TV).

Dari perjalanan dari tahun 2007 hingga 2013 saja saya menghitung ada 4 operator TV berbayar yang tutup alias pailit adapun perusahaan tersebut adalah:

GlobalVision dimana perusahaan ini berhenti beroperasi pada tahun 2002 dan mirisnya adalah perusahaan ini resmi berhenti beroperasi sebelum mempromosikan paket langganannya, lalu kemudian ada Astro Nusantara dimana perusahaan ini berhenti beroperasi pada tahun 2008 (20 Oktober 2008). Diakibatkan oleh konflik internal antara Astro All Asia Networks dan DirectVision selaku pemilik Astro Nusantara, terkait masalah lisensi dan penguasaan saham, yang berakhir jalan buntu, sehingga Astro Nusantara pun dihentikan kegiatan operasionalnya di susul dengan PentaVision dimana perusahaan inipun terpaksa berhenti beroperasi pada tahun 2012.

Seperti halnya GlobalVision, pay TV ini juga bernasib sama dengan GlobalVision, berhenti beroperasi sebelum melaunching resmi produknya. Sebelum berhenti beroperasi, PentaVision sempat menawarkan paket langganan yang tidak wajar, hingga 200ribu/bulan hanya untuk puluhan channel yang 50% diantaranya merupakan channel yg tidak diacak di satelit lain dan terakhir adalah Centrin TV berhenti beroperasi pada tahun 2013 (1 Maret 2013) dan sampai sekarang belum ada kejelasan mengenai penyebab 'gulung tikar' pay TV ini.

Sekalipun ada perusahaan TV berlangganan yang sudah gulung tikar tetap saja hingga kini, layanan TV Berbayar tetap dihiasi oleh berbagai provider yang mengklaim layanannya adalah TV berlangganan terbaik atau TV berlangganan murah. Dengan munculnya berbagai layanan tersebut, para konsumen pun ditantang untuk selalu melakukan perbandingan harga TV berlangganan dan layanan yang ditawarkan. Untuk menggaet pelanggannya, tidak jarang saat ini banyak layanan TV berlangganan yang memberikan promo menggiurkan dari paket-paket yang ditawarkan sehingga terlihat perkembangan TV berbayar di Indonesia pun semakin bersinar.

Hadirnya operator TV berlangganan di Indonesia memberikan alternatif baru bagi masyarakat untuk memilih acara-acara yang menarik yang ditawarkan seperti HBO, ESPN, Fashion TV, Discovery Channel, CNN, dan lain-lain. Pay TV juga menawarkan kenyamanan lebih dalam menonton TV dengan tidak adanya jeda iklan di sela-sela tayangan yang disajikan. Pada tahun 2012 hadir Topas TV, yaitu televisi berlangganan yang diluncurkan di Bandung, Jawa Barat. Topas TV adalah bagian dari Grup Mayapada yang memiliki saham di bidang perbankan, multifinance, properti, media, retail, dan travel. Melalui siarannya, Topas TV menargetkan jangkauan pemasarannya meliputi semua kota-kota besar di Indonesia, hingga ke desa-desa terpencil.

Selanjutnya pada Maret 2013, melalui PT Digital Vision Nusantara, Kelompok Kompas Gramedia meluncurkan TV berbayar berbasis satelit bernama K-Vision. Dengan investasi sebesar Rp 1 trilun untuk peluncurannya, K-Vision mematok target 1 juta pelanggan pada tahun 2014 ini, kemudian ada anak usaha PT Visi Media Asia Tbk (VIVA), yakni PT Digital Media Asia yang segera meluncurkan TV berbayar berbasis satelit, VIVA+ pada 22 April 2014. Investasi VIVA+ sekitar US$ 150 juta. Sementara target pelanggan dipatok 300.000 sampai 400.000 pelanggan hingga akhir 2014.

Jalur voucher prabayar bukan barang baru. PT Mega Media Indonesia, lewat merek dagang Orange TV juga menggunakan jalur voucher prabayar sejak tahun lalu untuk memudahkan pelanggannya berlangganan. Bahkan, perseroan menggandeng ritel Indomaret untuk pemasaran voucher prabayar. Sampai kini, Orange TV yang berbasis satelit memiliki siaran unggulan dengan mengantongi hak siar Liga Inggris (Barclay’s Premier League\BPL) selama musim pertandingan 2013-2014, dan 2015-2016. Saking popularnya hak siar BPL, siaran ini pun dimiliki beberapa layanan TV berlangganan lain. Sebut saja PT Elang Mahkota Teknologi Tbk (EMTEK) melalui layanan TV berbayar berbasis digital terestrialnya bernama Nexmedia, serta PT First Media Tbk.

Pada Oktober 2013, hadir Big TV, yaitu TV berlangganan yang berada dalam portofolio bisnis Lippo Grup dan dikelola oleh PT Indonesia Media Televisi (IMTV). Seakan tidak mau kalah, anak usaha PT Visi Media Asia Tbk (VIVA), yakni PT Digital Media Asia meluncurkan TV berbayar berbasis satelit VIVA+ pada 22 April 2014. Dalam peluncurannya, diketahui investasi VIVA+ sekitar US$ 150 juta, dan target pelanggan dipatok 300.000 sampai 400.000 pelanggan hingga akhir 2014.

Walau mengalami perkembangan yang cukup berarti, perkembangan TV berlangganan di Indonesia masih rendah. Hal itu dikemukakan oleh hasil riset yang dilaporkan oleh Pricewaterhouse Coopers (PWC) pada 2013 yang melaporkan bahwa perkembangan industri TV Berbayar di Indonesia merupakan yang paling lambat di Asia dikarenakan industri ini hanya mampu penetrasi ke 3% rumah tangga atau sekitar 1,3 juta rumah di berbagai daerah pada 2010. Dalam riset ini, pertumbuhan pasar TV Berbayar di Indonesia hanya berkisar 2% per tahun, dan angka itu jauh di bawah Vietnam, Malaysia, bahkan Pakistan.

Meskipun demikian, para penyedia layanan tv berbayar tetap meyakini pasar tersebut akan tumbuh menjadi 7% pada 2015, seiring dengan pertumbuhan ekonomi dan daya beli masyarakat, dan demi memacu pertumbuhan pasar, para operator yang ada saat ini seperti MNC Sky Vision, Aora Tv, Trans Vision yang dulunya bernama Telkomvision, dan First Media ramai-ramai membentuk lini yang menyasar segmen lebih rendah. Beberapa merk untuk TV berbayar low segment ini antara lain TopTV dan Groovia TV.

Belum lagi kalo kita melihat tantangan lain yang dihadapi oleh para penyedia layanan TV berbayar tersebut didalam berkompetisi satu dengan yang lain juga tantangan dengan banyaknya penyedia layanan ilegal. Sementara kementrian komunikasi dan informasi mencatat hanya 700 operator yang berizin, asosiasi TV kabel Indonesia memperkirakan jumlahnya sekitar 2.500 operator.

Himpitan pemain baru belum menggentarkan pemain lama yang masih menguasai dari sisi jumlah pelanggan. Sepanjang 2013, PT MNC Sky Vision berhasil menghimpun pelanggan sebanyak 2,3 juta, naik 34% dibanding tahun sebelumnya 1,7 juta dan sayangnya, perusahaan yang menjadi bagian MNC Grup ini tidak mengalami kinerja keuangan yang kinclong. Sepanjang 2013, perseroan mencatat rugi bersih sebesar Rp 487 miliar pada 2013, merosot 695% dibanding laba bersih tahun sebelumnya Rp 82 miar. Bengkaknya rugi dipicu oleh rugi selisih kurs.

Sementara itu, pasar masih menanti gebrakan baru dari pemain lama lain, seperti TelkomVision. Setelah PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (Telkom) melepas 80% saham TelkomVision ke CT Corporation seharga Rp 962,5 miliar pada 2013, publik belum melihat manuver yang signifikan dari CT Corp mengembangkan TelkomVision. Lalu pada akhirnya nanti siapa yang akan lebih dominan atau paling kuat dalam industri TV Berbayar ini?.

Jika memang karakter bisnis TV berbayar disamakan dengan bisnis selular, maka tingkat peralihan pelanggan (Churn rate) dari satu provider ke provider lain yang tinggi patut diperhitungkan. Bisa jadi, churn rate TV berbayar lebih parah ketimbang selular dikarenakan jumlah operator TV berbayar di Indonesia saat ini ternyata terlalu banyak, sehingga justru menciptakan iklim usaha yang tidak sehat. Meskipun jumlah pelanggan terus meningkat, tetapi Average Revenue per Unit (ARPU) para operator TV berbayar alami penurunan dalam beberapa tahun terakhir. Menurut data dari Media Partners Asia (MPA), ARPU para operator TV berbayar Indonesia menurun dari 18,2 dolar AS pada tahun 2005 menjadi 8,6 dolar AS pada tahun lalu

Menurut The Cable & Satellite Broadcasting Association of Asia (Casbaa) dimana Industri TV berbayar atau pay tv di Indonesia masih prospektif hingga beberapa tahun mendatang dimana mereka menyebutkan pasar TV berbayar di Indonesia masih sangat besar dengan potensi pasar 64 juta rumah tangga. Apalagi penetrasi TV berbayar saat ini masih 5% dari potensi tersebut. Sementara akses TV ke penduduk perkotaan mencapai 95%, sementara secara nasional mencapai 75%, tapi itu menurut saya hanyalah pengamatan dari sisi kulit luarnya saja tanpa bisa mendalami kebiasaan dari penonton di Indonesia, bahkan menurut Vivek Couto, pasar layanan TV berbayar hanya mencapai 460 juta dolar AS yang harus diperebutkan 17 operator TV berbayar. Saat ini, lanjut Vivek, ada lebih dari 2,3 juta pelanggan yang tak membayar layanan TV berbayar, sehingga memengaruhi ARPU dan pertumbuhan yang potensial di sektor bisnis ini. Jumlah pelanggan yang tak membayar ini akibat banyak dari mereka yang berpindah-pindah layanan TV berbayar karena teriming-imingi promosi gratis.

Akan tetapi, pandangan lain dilontarkan oleh Presiden Komisaris Orange TV Supeno Lembang. Ia setuju jumlah operator TV berbayar harus ditentukan oleh pangsa pasar. "Saya percaya ‘survival of the fittest’. Merger dan konsolidasi itu hal yang alamiah, tetapi terlalu cepat bagi pemerintah untuk ikut campur," ujarnya.

Saat ini, menurut data Kemkominfo per Desember 2014, ada 316 lisensi layanan TV berbayar yang sudah dikeluarkan. Dari jumlah tersebut, 91 di antaranya merupakan lisensi permanen, 172 temporer, 51 dalam proses, dan tiga ternyata sudah berhenti. Rudy lalu membandingkan kondisi industri TV berbayar di Amerika Serikat yang memiliki populasi masyarakat lebih banyak dan daya beli yang lebih kuat. Di sana, ternyata hanya ada lima operator TV berbayar yang punya jangkauan nasional.

Pat Gulipat Izin Penyiaran TV Berbayar
Seiring dengan pertumbuhan bisnis TV berbayar ikut juga dibarengi dengan regulasi yang memayungi penyelenggaraan penyiarannya. Penyelenggara penyiaran berlangganan (TV Kabel) harus mempunyai izin penyelenggaraan oleh KPI sesuai dengan Pasal 25 ayat (1) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Izin penyelenggaraan penyiaran adalah hak yang diberikan oleh negara kepada lembaga penyiaran untuk menyelenggarakan penyiaran.”ungkap Handiomono selaku Asosiasi Penyelenggara Multimedia Indonesia (APMI).

Lembaga penyiaran berlangganan yang baru akan memegang Izin Penyelenggaraan Penyiaran (IPP) Prinsip, namun tidak serta merta dapat menyiarkan program TV dari pihak penyedia layanan TV. IPP Prinsip merupakan izin sementara atau sekadar uji coba saja. Bagi pemegang IPP Prinsip saat melakukan kegiatan penyiaran harus mencantumkan tulisan siaran uji coba. Namun pada kenyataannya banyak lembaga penyiaran berlangganan yang menyalahgunakan IPP Prinsip tersebut dengan menayangkan konten-konten dari TV berbayar resmi.

Banyak pula kasus penyalahgunaan izin penyiaran oleh lembaga penyiaran berlangganan yang sudah berbentuk Badan Hukum, yaitu Perseroan Terbatas (PT) dan sudah memiliki izin tidak melakukan pengajuan IPP Tetap. Salah satunya adalah kasus pembajakan yang dilakukan operator ilegal di Purwakarta, Jawa Barat. PT. Citra Celebes Multimedia yang IPP terbukti melakukan penyalahgunaan izin penyiaran dengan membajak siaran AXN dan Celestial Movies. PT. Citra Celebes Multimedia telah melanggar hak cipta dan hak siar atas kedua saluran tersebut, dan telah dijatuhi 7 bulan masa kurungan oleh Kejaksaan Negeri Purwakarta.

Demikian pula PT. Bukadri Vision di Balikpapan, Kalimantan Timur. Operator ilegal ini bahkan telah mengantongi IPP Tetap. Untuk mendapatkan IPP Tetap, penyelenggara penyiaran berlangganan harus mengajukan Evaluasi Uji Coba Siaran (EUCS), di mana lembaga penyiaran tersebut akan dievaluasi dengan dilihat tiga aspeknya untuk mendapatkan IPP tetap. Ketiga aspek tersebut yakni, administrasi, siaran, dan tekhnis lembaga penyiaran yang bersangkutan.

Berbekal izin yang telah didapat, Bukadri Vision menyiarkan dan mendistribusikan beberapa saluran, seperti AXN, HBO, HBO Hits, Celestial Movies, yang hak redistribusinya dimiliki oleh PT. MNC Sky Vision Tbk. dan juga menyiarkan siaran yang  berasal dari Lembaga Penyiaran Asing yaitu ASTRO yang penyiarannya di Indonesia dilarang. Dengan demikian Bukadri tidak hanya melanggar HAKI tetapi melanggar Regulasi Pemerintah. Bukadri Vision dijerat pasal 72 ayat 2 Undang-Undang No. 19 tentang Hak Cipta dengan ancaman hukuman 5 tahun penjara. Kini berkas kasusnya ini sedang dilengkapi oleh penyidik Kepolisian Daerah Kalimantan Timur untuk dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri Balikpapan.

Celah ini terus dimanfaatkan oleh operator ilegal untuk menjalankan bisnisnya, di mana para operator ini berlindung dibalik izin yang sudah diberikan. Oleh sebab itu perlu adanya ketegasan dari Kemenkominfo, KPI Pusat dan KPI Daerah dalam mengawasi lembaga penyiaran yang ada, khususnya lembaga penyiaran berlangganan yang secara nyata melakukan pembajakan siaran TV berlangganan resmi.



Istirahat, nyambung nanti.














Tidak ada komentar:

Posting Komentar