Minggu, 03 Mei 2015

Samurai versus Gingseng


The wise man said, Don't judge the story from it's title

Sebuah kisah Sony Xperia dan Lenyapnya Gairah Seksualitas  alias SONY sebagai raksasa Electronik terancam Bangkrut ‍‌‌‌‌‍‌‌‌‌‌

Setelah Vaio, kini Sony merencanakan juga untuk menjual divisi Sony Xperia dan divisi televisi Bravia. Vaio, Xperia dan Bravia adalah deretan brand tangguh. Duka kepiluan terasa membayang menyaksikan kejatuhan brand legendaris dari Jepang ini.

Sampai kapan Sony mampu bertahan, sebelum maut menjemputnya untuk tidur dalam keabadian? Dan apa hubungan lenyapnya gairah seksualitas dengan drama kejatuhan tragis perusahaan Sony?

Rencana Sony untuk melepas divisi smartphone Sony Xperia dan televisi Bravia (setelah menjual Vaio beberapa bulan lalu) memang terasa amat perih. Hanya bisnis Playstation yang mungkin menyelamatkan mereka. But how long can Sony survive?

Salah satu opsi yang amat pahit untuk Sony mungkin adalah ini : membiarkan ikon kebanggaan Jepang ini dicaplok dan diakuisisi oleh Samsung.

Look. Profit Samsung tahun lalu tembus Rp 250 triliun. Sony? Rugi 25 triliun. Betapa jauhnya perbedaan kinerja ini, bagaikan langit dan bumi.

Padahal 25 tahun lalu, petinggi Sony selalu tertawa sarkastis dan penuh hinaan setiap mendengar kata Samsung (dulu, saat Sony masih menjadi dewa dalam jagat elektronik dunia, dan Samsung hanyalah produsen kulkas dengan kualitas abal-abal).

Veteran pegawai Samsung berkisah, betapa sakitnya hati mereka dulu, karena sering di-bully dan dianggap anak kere oleh para manajer Sony (“Disitu kadang kami merasa sedih”, demikian pegawai Samsung itu bercerita).

Namun rasa sakit hati itu mungkin juga menjelma menjadi dendam membara. Hampir semua pegawai Samsung selalu punya tekad untuk menaklukkan dan menghancurkan Sony, suatu hari nanti.

Untuk mewujudkan tekad itu, CEO Samsung pada tahun 1995 merilis program perubahan besar-besaran (transfromasi masif) untuk meningkatkan mutu dan inovasi produk Samsung.

Slogan yang mereka usung saat itu bunyinya heroik : change everyhthing except your wife. Ubah semuanya. Ubah semua proses bisnis, perilaku dan budaya kerja. Ubah semuanya kecuali istrimu. Demi Samsung yang lebih hebat.

Kalau slogan kalian mungkin kebalikan dari slogan samsung itu. Change your wife every two years ‍‌‌‌‌‍‍‍‍‍‌

Pada akhirnya, rasa sakit hati dan heroisme Samsung itu itu mendapatkan validasi. Kini revenue dan profit Samsung jauh diatas Sony. Profitnya bahkan triliunan kali lipat.

Tak terbayangkan, bahwa kini profit Samsung 250T dan Sony justru rugi 25T; dan Samsung siap mencaplok Sony. Banyak penduduk Jepang yang akan mrebes mili jika ikon kebanggaan mereka sampai dicaplok oleh “perusahaan abal-abal” dari sebuah negeri yang dulu pernah mereka jajah.

Pelajaran dari kisah Sony mungkin ini : jangan pernah bersikap arogan dan menyepelekan calon rival. Sebab arogansi hanya akan membawamu dalam ciuman kematian. Arogansi akan pelan-pelan membuatmu terpelanting dalam kesunyian.

Samsung mungkin sebagian besar telah sukses menggilas Sony (yang dulu selalu menghinanya dengan ledekan penuh rasa jumawa).

Namun barangkali juga ada faktor lain yang lebih fundamental, dan ikut membuat Sony limbung.

Faktor itu adalah fakta bahwa negeri Jepang adalah negeri yang menua (aging nation). Studi demografis menulis, dalam 40 tahun ke depan penduduk Jepang akan berkurang 25%. Dan kemudian 90 tahun lagi, penduduk Jepang akan lenyap hingga 60%-nya.

Ya, bangsa Jepang pelan-pelan akan punah dalam makna yang sebenar-benarnya.

Kenapa penduduk Jepang pelan-pelan punah? Karena 90% perempuan muda Jepang enggan menikah dan punya anak. Ribet dan mahal. Mereka lebih suka menjadi Jomblo Forever.

Yang lebih pahit. Penduduk Jepang yang sudah menikah juga makin kehilangan gairah seksual dengan pasangannya. Data dari Japan Family Planning menyebut, lebih dari 50% pasangan Jepang hanya melakukan hubungan seksual sebulan sekali. Bahkan banyak diantaranya yang hanya tiga bulan sekali. (disitu kadang saya merasa sedih).

Kombinasi perempuan jomblo yang enggan menikah dan punya anak, serta pasangan yang makin tidak bergairah secara seksual, membawa akibat fatal. Apa itu? Jumlah bayi baru yang lahir di Jepang kian merosot. Apa akibat selanjutnya? Penduduk Jepang lebih didominasi oleh penduduk yang tua dan uzur. An aging nation. Negeri yang Menua.

Fenomena itu lazim juga disebut sebagai “demographic death spriral”. Negeri Jepang kian menua, dan pelan-pelan terjebak dalam spiral kematian yang membuat mereka punah.

Apa implikasi dari “gejala negeri yang menua” ini bagi perusahaan bisnis? Sama. Perusahaan-perusaaan Jepang juga kian menua. Dalam arti, pegawainya akan lebih banyak didominasi orang-orang tua (berusia 50 tahun keatas).

Bagi perusahaan seperti Sony yang bergerak di industri elektronik dan digital, fenomena itu bisa berarti petaka. Kenapa? Sebab dalam industri elektronika berbasis digital, dinamika kompetisi dan inovasinya bergerak dengan kecepatan tinggi bagaikan kilat.

Sementara jika sebuah perusahaan lebih didominasi oleh “pegawai tua yang senior”, acapkali iklim inovasi tidak bisa tumbuh dengan subur. Pegawai-pegawai yang senior (dan sudah karatan) acapkali lebih resisten dengan dengan perubahan. Pegawai yang senior juga sering punya ego tinggi, dan enggan bekerjasama dengan lainnya. “Sebab hey, gue kan sudah senior dan ratusan tahun kerja disini” ?

Negeri yang makin menua. Perusahaan dengan mayoritas pegawai yang kian uzur. Fakta ini yang boleh jadi merupakan salah satu faktor fundamental dibalik kejatuhan Sony.

Tragisnya : fenomena penuaan alamiah itu dipicu oleh kian lenyapnya gairah dan libido seksual penduduk Jepang.

Tak terbayangkan, sebuah ikon legendaris Jepang yang dulu begitu digdaya jatuh hanya karena sebuah faktor yang amat sederhana. Faktor itu adalah : kegagalan untuk merasakan orgasme seksualitas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar