Jumat, 31 Juli 2020

Perjalanan yang namanya Covid 19


Laboratorium Eijkman institute Indonesia layak diapresiasi, setelah berhasil menyumbang 3 informasi genetik full versi dari virus corona dari 3 pasien Indonesia kepada dunia. Sumbangan informasi genetik itu punya makna ganda: pertama, akhirnya kita bisa melacak asal virus corona itu dari mana dan sejak kapan masuk Indonesia, dan kedua, membuka peluang Indonesia untuk bisa membuat vaksin anti virus covid 19 dengan ciri khas Indonesia.

Lalu bagaimana bisa?

Ini karena ratusan laboratorium center dari puluhan negara sudah mengirimkan sampel informasi genetik virus corona dari negara mereka masing-masing, yang luar biasanya, ternyata rantai genetiknya di tiap negara berbeda-beda. Artinya, virus corona ini punya kemampuan mutasi yang sangat tinggi. Minimal saat ini di seluruh dunia sudah ditemukan 30 strain atau jenis dari virus ini berdasarkan mutasi atau perubahan genetiknya tersebut.

Nah, setelah dicocokkan, informasi genetik virus corona pada 3 orang Indonesia yang dikirimkan itu cocok dengan beberapa negara, sehingga disimpulkan bahwa ketiga generasi virus corona yang akhirnya berlabuh ke 3 orang Indonesia itu masing-masing telah melewati jalur ini :

Virus pertama: dari China dibawa ke Australia, lalu menular ke jepang, dan dari Jepang masuk ke Indonesia.

Virus kedua, dari China, lalu dibawa terbang ke Inggris, setelah berbuat onar di Inggris lalu terbawa ke Amerika serikat, lalu lolos imigrasi di Dubai, lalu mungkin tertular pada jamaah umroh yang transit di Dubai dan akhirnya terbawa ke Indonesia.

Virus ketiga, dari China, terbang juga (pasiennya) ke Inggris, lalu terbawa pasien lain ke Amerika serikat, dan boleh jadi ada WNI yang ada di AS membawa pulang virus ini ke Indonesia.

Intinya, gen (selanjutnya disebut genome) virus covid 19 dari 3 pasien di Indonesia ini sudah berubah dari genome virus asalnya di China sana. Sudah bermutasi. Otomatis, sifatnya juga ikut bermutasi. Termasuk virulensinya, atau keganasannya, sudah pasti ikut berubah pula.

(Padahal baru 3 sampel genetik virus yang ditemukan dari 11 ribu kasus di seluruh Indonesia).

Sehingga, kelak vaksin yang efektif untuk virus covid 19 di Indonesia sebaiknya ya mengikuti informasi genetik berdasarkan genome virus corona yang akhirnya berhenti di Indonesia ini, karena vaksin-vaksin yang dibuat berdasarkan informasi genetik dari virus covid 19 di luar negeri bisa jadi nggak efektif untuk pasien di Indonesia.

Jadi segera lupakan soal teori konspirasi virus ini senjata biologis atau teori konspirasi jualan vaksin karena hal tersebut hanya akan membuat diri kita makin khawatir dalam kesehariannya nanti dan itu bisa berimplikasi pada kesehatan kita sendiri.

Kemudian bagian menariknya adalah

Dari berbagai laporan informasi genetik virus covid 19 di negara lain, jika dibandingkan dengan minimal ketiga sampel virus covid 19 Indonesia tadi, ternyata tidak ada satupun virus covid 19 di negara mereka yang menunjukkan jejak genetik bahwa mereka berasal dari Indonesia. Jadi, virus-virus ini masuk ke Indonesia dari luar negeri, dan selanjutnya virus-virus ini menyebar secara lokal saja di Indonesia.

Artinya apa? 

Artinya adalah, KITA tanpa sadar dan waspada membiarkan virus-virus itu masuk ke Indonesia, dan selanjutnya kita juga tidak waspada membiarkan virus-virus itu menyebar ke seluruh wilayah Indonesia yang lain.

Lalu siapa yang disebut oleh "KITA". Kalau "KITA" yang pertama, tentu yang bikin kebijakan. Contohnya, kebijakan PSBB yang seperti tidak PSBB, kebijakan mudik..nggak.. mudik.. nggak..akhirnya pulang kampung saja belum lagi disaat Idul Adha pemerintah sudah melonggarkan PSBB, dan yang paling gress : Menjalankan moda transportasi beroperasi di tengah pelaksanaan PSBB dan kasus lagi puncak-puncaknya dalam suasana mudik pula. 

Epic dan sensasional banget kan kondisi di Negara tercinta ini.


Sedangkan KITA yang kedua, 

Ya KITA semua sebagai warga negara. "Sama corona kok takut...takut itu sama Tuhan".... sehingga tempat tempat beribadah masih penuh.

atau

"saya lebih baik mati kena corona daripada mati kelaparan..." dan pasar-pasarpun berdesakan, terutama menjelang acara-acara keagamaan.

atau

"Tambah sesek kalo pakai masker, nggak bisa napas" dan warung kopi pun masih penuh anak muda cangkrukan atau, "Saya mau disuntik virus corona asal kalau saya baik baik saja seluruh tenaga medis harus masuk bui" dan kamipun dapat hiburan gratis dan lain sebagainya.

Belum lagi banyaknya Narasi-narasi yang beredar diluar sana mengenai virus Covid 19 yang membuat masyarakat makin tenggelam dalam ketidak pahaman selain fungsi Edukasi pemerintah daerah yang saya nilai sangat lamban.

Jadi bagaimana kita bisa memprediksi akhir dari pandemi ini di Indonesia?

Ya boleh berharap vaksin akan datang. Tapi jangan berharap vaksin itu jadi satu-satunya penawar. Apalagi vaksin dari luar.

Bila kita semua, yang di atas dan yang di bawah, tetap gini-gini aja.


Pahami Corvid 19

Saya akan coba menyederhanakan cerita. Agar tak bikin cemas, apalagi was-was, tapi tetap awas. Karena covid-19 ini penyakit "rahasia Tuhan" yang hingga kini masih bikin terkaget-kaget para ahli, tapi kalau kita sikapi dengan pas dengan harapan kita akan tetap sehat jasmani dan rohani.

Untuk itu harus paham betul bagaimana perjalanan penyakit ini, meskipun kita semua masih belum paham betul bagaimana sebenarnya ia bisa menular ke sana kemari.

Berawal dari hari ketika seseorang terinfeksi virus ini (hari 0, garis biru).
Nama virus penyebab covid-19 ini adalah virus SARS-CoV-2. Ketika ia mulai menyelinap masuk ke dalam tubuh kita, lewat hidung, mulut, dan mungkin kelopak mata, maka virus ini mulai berkembang biak, tapi tak bikin kita merasa sakit. Bahkan kita tak sadar kalau di dalam tubuh kita virus ini mulai memperbanyak dirinya, dan mulai berperang dengan sistem imun kita yang di level sederhana.

Garis biru ini menggambarkan keberadaan virusnya. Coba lihat, semakin hari semakin tinggi. Artinya, virus SARS-CoV-2 ini semakin hari semakin banyak "kloning"nya.

Nah, sepanjang garis biru ini, hari ke-0 hingga hari ke 28, bila kita diperiksa dengan PCR (dari hapusan lendir di tenggorokan dan pangkal hidung) maka hasilnya akan positif. Karena PCR ini fungsinya mendeteksi keberadaan virus SARS-CoV-2 ini. Jadi, walaupun kita sudah terinfeksi SARS-CoV-2, kalau diperiksa PCR nya pada hari ke 29 atau lebih (artinya sebulan setelah terinfeksi), PCR nya akan negatif, karena virusnya sudah nggak ada.

Lho, virusnya sudah nggak ada? Beneran Nih?


Pastinya Dong

Virusnya sudah habis dibabat oleh sistem imun kita yang levelnya lebih tinggi, namanya antibodi. Ada dua antibodi yang akan melawan virus corona ini, yaitu IgM (garis hijau, mulai diproduksi tubuh kita pada hari ke-7 setelah infeksi) dan IgG (garis merah, mulai diproduksi pada hari ke 14, dua minggu setelah virus ini pertama kali masuk ke dalam tubuh kita).

Nah, gara-gara dua antibodi ini, atas ijin Tuhan tentunya, jalannya pertempuran mulai berubah, virus mulai kalah dan lama-lama habis di hari ke 28. Meskipun antibodi IgM sudah tidak lagi diproduksi tubuh di hari ke 21, tapi perjuangannya masih diteruskan oleh IgG sampai agak lama. Entah berapa lama. Tapi yang jelas, virusnya akan hilang lebih dulu sebelum produksi IgG habis.

Wah, berarti orang yang terinfeksi covid-19 bisa sembuh total dong?


Iya bisa. Tapi syarat dan ketentuan berlaku keras.

Yaitu: kita tak punya penyakit yang membuat tubuh kita gampang dirusak virus SARS-CoV-2 ini, seperti kencing manis, darah tinggi, penyakit jantung, penyakit paru, dan usia kita nggak terlalu tua.

Dan jangan sampai covid-19 yang kita derita sampai membuat radang paru atau pneumonia, karena risiko kematian jadi meningkat. Taruh kata nantinya sembuh, kalau sudah pneumonia maka paru-paru kita akan cacat yang membuat nafas kita jadi gampang ngos-ngosan.

Tapi kok ada yang masih muda, nggak punya penyakit apapun, kok ya tetap meninggal dunia? Nah, itulah yang saya bilang: rahasia ilahi. Tapi itu tak banyak, hanya 20%. Sisanya, sekitar 60%, yang bisa meninggal kena covid-19 ini ya yang seperti saya sebutkan di atas.

Nah, kembali ke grafik diatas

Jadi, biasanya, gejala sakit covid-19 ini akan mulai terasa pada hari ke-5 setelah terinfeksi. Karena yang menghadapi virus SARS-CoV-2 ini masih sistem imun ecek-ecek. Antibodi belum diproduksi.

Nah, karena antibodi belum diproduksi, kalau orang yang batuk dan demam serta nyeri telan bila diperiksa dengan rapid test di hari ke-0 hingga hari ke-6 tentu hasilnya negatif, karena, berbeda dengan PCR yang memeriksa keberadaan virusnya, rapid test ini (umumnya) memeriksa kemunculan antibodi.

Jadi, kalau tidak diperiksa PCR tapi diperiksa rapid test dan hasilnya negatif, jangan gembira dulu. Siapa tahu harinya belum pas. Karena itu, pemeriksaan PCR adalah pemeriksaan yang lebih akurat dibanding rapid test, walaupun lebih lama prosesnya.

Sampai kapan kira-kira orang yang terinfeksi covid-19 diperiksa rapid test hasilnya positif? Ya "selamanya".

Lho, katanya bisa sembuh? Iya. makanya, kalau diperiksa rapid test dan hasilnya positif, jangan stress dulu. Coba lanjutkan dengan pemeriksaan PCR.

Kalau ternyata pemeriksaan PCR nya positif, berarti anda sedang terinfeksi covid-19 dan virusnya masih ngendon di tubuh anda. Kalau gejalanya nggak parah, maka istirahat, minum vitamin C, dan tetap di kamar. Jangan keluyuran meskipun di dalam rumah, karena orang tua kita bisa tertular dan bisa saja gejalanya lebih parah dan bahkan sampai mengancam jiwa mereka. Karena usia mereka lebih tua. Apalagi keluyuran ke pasar, ke masjid, ke tetangga.

Dan jangan stress. Ketenangan, kegembiraan, dan hati yang damai sangat membantu penyembuhan.

Tapi kalau ternyata saat hasil rapid test anda positif, dan setelah dilanjutkan dengan pemeriksaan PCR ternyata hasilnya negatif, selamat!! Anda sudah terinfeksi covid-19, paling sebentar 1 bulan yang lalu, tapi penyakitnya udah lewat, dan virusnya sudah hilang, dan anda dapat bonus kekebalan (insya Allah) terhadap covid-19 ini berupa antibodi anti-covid 19 yang insya Allah akan bertahan lama (garis merah).


Tapi ingat, cerita ini hanya bagi yang bukan risiko tinggi seperti yang saya sebut di atas ya.

Dan yang lebih Gilanya adalah menurut data riset terbaru saat ini dari sebuah studi menunjukkan seseorang dikhawatirkan bisa terinfeksi dua mutasi virus Corona dalam satu waktu. Hal ini bisa meningkatkan risiko kematian akibat COVID-19.

Studi tersebut menemukan bahwa mutasi virus Corona kini lebih mudah menular. Namun para ahli meyakini tampaknya mutasi tersebut tidak membuat virus Corona lebih berbahaya dibanding sebelumnya.

"Kami tahu bahwa virus baru (virus Corona COVID-19) telah bermutasi. Sekilas tidak terlihat seperti lebih buruk," kata Erica Ollmann Saphire dari La Jolla Institute for Immunology dan Coronavirus Immunotherapy Consortium, yang bekerja pada penelitian ini, mengatakan kepada CNN.

Mutasi disebut mempengaruhi protein spike, struktur yang digunakan virus untuk masuk ke dalam sel yang terinfeksi. Para peneliti juga mempelajari apakah mutasi virus Corona ini dapat berpengaruh pada pengembangan vaksin Corona.
Studi yang diterbitkan dalam jurnal Cell, mengkonfirmasi bahwa mutasi virus Corona membuat Corona lebih cepat menyebar. Para peneliti menyebut mutasi baru G614 lebih menular daripada D614 yang ditemukan menyebar di Eropa dan Amerika.

"Data pelacakan global kami menunjukkan bahwa varian G614 telah menyebar lebih cepat daripada D614," kata ahli biologi teoritis Bette Korber dari Los Alamos National Laboratory dan rekannya dalam laporannya.

https://www.cell.com/cell/fulltext/S0092-8674(20)30820-5


Jadi kalau anda masih muda, nggak penyakitan, ingatlah anda bisa tetap sehat meskipun terinfeksi covid-19 tapi anda menjadi orang yang paling berbahaya bagi orang tua dan kakek-nenek anda karena bisa saja anda jadi orang yang terinfeksi dan tidak muncul gejala, sehingga tanpa sadar dan tanpa rasa berdosa bisa membunuh orang tua dan kakek-nenek anda dengan virus yang anda bawa pulang ke rumah.

Itulah sebabnya mengapa anda diminta untuk tetap di rumah dan memakai masker ketika terpaksa keluar rumah. Bukan hanya untuk anda. Tapi untuk anak-istri dan orang tua di rumah.

Hingga kini jumlah orang yang positif terinfeksi virus Corona atau Covid 19 di Indonesia kian hari kian bertambah. Guna mencegah penyebaran virus Corona lebih luas lagi, Presiden Joko Widodo menginstruksikan untuk melakukan rapid test, khususnya di beberapa wilayah di Indonesia yang memiliki kasus COVID-19 yang tinggi.


Mengenali Jenis Antibodi

Terdapat beberapa jenis antibodi dan masing-masing memiliki fungsi tersendiri. Antibodi dikenal juga dengan immunoglobulin. Berikut ini adalah jenis-jenis antibodi:

1. Immunoglobulin A (IgA)

Antibodi IgA merupakan jenis antibodi yang paling umum ditemukan di dalam tubuh dan terlibat dalam proses terjadinya reaksi alergi.

Di dalam tubuh, antibodi IgA banyak ditemukan di lapisan mukosa (selaput lendir) tubuh, terutama yang melapisi saluran pernapasan dan saluran pencernaan. IgA juga banyak ditemukan pada cairan tubuh, seperti air liur, dahak, air mata, cairan vagina, dan ASI.

Pemeriksaan antibodi IgA juga biasanya dilakukan oleh dokter untuk mendiagnosis gangguan pada sistem imunitas, misalnya penyakit celiac.

2. Immunoglobulin E (IgE)

Antibodi IgE umumnya ditemukan di darah dalam jumlah yang sedikit. Namun, jumlah antibody IgE akan meningkat ketika tubuh mengalami reaksi peradangan akibat alergi. Secara medis, pemeriksaan antibodi IgE dilakukan untuk mendeteksi penyakit alergi dan infeksi parasit.

3. Immunoglobulin G (IgG)

Antibodi IgG adalah jenis antibodi yang paling banyak ditemukan di dalam darah dan cairan tubuh lainnya. Ketika antigen seperti kuman, virus, atau zat kimia tertentu masuk ke dalam tubuh, sel-sel darah putih akan "mengingat" antigen tersebut dan membentuk antibodi IgE untuk melawannya.

Dengan demikian, jika antigen tersebut kembali masuk ke dalam tubuh atau menyerang tubuh Anda, sistem kekebalan tubuh akan mudah mengenalinya dan melakukan perlawanan karena antibodi sudah terbentuk lebih dulu.

4. Immunoglobulin M (IgM)

Tubuh akan membuat antibodi IgM saat Anda pertama kali terinfeksi bakteri atau virus sebagai bentuk pertahanan pertama tubuh untuk melawan infeksi. Kadar IgM akan meningkat dalam waktu singkat saat terjadi infeksi, kemudian perlahan menurun dan digantikan oleh antibodi IgG.

Oleh sebab itu, hasil pemeriksaan IgM dengan nilai yang tinggi, sering kali dianggap sebagai tanda adanya infeksi yang masih aktif.Dokter biasanya akan melakukan pemeriksaan antibodi IgM bersamaan dengan tes antibodi IgA dan IgG untuk memantau kondisi dan fungsi sistem kekebalan tubuh serta mendiagnosis apakah terdapat penyakit tertentu, seperti infeksi atau penyakit autoimun.

Kondisi yang Memerlukan Tes Antibodi

Manfaat dari tes antibodi adalah untuk membantu mendiagnosis adanya infeksi pada berbagai organ tubuh, terutama gangguan sistem kekebalan tubuh, masalah pencernaan, dan infeksi saluran pernapasan.

Tes antibodi juga bisa dilakukan untuk mendeteksi penyakit tertentu, seperti dermatitis kontak alergi, eksim atopik, rhinitis alergi, dan asma. Selain itu, dokter juga mungkin merekomendasikan tes antibodi jika Anda memiliki beberapa gejala berikut ini:
  • Ruam kulit
  • Alergi
  • Sakit setelah bepergian
  • Sering pilek
  • Sesak napas
  • Diare yang tak kunjung sembuh
  • Penurunan berat badan tanpa sebab
  • Demam yang tidak diketahui penyebabnya
Tes antibodi juga memiliki manfaat lain, yaitu untuk mendiagnosis myeloma, yaitu suatu kondisi ketika sumsum tulang memproduksi terlalu banyak limfosit, sehingga jumlah antibodi tidak normal. Tes antibodi pun dapat dilakukan untuk mendiagnosis beberapa jenis kanker.

Selain itu, tes antibodi juga bisa dilakukan untuk mendeteksi penyakit tertentu yang mungkin muncul selama masa kehamilan. Pemeriksaan antibodi pada ibu hamil biasanya dilakukan melalui pemeriksaan TORCH.

Pada kondisi tertentu, dokter juga akan menyarankan pemeriksaan antibodi untuk memantau kadar jumlah antibodi terhadap virus atau bakteri. Tes ini biasanya dilakukan untuk memantau apakah tubuh Anda masih memiliki kekebalan terhadap kuman atau virus tertentu setelah Anda menjalani vaksinasi.

Karena ada banyak kondisi medis yang dapat meningkatkan produksi antibodi di dalam tubuh, Anda sebaiknya berkonsultasi ke dokter untuk mempertimbangkan tes antibodi, jika memiliki riwayat penyakit alergi atau penyakit lain yang sering kambuh.

Setelah melakukan serangkaian pemeriksaan medis, termasuk tes alergi, dokter akan menentukan diagnosis penyakit yang Anda alami dan memberikan penanganan yang sesuai.


Fungsi Rapid Test

Keberadaan alat tes diagnostik cepat (rapid diagnostic test) untuk COVID-19 di Indonesia saat ini bukan malah memecahkan masalah tapi justru menimbulkan kegelisahan baru di kalangan masyarakat.

Masalah utamanya adalah tingkat akurasi hasil rapid test yang rendah, bahkan pada orang dengan gejala. Hal ini mengakibatkan banyak pihak yang melakukan rapid test positif, tapi ternyata tidak terinfeksi atau sebaliknya.

Pemerintah sudah mengakui ketidak akuratan dan ketidak efektifan rapid test dan berencana memperbanyak tes yang menggunakan sampel dari lendir hidung atau tenggorokan dengan tes real-time reverse transcriptase Polimerase Chain Reaction (rRT-PCR) untuk mendeteksi virus di molekul RNA. Tes PCR lebih akurat mendeteksi virus dibanding tes diagnostik cepat.

Padahal, pemerintah Indonesia sudah menyebar 500.000 rapid test untuk mendeteksi penyakit COVID-19 ke berbagai daerah beberapa waktu yang lalu. Beberapa institusi juga memeriksa secara mandiri.

Tulisan ini berusaha menjelaskan mengapa tes diagnosis cepat ini bisa tidak akurat dalam mendeteksi virus SARS-CoV-2 yang menjadi penyebab COVID-19.


Dua jenis rapid test: antigen dan antibodi

Ada dua jenis rapid test yang ada saat ini: tes yang berdasarkan antigen, seperti dilakukan di Korea Selatan dan Malaysia, dan yang berdasarkan antibodi, seperti di Amerika Serikat dan Indonesia saat ini.

Untuk memahaminya, kita harus terlebih dulu memahami hubungan antigen dan antibodi.

1. Rapid test antibodi
    Spesimen yang diperlukan untuk pemeriksaan ini adalah darah. Pemeriksaan ini               dapat dilakukan pada komunitas (masyarakat).

2. Rapid test antigen
    Spesimen yang diperlukan untuk pemeriksaan ini adalah swab orofaring atau swab           nasofaring.

Ketika ada antigen yang masuk ke dalam tubuh kita, dalam hal ini virus SARS-CoV-2, sistem pertahanan tubuh kita akan melawan. Jika tubuh kita disamakan dengan sistem pertahanan negara, maka tentara dalam tubuh kita bernama sel darah putih. Ketika serangan musuh semakin hebat, maka makin banyak juga sel darah putih yang dikerahkan.

Tidak semua sel darah putih menjadi tentara yang menyerang. Ada juga yang menjalankan fungsi sebagai mata-mata. Mereka bertugas membuat profil musuh, dalam hal ini profil virus yang akan dilawan. Setelah informasi profil virus terkumpul, akan ada tim khusus yang akan melawan virusnya. Tim khusus ini yang disebut sebagai antibodi. Untuk melawan virus, antibodi akan menempel pada antigen sehingga kemampuan virus memasuki sel dan memperbanyak diri dicegah.

Dengan penjelasan tersebut, kita dapat memahami bahwa rapid test antigen adalah tes diagnosis cepat untuk mendeteksi keberadaan antigen yaitu benda asing dalam tubuh.

Dalam kasus ini, antigen yang dimaksud adalah virus SARS-CoV-2. Di dalam alat tes berbasis antigen terdapat antibodi yang dipakai untuk mendeteksi antigen. Sampel pemeriksaan untuk tes cepat antigen biasanya diambil dari lendir di belakang tenggorok pasien, setelah diproses, akan diteteskan pada alat tes. Jika terdapat antigen dalam bahan pemeriksaan maka akan terjadi penempelan dengan antibodi yang tersedia dalam alat tes. Ini artinya hasilnya positif.

Sebaliknya, rapid test antibodi akan mendeteksi apakah ada antibodi dalam sampel darah yang diperiksa. Sampel untuk tes cepat antibodi adalah darah yang diambil dari ujung jari. Dalam alat ini terdapat antigen untuk mendeteksi munculnya antibodi di tubuh pasien. Jika pernah terpapar virus, maka akan terjadi pertemuan antara antibodi dalam darah pasien dengan antigen yang sudah ada dalam alat tes ini. Jika memang ada atau pernah terpapar virus, maka hasilnya akan positif.

Mengapa akurasinya tidak 100%

Antigen biasanya ditemukan pada saat awal penyakit. Setelah itu tubuh bereaksi dengan membentuk antibodi. Antigen dan antibodi ini akan membentuk pasangan antigen dan antibodi yang tidak bisa lepas.


Jika antigen adalah gembok, maka antibodi adalah anak kuncinya. Jika antibodi sudah bergabung dengan antigen tertentu, maka antigen yang kita cari tidak akan terdeteksi. Akibatnya hasil tes akan menunjukkan negatif palsu. Artinya akan ada orang yang sebetulnya mengandung antigen SARS-CoV-2 tapi malah dinyatakan negatif.

Sementara itu, antibodi baru muncul beberapa hari setelah tubuh bertempur melawan kuman. Proses memata-matai musuh butuh waktu, sehingga antibodi pun baru muncul belakangan. Jadi rapid test antibodi baru akan positif ketika antibodi sudah terbentuk. Jika pemeriksaan dilakukan sebelum terbentuk antibodi, maka hasil tes pun bisa negatif palsu. Artinya akan ada orang yang sesungguhnya mempunyai virus, tapi karena belum menghasilkan antibodi maka memperlihatkan hasil tes yang negatif.

Oleh karena itu, jika hasil pemeriksaan negatif, maka pemeriksaan harus diulang 7-10 hari kemudian dengan harapan antibodi sudah terbentuk dan dapat dites. Sedangkan, rapid test antigen tidak bisa diulang karena antigen yang dicari sudah terikat pada antibodi buatan tubuh.

Kelemahan lain dari rapid test adalah kurang peka dalam mengidentifikasi keberadaan virus SARS-CoV-2. Virus tersebut mirip dengan virus lain, sehingga sering kali tes diagnosis cepat salah dalam mengidentifikasinya dan menghasilkan hasil tes positif palsu, artinya orang yang tidak terinfeksi virus SARS-CoV-2 bisa terdeteksi positif.

Rapid test antigen dipercaya lebih akurat dibanding rapid test antibodi karena tes yang melibatkan antigen, artinya tes yang dilakukan untukk mendeteksi virusnya bukan respons tubuh terhadap virus (antibodi).

Teknik pengambilan sampel untuk rapid test antigen sedikit lebih rumit jika dibanding rapid test antibodi. 

Kelebihan rapid test

Di samping kelemahannya, masih banyak yang menggunakan rapid test karena lebih mudah.

Penggunaannya tidak memerlukan fasilitas laboratorium yang canggih dan hasilnya dapat cepat didapat untuk mengetahui apakah seseorang kemungkinan menderita atau tidak menderita COVID-19.

Dalam waktu kurang dari 1 jam biasanya sudah bisa didapatkan hasil, jauh lebih cepat dibandingkan dengan pemeriksaan yang direkomendasikan Badan Kesehatan Dunia (WHO) yaitu PCR dan identifikasi urutan nukleotida (asam-ribonukleotida) virus COVID-19 yang membutuhkan waktu hingga berhari-hari bahkan pihak FDA di amerika pun saat ini sangat merekomendasikan alat Rapid test Antigen https://www.fda.gov/news-events/press-announcements/coronavirus-covid-19-update-fda-authorizes-first-antigen-test-help-rapid-detection-virus-causes

Karena teknologinya lebih sederhana, maka harga rapid test pun lebih murah dibandingkan dengan biaya PCR.


Di gerai online, alat rapid test antibodi sekarang dijual sekitar Rp 150.000 per unit  sedangkan yang antigen berkisar sekitar Rp 400.000 sampai Rp 550.000 per unitnya betbeda dengan PCR yang biayanya mencapai jutaan. Penjualan alat rapid test secara online akhirnya dilarang.

Kita perlu memahami bahwa hasil positif dari rapid test tidak menjadikan seseorang dapat dikatakan menderita COVID-19. Hasil positif harus dikonfirmasi dengan tes PCR yang direkomendasikan WHO untuk memastikan apakah yang terdeteksi betul-betul berkaitan dengan penyakit COVID-19.

Bahkan Jubir Pemerintah untuk COVID-19, Achmad Yurianto mengatakan hal yang sama, jika saat rapid test ditemukan gejala COVID-19, maka tetap harus dilakukan konfirmasi dengan menggunakan PCR.

Demikian juga ketika hasilnya negatif. Hasil negatif pada pasien yang terinfeksi COVID-19 harus diikuti dengan isolasi dan pemeriksaan ulang rapid test antibodi 7-10 hari kemudian. Jika negatif, baru dianggap virusnya tidak terdeteksi.


Lalu apa yang dimaksud Test Cepat RT-PCR

RT-PCT menggunakan sampel usapan lendir dari hidung atau tenggorokan. Lokasi ini dipilih karena menjadi tempat virus berreplikasi. Sementara itu, rapid test menggunakan sampel darah.

Cara Kerjanya

Virus yang aktif memiliki material genetika yang bisa berupa DNA maupun RNA. Pada virus corona, material genetiknya adalah RNA. Nah, RNA inilah yang diamplifikasi dengan RT-PCR sehingga bisa dideteksi.

Rapid test bekerja dengan cara yang berbeda. Virus corona COVID-19 tidak hidup di darah, tetapi seseorang yang terinfeksi akan membentuk antibodi yang disebut immunoglobulin, yang bisa dideteksi di darah. Immunoglobulin inilah yang dideteksi dengan rapid test.

Simpelnya, RT-PCR mendeteksi keberadaan virus sedangkan rapid test mendeteksi apakah seseorang pernah terpapar atau tidak.

Terkait cara kerja, RT-PCR harus dikerjakan di laboratorium dengan standar biosafety level tertentu. Rapid test lebih praktis karena bisa dilakukan di mana saja.

Ahmad Rusdan Handoyo Utomo PhD, Principal Investigator, Stem-cell and Cancer Research Institute, menjelaskan bahwa rapid test bisa memberikan hasil 'false negative' yakni tampak negatif meski sebenarnya positif. Ini terjadi bila tes dilakukan pada fase yang tidak tepat.

"Data antibodi tidak selalu bersamaan dengan data PCR. Ketika data PCR menunjukkan virus RNA terdeteksi, kadang-kadang antibodi belum terbentuk," jelasnya.

Kemungkinan false negative ini juga disinggung oleh juru bicara pemerintah untuk penanganan COVID-19, Achmad Yurianto.

"Hanya masalahnya bahwa yang diperiksa immunoglobulin-nya maka kita butuh reaksi immunoglobulin dari seseorang yang terinfeksi paling tidak seminggu karena kalau belum seminggu terinfeksi atau terinfeksi kurang dari seminggu pembacaan immunoglobulin-nya akan menampilkan gambaran negatif," kata Yuri.

RT-PCR jelas membutuhkan waktu lebih lama. Belum termasuk waktu pengiriman sampel karena pemeriksaan virus corona sempat dipusatkan hanya di laboratorium Litbangkes (Penelitian dan Pengembangan Kesehatan) di Jakarta. Rapid test bisa dilakukan kapan saja dan hanya butuh waktu 15-20 menit untuk mendapatkan hasilnya.

"Untuk skrining di bandara misalnya, rapid diagnostik cukup menjanjikan karena hanya 20 menit," kata Ahmad.

Untuk kebutuhan massive screening dan menemukan lebih banyak kasus, rapid test berbasis antibodi dinilai sebagai pilihan yang tepat.

Lalu berapa Biayanya

Rapid test diklaim lebih ekonomis dibanding RT-PCR. Dalam sebuah wawancara, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kesehatan (Balitbangkes), memberikan perkiraan biata RT-PCR.

"Per orang rata-rata total unit cost mulai dari ambil spesimen, transport, pemeriksaan PCR sekitar Rp 1,5 juta," sebutnya.

Saat ini untuk membantu kita menghadapi kondisi pandemi yang ada saat ini bagi pengguna Android bisa juga mendownload beberapa aplikasi resmi yang bisa membantu kita mendapatkan informasi-informasi yang bermanfaat adapun aplikasi tersebut bisa di download yaitu PeduliLindungi aplikasi kerjasama Komimfo dan BNPB lalu ada InaRisk aplikasi yang di develop oleh BNPB yang mencakup tidak hanya untuk Corvid 19 saja melainkan bencana lainnya dan yang terakhir adalah aplikasi Bersatu lawan corvid 19 (BLC) yang dikembangkan oleh Task force percepatan menghadapi Corvid 19.

Perubahan istilah ODP, PDP, dan OTG


Revisi Pedoman Pengendalian dan Pencegahan COVID-19 dalam Keputusan Menteri Kesehatan (Kepmenkes/KMK) nomor HK.01.07/MENKES/413/2020 memunculkan istilah baru yang perlu dipahami masyarakat.

  • Arti kasus probable
  • Perubahan istilah ODP, PDP, dan OTG
  • Pengertian kasus suspek
  • Pengertian kasus konfirmasi
  • Pengertian kasus kontak erat
  • Kasus probable atau konfirmasi yang bergejala
  • Istilah pelaku perjalanan, discarded, selesai isolasi dan kematian

Arti kasus probable

Istilah baru yang dimaksudkan adalah kasus probable, yaitu orang yang diyakini sebagai suspek dengan ISPA Berat atau gagal nafas akibat aveoli paru-paru penuh cairan (ARDS) atau meninggal dengan gambaran klinis yang meyakinkan COVID-19 DAN belum ada hasil pemeriksaan laboratorium RT-PCR.

Sementara beberapa istilah lain mengalami perubahan, diantaranya orang dalam pemantauan (ODP), pasien dalam pengawasan (PDP), dan orang tanpa gejala (OTG). Perubahan istilah menjadi Kasus Suspek, Kasus Konfirmasi (bergejala dan tidak bergejala), dan Kontak Erat.

Pengertian kasus suspek

Kasus Suspek Seseorang yang memiliki salah satu dari kriteria berikut:

Orang dengan Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) dan pada 14 hari terakhir sebelum timbul gejala memiliki riwayat perjalanan atau tinggal di negara/wilayah Indonesia yang melaporkan transmisi local.

Orang dengan salah satu gejala/tanda ISPA, dan pada 14 hari terakhir sebelum timbul gejala memiliki riwayat kontak dengan kasus konfirmasi/probable COVID-19.

Orang dengan ISPA berat/pneumonia berat yang membutuhkan perawatan di rumah sakit dan tidak ada penyebab lain berdasarkan gambaran klinis yang meyakinkan.

Pengertian kasus konfirmasi

Kasus Konfirmasi Seseorang yang dinyatakan positif terinfeksi virus COVID-19 yang dibuktikan dengan pemeriksaan laboratorium RT-PCR. Kasus konfirmasi dibagi menjadi 2, yakni kasus konfirmasi dengan gejala (simptomatik), dan kasus konfirmasi tanpa gejala (asimptomatik).

Pengertian kasus kontak erat

Kontak Erat adalah orang yang memiliki riwayat kontak dengan kasus probable atau konfirmasi COVID-19. Riwayat kontak yang dimaksud antara lain:

Kontak tatap muka/berdekatan dengan kasus probable atau kasus konfirmasi dalam radius 1 meter dan dalam jangka waktu 15 menit atau lebih.

Sentuhan fisik langsung dengan kasus probable atau konfirmasi (seperti bersalaman, berpegangan tangan, dan lain-lain).

Orang yang memberikan perawatan langsung terhadap kasus probable atau konfirmasi tanpa menggunakan APD yang sesuai standar.

Situasi lainnya yang mengindikasikan adanya kontak berdasarkan penilaian risiko lokal yang ditetapkan oleh tim penyelidikan epidemiologi setempat (penjelasan sebagaimana terlampir).

Kasus probable atau konfirmasi yang bergejala.

Pada kasus probable atau konfirmasi yang bergejala (simptomatik), untuk menemukan kontak erat periode kontak dihitung dari 2 hari sebelum kasus timbul gejala dan hingga 14 hari setelah kasus timbul gejala.

Pada kasus konfirmasi yang tidak bergejala (asimptomatik), untuk menemukan kontak erat periode kontak dihitung dari 2 hari sebelum dan 14 hari setelah tanggal pengambilan spesimen kasus konfirmasi.

Istilah pelaku perjalanan, discarded, selesai isolasi dan kematian.

Selain istilah-istilah tersebut, dalam KMK juga tercantum istilah lain berupa Pelaku Perjalanan, Discarded, Selesai Isolasi, dan Kematian.

Pelaku Perjalanan adalah seseorang yang melakukan perjalanan dari dalam negeri (domestik) maupun luar negeri pada 14 hari terakhir.

Discarded, dikatakan discarded apabila memenuhi salah satu kriteria berikut:

Seseorang dengan status kasus suspek dengan hasil pemeriksaan RT-PCR 2 kali negatif selama 2 hari berturut-turut dengan selang waktu >24 jam.

Seseorang dengan status kontak erat yang telah menyelesaikan masa karantina selama 14 hari.

Selesai Isolasi, apabila pasien memenuhi salah satu kriteria berikut:

Kasus konfirmasi tanpa gejala (asimptomatik) yang tidak dilakukan pemeriksaan follow up RT-PCR dengan ditambah 10 hari isolasi mandiri sejak pengambilan spesimen diagnosis konfirmasi.

Kasus probable/kasus konfirmasi dengan gejala (simptomatik) yang tidak dilakukan pemeriksaan follow up RT-PCR dihitung 10 hari sejak tanggal onset dengan ditambah minimal 3 hari setelah tidak lagi menunjukkan gejala demam dan gangguan pernapasan.

Kasus probable/kasus konfirmasi dengan gejala (simptomatik) yang mendapatkan hasil pemeriksaan follow up RT-PCR 1 kali negatif, dengan ditambah minimal 3 hari setelah tidak lagi menunjukkan gejala demam dan gangguan pernapasan.

Mudah-mudahan dengan Istilah yang baru membuat kita paham dan mengerti dengan istilah penamaan yang diatur oleh Menkes.


Salam Sehat selalu untuk kita semua.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar