Jumat, 22 Oktober 2021

Peluang serta Tantangan Industri Healthcare



Disaat Pandemi Covid-19 mencuat diawal tahun 2020 ini membuat Industri Healthcare membuat masyarakat semakin memperhatikan kesehatan dan bila mereka sakit kini mulai memilih layanan kesehatan berbasis aplikasi.

Ketentuan jaga jarak sosial, pembatasan perjalanan, dan kebersihan di masa pandemi Covid-19 diprediksi akan membentuk kebiasaan-kebiasaan baru di masyarakat. Sedangkan beberapa regulasi baru untuk mencegah penyebaran virus di masyarakat berpotensi menciptakan era baru bagi perekonomian.

Era normal baru atau “new normal“ perekonomian ini kemungkinan tidak mudah, meskipun peluang-peluang bisnis tetap terbuka. Berkaca pada pengalaman krisis 2008, ketika itu, Indonesia relatif berdaya tahan, dengan ekonomi yang masih tumbuh 4,5% di 2009.

Namun, Amerika Serikat yang menjadi titik awal krisis terkontraksi 2,5%. Pemerintah AS menggelontorkan stimulus ekonomi besar-besaran, sebelum mulai menjajaki masa normalisasi lima tahun kemudian pada 2014.

Saat ini, di tengah risiko krisis akibat pandemi corona, negara-negara menggelontorkan aneka paket stimulus, dari mulai pemangkasan pajak, subsidi besar-besaran gaji, dan bantuan lainnya.

Harapannya, ekonomi bisa lekas bangkit setelah pandemi berakhir. Meski begitu, risiko lambatnya pemulihan ekonomi setelah pandemi tetap membayangi. Hal ini seiring risiko lamanya pandemi berakhir.

Organisasi Moneter Internasional (IMF) melihat risiko pertumbuhan ekonomi dunia minus 4.9% tahun ini bila pandemi berlarut-larut, berbalik dari positif 2,9% tahun lalu.

“Pandemi yang bertahan hingga kuartal III bisa mengakibatkan kontraksi lebih jauh yaitu sebesar 3% pada 2020 dan pemulihan yang lambat di 2021, sebagai dampak dari kebangkrutan dan pengangguran,” tulis IMF dalam laporan yang diberi judul A Crisis Like No Other, An Uncertain Recovery ini memberikan gambaran kondisi saat ini dan kedepannya di berbagai negara dunia di seluruh dunia.


Organisasi Perburuhan Internasional atau ILO memperkirakan sebanyak 1,25 miliar orang di seluruh dunia bekerja di sektor yang terdampak parah oleh corona dan dibayangi risiko pemutusan hubungan kerja (PHK). Sektor-sektor tersebut termasuk akomodasi dan jasa makanan; perdagangan retail dan besar, serta jasa reparasi kendaraan; manufaktur; dan properti atau real estate.

Bila terjadi PHK besar, konsumsi pun berisiko tertekan. Jika mengacu pada survei pengeluaran warga Amerika Serikat yang dilakukan Booz & Co pada 2009, pengeluaran untuk berbagai kategori konsumsi jatuh setelah krisis 2008.

Dalam survei tersebut, penurunan pengeluaran terbesar terjadi untuk makan di luar rumah yakni 58%, elektronik dan pakaian masing-masing 53%, media dan hiburan 51%, renovasi rumah 44%, alkohol 42%, binatang peliharaan, mainan dan hobi 37%, layanan dan produk finansial 33%, rokok 31%, minuman nonalkohol 31%, biaya perawatan atau reparasi 28%

Kembali kepada situasi saat ini bila mengacu pada perhitungan beberapa peneliti, pandemi Covid-19 kemungkinan belum akan segera berakhir seiring belum ditemukan obat khusus ataupun vaksin. Para peneliti telah mengeluarkan perhitungan dengan berbagai pendekatan dan asumsi untuk memprediksi ujung dari pandemi Covid-19.

Dari prediksi terbaru dari para peneliti Harvard. Empat peneliti Harvard: Stephen M. Kissler, Christine Tedijanto, Edward Goldstein, Yonatan H. Grad, dan Marc Lipsitch memprediksi gelombang baru penyebaran virus Covid-19 saat musim dingin, setelah gelombang besar pertama dalam laporannya yang berjudul "Projection the transmission dynamic of SARS-Cov-2 through the postpandemic".

Bila imunitas yang terbentuk seiring waktu bersifat permanen, virus akan hilang dalam masa waktu lima tahun, atau lebih setelah puncak pandemi. Jika imunitas tidak permanen, maka virus ini akan mengalami sirkulasi reguler seperti Influenza saja layaknya. https://dash.harvard.edu/handle/1/42639308 

Sehingga, perlu terus menerapkan jaga jarak sosial secara berulang (intermitten distancing). “Intermitten distancing kemungkinan diperlukan hingga tahun 2022, kecuali fasilitas perawatan kritis meningkat signifikan atau tersedianya vaksin,” demikian tertulis dalam laporan tersebut.

Merujuk dari prediksi-prediksi tersebut, pola hidup dan kerja kemungkinan mengalami gangguan alias disrupsi dalam beberapa tahun. Board of Innovation -- firma di bidang desain bisnis dan strategi global yang memegang klien-kilen multinasional seperti Danone, Philips, dan Toyota – memprediksi disrupsi ini akan menghasilkan kebiasaan-kebiasaan baru yang tetap bertahan setelah pandemi berlalu. Ini menjadi peluang atau tantangan bagi pelaku bisnis.

Kebiasaan baru yang dimaksud seperti bekerja di luar kantor, keseimbangan hidup, akses ke e-commerce dan layanan pengiriman barang, serta layanan kesehatan online alias e-health. “Orang dan organisasi akan menemukan manfaat dari cara baru hidup dan bekerja. Ini akan menantang bisnis tradisional dan gaya hidup yang ada (sebelum pandemi),” demikian tertulis dalam analisis Firma tersebut yang bertajuk “Shifts in the Low Touch Economy”.

Industri kesehatan, khususnya rumah sakit. Di sisi lain, industri rumah sakit pun harus menghadapi berbagai tantangan untuk tetap dapat memberikan pelayanan kesehatan, baik pada penderita Covid-19 maupun pasien umum.

Dalam sebuah survei yang dilakukan MarkPlus pada 110 responden mengungkapkan adanya perubahan perilaku konsumen dalam mendapatkan pelayanan kesehatan dengan fasiltas atau institusi kesehatan selama pandemi terjadi. Jika sebelum pandemi, setidaknya mengunjungi institusi kesehatan setidaknya satu kali dalam satu tahun sebanyak 31,8 persen. Namun, pada masa pandemi, kunjungan ke instutsi kesehatan, seperti klinik dan rumah sakit turun drastis.

Bahkan, dalam survei terungkap bahwa sebanyak 71,8 persen memilih untuk tidak mengunjungi fasiltas kesehatan. Bahkan, selama pandemi responden pun memilih untuk menggunakan pelayanan kesehatan digital untuk melakukan konsultasi mereka.

Bahkan Pakar pemasaran yang juga Founder & Chairman MarkPlus Inc Hermawan Kartajaya mengatakan pandemi Covid-19 telah mengguncang dunia. Hasilnya banyak industri yang menderita karena terpukul badai itu, tak terkecuali dengan industri kesehatan, terutama dengan fasiltas kesehatan, yaitu rumah sakit. Tantangan yang dihadapi pun semakin besar di industri ini, terlebih di tahun ini yang penuh ketidakpastian.
 
Tak pelak ancaman penurunan atau bahkan kerugian pun terbuka lebar. Namun, di balik itu ada pula peluang untuk dapat bertumbuh. “Hal ini tinggal bagaimana para pelakukanya menjawab tantangan ini. Sehingga sangat penting untuk menerapkan konsep surviving atau bertahan, preparing atau bersiap, dan actualizing atau aktualisasi dari yang telah direncanakan (SPA) ditengah pandemi ini,” ungkapnya disela webinar Industry RoundTable Surviving The Covid-19, Preparing The Post - Healthcare Services Industry Perspective, Selasa (30/6/2020).

Sementara itu dikutip dari Caroline Riady, Vice President Director Siloam Hospitals Group, mengatakan tidak bisa dipungkiri pandemi Covid-19 menghadirkan tantangan baru yang tidak pernah dialami sebelumnya. Meski demikian, setidaknya ada dua tantangan besar yang dihadapi Siloam Hospitals Group pada awal pandemi ini terjadi.

Pertama adalah tantangan dalam memberikan pelayanan atau asuhan kepada pasien atau masyarakat. Tantangan ini mencakup kemampuan testing dalam mengindetifikasi Covid-19, menjaga keamanan dokter dan staf, penanganan pasien positif Covid-19 dan melayani kebutuhan pasien non covid akan kesehatan.

“Misalnya saja pada wanita hamil yang akan melahirkan, ataupun pasien diabetes, ataupun paisen kanker yang harus dilayani dan kami harus memastikan keamanan para pasien ini,” jelasnya.

Tantangan kedua, lanjut Caroline, adalah berkaitan dengan keberlangsungan bisnis. Tak bisa dipungkiri Covid-19 telah membuat berantakan cash flow. Mengingat selama pandemi pendapatan mengalami menurun. Di satu sisi, biaya operasional meningkat dengan adanya standar prosedur baru dalam mengamankan lingkungan rumah sakit, baik bagi karyawan maupun tenaga medis lainnya. 


Anggaran Kesehatan di tahun 2021

Pemerintah menganggarkan alokasi anggaran kesehatan sebesar Rp 169,7 triliun pada Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Negara 2021. Angka ini naik dari tahun lalu.

Presiden Joko Widodo mengatakan, anggaran kesehatan sebesar Rp 169,7 triliun itu setara dengan 6,2% APBN. Angka ini naik dari tahun lalu karena salah satunya untuk alokasi Vaksin.

"Diarahkan terutama untuk peningkatan dan pemerataan dari sisi supply, serta dukungan untuk pengadaan vaksin; meningkatkan nutrisi ibu hamil dan menyusui, balita, penanganan penyakit menular, serta akselerasi penurunan stunting," kata Jokowi dalam pidato Nota Keuangan di Gedung MPR/DPR, Senayan, Jakarta, Jumat (14/8/2020)

"Perbaikan efektivitas dan keberlanjutan program jaminan kesehatan nasional; serta penguatan pencegahan, deteksi, dan respons penyakit, serta sistem kesehatan terintegrasi," imbuhnya.

Jumlah anggaran sebesar Rp 169,7 triliun tersebut naik dibanding dengan anggaran kesehatan pada APBN 2020. Dikutip dari situs Kementerian Keuangan, anggaran kesehatan dalam APBN 2020 sebesar Rp 132,2 triliun.

Selain itu, dalam RAPBN 2021 pemerintah mengalokasikan anggaran sebanyak Rp 356,5 triliun untuk program Pemulihan Ekonomi Nasional. Sebagian di antaranya untuk kebutuhan pengadaan vaksin dan sarana pra sarana kesehatan.

Pada RAPBN tahun 2021 dialokasikan anggaran sekitar Rp356,5 triliun, yang diarahkan untuk: Pertama, penanganan Kesehatan dengan anggaran
sekitar Rp 25,4 triliun untuk pengadaan vaksin antivirus, sarana dan prasarana kesehatan, laboratorium, litbang, serta bantuan iuran BPJS untuk PBPU," ujarnya.










Tidak ada komentar:

Posting Komentar